Cewek Sinting Vs Perfect Boy...

By WinterWin13

628K 49.4K 24.1K

Aqila Auristella, seorang mantan ketua geng motor yang akhirnya tobat setelah dirukiyah emaknya. Aqila adala... More

Prologue
Ayee-Ayee 1 [Aqila dan Majalah]
Ayee-Ayee 2 [Aqila dan Sekolah]
Ayee-ayee 3 [Aqila dan Ethan]
Ayee-ayee 4 [Aqila dan MOS+Cowok Cantique]
Ayee-ayee 5 [Aqila dan Cowok Kembar]
Ayee-ayee 6 [Aqila! Jangan Gila!]
Ayee-ayee 7 [Aqila adalah Wonderwoman]
Ayee-ayee 8 [Aqila di Interview]
Ayee-ayee 9 [Aqila di Drop out?]
Ayee-ayee 10 [Aqila dan kisah cinta masa lalu Sethan]
Ayee-ayee 11 [Aqila Vs Emak-emak]
Ayee-ayee 12 [Aqila dan Kuntilanak cantik penunggu pohon beringin]
Ayee-ayee 13 [Aqila dan Sethan Stalker]
Ayee-ayee 14 [Aqila dan kesedihan Eden]
Ayee-ayee 15 [Aqila! Perasaan apa ini?!]
Ayee-ayee 16 [Aqila dan Sethan kerasukan]
Ayee-ayee 17 [Aqila sinting Vs Sethan perfect]
Ayee-ayee 18 [Aqila bodoh! Eden nangis bukan karena kepedasan!]
Ayee-ayee 19 [Aqila adalah Yang Mulia Ratu tapi tidak serakah!]
Ayee-ayee 20 [Aqila, dugong mu menyelamatkan ku]
Ayee-ayee 21 [Aqila, F*** You!!!]
Ayee-ayee 22 [Aqila, tipe cowok lo kayak apa?]
Ayee-ayee 23 [Aqila, diam! berani teriak, lo tahu akibatnya!]
Ayee-ayee 24 [Aqila, Gue milik lo sekarang]
Ayee-ayee 25 [Aqila dan selirnya Ethan]
Ayee-ayee 26 [Aqila, Ethan adalah Perfect Boy terbaik di dunia]
Ayee-ayee 27 [Aqila! kembaliin baju gue!]
Ayee-ayee 28 [Aqila dan telur mata ayam]
Ayee-ayee 29 [Aqila, Gue benci lo!]
Ayee-ayee 30 [Aqila! jangan masuk toilet cowok!!]
Ayee-ayee 31 [Aqila adalah Serigala Alpha Betina yang Jantan!]
Ayee-ayee 32 [Aqila! Selir lo ngamuk!!]
Ayee-ayee 33 [Aqila ingin kembali menjadi cebong]
Ayee-ayee 34 [Aqila be like: "Selamat menjadi janda selir ku"]
Ayee-ayee 35 [Aqila tobat? Dunia kiamat]
Ayee-ayee 36 ["Aqila, gue di sini"]
Ayee-ayee 37 [Aqila, Eden mau jadi permaisuri, bukan selir]
Ayee-ayee 38 [Aqila tersepona, tersepona senyuman setan, lalalala]
Ayee-ayee 39 [Aqila dan cupang]
Ayee-ayee 40 [Aqila, ayo gencatan senjata]
Ayee-ayee 41 [Aqila, Ethan nggak bisa makan pedas!!]
Ayee-ayee 42 [Aqila di blokir!! Hahahahhaa!!]
Ayee-ayee 43 [Aqila, Ethan nangis! Tanggung jawab!]
Ayee-ayee 44 [Aqila! Jodoh lo digoda Ratu Uler!]
Ayee-ayee 45 [Aqila, Ethan, MengMeng, Kookie, dan BowBow]
Ayee-ayee 46 [Aqila, Ethan sudah jatuh cinta]
Ayee-ayee 47 [Aqila, Bunga itu.... ]
Ayee-ayee 48 [Aqila lakik! nggak mungkin datang bulan!]
Ayee-ayee 49 ["Aqila brengsek! lo harus jadi milik gue!"]
Ayee-ayee 50 [Aqila, "Permaisuri vs Selir" siapa yang menang?]
Ayee-ayee 51 [Aqila, Я тебя люблю]
Ayee-ayee 53 [Aqila, Senyumku hanya untuk mu]
Ayee-ayee 54 [Aqila sang Kaisar]
Ayee-ayee 55 [Aqila, Lo boleh salah paham]
Ayee-ayee 56 [Aqila be like: "Jangan sentuh punyaku!!"]
Ayee-ayee 57 ["Aqila, lo mau jadi kaisar seumur hidup gue?"]
Ayee-ayee 58 [Aqila, Gue bakal ngejar lo secara ugal-ugalan]
Ayee-ayee 59 [Aqila, Tunggu gue pulang, oke?]
Ayee-ayee 60 [Aqila, Jangan ke sana!!]
Ayee-ayee 61 ["Aqila, jika bersama, tidak akan terasa dingin"]
Ayee-ayee 62 [Aqila, perpisahan kematian itu menyakitkan]
Ayee-ayee 63 [Aqila, Yang pergi tidak akan kembali]
[END] ~"Hai, Yang Mulia"~
✧Ayee-ayee Extra✧ [1] ~"Yang Mulia, Ayo menikah"~
✧Ayee-ayee Extra✧ [2] ~"Yang Mulia bertemu calon mertua"~
✧Ayee-ayee Extra✧ [3] ~"Yang Mulia, kapan kita menikah?"~
✧Ayee-ayee Extra✧ [4] ~"Yang Mulia Will You Marry Me?"~

Ayee-ayee 52 [Aqila, ayo ucapkan selamat tinggal]

7.2K 655 1K
By WinterWin13

HOLAA HOLAAA (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

MANUSIA NGARET UP INI BALIK LAGI!! (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

MANA SALJUNYA? (❄️)

THANK YOU UDAH LEDAKIN KOMENTAR, YA (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

SNOWY, YOU'RE THE BEST (⁠≧⁠▽⁠≦)

HAPPY READING (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

❄️❄️❄️❄️❄️

Ting

Suara dentingan lift berbunyi.

Aqila dan beberapa siswa-siswa lain keluar melewati pintu lift, berpencar ke tempat tujuan masing-masing.

Gadis itu salah satunya, dia berjalan dengan satu tangan memegangi paper bag, tangan lain menggenggam ponsel.

Sembari menunggu balasan Ethan, Qila membaca jawaban kisi-kisi soal yang mereka bahas melalu video call tadi malam. Ada ulangan pagi ini, Ethan membantunya menyederhanakan beberapa soal rumit.

Dengan kapasitas otak yang kecil sekecil lubang semut, Qila dipaksa membaca jawaban soal itu sebanyak 50 kali!

Huh, benar-benar rumit.

Andai IQ bisa dicuri, Qila pasti sudah lama mencuri otak si setan dan tak akan pernah mengembalikannya!

Di sela-sela menghapal rumus, balon obrolan kecil muncul di bawah, memperlihatkan pesan singkat dari orang yang ditunggu-tunggu.


===Chat===

Dari : Selir Gw👻

|Gue nggak sekolah hari ini.|

|Kenapa? Kucing lo lahiran? Atau lo yang lahiran?|


Ethan tidak menjawab, hanya mengirim sebuah foto.

Aqila mengklik foto tersebut. Di sana ada satu meja penuh peralatan labor, juga ada Evan bersama seorang profesor muda sedang berdiskusi serius.

Mereka praktek khusus lagi?

Itu wajar, dan sejujurnya ini bukan kali pertama terjadi. Sejak awal-awal sekolah dulu, saudara kembar Abraham sering mengambil cuti sekolah selama beberapa hari demi belajar tambahan bersama profesor rekomendasi ibunya di labor rumah sakit.

Aqila berhenti berjalan, membuka aplikasi kamera, memotret paper bag di tangannya.

Setelah itu, mengirim ke Ethan dengan caption.

|Gue udah cuci jaket yang lo pinjamin waktu di klub! Sekarang udah bersih! Suci! Sesuci darah Nayla GGS!|

Di seberang sana, pemuda yang duduk di kursi Labor tersenyum tipis.
Aqila memotret paper bag, tapi tanpa sengaja memotret sepatunya juga, Ethan merasa lucu dan refleks menyimpan foto itu.

Setelah menyimpan, ia mengirim pesan lain.

===Chat===

|Nggak perlu|

|Kenapa?|


|Praktek sampai sore|

|Lo nggak latihan taekwondo?|


|G|

|Udah seberapa kuat lo berani-beraninya bolos latihan?|


|Belum sekuat Hulk|

|Minimal sekuat ultramen!|


|Oke|

====

Ethan tersenyum.

Aqila juga tersenyum.

Gadis itu berhenti membuka kotak pesan dan menyimpan ponselnya ke dalam saku.

Jika Ethan sedang praktek khusus, itu artinya tidak akan belajar bersama pulang sekolah nanti, juga tidak latihan taekwondo.

Sudah dipastikan siang sampai sore akan menjadi membosankan. Karena Aqila tidak punya kegiatan apa-apa selain itu.

Ah, menyebalkan sekali.

Aqila berjalan memasuki kelas dengan paper bag di tangannya.

Tapi sebelum melewati pintu, ia melihat Shinzui sedang melamun di tepi lorong. Angin berhembus melewati jendela meniup wajah sedihnya.

"Lo kenapa?" tanya Aqila menghampiri.

Shinzui tidak menjawab.

"Masih sedih ditolak Eden?"

Shinzui mengangguk.

Aqila mengerjap. Dia bisa menghibur orang yang kesakitan setelah digigit anjing gila, dia juga bisa menghibur anak sapi yang ditinggalkan induknya.

Tapi dia tidak pernah bisa menghibur orang yang bersedih karena cinta!

Aqila bingung, haruskah dia cosplay jadi monyet baru Shinzui akan tertawa?

"Ehhmm mau gimana lagi, 'kan? Udah ada cewek yang dia suka."

Shinzui makin mengangguk sedih. Matanya buram lagi, siap meneteskan air mata.

Aqila membelalak melihat itu.

Astaga, astaga, apakah patah hati sesakit itu?

Begitu sakit sampai membuat orang tidak berhenti menangis?

Aqila berusaha menghiburnya. "Tenang aja, Zui. Walaupun si Eden nolak lo, gue yakin cewek yang dia suka pasti nggak secantik lo! lo tenang aja, oke?"

Shinzui menggigit bibir menahan isakan. Apakah Aqila sedang mengejeknya?

Tapi setelah melihat mata Aqila yang murni seratus persen polos tidak tahu apa-apa, dia berusaha menahan tangis dan akhirnya berkata.

"Tapi masalahnya, nggak peduli seberapa bagusnya gue... gue tetap nggak akan bisa ngalahin orang yang dia suka."

Kalimat itu sangat menyentuh sekaligus menyakitkan.

Aqila saja sampai terdiam.

Memangnya seperti apa gadis yang disukai Eden sampai-sampai menolak ke-imutan langka seperti Shinzui?

"Sekuat itu? Saingan lo sekuat itu?" tanya Qila lagi.

Shinzui menatap iris cokelat terang Aqila yang kebingungan.

Di sana tidak ada kebohongan apalagi kepalsuan. Apa yang ada di hatinya tercermin di matanya, benar-benar mata yang sangat jujur, wajar orang seperti Eden bahkan Ethan menyukainya.

Shinzui merasa rendah diri, dan akhirnya berkata lirih,
"Qil, gue nggak bisa ngalahin lo."

Aqila terdiam.

Melihat Aqila yang kebingungan, Shinzui menambahkan.
"Aqila, selama ini lo beneran nggak sadar? Menurut lo siapa lagi yang bisa buat Eden nolak gue kalau bukan karena lo?!"

Gadis itu mengerutkan kening, heran. Lalu menunjuk dirinya sendiri.
"K-kok gue? Gue nggak pernah hasut dia buat nolak lo."

Shinzui menggertakkan giginya. Gemas dengan Aqila yang kadar kepekaannya berada di bawah tanah!

"Lo masih belum paham juga? Eden suka sama lo, Qil! Selama ini dia selalu suka sama lo! Apa lo nggak rasain tatapannya, sikapnya, perhatiannya, semua spesial buat lo? Lo seharusnya sadar sama perasaan dia!"

Aqila tercengang, dari pada terkejut. Dia lebih heran dengan maksud kalimat Shinzui.

Suka?

Eden suka padanya?

Dia juga suka Eden.

Apa salahnya?

Jika tidak suka, tidak mungkin menjalin persahabatan selama ini.

Rasa suka adalah hal yang biasa.

Tapi kenapa Shinzui mengatakannya dengan begitu menyakitkan?

"Suka... suka yang lo maksud itu... suka... Gimana?" Aqila masih tidak paham.

Shinzui menangis bingung. Heran dengan Aqila.

Akhirnya gadis Jepang itu meraung. "Qila.... Rasa suka yang dia punya ke lo sama kayak rasa suka gue ke dia. Rasa suka yang bikin lo mau pacaran sama dia, hidup bahagia sama dia, makan sama dia, tidur sama dia. Adalah rasa suka yang spesial! Lebih dari teman! Sekarang lo paham, 'kan?"

Aqila melongo. "Termasuk 'berak sama dia' juga?"

Shinzui menangis semakin keras.

Aqila menggaruk tengkuk yang tak gatal, agak gugup.

Ternyata... Ternyata... Eden punya perasaan seperti itu padanya?

Kenapa bisa?

Kenapa dia mau berak bersamanya?

Tidak, tidak, bukan itu!

Kenapa dia mau berpacaran dengannya?

Bukankah mereka ini teman?

Bukankah mereka sahabat?

Bel tiba-tiba berbunyi, menyela pikiran Aqila.

Shinzui mengusap wajahnya dengan kasar, lalu pergi ke kelas tanpa berbicara.

Di kelas.

Eden melihat Shinzui masuk dengan wajah merah.

Eden berusaha tidak canggung dan menyapanya seperti biasa, tapi Shinzui hanya diam.

Ketika Aqila masuk, Eden segera membuka buku PR dan menyerahkan ke Qila.
"Nih, lo belum buat PR, 'kan?"

Aqila masih terbengong-bengong seperti orang bloon setelah memahami apa yang dikatakan Shinzui barusan, alhasil menjawab refleks.
"Nggak usah, si setan udah bantuin gue ngerjain PR semalam."

Eden, "...."

Ethan lagi, Ethan lagi!

Tak lama kemudian guru masuk, membuat kelas hening sejenak.

Shinzui maju untuk mengumpulkan buku PR, sedangkan guru di depan kelas mengumumkan akan ada ulangan harian dadakan pagi ini.

Aqila sudah menebaknya, dia tidak sepanik awal-awal sekolah dulu yang mendadak kesurupan mendengar kata 'ulangan'.

Berkat belajar bersama Ethan, dia sudah memahami sebagian besar mata pelajaran.

Kali ini, Qila yakin pasti bisa mendapat nilai bagus tanpa meminta hidayah kuntilanak cantik penunggu pohon beringin belakang sekolah!

"Tumben lo nggak ngeluarin jimat Dugong buat cap-cip-cup jawaban soal?"

"Tenang, gue yakin kali ini pasti dapat nilai bagus, hehe" ucapnya penuh percaya diri sambil mengangkat jempol.

Eden mengernyit. "Emang dia sehebat itu ngajarin lo?"

"Dia nggak hebat. Yang hebat tuh gue. Asal lo tahu, gue sebenarnya punya otak terpendam, yang cuma bisa dibangkitkan oleh orang-orang tertentu."

Eden mengangguk. "Ya, otak terpendam yang sebaiknya dipendam."

Aqila ingin menaboknya!

Tapi tidak jadi setelah melihat kekecewaan di mata Eden.

Seketika Aqila teringat dengan ucapan Shinzui tadi.

Eden menyukainya.

Namun bukan rasa suka antara sesama teman.

Tapi sebagai orang spesial.

Kadang Qila bertanya-tanya.

Kenapa Eden selalu memasang wajah cemberut bahkan kesal setiap kali membahas Ethan?

Kenapa mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu?

Tapi sekarang dia tahu jawabannya.

Aqila menatap Eden sangat lama, sangat lama sampai pemuda cantik itu tidak nyaman dan balik menatapnya.
"Kenapa?"

"Den, lo suka sama gue?"

Deg

Pertanyaan spontan itu nyaris membuat jantung Eden meledak.
Dia membeku selama beberapa detik, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Maksud gue, bukan suka sebagai teman. Tapi sebagai pacar. Lo mau hidup bareng gue, trus berak sama gue. Ya, 'kan?"

Eden tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

Tidak, tidak.

Lebih tepatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Aqila peka? Secepat ini? Kenapa rasanya mustahil?!

"S-siapa-"

"Oh? Shinzui yang ngasih tahu gue barusan," ucapnya sambil menendang ringan kaki kursi Shinzui di depan.

Shinzui pura-pura tidak dengar, tapi jantungnya berdebar-debar.

Eden terdiam. Dia tidak menyebutkan siapa gadis yang disuka saat menolak Shinzui tadi malam.

Bagaimana bisa dia tahu?

Aqila menunggu dengan penasaran seolah-olah sedang menebak soal kuis.

Tepat ketika Eden hendak menjawab. Ketukan pintu terdengar, membuat siswa yang fokus mengerjakan ulangan mendongak ke arah suara.

"Maaf menggangu"

Ternyata kepala sekolah.

Wali kelas segera berdiri dan menanyakan maksud kedatangannya.

"Eden Achazia Kenzo, apakah hadir?"

Eden yang tiba-tiba dipanggil segera mengangkat tangan. "Hadir"

"Kamu ke sini sebentar"

Aqila mengernyit. "Kenapa kepsek nyari lo? Lo hamilin anak dia?!"

Eden menggeleng tidak tahu, seketika perasaannya tidak enak.

Setelah pemuda itu keluar, semua siswa kembali fokus pada kertas ulangan.

Tapi Qila tidak, dia khawatir dengan Eden.

Kenapa kepala sekolah tiba-tiba datang secara langsung dan mencarinya?

Selama Qila sekolah di sini, seberapa besar kenakalan yang ia perbuat, tidak pernah sekalipun kepala sekolah turun tangan secara pribadi menemuinya.

Tapi kenapa Eden yang patuh seperti kucing takut digeprek bisa didatangi kepala sekolah?

Syukurlah tempat duduk mereka berada di ujung dekat jendela. Qila bisa melihat punggung pemuda itu dengan jelas.

Kepala sekolah menepuk bahu Eden, lalu mengatakan sesuatu.

Seketika punggung Eden menegang, pena yang ia genggam jatuh menghantam lantai. Kepala sekolah menatapnya dengan prihatin, lalu menepuk-nepuk bahunya lagi seolah-olah menenangkan.

Ketika Eden berjalan mengikuti kepala sekolah, dia kehilangan pijakan dan terpaksa bertumpu pada dinding untuk menopang tubuhnya.

Setelah itu, tanpa melihat ke belakang, Eden segera berlari meninggalkan kelas!

Aqila terkejut melihat itu.

Apa yang membuat Eden begitu shock sampai membuatnya terburu-buru seperti itu?

Perasaan Aqila semakin tidak enak.

"Bu, Eden kenapa?" tanya Shinzui yang juga sadar ada sesuatu terjadi pada Eden.

Wali kelas yang ikut mendengarkan percakapan mereka menjawab dengan wajah pucat.

"Ibu Eden meninggal"

Aqila dan Shinzui terkejut, sementara seluruh siswa terdiam sampai berhenti menulis.

Wali kelas mengusap wajahnya dan berkata, "Ibu Eden meninggal di rumah sakit pagi ini pukul delapan lewat lima belas menit, meninggal karena kanker ginjal. Kata kepala sekolah, ibu Eden sempat dikemoterapi jam tujuh pagi tadi, tapi mungkin ini sudah menjadi kehendak Tuhan, kemoterapi gagal dan beliau meninggal dunia."

BRAAKK!!

Aqila tiba-tiba berdiri menggebrak meja.

"Nggak! Ibu salah! Ibu Eden dirawat di rumah sakit karena penyakit asam lambung, bukan kanker ginjal!" teriaknya.

Wali kelas ingin memarahi Aqila, tapi tidak jadi karena gadis itu lebih dulu mengambil kunci motor Eden di loker, lalu berlari keluar kelas tanpa izin.

"Aqila!! Kamu berhenti! Heyy!! Aqila!"

Aqila tidak mendengarkan, hanya terus berlari.

Di lapangan, ada Eden sedang memasuki mobil dokter sekolah, Dokter Heyu.

Dia sedang shock sekarang, tidak mungkin diizinkan ke rumah sakit sendirian. Jadi, dokter Heyu menemaninya.

Aqila pergi memasuki lift, menekan tombol lantai satu, dan berlari ke parkiran.

Tidak akan sempat jika naik angkot, mengendarai motor lebih cepat karena bisa ngebut.

Dia menaiki motor hijau besar nan tinggi milik Eden, mengencangkan pengait helm, menstarter motor, dan segera melajukannya keluar gerbang sekolah.

Aqila sudah cukup lama tidak membawa motor, tapi itu tidak mengikis kemampuannya dalam memotong kendaraan lain di jalan raya.

Dia melaju sangat cepat membuat kendaraan lain hampir jantungan sampai mengklakson memarahi.

Tapi Aqila tidak peduli.

Pikirannya dipenuhi dengan Eden!

Setelah sepuluh menit berkendara, Aqila sampai di rumah sakit.

Di parkiran ada mobil dokter Heyu. Mereka tiba hampir secara bersamaan.

Ketika pintu mobil terbuka, Eden berlari memasuki gedung tanpa memperdulikan sekitar, dia bahkan lupa berterimakasih pada dokter Heyu yang mengantarnya ke rumah sakit.

Aqila berlari, menggantikan Eden berterima kasih pada dokter Heyu.
Setelah itu, memasuki gedung dan menekan tombol lift untuk naik ke lantai delapan.

Qila tanpa sadar meremas tangannya dengan erat, dia tidak pernah secemas ini sebelumnya.

Dan dia sama sekali tidak menyangka.

Padahal baru kemarin malam mereka bertemu, tertawa bercanda bersama, tapi kenapa tiba-tiba...

Kenapa tiba-tiba....

Apakah manusia benar-benar bisa pergi secepat itu?

Tanpa pamit?

Apakah pertemuan kemarin malam adalah salam perpisahan tanpa syarat?

Tawa terakhir?

Pertemuan terakhir?

Hal yang sama juga dirasakan Eden, dia awalnya tidak percaya apa yang dikatakan kepala sekolah.

Pria paruh baya itu menatapnya penuh kasihan, menepuk bahunya, lalu berkata, "Ibu mu sudah meninggal"

Saat itu sampai sekarang, langkah kaki Eden terasa berat, dia sama sekali tidak bisa berpikir, bahkan bernapas saja susah.

Dia sama sekali tidak bisa bernapas! tidak bisa, dadanya sesak, sakit... sakit...

Suara kepala sekolah kembali berputar di benaknya.

"Ibu mu meninggal setelah gagal menjalani kemoterapi jam tujuh tadi."

Suara Eden bergetar saat bertanya, "Kemoterapi? Ibu saya hanya sakit asam lambung biasa. Kenapa harus kemoterapi?"

Kepsek itu bingung. "Apa maksud mu? Saya mendapat laporan dari rumah sakit bahwa ibu mu menderita kanker ginjal, dan harus dikemoterapi. Jadi-"

"K-kanker!?" Eden memotong dengan kaget.

"Kanker ginjal? Ibu saya kena kanker ginjal?" lanjutnya berbisik tak percaya, suaranya nyaris tak keluar.

Melihat reaksinya, kepala sekolah mengerti apa yang terjadi.

Ibu Eden pasti menyembunyikan penyakit aslinya dari anaknya.

Eden memahami ini.

Dalam waktu bersamaan, rasa sakit menghantam ulu hatinya.

Tidak bisa dipercaya!

Tidak!

Dia tidak akan percaya ibunya sudah pergi!

Tapi, ketika ia sampai di depan pintu putih ini, suara mesin yang biasa digunakan ibunya untuk bernapas sudah berhenti, aura senyap dan sunyi, mendukung sosok lemah yang terbaring di brankar dengan kain putih menutupi wajah cantiknya.

Bahu Eden bergetar, matanya merah dan buram, bibirnya membuka-menutup ingin memanggil ibunya, tapi tidak ada satupun suara yang keluar.

Sakit.

Dadanya sakit.

Eden terus menatap jasad ibunya dengan linglung, berusaha memanggilnya tapi tidak bisa.

Dia takut, dia takut ketika memanggilnya, ibunya tidak akan menjawab.

Dia sangat takut.

Hatinya sangat sakit penuh sesak, saking sakitnya sampai air mata pun tertahan dan mengamuk di dalam.

Di tengah hantaman rasa sakit. Tiba-tiba, lima jari melintang secara horizontal di depan wajahnya.

Awalnya Eden masih bisa melihat jasad ibunya lewat celah jari itu, tapi ketika jemari ramping tersebut merapat dan maju menutupi matanya, Eden tidak bisa melihat apa-apa lagi.

Detik itu juga.

Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh.

Aqila berdiri di belakang, dengan sedih menutup mata Eden.

Dia tahu Eden sedang menangis, terbukti dari telapak tangannya yang basah setelah menyentuh kelopak matanya.

Tapi Aqila tidak bisa apa-apa, dia hanya bisa menutup mata Eden seperti ini, berusaha sebisa mungkin berbagi rasa sakit.

Eden menangis dalam diam, sama sekali tak bersuara.

Sedangkan Aqila berdiri di belakang, menempelkan keningnya ke punggung Eden, berusaha menenangkannya.

Apa yang saat ini tidak mereka ketahui adalah, Ethan berdiri di sisi lain bagian luar pintu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong jas lab, matanya tertunduk menatap lantai dengan ekspresi datar.

Turut berduka untuk ibu Eden.

*****

Skip time

Spoiler dari cinta adalah perpisahan.

Sedangkan spoiler dari kehidupan adalah kematian.

Di sore hari yang mendung, ibu Eden dimakamkan.

Adik Eden, Nagisa. Yang mendengar kabar ini langsung pulang jauh-jauh dari Beijing dengan kecepatan tercepat.

Dia datang tepat sebelum peti mati dimasukkan ke dalam liang lahat.

Anak kecil itu menangis, menangis, dan terus menangis memanggil ibunya, lalu meminta maaf.

Membuat semua orang termasuk guru-guru SMA Galaxy beserta siswa yang hadir diam-diam menyeka air mata melihat itu.

Ketika upacara pemakaman dimulai, Aqila berdiri di samping Eden yang sedang memeluk adiknya.

Eden tidak menangis, dia hanya mengusap ringan punggung Nagisa sambil menatap peti yang perlahan tenggelam ditutupi tanah.

Matanya tanpa emosi.

Mulai hari ini, detik ini, ibunya tidak akan pernah menjawab panggilannya lagi.

Eden mengepalkan tangan, menunduk sampai poninya turun menutupi sudut mata yang memerah.

Setelah pemakaman selesai, ada banyak yang datang kepadanya mengucapkan belasungkawa.

Bahkan ada beberapa media yang datang memotretnya dan Nagisa.

Nagisa adalah bintang iklan yang sedang naik daun, tidak heran ke mana-mana selalu diikuti media.

Tapi untuk saat ini, dia benar-benar tidak sanggup menghadapi mereka. Jadi, bocah kecil itu hanya membenamkan wajah di bahu kakaknya, tidak mau melihat siapapun.

Para guru, Aqila, Shinzui, Rael, Sakti, Ethan, Evan, dan beberapa orang yang dikenal datang hari ini.

Tapi Eden tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Semua terlihat abu-abu dan sunyi, tak jauh berbeda dengan ruang mati.

*****

Dua hari setelah kematian ibunya, Eden datang ke sekolah.

Aqila menemukan dia lebih banyak melamun dari pada mendengarkan guru menerangkan pelajaran di kelas.

Ketika Aqila mengajaknya berbicara, Eden hanya menjawab singkat.

Ketika Aqila mengajaknya bercanda, pemuda itu hanya tersenyum tipis, lalu dengan sedih membenamkan wajah di bahu Qila.

Aqila tidak mendorong Eden menjauh, hanya menepuk-nepuk kepalanya dengan ringan sambil terus menceritakan lelucon.

Hari demi hari berlalu seperti itu.

Eden masih tidak membaik, malah makin parah.

Sudah tiga hari, dia tidak datang ke sekolah.

Tanpa izin.

Tanpa kabar.

Aqila membanting ponselnya ke atas meja, mengejutkan Rael dan Sakti yang sedang memecahkan soal.

"Lo kenapa anjirr!!" ngegas Sakti.

"Mentang-mentang hp lo kentang ya jangan dibanting-banting lah!" tambah Rael.

Aqila berdecak tidak menanggapi.

Tetapi Ethan yang duduk di sampingnya menatap layar ponsel yang menyala memperlihatkan isi chat.

Meskipun nama kontak adalah 'Si cantik'. Mudah ditebak itu siapa.

Di sana, ada lebih dari dua puluh pesan terkirim, tapi Eden tidak membalas satupun!

"Gue nggak tahu harus gimana lagi," keluh Qila karena ini adalah kali pertama ia gagal menghibur seseorang.

Rael melirik ponsel yang layarnya retak seperti jaring laba-laba itu, lalu mengernyit. "Oh? Lo chat si Eden?"

Aqila mengangguk dengan kepala terbenam di atas meja.

"Emang ada apa?"

"Udah tiga hari dia nggak datang ke sekolah"

Sakti manggut-manggut.

Aqila teringat sesuatu dan segera terbangun.
"Jangan-jangan... Dia terlalu depresi ditinggal ibunya trus lompat ke laut?!"

"Atau gantung diri?!" sahut Rael.

"Atau pergi ke gunung buat nyembah raja iblis trus jadi dukun buat hidupin emaknya balik?!" tambah Sakti.

Qila dan Rael mengangguk serempak. "Bisa jadi! Bisa jadi!"

"Bodoh" kata Ethan dingin.

Aqila mengerang dan kembali membenturkan kepala ke meja.

"Lo udah cek ke rumah dia?" tanya Rael sambil membalik halaman.

"Udah, tapi dia nggak ada di rumah. Rumahnya kosong, dikunci!"

"Iyakah?"

"Iya, gue sampe dikejar-kejar warga gara-gara dikira maling pas manjat jendela rumahnya!"

Ethan terdiam.

Sedangkan Sakti dan Rael tertawa ngakak.

"Kalau gitu tinggal di lacak, " kata Rael disela tawa.

Aqila mengangkat ponsel memperlihatkan aplikasi. "Udah, tapi tetap nggak ketemu."

"Ck, ck, ck. Kalau gitu lo butuh ahli kang nguntit profesional!!" ujar Sakti dramatis.

"Hah?"

Rael menoleh. "Than, waktunya kerja!"

Ethan tidak menjawab, masih sibuk dengan laptopnya.

Aqila makin bingung. "Sejak kapan kerjaan si setan nguntit orang?"

Setelah itu ia meralat cepat. "O iya, setan kan kerjaannya emang nguntitin orang."

Sakti kembali tertawa. "Lo lupa? Ethan itu hacker! Dia pasti bisa bantu lo lacak posisi Eden."

Seketika mata Aqila berbinar.

Kenapa tidak terpikirkan oleh otaknya sebelumnya?!

Dia punya setan hacker! Dengan kemampuannya, pasti menemukan Eden menjadi lebih mudah!

"Than-"

"Nggak!" Ethan memotong cepat.

Aqila mengerjap. "Than! lo nggak takut dia beneran lompat ke laut jadi reinkarnasi nyi roro kidul? Trus jadi penguasa laut pantai selatan yang hobinya nangkap orang-orang pake baju hijau!? Nggak! Nggak bisa! Kerajaan Dugong gue bisa terancam!"

"Nggak!" Tolak Ethan lagi.

Rael ikut-ikutan. "Than, bantu aja, kasihan."

"Kalau lo nggak mau bantu, gue kasih tahu si Qila kalau lo pernah berak di celana waktu TK!" ancam Sakti.

"Barusan udah lo kasih tahu govlok!" seru Rael lalu tertawa.

Sebelum Ethan melempari mereka dengan laptop, Aqila sudah menyela. "Lah? Masih mending TK. Gue aja pernah berak di celana pas SMP."

Rael dan Sakti makin ngakak. "Ampun suhu! Hahahahaha!"

Qila menghibur. "Nggak papa, Than. Berak di celana adalah suatu keharusan kalau udah kebelet banget! Ntar bisa jadi penyakit kalau kelamaan ditahan-tahan!"

Ethan jijik sekaligus sakit kepala dengan pembahasan jorok ini.

Jadi, ia segera mengambil ponsel Aqila, menyalin nomor Eden ke ponselnya, mulai melakukan pelacakan.

Kurang dari satu menit. Dia berhasil menemukan posisi Eden.

Map menunjukkan sebuah apartemen di pinggir kota. Berjarak sekitar 47 kilometer dari sini.
Jika Aqila menggunakan motor dan melaju dengan kecepatan normal, dia akan sampai satu jam tiga puluh menit!

Aqila menghela napas lega. "Syukurlah dia belum jadi reinkarnasi nyi roro kidul."

Ethan menoyor kening gadis itu sambil tersenyum tipis.
"Bodoh"

Rael dan Sakti menggoda lebay. "Aww co cweett!!"

Lalu menjerit dilempari laptop oleh Ethan!

*****

Setelah pulang sekolah, Aqila pergi ke basecamp geng Dugong dan meminjam motor Jipu.

Ya, dia akan pergi ke tempat Eden.

Qila sangat mengkhawatirkannya. Mereka adalah sahabat dekat, tapi kenapa Eden tidak memberi tahu bahwa ia sudah pergi sejauh ini?

Aqila takut Eden terlalu depresi dan dengan gegabah gantung diri di sana.

Tidak, tidak!

Eden bukanlah orang seperti itu!

Aqila menggeleng beberapa kali, matanya yang tertutup helm full face semakin tajam, dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, menelusuri rute termudah dan tercepat yang dicarikan Ethan.

Setelah satu jam lima menit, Aqila sampai di pusat apartemen.

Apartemen itu tidak mewah, tapi terlalu banyak, tinggi dan panjang.

Aqila keliru, tidak tahu harus ke mana.

Di sela-sela kebingungan. Ponselnya berdering. Ada panggilan dari Ethan.

"Halo"

"Belok kiri" kata Ethan tanpa basi-basi.

Aqila cengo. "Hah?"

"Belok kiri! Apartemen dia ada di sebelah kiri."

Aqila terbatuk karena pengap, menaikkan kaca helm ke atas, lalu bertanya, "Kok lo tahu? Jangan-jangan lo ngintipin gue, ya?"

Di seberang sana, Ethan sedang duduk di depan meja belajar.

Layar laptop menampilkan map. menunjukkan rute yang dituju gadis itu secara up to date!

Dia juga meretas cctv apartemen, membuat tampilan Aqila yang sedang kebingungan terlihat jelas di sudut layar laptopnya.

"Hn" jawab Ethan sekenanya.

"Setan! Lo nggak pernah ngintipin gue pas lagi boker, 'kan?"

"Jorok!"

"Kalau pas mandi?"

"Ide bagus"

Aqila, "...."

Setan mesum!!

"Mending lo buruan. Jangan kaget pas buka pintu si banci terlanjur gantung diri gara-gara lo telat." Ucap Ethan tanpa perasaan sambil mengelus MengMeng dipangkuan.

Aqila menggeram. "Mulut lo perlu gue rukiyah!"

Ethan hanya mendengkus sambil memberi Kookie wortel.

"Tapi gue nggak tahu kamarnya yang mana." Kata Qila.

Ethan mengetik beberapa perintah di laptop, setelah beberapa saat, ia berkata, "Di gedung C, lantai empat, nomor pintu 1312."

"Buset, cepet banget lo tahu posisinya." kaget Qila.

Ethan tidak peduli dan segera mematikan panggilan.

Aqila menyimpan ponsel, lalu memarkirkan motornya di gedung apartemen C.

"Lantai empat, nomor pintu 1312. Lantai empat, nomor pintu 1312," Aqila terus mengulangi kalimat itu sambil berjalan di lorong lantai empat, hingga tak lama kemudian, ia berhasil menemukan tempat Eden!

Aqila menghela napas, mengeratkan kuncirannya, dan mulai menekan bel.

Ding dong

Pintu masih tertutup.

Ding dong

Masih belum dibuka juga.

Aqila menekan bel sekali lagi.

Ding dong

Pintu terbuka.

Melihat Eden masih berdiri di depannya dan belum menjadi reinkarnasi nyi Roro kidul, Qila benar-benar lega sampai hampir menangis haru.

Gadis itu mendorong pintu, memegang lengan Eden dengan cepat. Takut jika ia tidak memegangnya, pemuda cantik ini akan menghilang.

"Eden! lo... lo Belum lompat ke laut?" tanya Qila refleks.

Bibir Eden sangat pucat, tapi ia tetap menjawab pertanyaan absurd Qila setengah serius.
"Lo pengen gue lompat ke laut?"

Aqila menggeleng, lalu mengusap wajahnya dengan lega.
"Syukurlah lo nggak apa-apa. Lo nggak ke sekolah selama tiga hari trus nggak balas chat gue juga selama tiga hari! Gue khawatir banget tahu nggak?"

Mendengar itu, ada sedikit cahaya di mata Eden. Ia menatap Aqila dengan lekat, lalu tersenyum sendu. "Gue nggak apa-apa. Ayo masuk."

Dan begitulah, Aqila mengikutinya masuk.

Apartemen yang ditempati Eden tidak terlalu bagus juga tidak buruk.
tidak banyak perabotan di sini, hanya ada satu tempat tidur, satu set meja, sofa kecil, televisi, kulkas, dan lemari.
Lalu kamar mandi yang letaknya strategis.

Aqila duduk di atas kursi, matanya seketika melotot melihat dua koper di samping sudut lemari.

"Lo mau ke mana?" tanyanya refleks.

Eden yang sedang menyiapkan minuman untuk Aqila jadi terhenti.

Hening sejenak.

"Lo mau minum apa? Btw, gue nggak punya apa-apa buat lo makan, cuma ada roti sama air putih-"

"LO MAU KE MANA?!" Aqila tiba-tiba maju dan berteriak sambil menarik lengan Eden.

Eden terdiam.

Aqila menahannya di dinding, terus mendesaknya.
"Lo nggak ke sekolah! tiga hari nggak angkat telepon gue, trus tiba-tiba ada di sini, lo mau pergi, 'kan? Kenapa nggak ngasih tahu gue?!"

Eden tidak menjawab, matanya linglung, tampak seperti setengah sadar.

Aqila mengeratkan genggamannya pada Eden, lalu terkejut menyadari betapa kurusnya pergelangan tangan pemuda itu.

Ia maju selangkah, menyibak poni Eden, menyentuh keningnya.

Panas.

Dia demam!

Napas Eden agak cepat dan pipinya nyaris cekung. Aqila menggertakkan gigi ketika bertanya.
"Jujur ke gue, udah berapa hari lo nggak makan?!"

Eden menggeleng.

Aqila tidak tahu sudah berapa hari pemuda ini demam dan terpaksa berhenti memarahinya.

Dia merangkul Eden, membawanya ke tempat tidur.

"Tunggu sebentar, gue mau masakin sesuatu buat lo."

Tapi tidak jadi karena isi kulkas kosong.

Aqila menggaruk kepala gusar.
"Gue keluar bentar, lo tunggu di sini, jangan kabur dan jangan coba-coba bunuh diri!"

Eden, "...."

Setelah mengatakan itu, Aqila melesat keluar dengan kekuatan kilat. Sepuluh menit kemudian, kembali lagi dengan sekantong bubur dan paracetamol di tangannya.

Aqila buru-buru mengambil air putih, membuka kotak bubur, mengambil sendok, mengarahkan ke Eden.

"Ayo, Den. Bilang Ahh ahh kimochi...." ucapnya hendak menyuapi.

Eden menatap bubur dengan tatapan kosong, sama sekali tak meladeni candaan Qila.

"Gue nggak lapar"

Gadis itu mengernyit. "Badan lo krempeng kek berudu jangan sok-sok'an bilang nggak lapar, deh! Makan!" heboh Qila galak.

Eden menghela napas, dia segera bersandar di atas tempat tidur dan menerima suapan dari Aqila.

Pemuda itu makan dalam diam. Bahkan, dia sendiri lupa sudah berapa lama tidak makan.

Aqila melihat Eden masih menggenggam ponsel.

"Orang demam nggak boleh main hp-" ucapnya sambil merebut hp Eden, tapi tertegun melihat layar yang masih menampilkan isi chat.

Di sana ada pesan terakhir ibu Eden.

"Eden, Eomma sayang kamu"

Setelah membaca itu, seketika Aqila terdiam.

Eden juga diam.

Mendadak suasana menjadi sunyi, membuat aura kesedihan menyeruak di udara.

Eden selesai makan, lalu menatap layar ponsel yang masih menyala.
"Eomma ngirim pesan itu sebelum mulai kemoterapi. Kayaknya dia udah punya firasat bakal pergi."

Suara Eden serak di akhir.

Aqila menatapnya.

"Eden, lo harus ikhlas, oke? Biar nyokap lo tenang di alam sana," ucapnya lembut.

Eden tidak menjawab, sebagai gantinya, ia menatap Aqila dengan lekat. Semakin mereka bertatapan, semakin hati Eden terasa sakit.

Rasa sakit itu terlalu jelas, Aqila tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh wajah Eden yang terlihat akan menangis.

"Eden, lo harus kuat"

Eden menelan ludah, berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak jatuh.
Lalu menggeleng lemah sambil menundukkan pandangannya.

Tidak... Tidak...

Dia tidak sekuat itu.

Kepergian ibunya adalah pukulan terberat baginya.

Karena setelah ibunya pergi, Eden benar-benar tidak tahu harus kemana lagi.

"Eden..." Aqila memanggil namanya.

Eden diam, matanya memerah, tapi tetap menggeleng lemah.

Aqila meremas tangan Eden dengan lembut.

"Nangis aja, nggak apa-apa. Jangan ditahan, keluarin semuanya, oke?"

Mendengar itu, tangisan rasa sakit yang tujuh hari ini ditahan akhirnya meledak.

Pemuda itu bergumam serak.
"Dia bohong ke gue, nyokap gue bohong ke gue."

Hal yang paling membuat Eden menderita adalah kebohongan.

"Gue nggak tahu selama ini eomma sembunyiin penyakit asli dia. Dia... dia nggak pernah ngasih tahu gue. Ternyata selama ini dia lebih kesakitan dari yang gue bayangkan. Eomma bilang dia cuma sakit asam lambung biasa, tapi, tapi... Gue nggak pernah menyangka... Ternyata itu kanker ginjal... Aqila... Gue... Gue benar-benar merasa bersalah..."

Eden mengangkat satu tangan menjambak rambutnya yang sudah panjang, lalu terisak putus asa.

"Gue benar-benar anak yang nggak berguna, gue bahkan nggak tahu kanker-nya sudah mencapai stadium tiga, betapa kesakitannya dia... Qila.. Eomma pasti kesakitan sekali... Tapi gue... Gue..." Eden tidak bisa berbicara lagi, setiap napas dan suaranya diselimuti tangis.

'Gue benar-benar nggak berguna'

Tepat setelah Eden mengatakan itu, Aqila tiba-tiba bangun dan memeluknya dengan erat.

Ruangan gelap nan sunyi ini menjadi saksi bisu betapa besar rasa sakit yang ditanggung Eden.

Tidak hanya kehilangan ibunya, tapi dia juga tidak tahu kenyataan atas penyakit ibunya.

Dia merasa bersalah dan tak berguna. Dia ingin pergi ke masa lalu, memeluk ibunya, dan meminta maaf.

"Aqila... Hati gue sakit..."

"Nggak apa-apa, lepasin aja semuanya."

"Gue nggak tahu harus bagaimana lagi."

"Ikhlaskan semuanya, oke. Lo pasti bakal baik-baik aja, percaya sama gue." Bisiknya sambil memeluk dan mengusap rambut Eden.

Eden mengangguk dan menggeleng dengan bahu gemetar.

Setelah menangis di rumah sakit, Eden tidak menangis lagi sampai tujuh hari setelah kematian ibunya.

Dia tenang, namun menyakitkan. Batinnya bertarung di dalam mengutuk diri sendiri karena tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang ditanggung ibunya.

Dia hanya bisa menahan, tapi menahan rasa sakit sama saja dengan menyimpan bom.

Eden ingin mengeluarkan kesedihan ini, tapi tidak bisa.

Hanya ketika Aqila datang mencarinya lalu memeluknya. Barulah Eden berhasil melimpahkan semua rasa sakitnya.

Eden tidak tahu berapa lama waktu berlalu setelah dia selesai menangis.

Yang jelas, ketika membuka mata. Bagian luar jendela sudah gelap, langit dipenuhi cahaya bulan dan bintang.

Eden melihat jam dinding, sudah pukul delapan malam.

Aqila tertidur dalam posisi duduk dengan lengan bertumpu di tepi tempat tidur. Ketika ia bergerak, gadis itu terbangun.

"Eden, lo bangun?"

"Hm" jawabnya singkat sambil menyaksikan gadis itu yang mengucek mata sambil menguap.

"Jam berapa sekarang?"

"Delapan"

Ekspresi Qila sedikit berubah. "Kita tidur selama itu? Dari sore sampai malam?"

Eden mengangguk.

"Oke, kalau gitu kita bolosnya bareng aja besok," lanjutnya anteng sambil mengambil bantal hendak melanjutkan tidur di atas sofa.

Eden terdiam, dengan canggung mencengkram selimut.

"Qila, malam ini..." Eden ragu-ragu.

"Apa?"

"Malam ini... gue bakal dibawa bokap pulang ke China."

Seketika langkah Qila terhenti. Dia berdiri kaku ditempat, tidak bergerak.

Setelah hening beberapa saat, Eden melanjutkan.

"Gue nggak punya siapa-siapa di sini. Kerabat gue semuanya ada di luar negeri, nyokap gue udah meninggal, dan gue bukan asli dari negara ini. Jadi...." Eden berhenti.

Aqila perlahan berbalik.

Pemuda itu mendongak, menatapnya sendu.
"Gue nggak bisa tinggal di sini lagi, gue harus pergi."

Seketika kantuk Aqila hilang, dia berjalan ke arah Eden dan duduk di samping tempat tidurnya.

"Kapan lo pergi?"

"Sebentar lagi"

"Kenapa lo nggak ngasih tahu gue lebih awal? Kalau gue nggak datang hari ini, lo pasti udah pergi tanpa pamit, 'kan?!" kesahnya.

Eden makin menunduk. "Gue nggak berani. Maaf. Gue emang pengecut."

Aqila tidak bisa mengatakan apa-apa.

Ternyata Eden sudah berencana pergi tanpa menemuinya.

Apa-apaan ini?

Bukankah jika terlambat satu hari saja. Dia tidak akan bisa melihat Eden lagi?!

Aqila mengusap wajahnya dengan lelah.

Hingga tiba-tiba...

"Aqila, lo tahu? Selama ini gue suka sama lo."

Aqila tertegun.

"Ini bukan sekedar perasaan suka sesama teman, tapi lebih dari itu. Gue... Gue jatuh cinta sama lo."

Mata Eden masih merah akibat menangis sampai tertidur. Jadi, ketika ia mengucapkan kalimat itu, efeknya seratus kali lipat lebih serius.

Eden meraih tangan Qila, dan meletakkan di dadanya.

Dibalik kaos putih itu, Aqila bisa merasakan detak jantung yang sangat kencang.

Aqila kebingungan sambil terus menatapnya.

"Lo ngerasain, 'kan?"

"Rasain... Apa?"

"Ketika lo jatuh cinta sama seseorang, jantung lo akan berdebar secepat ini." jelasnya memberi tahu.

"Setelah itu, perasaan nyaman dan sayang mulai muncul. Lo akan cemburu jika orang yang lo sukai dekat dengan orang lain. Begitu juga dengan gue."

Eden tersenyum tipis. "Semenjak kita pertama kali bertemu, gue sadar, gue jatuh cinta sama lo. Lo tahu sejak awal bahwa gue berbeda, gue di bully dan di caci karena wajah abnormal ini. Tapi, ketika semua orang memandang gue rendah, lo malah berbalik menjadi teman gue. Ketika dunia menganggap gue 'hina', lo menganggap gue spesial. "

Aqila diam menatapnya.

"Berkat lo, nggak ada yang berani sakiti gue lagi. Berkat lo, gue bisa menemukan sisi baik dari diri gue sendiri. Gue benar-benar berterima kasih. Kehadiran lo seperti mimpi dan do'a yang selama ini gue ceritakan ke Tuhan."

Mata Eden memanas. "Tapi, maaf. Gue terlanjur jatuh cinta sama lo, Qil. Maaf... Apa gue terlalu serakah?"

Aqila tidak tahu harus menjawab apa, tatapan Eden membangkitkan sesuatu di dalam hatinya.

Eden mengungkapkan perasaannya dengan begitu tulus dan hati-hati.

Seolah-olah Aqila adalah permata yang selama ini dicari-cari.
Tapi, tidak peduli betapa berharganya, Eden tidak ditakdirkan untuk memilikinya seumur hidup.

Setelah beberapa saat hening. Eden melirik jam, dan melepas tangan Aqila.

"Lo nggak perlu balas perasaan gue. Bagaimanapun gue akan pergi, nggak tahu kapan ke sini lagi. Tapi gue tetap ingin lo tahu untuk terakhir kalinya, seberapa tulus perasaan gue ke lo."

Setelah mengatakan itu, ia bangkit dan mencuci muka di kamar mandi.

Aqila termenung di tepi tempat tidur. Mencerna setiap ucapan pemuda itu.

Tak lama kemudian, entah sejak kapan mereka berada di luar apartemen.

Eden berganti pakaian dengan jaket tebal, celana jeans, dan topi berwarna putih. Dia menyeret dua koper sambil berjalan perlahan, sepertinya ingin menikmati detik-detik tersisa bersama orang yang disukai nya.

Sepanjang turun ke lantai satu, mereka tidak berbicara.

Aqila ingin membuka topik, membuat lelucon seperti biasa, tapi takut malah menjadi canggung.

Setelah mereka turun, mobil suruhan ayah Eden datang menjemputnya.
Pria paruh baya itu dengan hormat mengambil koper Eden dan memasukkannya ke dalam bagasi.

"Kapan lo ke sini lagi?" Aqila akhirnya membuka suara.

Eden menggeleng. "Gue nggak tahu"

"Tapi lo pasti akan ke sini, 'kan?"

Eden mengangguk. "Pasti!"

Aqila menatapnya. "Jangan lupa balik, jangan lupain gue, oke?"

Eden mengangguk. "Oke. Lo juga jangan lupain gue. Janji?" ucapnya sambil mengulurkan jari kelingking.

Kekanakan.

Tapi tidak apa-apa.

Aqila tersenyum pahit dan mengaitkan jari kelingking mereka.
"Janji"

Melihat mata Qila yang agak berkaca-kaca, hati Eden terasa sakit.

Ia mengangkat tangan dan mencubit pipi gadis itu dengan lembut, lalu berkata, "Aqila, gue boleh peluk lo?"

Aqila mengangguk.

Eden segera memeluk Aqila, memeluknya erat-erat menyalurkan pahitnya perpisahan dan manisnya cinta yang tak akan pernah terbalaskan.

Di dalam pelukan gadis itu, dia hampir tidak bisa menahan air mata.

Rasa sakit kehilangan ibunya sama sekali belum hilang, sekarang harus patah hati meninggalkan orang yang dicintainya.

Ditambah, Eden juga sedang demam, suhu tubuhnya masih sedikit panas. Bahkan Aqila bisa merasakannya.

Seperti ini, dia tidak jauh berbeda seperti anak jalanan yang tidak punya rumah.

Supaya Aqila tidak sadar bahwa cintanya bermetamorfosis menjadi duri menyakitkan, Eden menyibak poni gadis itu dan mencium keningnya dengan lembut.

Setelah cukup lama, Eden melepaskan dengan enggan. Matanya berair.

"Aqila, ini adalah pelukan perpisahan, ciuman perpisahan, lo harus selalu ingat, oke?"

Aqila meremas jaketnya, lalu mengangguk. Sudut matanya juga memerah, jelas sekali tidak mau berpisah dengan Eden.

"Maaf, gue minta maaf. Gue nggak bisa bantu lo," bisik Qila.

Dia bisa mengerahkan pasukannya dan bertarung seratus putaran jika itu bisa menyelamatkan Eden dalam bahaya.

Dia bahkan rela mati!

Tapi untuk situasi saat ini. Dia tidak bisa!

Qila sama sekali tidak berdaya mengembalikan apa yang direnggut Tuhan dari Eden.

Dia tidak bisa mengembalikan ibunya, juga tidak bisa menata perasaan romantis secara paksa untuknya.

Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan pemuda malang ini dorongan semangat.
Lalu mengatakan bahwa ia akan membuka tangan jika dia membutuhkannya di masa depan.

Aqila menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Kalau terjadi sesuatu di sana. Lo harus cepat kasih tahu gue. Gue bisa hancurin tembok besar China demi lo!"

Eden merasa lucu, lalu tersenyum pahit. 
"Oke"

Klakson mobil dibunyikan dua kali, membuat Eden sadar akan waktu.

Tangannya terangkat mengusap pipi Qila untuk yang terakhir kalinya. Menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam serak.
"Aqila, gue pergi, selamat tinggal"

Aqila mengangguk, dengan berat hati mengatakan.

"Selamat tinggal"

Eden masuk ke dalam mobil, menatap satu-satunya gadis yang disukainya dari jendela pemisah.

"Eden, sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan"

Eden mengangguk pahit.

Kalimat itu lagi.

Itu adalah kalimat yang berhasil menghapus rasa kesepian Eden.

Aqila selalu mengucapkan itu ketika akan berpisah.

Setelah pulang sekolah, gadis itu akan merangkul bahunya dan tertawa secerah matahari sambil berkata,
"Eden, sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan"

Sederhana tapi bermakna.

Tak semua orang bisa melakukannya.

Eden sama sekali tidak melepaskan tatapan walau mobil sudah melaju kencang.
Hanya ketika siluet Aqila menghilang di ujung jalan. Dia kembali menatap ke depan dan menunduk menyadari betapa rapuh hatinya.

Dia berbisik sambil menangis. "Aqila, selamat tinggal."

"Sampai jumpa lagi"

Persahabatan dan cinta. Adalah dua hal yang sejak awal tak pernah dimilikinya bahkan dalam mimpi.

Hanya dengan bertemu Aqila, dia bisa merasakan semuanya.

Dia adalah penyelamat sekaligus malaikat yang muncul satu kali seumur hidup.

Jika Eden boleh serakah, akankah Tuhan mengizinkan untuk memilikinya?

Di sisi lain, Aqila masih berdiri di tempat.

Angin malam menghantam tubuhnya sampai rambut ekor kudanya berkibar. Tapi Qila tak bergerak satu inci pun. Pikirannya kosong.

Eden pergi, Eden sudah pergi.

Kenapa dia tidak menghentikannya dan menyuruhnya untuk tinggal?

Kenapa malah membiarkannya pergi?

Eden cinta kepadanya, kenapa dia tidak membalasnya?

Eden sudah menjelaskan apa itu cinta.

Tapi, setelah Aqila memeriksa hatinya, dia sama sekali tidak menemukan perasaan itu untuk Eden.

Bahu Aqila bergetar, kepalanya sedikit pusing.

Apa yang harus dilakukan?

Seketika dia lupa jalan pulang.

Dia tidak tahu arah mana jalan pulang!

Ditengah kegelapan malam berselimut luka yang amat dalam. Seseorang tiba-tiba berdiri di depannya.

Aqila mendongak, menatap pemuda tinggi sedingin langit malam yang auranya mampu mengalahkan bulan dan bintang.

Lalu berbisik putus asa.

"Ethan..."

Kenapa dia ada di sini?

Ethan tidak menjawab, tetapi tangannya terangkat menghapus air mata Aqila yang Qila sendiri tidak tahu kapan sudah membasahi pipinya.

Tak lama kemudian, tangannya turun menggenggam jemari gadis itu, lalu bergumam lembut.

"Ayo pulang"

*****

T

B

C

*****

===Teater Kecil===

Eden : Sampai jumpa lagi gess... Untuk chapter ke depannya gue nggak bakal muncul lagi... Jangan kangen yaa (⁠。⁠•́⁠︿⁠•̀⁠。⁠)

Shinzui : Mau nyingkirin sad boy nggak gini juga kali, Ka Win! Kasihan Eden nya, mending Eden sama gue aja *mewek*

Author Winter : Sorry, untuk saat ini tidak ada waktu untuk bikin side couple. Kedepannya kita akan fokus ke konflik utama trus tamaatt... Hehehehe *Ketawa jahad*

Ethan : I don't care! Yang penting kapan gue jadian sama Qila? Nggak sabar mau bikin anak banyak-banyak.

Eden : ....

Aqila : ....

Shinzui : ....

Author Winter : .... Tungguin Lo hampir mati keselek air laut dulu baru jadian sama Qila!

Aqila : Astaghfirullah! Spoiler!! Snowy! tolong jangan baca kalimat di atas demi keselamatan kalian!! 😭

Author Winter : Hah? Apa? Apa? *Bingung*

******

Sampai jumpa Eden ༼ ;⁠'⁠༎ຶ⁠ ⁠۝ ⁠༎ຶ⁠༽

Semoga dapat jodoh yang lebih waras di sana ^.^

Panjang banget ya chapter kali ini?

Moga nggak capek ya hihihi (⁠ʘ⁠ᴗ⁠ʘ⁠✿⁠)

Btw chapter depan kita bakalan fokus ke konflik utama + setan bucin-bucin....

Huhuhuhu

Jangan lupa siapkan hati, jantung, dan ginjal untuk menghadapi chapter yang akan datang (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Jangan lupa vote dan komen Snowy (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Jangan lupa kasih tahu kalau ada typo (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Luv luv kalian banyak-banyakk 💕

❄️❄️❄️❄️❄️

Bonus Eden x Qila moment💖👻
Jangan sampe oleng!!

Selasa, 30 Mei 2023
IG : Winter_Win13
Iam_Windhy

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 83.9K 40
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
57.3K 1.1K 21
Dear cowok, Kita itu manusia, bukan mainan! (berisikan quotes dari hati terdalam para cewek-cewek) [SETIAP TEMPAT PUNYA CERITA]
34.2K 1.6K 49
[biasakan follow sebelum membaca] Arniken elios jaffier cewek yang lebih mendekati kata cowok .memuat kata kasar. ⚠️18++ ⚠️Dilarang keras anak dibaw...
615K 32.7K 66
•~•~•~•~•~•~•~•~~•~•~•~•~• "Ayah minta tolong ke Shena, pertimbangin permintaan Ayah kemaren." Paham akan maksud arah pembicaraan Zet, Shena masih di...