Rahasia Keluargaku ( END )

By cocooo17

2.8K 3.3K 102

Siapa sangka keluargaku menyembunyikan rahasia sebesar ini dan suamiku juga terlibat. Rahasia apa itu? Mengap... More

Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45

Chapter 1

278 235 15
By cocooo17

"Alexa, bangun sayang."

Aku yang terusik karena suara tersebut, mulai membuka mata.

"Ayo bangun, nanti kamu terlambat kerja. Kamu bilang hari ini ada jadwal operasi, kan?"

"OH IYA!" Aku langsung bangun dan bergegas mandi.

Seseorang yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kakak tunggu di ruang makan sama kakek."

Ya, orang yang tadi membangunkanku adalah kakak laki-lakiku, Alvaro Sean Harrison. Dia sangat baik dan perhatian padaku.

Setelah selesai bersiap, aku turun ke bawah menghampiri kakek dan kakak yang sudah menungguku di ruang makan.

"Pagi kakek," sapaku sambil mencium pipinya.

"Pagi. Kamu begadang lagi ya?" tanya kakek yang sudah tahu jawabannya dengan jelas.

"Semalem keasikan baca buku," jawabku disertai kekehan.

"Jangan dibiasain kayak gitu dong, Al," kata kakak sambil memberikan sepotong roti yang sudah diolesi selai strawberry.

"Iya maaf, kak." Dengan senang hati, aku menerima roti yang sudah diolesi selai itu. "Oh iya nanti aku pulang terlambat ya, soalnya hari ini ada tiga jadwal operasi."

"Emang nggak ada orang lain? Harus banget kamu yang lakuin semuanya?" tanya kakak dengan tatapan tak suka.

Aku mengangkat kedua bahu acuh. "Nggak tau, aku cuma ikutin arahan dari atasan."

Terdengar helaan nafas dari sebelahku. "Kakek izinin kamu ambil kedokteran dulu karena kamu sampe mogok makan, tapi kalo ujung-ujungnya bikin kamu sakit juga buat apa."

Bagaskara Edric Harrison, pemilik perusahaan terbesar kedua di Indonesia, Harrison. Sosok kakek di luar sana sangat dikagumi karena ketegasannya. Kuakui kakek memang sangat tegas, apalagi terhadapku. Dia juga sangat posesif kepadaku, kakak juga. Yah walaupun aku tahu alasan mereka seperti ini.

"Aku bakal jaga kesehatan kok biar nggak sakit." Aku mempercepat kegiatan makanku dan langsung berpamitan pada mereka. "Aku berangkat dulu ya."

"Tunggu, kakak anter," ucap kak Alvaro yang sudah menyelesaikan makannya.

"Nggak usah. Aku jalan kaki aja," tolakku.

"Nggak ada penolakan!" Kak Alvaro bangkit dari kursinya dan mengambil kunci mobil.

Jalanan hari ini tidak terlalu macet, jadi aku bisa sampai di rumah sakit dalam waktu yang singkat.

"Masih pagi udah gelap aja tuh muka," ledek seseorang.

"Nggak usah cari ribut. Ini masih pagi, Devan," kesalku.

"Lagian masih pagi udah nggak enak aja muka kamu," sambungnya.

Aku menghiraukan kata-katanya dan pergi ke ruanganku.

"Pagi, nona Alexa," sapa asistenku yang sudah siap di ruanganku.

"Pagi Merry. Oh iya aku kan udah bilang ke kamu cukup panggil aku pake nama aja, nggak usah ada embel-embel nona. Terus nggak usah terlalu kaku sama aku. Pake bahasa santai aja," ujarku.

"Maaf nona, saya tidak bisa melakukan itu," tolaknya.

"Kakek cuma minta kamu buat jagain aku. Selebihnya terserah, jadi aku mau kamu panggil aku dengan nama," jelasku.

Dia pun menghela nafasnya pasrah. "Baiklah no—Alexa."

"Bagus. Aku harap nggak ada kata nona lagi dari mulutmu." Aku mulai melakukan pekerjaanku sebagai seorang dokter.

Tak terasa malam pun tiba dan aku masih di rumah sakit untuk menjaga pasien-pasienku. Sebenarnya aku sudah bisa pulang, tapi aku ingin menenangkan diri di sini. Menjaga pasien membuatku merasa tenang.

"Mau aku buatin teh no—Alexa? " tanya Merry.

"Boleh dan buatlah satu untuk kamu juga," jawabku.

Dia mengangguk dan pergi.

Sambil menunggu Merry, aku bermain game yang ada di ponselku. Namun fokusku terganggu karena mendengar suara pecahan yang amat keras. Aku pun keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Kulihat Merry yang terduduk di lantai dengan celana yang sudah basah karena terkena teh yang dibawanya. Aku segera menghampirinya dan melihat bagian tubuhnya yang tersiram teh panas itu. "Ayo ke ruangan aku. Kamu harus segera diobati."

Tetapi Merry menggelengkan kepalanya. "Alexa, pria itu lebih butuh pengobatan kamu."

Aku mendekatkan diri ke pria itu untuk melihat kondisinya. Betapa terkejutnya aku saat melihat dirinya yang penuh dengan luka sayatan. Aku bergegas memanggil petugas untuk membantu membawa pria tersebut ke ruanganku.

Setelah aku mengobati pria itu, aku pun lanjut mengobati Merry.

"Selesai. Lukanya jangan kena air dulu ya."

"Iya. Makasih, Alexa."

"Sama-sama. Sekarang kamu boleh pulang."

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bakal pulang sebelum kamu pulang. Itu perintah dari tuan."

"Aku yang bakal bilang ke kakek. Kamu terluka dan harus istirahat," ujarku.

"Ini cuma luka kecil," balasnya santai.

"Aku tetep maksa kamu pulang!" tegasku.

"Ta—" Belum sempat Merry melanjutkan kata-katanya, aku sudah menariknya keluar dan mengantarnya pulang.

Tak butuh waktu yang lama untuk kami berdua sampai di rumah Merry.

"Maaf kamu jadi harus repot-repot nganterin aku pulang," katanya merasa bersalah.

"Santai aja, aku juga sekalian mau beli makan," sahutku.

Merry pun menepuk keningnya dan berkata, "Astaga aku lupa kamu belum makan. Maaf Alexa..."

Aku yang jengah mendengarkan permintaan maafnya itu pun langsung mencubit pipinya. "Jangan terus minta maaf, Merry. Lagian aku nggak laper tadi."

"Tapi kamu punya maag. Sekarang maagnya udah mulai kambuh belum?" tanyanya khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku. "Yang aku rasain cuma laper. Udah ya aku pergi dulu, kamu istirahat sana." Setelah mengatakan itu aku langsung menancapkan gas, meninggalkan pekarangan rumah Merry sebelum gadis itu mengatakan hal lain lagi.

Aku kembali ke rumah sakit setelah membeli makanan.

"Dia udah bangun belum ya?"

Saat membuka pintu, bisa kulihat pria tersebut masih tertidur. Sambil menunggu, aku memakan makanan yang sudah dibeli tadi.

"Di mana aku?" tanyanya dengan suara lemah.

Aku yang melihatnya sudah sadar bergegas menghampirinya dan membantunya duduk. "Anda sedang berada di ruangan saya, tuan."

Aku mengambil stetoskop untuk memeriksanya, tapi pria itu menepis tanganku dan menatapku dengan tajam.

"Saya hanya ingin memeriksa keadaan anda, tuan," ucapku dengan suara lembut.

"Tidak perlu. Saya akan transfer uang untuk biaya rumah sakitnya," katanya sambil berusaha untuk berdiri lagi, tapi terjatuh lagi.

Aku dengan sigap memegangnya supaya tidak jatuh. "Duduklah, anda baru saja kehilangan darah yang cukup banyak itulah mengapa kaki anda terasa lemas."

Karena dia tidak ingin diperiksa, jadi aku membiarkannya dan memberinya semangkuk bubur. "Makanlah ini. Saya baru membelinya tadi."

Tetapi lagi dan lagi dia menolaknya.

"Tolong jangan keras kepala, tuan! Anda harus makan supaya mempunyai tenaga," kataku yang mulai kehabisan kesabaran. Entahlah, baru kali ini aku tak sabaran pada pasien.

Melihat dia yang hanya diam, aku berinisiatif menyuapinya. Dia yang melihatnya pun terkejut dengan perbuatanku.

"Makanlah, saya akan menyuapi anda pelan-pelan," ujarku sambil menyodorkan sesendok bubur.

Anehnya dia tak menolaknya kali ini. Dengan patuh pria itu membuka mulutnya dan memakan buburnya.

Mau disuapin ternyata. Badan doang gede, tapi sifatnya kayak anak-anak. Batinku.

Tak lama kemudian buburnya pun habis tak bersisa. Aku meletakan mangkuknya dan memberinya obat. Dia meminum obat itu tanpa adanya perlawanan.

"Sekarang tidurlah lagi. Ini masih malam. Saya akan menjaga anda," kataku sambil merapikan bekas makannya.

"Tidak, aku akan pul—" Belum selesai dia bicara, tiba-tiba tubuhnya tumbang.

"Kenapa pria ini selalu pengen pulang? Untung aja aku kasih obat tidur dibuburnya tadi, jadi dia bisa istirahat dulu." Aku berjalan ke arah jendela dan memandang kota dari sini. "Udah lama banget kalian ninggalin aku."

Air mata mulai jatuh ke pipiku dengan bebasnya. Tetapi aku langsung tersadar dan menepuk pipi dengan keras. Lalu berkata, "Nggak boleh kayak gini! Nanti mereka sedih."

Aku pun duduk untuk mengerjakan laporan agar tak memikirkan hal lain.

Keesokan harinya...

"Alexa."

Terdengar samar-samar seseorang yang memanggilku dan aku pun membuka mata.

"Merry? Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku bingung.

"Kamu bermalam lagi di sini?" Bukannya menjawab dia malah balik bertanya.

Aku hanya berdehem menjawab pertanyaannya.

Kulihat Merry menghela nafasnya panjang. Ah ini pertanda buruk, aku yakin akan ada wejangan panjang kalau aku tak segera menghentikannya.

"Merry, aku laper. Ayo kita sarapan bareng di kantin," ajakku dengan puppy eyes.

Kalau sudah seperti ini, Merry pasti tak bisa menolaknya. Dia hanya bisa mengangguk pasrah.

Sebelum kami pergi, aku memastikan keadaan pasienku. Semua sudah membaik kecuali satu orang.

"Merry."

"Ya?"

"Waktu ke sini, kamu liat pria yang terluka semalem nggak?" tanyaku. Pasalnya pria itu tidak ada di tempatnya.

"Nggak. Waktu aku masuk cuma ada kamu," jawabnya.

"Ujung-ujungnya kabur juga," gumamku.

"Ada apa, Alexa?" tanya Merry bingung.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak ada apa-apa. Yaudah ayo kita sarapan."

Pagi ini aku sarapan dengan perasaan tidak tenang. Selain karena memikirkan pria yang kabur itu, aku juga merasa akan ada sesuatu yang terjadi.

"Alexa, tuan mau bicara," kata Merry sambil menyerahkan handphonenya.

Aku pun mengambilnya dan mulai berbicara. "Halo kakek."

"Alexa, ke mana kamu semalem? Kenapa nggak pulang? Kakek khawatir tau!" Kakek terus melontarkan banyak pertanyaan dari ujung sana.

"Kakek, satu-satu dong ngomongnya." Aku memijat pelipisku. "Aku nginep di rumah sakit."

"Kenapa nggak kabarin kakek?" tanyanya dengan nada kesal.

"Soalnya aku tau kalo kakek nggak bakal izinin," jawabku.

Terdengar helaan nafas dari ujung sana. "Kamu keras kepala banget. Inilah kenapa kakek nggak bisa berhenti khawatir sama kamu."

"Kakek, aku udah dewasa. Aku bisa jaga diri aku sendiri," sahutku.

"Pulang sekarang," ucapnya.

"Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan di sini," tolakku.

"Kakek nggak mau tau. Yang pasti kamu harus udah ada di rumah siang ini karena kakek mau kenalin kamu ke seseorang." Setelah mengatakan itu, teleponnya pun dimatikan.

Aku tak bisa membantah lagi kalau kakek sudah seperti ini.

"Kamu bisa pulang sekarang, Merry," kataku.

"Kenapa? Bukannya jam pulang aku masih lama?" tanyanya bingung.

"Aku disuruh kakek pulang sekarang. Jadi kamu juga udah bisa pulang sekarang," jawabku.

Merry hanya mengangguk dan tidak banyak bertanya.

Continue Reading

You'll Also Like

33.5K 1K 12
[NOTE: Versi lengkap ada di KBM app dan Karyakarsa ________________________ Arya Putra Piningit ditugasi oleh sang bapak, Idham Amarullah, untuk me...
16.6K 1.2K 60
{TAMAT} hanya cerita-cerita pendek yang terlintas diotak. jika ada kesamaan dalam cerita, bahasa yang menyinggung, mohon dimaafkan karena ini hanyala...
278 101 52
Ditulis tahun 2021 Meski 30 tahun telah berlalu, tapi Jared masih belum bisa melupakan gadis yang dicintainya, yakni Clara yang meninggal karena dibu...