The Miracle Of Crystals

By LenteraLily

806 204 3

Bagaimana jika kalian mendapati manusia di bumi ini perlahan menghilang dan tidak semua orang menyadarinya? ... More

Prolog
01. Dia di Sini
02. Hitam dan Putih
03. Apa yang Kulihat
05. Cerita dan Ramalan
06. Pohon Tua
07. Mengadu Nasib?
08. Incident in the forest
09. Pesan Tertulis
10. Ujian Masuk
11. Gravad dan Kelulusan
12. Janji Untuknya
13. Latihan dan latihan!
14. Misi Penyelamatan Elina
15. Misi di dalam air
16. Jiwa yang Bebas
17. Kemenangan Tirania
18. Perjanjian dan Awal Mula Tragedi
19. Orion Evander

04. Nicole & Lucius

49 11 0
By LenteraLily

"Apa kau percaya dengan sihir?" tanyaku dengan ragu. Mungkin saja benar, jika kita percaya dengan sihir, kita dapat melihat apa yang sebelumnya tidak dapat dilihat.

"Eh?"

Gadis itu memicingkan matanya. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Jadi kau percaya padaku? Apa kau juga melihatnya?" tanya Elina sedikit ragu. Aku pun mengangguk cepat.

"Kalau begitu..."

Wussh!

Elina menggerakkan jemarinya dengan lihai di hadapanku dan seketika pusaran angin kecil terbentuk di atas tangannya.

"Aku bukan hanya percaya sihir, tapi aku juga memilikinya," ucap gadis di hadapanku itu dengan senyum manis.

"Sejak kapan kau menguasainya?" tanyaku dengan antusias. Aku belum pernah melihatnya, bahkan di film. Aku bukan penggemar cerita bergenre fantasi seperti itu.

"Sebenarnya aku tidak tahu. Tapi ini terjadi sejak kemunculan manusia tanah itu," ucapnya lembut. Ia menatap jemarinya yang saat ini tengah bergerak mengendalikan angin untuk menerbangkan dedaunan di sekitar kami.

Sret!

Elina menatapku dengan cepat. "Jangan pernah menyakiti manusia tanah itu. Kita hanya perlu mengabaikan mereka dan menganggapnya seperti orang biasa," ucapnya dengan serius.

"Kau tahu kenapa?" tanya gadis itu. Matanya menatap waspada di sekitar kami.

"Mereka akan melenyapkan mu. Aku pernah melihat seseorang berteriak pada manusia tanah itu dan seketika kepala manusia tanah itu membesar, melahap orang itu hidup-hidup!" ucap gadis itu. Nyaris seperti bisikan yang sukses membuat tubuhku merinding.

Jika hal ini semakin lama dibiarkan, entah berapa banyak orang yang tak akan selamat.

Puk!

Elina menepuk pelan pipiku, ia tersenyum dengan lembut. Menyadarkan diriku dari pikiranku yang semakin menggila.

"Hehe, ternyata kau ini lebih pendiam dariku, ya?" kata gadis itu.

Aku pun tersenyum tipis karenanya. "Sebenarnya tidak juga, aku hanya senang menyusun kata-kata dalam pikiranku dan lupa untuk menyampaikan apa yang kupikirkan," kekehku. Lebih tepatnya aku senang berbicara dengan diriku sendiri.

"Sama saja! Yah meskipun aku juga begitu, tapi kita juga harus jujur terhadap orang lain. Menyembunyikan sesuatu terkadang bukan jalan keluar yang baik," ucapnya lalu mengerucutkan bibirnya.

"Dan terkadang juga menyakitkan, bukan?" lanjut gadis itu. Dia meringis melihatku.

"Yah, kau benar."

Author POV

"Sepi sekali hidupku tanpa mereka," desahnya. Ia merasa menyesal masuk sekolah hari ini. Jika saja ia di rumah, pasti ia akan menyiapkan banyak makanan yang lezat.

"Diana juga. Di saat seperti ini kenapa kerjaannya rapat terus?" gerutu gadis itu dengan sedih.

Tapi sampai saat ini Diana masih terus mencoba menyadarkan teman-temannya yang masih tersisa. Itulah mengapa dia memilih untuk terus masuk sekolah. Tidak bisa dipungkiri jika Diana memiliki semangat juang yang tinggi.

Nova menunduk. Sebenarnya dia marah dengan dirinya sendiri yang sejak dulu selalu tidak bisa melakukan apa pun. Ia selalu dilindungi oleh kedua sahabatnya itu.

Menghela napas berat, tiba-tiba saja ia teringat perkataan Diana tadi pagi mengenai dunia lain. Semacam portal antar dimensi yang tampak rumit.

Yang jelas memikirkannya saja sudah membuat gadis itu pusing. Ia yakin Lyra juga pasti sedang mencari petunjuk lain.

"Baiklah! Sudah ku putuskan untuk menjadikan hari ini sebagai hari berburu portal!" ucap Nova dengan bangga. Ia akhirnya punya kegiatan selain mengeluh seharian!

"Um, tapi tadi apa ya namanya? Alvira? Livira?" gumam Nova bertanya-tanya.

"Ah! Namanya Alvlora!" serunya dengan mata berbinar.

"Alvlora?"

Sret!

Nova langsung menghentikan langkahnya ketika telinganya tak sengaja mendengar gumaman seseorang. Dengan cepat ia segera berbalik untuk melihat asal suara tersebut.

"Tadi kau bilang Alvlora?" tanya seorang gadis yang saat ini hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri.

Nova menelan salivanya dengan susah payah, dia ingat Diana memintanya untuk merahasiakan semua ini. "Ah, t-tidak tuh? Kau salah dengar ahaha," ucap Nova dengan tawa canggung. Ia merotasikan matanya untuk menghindari tatapan gadis itu.

"Aku tidak tuli," balas gadis itu sambil melangkah mendekati Nova.

"Aku tidak bilang kau tuli," jawab Nova yang refleks mundur menjauhinya.

"Bagaimana kau bisa tahu tentang Alvlora?" tanya gadis itu lagi.

Nova menggeleng pelan. "Sudah kubilang kau salah dengar!" ucap Nova mencoba menyanggah.

Tap!

Gadis itu tiba-tiba berhenti. Ia menyentuh pertengahan dahi Nova dengan kedua alis yang bertaut. "Aku merasakan kehadiran lain dalam dirimu. Siapa kau?" tanya gadis itu dengan sorot tajam.

Sret!

Nova dengan cekatan meraih tangan gadis di hadapannya untuk bersalaman.

"Ehem. Perkenalkan namaku Nova Lesliene, siswi tercantik disekolah ini," ucap Nova kaku, ia hanya berusaha untuk tak terintimidasi oleh gadis aneh di hadapannya.

Gadis tak dikenal itu mengangkat sebelah alisnya bingung sebelum akhirnya berganti menjadi tatapan mengejek. "Ah, kau gajah buncit itu rupanya," ucap gadis itu dengan smirk di wajahnya.

"Apa? Gajah buncit? Memang siapa kau berani berkata begitu?" seru Nova dengan syok. Jangan-jangan selama ini semua orang selalu memandangnya seperti itu. Apa karena dia banyak makan?

Gadis itu memiringkan kepalanya dengan seringai tajam di wajahnya.

"Huh, tidak ada untungnya bagiku," ucapnya kemudian pergi begitu saja. Tak lupa ia mengibaskan rambut panjangnya dengan gaya yang sok.

"Bisa-bisa aku tidak nafsu makan sampai besok!" gumam Nova cemas. Tanpa ba bi bu lagi, Nova segera mengejar gadis itu.

"Berhenti kau!" seru Nova dari kejauhan. Ia benar-benar berlari mengejarnya saat ini.

Gadis itu terbelalak terkejut ketika melihat ada orang gila yang mengejarnya. Dia pun refleks berlari untuk menghindarinya.

"Kenapa malah lari sih! Berhenti!" teriak Nova sekuat tenaga. Dia bukan atlet lari, begini saja sudah membuat paru-parunya serasa hampir meledak.

"Kau yang berhenti!" seru gadis itu masih terus berlari. Sial, dia cepat sekali.

"Oke, aku berhenti!" ucap Nova. Dia benar-benar berhenti saat itu juga. Namun ketika ia sudah berhenti, gadis sialan itu masih tetap berlari. Bahkan dia semakin mempercepat larinya.

"Haha! Mana mau aku berhenti, bodoh!" serunya sambil terus berlari.

"Kau!" seru Nova geram. Tak habis pikir dengannya. Ia pun akhirnya kembali berlari untuk mengejarnya.

Saat Nova mulai berpikir tak mungkin untuk menangkapnya. Cahaya harapan pun datang dari kejauhan.

"DIANA! JANGAN BIARKAN DIA LOLOS!"


"Haha, berani-beraninya kau lari dari gajah buncit ini," ucap Nova penuh kemenangan.

"Ada apa sih?" tanya Diana heran. Dia baru saja menyelesaikan rapat osisnya sejak pagi tadi. Lalu tiba-tiba disuguhkan dengan kejadian menghebohkan di depan matanya. Bagaimana dia tidak bingung?

"Bagaimana jika aku tahu tentang Alvlora. Apa yang akan kau lakukan?" tanya Nova setelah memberi kode pada Diana bahwa ia akan menjelaskannya nanti.

Dia tersenyum. "Membunuhmu," ucapnya singkat padat dan tidak jelas. Kenapa juga dia mau membunuhnya?

"Memang ada apa dengan Alvlora?" tanya Diana yang kini mulai tahu ke mana arah pembicaraan mereka berdua.

"Kau mencoba memancingku?" ucap gadis itu.

"Ya. Ada masalah?" tantang Diana. Dia memang yang terbaik dalam urusan menyiksa sandera.

"Manusia tidak boleh mengetahuinya, kau tahu?" ucap gadis itu lagi.

"Apa maksudmu manusia tidak boleh mengetahuinya? Jadi kau bukan manusia, begitu?" tanya Diana menuntut.

"Bagus Diana! Lanjutkan!" sorak Nova dalam hati. Ah, dia merasa bangga pada sahabatnya itu.

Gadis itu memejamkan matanya, tak lupa dengan senyum menyebalkannya. "Kalian manusia ternyata memang makhluk rendahan, ya?" ucapnya dengan seringai halus di wajah.

Diana diam, dia sedang menahan emosinya saat ini. Tangan Diana pun bergerak mengambil buku catatan kecil yang ada di sakunya. Ia lalu memperlihatkan sebuah gambar pada gadis di hadapannya itu.

"Kalau kau tahu Alvlora, kau pasti tahu kristal ini kan? Di mana kristal-kristal itu?" tanya Diana sambil menunjuk gambar kristal yang ada di buku catatannya. Dia sendiri yang menggambarnya.

Gadis itu menggeram tertahan. Matanya menatap bengis pada dua orang yang telah menyanderanya.

"Manusia rendahan seperti kalian tahu dari mana kristal itu, hah?!" gertaknya.

"Ck. Nyatanya seseorang yang merendahkan orang lain jauh lebih rendah dari orang yang di rendahkan. Aku malas meladeni orang sepertimu," ucap Diana kemudian menatap Nova yang ada di sampingnya.

Jika sudah begini-

"Nova, hubungi Lyra. Dia harus segera kemari," perintah Diana tegas. Sepertinya Diana juga sedang kesal.

Namun bukannya melakukan apa yang Diana perintahkan, Nova malah menunjukkan gelagat yang aneh.

"Kenapa? Cepat hubungi-"

"P-ponselnya ada padaku. Aku lupa memberikannya tadi pagi, hehe," ucap Nova dengan nyali yang besar.

Tidak seperti yang Nova bayangkan. Kali ini Diana hanya menghembuskan napas panjang. Ia tidak marah seperti biasanya.

"Kalau begitu aku akan menjemputnya-"

"Tidak perlu, aku sudah ada di sini."

***

Lyra POV

"Mereka ada di gudang," ucap Elina dengan senyum manisnya.

Aku yang mendengarnya tentu saja bingung. Bagaimana bisa dia tahu di mana teman-temanku berada?

"Ah itu, semutnya bilang padaku ada tiga orang gila dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi sedang bertengkar di gudang," ucapnya setelah mengetahui kebingunganku. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepalaku takjub. Rupanya dia juga memiliki kemampuan lain. Ah, tapi tadi dia bilang ada tiga orang? Siapa yang satunya?

Kami lalu berjalan sambil berbincang ringan. Hingga beberapa saat kemudian kami telah sampai di depan pintu gudang.

Aku tersenyum ketika mendengar suara Nova dari dalam.

"Kalau begitu aku akan menjemputnya-"

Cklek!

"Tidak perlu, aku sudah ada di sini," ucapku dengan senyum tipis. Namun senyum itu hilang ketika melihat ada satu orang yang terikat dengan mengenaskan di atas kursi.

"Apa yang kalian lakukan?" tanyaku dengan bola mata melebar.

"Dia tahu sesuatu tentang Alvlora dan dia mencoba untuk kabur. Jadi tak ada pilihan lain selain mengikatnya," ucap Diana cepat. Sepertinya dia tak ingin membuang-buang waktu. Aku menyipitkan mataku dengan ragu.

"Siapa yang kau bawa Lyra?" tanya Nova ketika melihat Elina ada di belakangku.

"Dia Elina. Nanti akan kujelaskan. Sekarang fokus utama kita adalah orang yang kalian ikat," ucapku pada mereka berdua.

Aku mendekat ke arah Diana lalu membisikkan sesuatu padanya. "Boleh kulepas? Dia mungkin tidak nyaman," bisikku sangat lirih. Mata Diana melirik gadis itu tajam dan dibalas lirikan tajam juga olehnya.

"Terserah, aku tidak mau bertanggung jawab kalau anak tidak tahu aturan itu kabur," ucapnya kesal.

"Apa? Siapa yang kau bilang tidak tahu atur-"

"Kau lah! Siapa lagi?! Lihat lengan bajumu itu. Mau kau gulung sampai mana? Sampai leher? Lalu di mana name tag milikmu? Apa kau tidak punya nama? Dan kaos kaki itu? Apa susahnya beli yang lebih panjang? Di mana jam tanganmu, hah? Katakan?!" sentak Diana dengan emosi. Bahkan saking emosinya Nova sampai menahan tubuh Diana agar tak melakukan hal yang lebih jauh lagi.

Berbeda dengan gadis itu. Dia langsung diam seribu bahasa. Sepertinya dia mengakui ucapan Diana. Haha itu lucu.

Dengan gerakan gesit, ku buka tali yang mengikat gadis itu. Melihat kerumitan simpulnya, sudah pasti Diana yang melakukannya. Aku lalu menepuk-nepuk tanganku untuk membersihkan debu yang menempel di belakang baju gadis itu.

"Maaf, teman-temanku melakukan ini karena sesuatu yang buruk sedang terjadi saat ini. Jadi jika kau tahu sesuatu tolong bekerja samalah," bisikku di sela-sela kegiatan membersihkan debu itu.

Saat aku menjauh, aku melihat sesuatu di lengan kirinya. Sesuatu seperti tato kurasa.

"Baiklah, mungkin kita harus berkenalan dulu," ucapku mencoba menetralkan suasana tegang saat ini.

"Aku Lyra, dia Nova, Diana, dan Elina. Sekarang siapa namamu?" ucapku sembari mengulurkan tangan. Namun gadis itu hanya mendecih dan memalingkan wajahnya tak suka. Meski begitu dia tetap menjawabnya.

"Nicole," ucapnya singkat.

Aku hanya dapat menghela napas panjang. Aku menahan diri untuk tidak membanting kursi itu ke wajahnya. Maaf, bercanda.

"Eum Nicole, kau memakai tato?" bisikku spontan. Aku tak dapat menahan diri untuk bertanya.

"Apa? Tidak," ucapnya heran.

Aku semakin mengernyitkan dahiku bingung. Lalu mengarahkan telunjukku ke lengan kirinya. Dan tanpa aba-aba langsung menarik lengan bajunya ke atas.

Benar ada.

"Kalian melihat sesuatu di sini?" tanyaku pada mereka semua. Pandangan mereka pun tertuju padaku. Mereka menatapku dengan tatapan tak mengerti. Bahkan Nicole pun menatapku begitu.

"Ah, jadi tidak ada ya?" tanyaku yang juga bingung. Gadis ini memiliki tato bunga kristal yang sangat kecil berwarna ungu.

Aku melirik Elina yang saat itu juga tengah melihatku. Mungkin saja Elina memilikinya. Dia memiliki sihir dan Nicole tahu mengenai Alvlora. Mereka yang tak dapat melihat tato ini pasti juga berhubungan dengan sihir. Benar, kan?

"Elina, aku ingin melihat lenganmu, boleh?" pintaku. Elina pun mengangguk dan langsung menggulung lengan bajunya ke atas bahu.

Aku tersenyum lebar.

Elina juga memilikinya, tapi bergambar kupu-kupu yang berwarna merah muda. Apa itu ada hubungannya dengan sihir yang ia miliki? Kalau begitu-

"Kau pasti memiliki sihir kan?" tanyaku dengan pasti. Dia tahu sesuatu tentang Alvlora dan aku merasakan sesuatu dalam dirinya yang sama persis dengan Elina. Sudah pasti dia memiliki sihir.

Nicole yang mendengarnya pun terbelalak terkejut.

"Bagaimana kau tahu?!" serunya. Saat sadar dengan yang ia katakan barusan, gadis itu segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Aku tersenyum puas lalu mundur beberapa langkah supaya mereka semua dapat melihatku berbicara.

"Jadi, aku bertemu Elina hari ini. Dia memiliki sihir angin dan bisa berbicara dengan hewan, benar?" ucapku. Lalu aku memandang Elina yang saat ini tengah mengangguk.

"Benar, aku mendapatkan sihir ini tepat saat manusia di bumi ini mulai digantikan oleh manusia-manusia tanah itu," jelas gadis itu dengan tatapan serius.

"Manusia tanah?"

Diana dan Nova pun ternganga lebar. Sepertinya mereka tidak percaya. Karena itu, kulihat Elina menggerakkan tangannya dengan lihai. Saat itu juga rambut Diana dan Nova mulai beterbangan.

"W-wuah! Ini hebat!" seru Nova dengan mata berbinar. Begitupun Diana, dia menyentuh rambutnya yang terangkat dengan takjub.

"Lalu bagaimana kau tahu aku punya sihir?" tanya Nicole tiba-tiba.

Aku tersenyum kaku. Apa yang harus kukatakan?

"A-aku hanya menebak, haha. A-auramu sama seperti Elina. Ya, seperti itu," ucapku sembari menghindari kontak mata dengannya.

Nicole menyipitkan matanya dengan curiga. Kulihat dia juga menggerakkan tangannya seperti Elina.

"Memang apa sihirmu?" tanya Diana masih dengan kekesalannya.

"Penasaran dengan sihirku? Baiklah, akan ku tunjukkan!"

Srett!

Seketika kami semua terdiam. Di hadapan kami kini terdapat jarum yang sangat runcing. Bergerak sedikit saja, maka jarum itu akan segera menusuk mata kami.

Mundur pun percuma, karena di belakang kami pun ada jarum yang siap menembus kepala kami kapan saja. Lebih tepatnya, ada ribuan jarum mengelilingi tubuh kami semua.

"A-apa ini?!" seru Nova panik.

"Tidak apa-apa Nova. Tenanglah," bisik Diana pada Nova yang saat ini tampak pucat.

Saat ini Diana tengah menggenggam tangan Nova yang sudah gemetar ketakutan. Aku bersyukur Diana berada di sampingnya saat ini. Sedangkan Nicole, dia hanya tersenyum miring melihatnya. "Aku dapat membuat benda apa pun dari kristal, itulah sihirku," ucapnya dengan tawa puas.

Sudah kuduga sihirnya sama dengan gambar yang ada di lengannya.

"Aku menahan diri untuk tak melukai kalian sejak tadi. Sekarang katakan, apa yang kalian ketahui tentang Alvlora?" gertak Nicole dengan penuh penekanan.

"Kau mengatakan sesuatu tentang Alvlora bukan? Katakan padaku atau jarum itu akan segera menembus kepalamu," ucap Nicole pada Nova yang kini sudah meneteskan air matanya.

"Berhenti! Sedikit saja kau melukainya, kubunuh kau sekarang juga," desis Diana tertahan. Mereka sama sekali tak dapat bergerak dalam kondisi ini.

"Aku juga tak peduli jika jarum ini berhasil menusuk temanmu, jadi katakan semuanya," ucap Nicole dengan kedua alis yang menyatu. Dia menahan amarahnya.

Tidak bisa begini.

"A-aku tahu sesuatu. Lepaskan kami, setelah itu akan kuberi tahu semuanya," ucapku sebelum terjadi sesuatu pada Nova. Dia memiliki trauma dengan jarum.

"Baiklah," ucapnya.

Ctak!

Setelah Nicole menjentikkan jarinya, semua jarum itu menghilang dengan tiba-tiba. Kini aku dapat bernapas lega. Dan Diana merangkul Nova yang saat ini tengah kehilangan kesadarannya. Namun-

Brak!

"Lyra!" seru Diana dari belakang sana. Elina pun menutup mulutnya dengan terkejut.

Nicole menekan tubuhku ke bawah dengan kristal-kristal itu. Membuat lututku terbentur lantai dengan begitu keras. Ia bahkan memborgol kedua tangan dan kakiku dengan sihir kristalnya.

Aku menggeleng pelan ketika melihat Diana hendak menghampiriku kemari.

"Kalau kalian macam-macam, akan kulakukan sesuatu padanya. Mengerti? Sekarang katakan padaku apa yang kau tahu," ucapnya sambil memposisikan tubuhnya untuk duduk di atas kursi yang ada di hadapanku.

Ku tatap gadis di hadapanku dengan lamat-lamat. Dan tidak seperti yang kuduga, gadis itu sempat menghindari tatapanku sesaat.

Aku menghela napas panjang. "Aku dan Diana memimpikan dua orang yang sama," ucapku kemudian berhenti sejenak. Sejujurnya aku bingung bagaimana harus mengatakannya. Aku tidak tahu sama sekali mengenai Alvlora.

"Salah satunya mengatakan kalau hilangnya manusia di bumi saat ini karena ulah dari Lazyra yang memiliki niat jahat. Dia membuka portal dimensi antara dunia manusia dengan Alvlora. Itulah mengapa banyak manusia yang menghilang. Aku tidak tahu pasti alasannya, tapi dia juga berusaha menyalahgunakan kristal Lunar," ucapku seadanya.

Aku tidak bisa memberitahukan detail pasti sebelum aku dapat mengetahui semua kebenarannya.

"Itulah mengapa kami mencoba mencari tahu mengenai Alvlora. Aku harap kita dapat bekerja sama untuk-"

"Kristal Lunar hanyalah dongeng, begitu pula dengan dua orang itu," geramnya memotong perkataanku.

"Kau yakin itu hanya dongeng?" tanyaku dengan sungguh-sungguh. Namun tiba-tiba saja gadis itu terdiam, ia menunduk dengan tatapan mata yang sulit diartikan.

Aku mendelik terkejut ketika melihat Nicole mengepalkan tangannya kuat.

"A-aku tidak bohong! Dunia saat ini sedang dalam bahaya. Kau pasti juga menyadarinya," seruku gelagapan. Aku takut dia akan berbuat sesuatu yang membahayakan.

"Jadi semua ini karena Lazyra? Karena dia aku tak dapat kembali? " ucap Nicole tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan, antara yakin dan tidak yakin. "Y-ya. Kurasa karena dia mengacaukan portalnya," jawabku.

"Dan kami berencana untuk berbicara dengan Pak Danial nanti malam. Y-yah sebelum akhirnya menghilang juga," lanjutku. Setelah aku mengatakannya, Borgol yang ada di tangan dan kakiku menghilang begitu saja.

Aku melihat tangan dan kakiku yang memerah karena borgol itu. Dan juga lututku yang membiru karena benturan keras tadi. Jika dirasakan rasanya sakit sekali!

"Aku tak menduga kau tahu hal seperti itu meski kau bukan berasal dari sana," ucap gadis itu.

"Semua yang kulakukan sia-sia," gumam gadis itu lagi.

Aku menengadah, menatap matanya yang tampak sayu. Dia tampak berbeda dari sebelumnya.

"Aku hanya mencoba mencari jalan untuk pulang," gumam gadis itu lirih, nyaris tak terdengar.

Srak!

Aku terkejut ketika melihat Diana tiba-tiba saja bergerak menarik kerah baju Nicole dengan kencang.

"Kau membahayakan nyawa kami hanya karena itu?! Kau bahkan tidak meminta maaf setelah melukai dan membuat sahabatku pingsan, hah?!" seru Diana dengan mata yang berkaca-kaca. Wajahnya bahkan sudah memerah karena menahan emosinya.

"D-diana, sudah," ucap Elina yang kini mencoba menenangkan Diana. Sedangkan aku belum dapat menggerakkan kakiku karena kram.

Nicole terbelalak. Mata gadis itu membalas Diana tajam. "Apa yang kau tahu?! Sudah bertahun-tahun mereka membuangku dan aku hanya mencoba mencari tahu cara untuk kembali!" desis Nicole tepat di hadapan Diana yang saat ini terpaku mendengarnya.

Namun kemudian Nicole menundukkan wajahnya dalam. "Maaf, kupikir kalian tahu sesuatu," ucapnya penuh penyesalan.

Diana tercekat, lidahnya terasa kelu ketika gadis brengsek itu baru saja mengucapkan permohonan maaf pada mereka. Apa-apaan? Kenapa dia mudah sekali mengatakan maaf?

Akhirnya Diana melepaskan cengkeramannya. Ia lalu menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya dengan tangan gemetar.

"Aku juga. Maaf telah mengikatmu tadi," ucap Diana dengan suara lirih. Sesungguhnya yang ingin ia dengar hanyalah permintaan maaf darinya. Dan itu sudah dilakukan oleh Nicole. Maka tak ada alasan lagi untuk membencinya.

Dan saat ini aku berusaha berdiri dengan kondisi kaki yang cukup memprihatinkan ini. Sulit sekali berdiri jika tidak berpegangan pada tembok. Tapi untunglah Nicole membantuku berdiri. Sedangkan Diana dan Elina membantu Nova yang kehilangan kesadarannya.

"Maaf..." cicit Nicole yang terus memperhatikan kakiku.

"Tidak apa-apa," ucapku dengan tawa ringan. Melihatnya dengan mudah mengatakan maaf meskipun sikapnya cukup arogan, sudah membuatku yakin kalau dia orang yang baik.

"Bagaimana kalau kalian kuantar ke rumah sak-"

"Tidak, kami akan langsung pulang ke rumah Nova saja," potong Diana. Lelah rasanya jika harus bolak balik ke rumah sakit.

"Di mana? Aku bisa membawa kalian semua secara langsung," ucap Nicole lirih. Aku sempat mengangkat sebelah alisku, bingung. Tapi aku tetap memberitahunya.

"Semuanya berpegangan padaku," ucap Nicole sebelum akhirnya kami semua menghilang. Lebih tepatnya kami semua sudah berada tepat di depan rumah Nova dalam sekejap. Apa itu teleportasi?

"Ughh... S-sepertinya aku sedikit mual," gumam Diana sembari menutup mulutnya. Wajahnya benar-benar pucat saat ini. Kulihat Elina pun sama seperti Diana, hanya saja dia tidak mengatakannya.

Aku dan Nicole lalu saling bertukar pandang.

"Kakiku sudah tidak kram. Sepertinya aku sudah bisa jalan sendiri," ucapku pada Nicole yang saat ini tengah memapahku.

Nicole mengangguk singkat. "Kalau begitu aku akan membantu mereka," ucap Nicole yang merasa kikuk saat ini. Ia tidak mengira jika mereka akan merasa mual karena teleportasinya.

"Kalian masuk duluan saja. Aku akan membeli beberapa camilan untuk kita nanti," ucapku pada mereka. Diana yang sudah linglung setelah membuka pintu rumah pun hanya bisa mengangguk.

Aku jadi ingat...

Orang yang menyelamatkanku itu pasti seorang penyihir juga karena dia bisa menghilang secara tiba-tiba. Sekarang bagaimana caraku untuk mencarinya?

Aku terus melangkah sembari berpikir hingga tak sadar jika saat ini aku sudah sampai di minimarket. Sebenarnya jaraknya juga tidak jauh, hanya beberapa meter dari rumah Nova.

Aku membeli beberapa makanan seperti keripik, roti, dan minuman dingin untuk kami berempat. Ah, jangan lupakan cokelat untuk Nova. Aku yakin dia akan langsung bangun setelah mencium baunya.

Setelah memilih apa saja yang harus di beli, aku pun meletakkan belanjaanku di kasir. Namun beberapa detik setelahnya aku baru menyadari jika sepertinya... dompetku hilang.

Aku menggigit bibir bawahku panik. "Ya Tuhan, aku menjatuhkannya saat lari dari preman tadi," gumamku resah. Ponselku juga tidak ada.

"Sepertinya kau menjatuhkan sesuatu?"

Aku berbalik, terpaku ketika melihat dompet hijauku akhirnya kembali.

"Terima kasih," ucapku terharu. Namun di saat yang bersamaan, pria itu mengulurkan salah satu tangannya ke kasir minimarket. Yang lebih gilanya lagi, dia dengan sengaja memajukan tubuhnya sehingga tubuhku sedikit terhimpit olehnya.

"Saya yang bayar semuanya," kata pria itu kepada kasir dengan ramah.

Aku terkejut oleh tindakannya yang tiba-tiba. "Tidak, tidak perlu! Saya bisa membayarnya sendiri," kataku sambil berbalik dengan cepat, mencoba menolak tawarannya.

Namun, rupanya pria itu sudah membayarnya dan pergi begitu saja. Aku pun bergegas pergi untuk menyusulnya. Tidak mungkin aku membiarkannya membayar belanjaanku yang sebanyak ini. Aku juga belum sempat melihat wajahnya.

"Tunggu! P-pak?! Aku tidak bisa menerima kebaikan Anda begitu saj- Eh?!"

Aku membelalakkan mataku ketika melihat pria tadi tiba-tiba menghilang dari hadapanku. Kemana dia?!

"Bodoh. Aku masih muda."

Aku menengadah. Netra gelapku terpaku pada emeraldnya yang tampak berkilau. Bahkan rambut coklatnya juga terlihat cantik. Dia pakai shampo merk apa?

"Kenapa? Tampan ya?" ucapnya sembari tertawa pelan. Sial, ternyata dia narsis.

"Aku ingin berbicara denganmu," ucapku mencoba melupakan perkataannya barusan.

"Kau menyadarinya dengan cepat. Aku suka itu," ucapnya tiba-tiba. Bukankah dia memang sedikit gila? Apa-apaan perkataannya tadi.

"Jadi kau yang menyamar menjadi Pak Danial waktu itu, kan? Dan kau juga yang menyelamatkanku kemarin?"

Pria itu mengangguk dan menyunggingkan senyumnya. "Benar, jangan tanya kenapa aku berubah menjadi orang tua itu," ucapnya.

"Apa maumu?" ucapku risih. Dia terus memandangku dengan teliti hingga akhirnya kedua alisnya mengerut ketika tatapannya berakhir di kedua lututku.

"Kenapa bisa terluka lagi?" tanya pria itu dengan kedua alis mengkerut.

"Memang kenapa?" tanyaku bingung.

"Lalu sekarang mau bagaimana?" ucap pria itu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Apa, sih? Mau bagaimana apanya?"

Pria itu menghembuskan napas setelahnya. Dia lalu menarik tanganku tanpa persetujuan dariku.

"Tidak ingin tahu namaku?"

"Memang siapa namamu?" Namun hening, dia tidak menjawab. Terserahlah.

Di tengah lamunanku, kurasakan tangan pria itu menekan bahuku untuk duduk di salah satu bangku yang ada di pinggir jalan, di bawah pohon besar. Lalu tiba-tiba pria itu bersimpuh di hadapanku.

"Mau apa?" tanyaku menatapnya aneh. Tiba-tiba salah satu jarinya menekan luka lebam ku dengan kuat.

Plak!

Aku mendelik terkejut. "Sakit!" seruku refleks setelah menepis tangannya. Pria itu tertawa pelan, membuatku semakin bertanya-tanya apakah memang dia gila atau bagaimana?

"Makannya jangan terluka," ucapnya lirih.

Saat aku ingin protes, mataku terpaku pada ujung jemarinya yang mengeluarkan cahaya keemasan. Dan seketika luka lebam itu menghilang. Luka goresan yang kudapat sebelumnya pun menutup dengan perlahan.

"Kau... penyihir?" tanyaku menatapnya. Dia melirikku sekilas kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.

"Apa-"

Aku menghentikan perkataanku ketika melihat sesuatu di dahinya. Tanganku pun refleks terulur untuk melihat tanda yang semula tertutup oleh rambutnya. Emas? Ini lebih indah dibanding tanda yang pernah kulihat sebelumnya.

Tatapan mata kami kembali bertemu. "Kau tahu tanda apa itu?" tanyaku masih terus menatap matanya.

"Ya, indah bukan?"

Mendengus kesal aku pun mendorong kepala belakangnya untuk mendekat. Membuat pria di hadapanku itu terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba. Aku pun menatap emeraldnya dengan tajam.

"Aku tidak sedang bercanda, tuan. Kau mengerti? Sekarang katakan padaku, tanda apa itu," bisikku penuh penekanan.

Sraa!

Aku menghela napas panjang. Dia menghilang. Menyisakan percikan cahaya keemasan yang berkelip indah. Namun tiba-tiba sebuah tangan kembali menutup mataku.

"Temui aku di bawah pohon tua di taman nanti malam," bisik sebuah suara tepat di telingaku.

"Lucius, itu namaku."


***

TBC

Kayaknya ini part terpanjang dehT_T
Maaf author khilaf 😭 Tolong jangan bosen bosen yaa.. lalu jangan lupa untuk Vote dan komen(⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)

Ah, ada bonus pict terkait tokoh!

1. Diana Camelia

2. Nova Laseliene

3. Elina

4. Nicole

5. Lyra


Kritik dan saran yang membangun sangat author harapkan.

Terima kasih:3

Continue Reading

You'll Also Like

205K 20.4K 30
Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat ya...
2.4M 172K 49
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...
72.1K 4.3K 19
Karena tertabrak truk angkutan saat sedang menyebrang, stela mati dan terbangun di tubuh salah satu figuran yang hanya disebutkan namanya sekali di d...
250K 10.1K 32
Nakala Sunyi Semesta Setelah tragedi di rel kereta api malam itu Kala di buat heran dengan hal aneh yang terjadi pada nya, kala pikir malam itu dia m...