Suddenly

By anjar_lembayung

267K 43.2K 5.1K

[21+] Marisa benci dengan segala sesuatu yang mendadak. Perempuan yang baru saja menginjak usia 30 tahun kema... More

-Prolog-
[1]. Sakit dan Masa Lalu
[2]. Jangan Kabur!
[3]. Kesalahan Pertama
[4]. Penawar Luka
[5]. Yang Bimbang dan Menimbang
[6]. Hari Pertama
[7]. Yang Terlupakan
[8]. Di Bahunya Ia Bersandar
[9]. Sesuatu yang Disebut Kangen
[10]. Membuang Resah
[11]. Badai yang Mulai Bergolak
[12]. Calon Mantu
[13]. Ketakutan
[14]. Menurunkan Penumpang Gelap
[15]. Yang Tak Punya Apa-Apa
[16]. Calon Mertua
[17]. Menyematkan Cincin di Jari Manis
[18]. Fakta yang Terungkap Perlahan
Hidden Part #18
[19]. Marry Me Soon!
[20]. Malam Akad
[21]. Pengganggu
[22]. Yang Memaksa Menggoda
Hidden Part #22
[23]. Menunda
[24]. Kenangan yang Menjerat Langkah
Hidden Part #25
[26]. Tamu Tak Diundang
[27]. Nyonya Sanjaya dan Putra Tunggalnya
Intermezo-Salah Grup
[28]. Mengorek Masa Lalu Mengundang Cemburu
[29]. Bertukar Cerita
[30]. Menghadapinya Bersama
31. Yang Masih Berusaha Mengusik
32. Menguji Kesabaran
33. Alasan Masih Menunggu
34. Kabar Buruk dan Penyesalan
35. Merenungkan Masa Lalu
36. Pisah Ranjang
37. Perempuan dan Bola Lampu
38. Yang Terjadi Sebenarnya
39. Keributan yang Membuatnya Ingin Segera Kembali
40. Jangan Pergi Lagi
-Epilog-
Extra Part #1. Hush, Pengganggu!
Extra Part #2. Trauma dan Perubahan
Extra Part #3. Pertengkaran

[25]. Harta, Tahta ....

4.7K 888 85
By anjar_lembayung

Hai, selamat berakhir pekan! 🥰

Sesuai janji, part 25 yang manis ini aku publish di WP.

Happy reading. Semoga suka.

Kasih komentar yang banyak dan jangan lupa vote.

Terima kasih. 🤗

====🏖🏖🏖====




Seingatnya, sepanjang ia memberikan kado pernikahan rekan-rekan kerja atau teman kuliah dahulu, Risa tak pernah kepikiran benda aneh-aneh. Ia pikir hadiah pernikahan secara umum bisa berupa alat elektronik rumah tangga seperti kompor, mixer, blender, setrika. Lebih sederhana lagi gerabah couple seperti mug atau tumbler.

Sungguh, hanya itu yang ada di pikiran perempuan yang sibuk menata isi lemari. Tak pernah kepikiran piama kembaran, apa lagi sleep wear laknat yang sekarang berjajar di lemari. Dari brand ternama sampai yang biasa saja, ada. Macam-macam rupa, bahan, dan warna.

Perlahan telunjuk perempuan itu menghitung. "Ya, ampun, pas ada tujuh. Kayak mau menyetok persediaan makanan seminggu di kulkas aja!" Risa berdecak.

Ia kembali ke sofa, mengumpulkan tas-tas kertas yang sudah kosong. Ada beberapa kotak yang isinya pumpshoes, high heels, dan gaun ke acara pesta formal. Ada juga hadiah normal semacam sepaket alat penata rambut seperti hairdryer?

"Kok, kepikiran kasih hairdryer, ya?" Ia bergumam. Risa membolak-balik kotak kardus pembungkus alat pengering rambut.

Ada juga microwave.

"Di pantry Mas udah serba-ada. Ini buat apa, ya? Masa mau dijual?" Perempuan yang mengenakan kemeja oversize yang panjangnya menyentuh pertengahan paha itu menipiskan bibir. Kebingungan juga kalau dapat hadiah yang nyatanya apartemen ini sudah serba-ada.

Namun, sedetik kemudian bibir Risa membulat, ber-oh-ria. Ia mulai menemukan titik terang kenapa hadiah dari keluarga suaminya selalu berkaitan dengan urusan di atas ranjang. "Mungkin karena mereka tahu, Mas udah punya isi rumah yang lengkap. Takut nggak kepake mungkin?" gumamnya.

Perempuan itu mengangguk-angguk paham. Ia kembali menata bungkus-bungkus hadiah, berniat membuang kertas-kertas itu ke tempat sampah. Namun, iris hitamnya menemukan satu paper bag yang belum tersentuh. Hadiah dari Tina. Saking banyaknya hadiah bertumpukan, paper bag kecil itu baru ia temukan.

"Mari, kita buka! Gadis tengil itu kasih apa, ya?"

Risa tersenyum-senyum. Meski sore tadi ia sempat menangis sejadi-jadinya, tumpukan hadiah ini menjadi hiburan saat malam menjelang dan hampir tak ada kerjaan sampai menunggu suaminya pulang. Rasanya menyenangkan dan kadang malu juga saat isinya di luar nalar pikiran perempuan polos sepertinya.

Dua tangan Risa tergesa menarik pita merah muda. Sedikit berdebar juga menanti kejutan dari sahabatnya. Ia menggigit bibir seraya meraba-raba. Kain. Kecil. Licin.

Kelopaknya mengerjap-ngerjap, mulai menduga isi hadiah. Ditariknya sebuah tali dari kain keluar. Warna hitam. Lalu, saat kain berbentuk segitiga dengan pita berbentuk tali spageti itu tertarik semua dari dalam tas, Risa ternganga.

Wajahnya mendadak panas, jantungnya mengentak-ngentak tak keruan, dan dua pipinya bersemu kemerahan. "Astaga, Tina! Masa aku harus pake beginian di depan Mas, ih!"

Risa membanting satu set sleep wear berupa g-string dan lingerie berbahan lace hitam yang terawang. Ia menggigit bibir, menatap dengan perasaan berdebar pakaian haram itu di atas pangkuan. Perlahan, perempuan itu memberanikan diri menjembreng sleep wear itu secara bergantian.

Kemudian, secarik kertas yang terselip dalam lipatan lingerie itu terjatuh ke pangkuan.

"Janji harus bahagia. Selamat menempuh hidup baru, Mbak Cha! Janji wajib coba pakai hadiah dari aku kalau udah dibuka!" 😉

Dari Adikmu yang Tengil,
Tina

"Ya, Tuhan ...." Risa mendesah seraya mengusap wajah dengan dua telapak tangan. Ia mengangkat sekali lagi kain hitam berbentuk segitiga bertali di sisi pinggang itu. Mungkin, tak ada salahnya ia mencoba sedikit bersikap nakal dengan mencobanya?

Perempuan itu mengangguk mantap. "Nggak ada salahnya, mumpung Mas belum pulang ini."

Tak butuh waktu satu menit untuk perempuan itu melepas dua butir kancing kemeja, meloloskannya melalui kepala. Sedikit gemetar dan sesekali memejam karena malu. Tapi ia harus mencobanya demi menghargai usaha Tina.

**

Laki-laki yang tengah bersandar di dinding lift itu menaikkan satu alis begitu membaca pesan balasan dari istrinya. Tama baru saja berkabar semenit lagi sampai dan perempuan itu justru melarangnya masuk kamar.

Bibir tipis Tama tersenyum tipis, lalu terkikik-kikik dengan pikiran yang terus menerka-nerka. Kado dari Tina. Mungkin pakaian seksi seperti dari Pita yang berakhir sia-sia. Sebab Tama lebih suka bahu seksi perempuan itu tanpa perlu repot-repot menyisihkan tali-tali sialan yang menghalangi misinya cepat-cepat menjelajah.

Langkah laki-laki--dengan satu tangan membawa map dan keresek minimarket berisi dua cup es krim--itu teramat ringan. Masih berhias senyum, ia keluarian cardlock saku kemeja. Bunyi bip sekali terdengar saat pintu terbuka. Ia tergesa meletakkan map ke atas meja ruang santai usai melewati pantry. Sempat mengetuk pintu setelah mengetikkan satu pesan singkat.

Semakin dilarang, ia malah semakin penasaran. Dengan satu entakan cepat, tangan pria itu mendorong daun pintu. Tama tertawa kecil begitu melihat perempuan yang membelakanginya berjengit terkejut.

"Kado apaan, sih?" tanya laki-laki yang hanya melongokkan kepala saja pada mulanya.

Risa memelotot seraya berdesis jengkel. Satu tangannya mencengkeram erat dua kancing kemeja yang masih terbuka. "Mas, ih! Dibilangin jangan masuk dulu!"

Tama masih tertawa-tawa seraya melebarkan daun pintu. Ia mengangkat kantung plastik berisi es krim lebih tinggi. "Mau nemenin mendinginkan kepala nggak, Sa? Es krim?"

Wajah jengkel perempuan berkemeja kebesaran itu pudar entah ke mana. Berganti gembira yang terpancar dari matanya yang membulat sempurna. Ia berlari kecil, menyambar kudapan manis dan dingin itu seketika.

Tahu cara menyenangkan Risa sedemikian mudahnya, Tama merangkul perempuan itu. "Tadi ke mana sama Tina?" tanyanya memulai obrolan sambil berjalan berangkulan ke arah pantry.

"Makan sama muter-muter aja, sih. Terus, Tina bolos ikutan rapat berarti tadi?" Risa hampir menyobek kertas pembungkus sendok es krim.

Tama mengambil alih sendok, berinisiatif membukakannya dahulu. "Kalau dia ikutan pasti bakalan ribut juga sama Mbak Nunung, kan? Tina kasihan juga kalau kariernya nggak meningkat."

"Iya, sih." Risa mengangguk-angguk percaya.

Keduanya terdiam beberapa jenak. Menikmati dua cup es krim berbeda rasa. Sesekali mereka saling bertukar dan mencicipi meski Tama tahu, es krim cokelat yang dimakan Risa rasanya pasti begitu-begitu saja.

"Ada hadiah apa aja tadi? Aku jadi nyesel ngebiarin kamu buka kado sendirian," protes Tama tiba-tiba.

Pertanyaan yang sontak membuat Risa mendengkus dengan raut malu-malu. Ia segera bangkit, menyembunyikan pipi yang bersemu merah dengan membelakangi laki-laki itu.

"Ya ... baju. Sama sepatu dan lain-lain." Sahutan yang ia lontarkan bebarengan dengan gerak canggung dan gelisah meraih gelas pada kabinet di atas kitchen sink.

Perempuan itu berjinjit saat mengambil gelas, membuat ujung kemeja di pertengahan paha sedikit terangkat, menyembulkan sedikit kain hitam berenda di balik pakaian kebesaran itu. Lalu, melalui sinar stirp light yang tertempel di dinding dapur bersih, siluet tubuh ramping itu tampak. Dari kain putih kemeja yang tersorot, Tama bisa menemuka ada lingerie pas badan berwarna hitam yang terawang dan tali yang membentuk simpul pita di kedua pinggul. Teramat kurang ajar kalau terus ditatap seintens itu, tapi siapa yang peduli kalau ia tengah menatap istrinya sendiri. Bukan kesalahan, kan?

Senyum tipis Tama tertahan. Ia mengulum sendok es krim, sementara tangan kanannya terulur pada saklar lampu utama di dinding. Lampu padam, menyisakan sinar keemasan strip light yang temaran.

Risa mendongak, melihat lampu padam sejenak sebelum memperhatikan suaminya dengan alis terangkat. "Kenapa dimatiin?"

"Nggak apa. Kamu lebih cantik dilihat dari sini pas lampu padam," kelakar Tama.

Perempuan berkemeja putih itu menyelipkan rambut ke balik telinga, masih memandangi laki-laki yang tengah menikmati kudapan di atas meja bar. Ia mengedik kemudian, kembali fokus pada aktivitasnya menuang air mineral dingin ke dalam gelas kosong.

Tak kuasa menahan gemuruh di dada dengan semakin lekat memandangi gambaran apa-apa di balik kemeja Risa, Tama menancapkan sendok pada es krim vanila di meja. Ia turun dari atas stool bar, menghampiri pinggang perempuan itu dengan peluk.

Seperti biasa, peluk manjanya selalu berlabuh di bahu Risa yang spontan menurunkan gelas dari bibir ke meja dapur. "Aku ... suka hadiah dari Tina," bisik Tama di telinganya.

"Astaga! Kelihatan, ya?!" Risa hampir berontak dari rengkuhan di pinggang.

Sementara Tama sigap mengeratkan peluk seraya menahan tawa dengan menyurukkan wajah di ceruk leher Risa.

Perempuan dalam dekap hangat itu menyerah, membiarkan laki-laki di balik punggungnya berbuat sesukanya, termasuk menahan tawa. Dua tangan laki-laki itu melonggarkan peluk, bergerak turun tepat di mana simpul pada pinggul sang perempuan berada.

"Ngomong-ngomong, aku belum kasih hadiah pernikahan ke kamu, Sa." Tama menghadapkan tubuh Risa padanya. Kali ini ia lebih memilih menatap lekat pada wajah manis yang bersemu merah itu seraya mengungkungnya di antara dua lengan.

"Mas mau kasih hadiah?" Risa bertanya kesungguhan laki-laki yang mulai sengaja merapatkan diri lagi.

Tama mengangguk. "Hadiahnya nggak bakal sampai kalau kamu terimanya nggak pakai perasaan."

"Nggak usah aneh-aneh!"

Risa memberengut menerima teka-teki, sementara Tama terkikik geli dengan responsnya. Jengkelnya Marisa selalu menggemaskan karena rengutan itu mendadak hilang ketika Tama menunduk, meninggalkan jejak kecup ringan di bibir.

Satu sentuhan yang mengantarkan pada keheningan beberapa detik untuk saling tatap dan tersenyum. Keduanya mengalah pada lelah seharian menjalani hidup, saling memeluk dan bersandar. Kaki telanjang mereka bergerak pelan menjauh dari pantry tanpa melepas rangkulan dan perempuan itu selalu punya celah untuk bersandar manja pada dada bidang laki-laki itu.

"Hari ini berapa lama kamu habiskan buat nangis?" tanya Tama sambil terus mengayun langkah perlahan.

Kadang ia harus berjalan mundur, membiarkan Risa yang memimpin dengan mendorongnya pelan. Kadang Risa yang pasrah mau dibawa ke mana langkahnya.

"Kok, tahu aku habis nangis?" Perempuan itu mendongak begitu langkah kaki mereka sampi di dekat jendela kaca ruang santai.

Di luar sana, ada kelam yang menenggelamkan pucuk merapi. Ada temaram lampu jalanan dan lalu-lalang kendaraan yang lewat di bawah sana.

Tama mengangkat tangan kanan, menyentuhkan ujung telunjuk dengan lembut pada kelopak bawah mata perempuan dalam dekap. "Selain dari kebiasaan kamu yang cuma bisa nangis di depanku, aku juga bisa tahu dari sini," katanya sembari kembali menunduk, melekatkan bibir dengan satu tekanan pelan pada kelopak yang memejam.

Risa tersenyum tipis. Ia melonggarkan peluk, menatap apa-apa pada pemandangan malam melalui jendela apartemen yang tampak eksotis di malam hari. Tak mau kehilangan momen, lengan laki-laki di sebalik punggungnya melingkarkan lengan lagi ke pinggang perempuan yang kemudian menyandarkan belakang kepalanya di dada Tama.

"Aku lagi-lagi sadar kalau Mas memang punya segalanya lewat cara orang-orang kasih hadiah pernikahan." Risa bersuara lagi. "Saking udah punya apa-apa, mereka pasti mikir keras buat kasih hadiah pernikahan ke kamu, Mas."

Lalu perempuan itu menghitung perlahan dengan jari. "Harta, tahta ...."

Tama cepat-cepat menunjuk jari ketiga Risa dan berkata, "Marisa!"

Beberapa detik Tama bisa merasakan tubuh dalam pelukannya menegang. Ia melepas rengkuhan di pinggang Risa dan perempuan itu segera berbalik menghadap padanya.

"Aku pasti bahagia kalau punya Marisa sepenuhnya. Jadi, tetaplah tinggal di sini. Jangan pernah berpikir aku udah punya segalanya lalu kamu merasa nggak punya apa-apa buatku. Bagiku, kamu aja udah cukup."

Tatap keduanya beradu, menciptakan senyap yang menarik keduanya dalam ketenangan untuk saling menyelami kedalaman perasaan masing-masing. Meski tahu tak akan ada balasan atas apa-apa yang ia rasakan terhadap perempuan yang kini merungkup wajahnya dengan dua telapak tangan, Tama  akan terus mencoba.

Mencoba menjalani apa-apa bersama perempuan pilihannya. Mencoba selalu menyayangi dengan segenap hati meski entah kapan perasaannya akan berbalas. Sebab setahunya, ketika bibir mereka bertemu, ada perasaan menggebu. Ia bisa merasakan debar ketika renjana meletup-letup di dada. Pun ia bisa merasakan bagaimana Marisa berserah padanya, memasrahkan diri seolah laki-laki yang memujanya setiap malam adalah tempatnya berlabuh. Tama merasa dibutuhkan dan itu sudah lebih dari cukup.

Ia yakin sepenuhnya bahwa Marisa mencintainya secara naluri. Dan Tama tahu, butuh banyak pengorbanan untuk menunggu perempuan ini menyadari hal itu.

**

(13-05-2023)

====🏖🏖🏖====


Mau lari bareng ke KK nggak nih? Apa udah cukup manisnya sampai semboyan, "Harta, tahta, Marisa!"? 🤣

Terima kasih buat ratusan komentarnya. Jangan lupa vote.

Sampai jumpa di part 26. Semangatin biar Senin bisa update, yok! 🥰🤗


====🏖🏖🏖====

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 198K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.3M 5.6K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
258K 1.2K 13
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
1.3M 127K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...