Suddenly

By anjar_lembayung

269K 43.3K 5.1K

[21+] Marisa benci dengan segala sesuatu yang mendadak. Perempuan yang baru saja menginjak usia 30 tahun kema... More

-Prolog-
[1]. Sakit dan Masa Lalu
[2]. Jangan Kabur!
[3]. Kesalahan Pertama
[4]. Penawar Luka
[5]. Yang Bimbang dan Menimbang
[6]. Hari Pertama
[8]. Di Bahunya Ia Bersandar
[9]. Sesuatu yang Disebut Kangen
[10]. Membuang Resah
[11]. Badai yang Mulai Bergolak
[12]. Calon Mantu
[13]. Ketakutan
[14]. Menurunkan Penumpang Gelap
[15]. Yang Tak Punya Apa-Apa
[16]. Calon Mertua
[17]. Menyematkan Cincin di Jari Manis
[18]. Fakta yang Terungkap Perlahan
Hidden Part #18
[19]. Marry Me Soon!
[20]. Malam Akad
[21]. Pengganggu
[22]. Yang Memaksa Menggoda
Hidden Part #22
[23]. Menunda
[24]. Kenangan yang Menjerat Langkah
[25]. Harta, Tahta ....
Hidden Part #25
[26]. Tamu Tak Diundang
[27]. Nyonya Sanjaya dan Putra Tunggalnya
Intermezo-Salah Grup
[28]. Mengorek Masa Lalu Mengundang Cemburu
[29]. Bertukar Cerita
[30]. Menghadapinya Bersama
31. Yang Masih Berusaha Mengusik
32. Menguji Kesabaran
33. Alasan Masih Menunggu
34. Kabar Buruk dan Penyesalan
35. Merenungkan Masa Lalu
36. Pisah Ranjang
37. Perempuan dan Bola Lampu
38. Yang Terjadi Sebenarnya
39. Keributan yang Membuatnya Ingin Segera Kembali
40. Jangan Pergi Lagi
-Epilog-
Extra Part #1. Hush, Pengganggu!
Extra Part #2. Trauma dan Perubahan
Extra Part #3. Pertengkaran

[7]. Yang Terlupakan

6.1K 1.1K 127
By anjar_lembayung

Hai, selamat hari Minggu! 🤩

Ketemu lagi sama Mas Tama dan Mbak Cha. Makin cepet update kalau komentar sama vote-nya ramai. 😍

Semangatin lagi pakai vote dan komen yang banyak, ya. 🥳

Happy reading!

====🏖🏖🏖====




Tak ada celah. Mungkin hanya itu yang akhirnya bisa Rama simpulkan setelah seharian pikirannya terganggu dengan bayangan Marisa mulai menemukan kehidupan yang baru. Ia mungkin tak akan ada kesempatan lagi memperbaiki semua. Gadis itu memilih pergi dan tak perlu repot menunggu masa lalunya memperbaiki diri.

Seribu maaf berusaha laki-laki itu sampaikan. Tapi bisunya perempuan itu ketika Rama berlutut dan memeluk kakinya, seharusnya sudah cukup membuat ia enyah. Namun, bisa apa bila hatinya justru menyadari bahwa yang ia butuhkan untuk masa depan adalah Marisa, bukan Mariana?

Toh apa yang terjadi di antara dirinya dan Riana, bukan begini yang ia harapkan pada akhirnya. Rama hanya berusaha mengerti Marisa yang terlalu sibuk. Memilih mengambil semua waktu bebasnya dengan pekerjaan dengan alasan, "Aku belum bisa tenang kalau Riana belum menyelesaikan pendidikan dan dapat pekerjaan bagus. Masih banyak hal yang harus aku persiapkan untuk masa depannya."

Sebagai sepasang kekasih, Rama jelas butuh perhatian dan waktu Marisa lebih dari yang lain. Dan satu tahun terakhir, bisa dibilang bercanda dan sekadar menemani adik Marisa--yang katanya sudah dianggap seperti adik sendiri--cukup menghapus rasa sepi saat kekasihnya justru harus memimpin sekumpulan perjalanan wisata baik domestik maupun ke luar negeri sesekali. Lamanya bisa tiga, empat, atau lima hari. Bahkan kadang seminggu baru pulang.

Ketika pulang, perempuan itu sudah lelah pasti. Rama harus mengalah lagi dan merelakan waktu berdua untuk sekadar berkencan dan makan malam di rumah saja. Yang seharusnya berdua, jadilah bertiga, bersama ... Mariana lagi. Sosok gadis bersuara manja yang ceria dan usil.

Perlahan posisi gadis itu menggantikan Risa.

"Ram, ada tamu di kantor Pakde mau jalan-jalan besok Minggu. Aku ambil job kayaknya, deh. Kamu nggak apa kalau kencan kita diundur dulu?" Selalu saja begitu dulu.

"Kalau gitu anterin aku ke toko buku aja, deh, Mas. Sekalian nonton, nanti aku traktir bajigur nanti pulangnya." Riana menyambut.

Dan Rama memberengut mulanya. "Yaah, jadi tukang ojek lagi aku, Cha!"

Dua gadis yang memiliki pertalian darah itu hanya tertawa-tawa ketika Rama menyebut dirinya sebagai tukang ojek. Sebab begitulah mulanya. Rama hanya bertugas mengantar dan menjemput Riana kuliah, pergi ke rumah teman, atau mencari buku-buku perkuliahannya. Sebuah niat yang dibatasi sebatas kakak-adik, entah sejak kapan mulai bergeser. Yang semula ada batas tas di antara Rama dan Riana saat berboncengan, tiba-tiba batasan itu luruh dan menipis.

Merangkul manja di lengan kekasih sang kakak bukan lagi hal aneh. Bertengkar karena Riana kadang kekanakan menjadikan sebuah perhatian khusus yang memunculkan perasaan lain. Semakin banyak hal yang terbuka di antara keduanya, batasan kakak-adik itu semakin kabur.

Terkadang Rama sadar ada peringatan keras di lubuk hatinya yang terdalam, bahwa semua yang ia jalani bersama Riana mulai bergeser. Sayangnya, laki-laki itu kalah dengan gejolak di dada saat berdua saja dengan gadis itu.

Sekali, dua kali, atau mungkin tiga kali, saat Risa berhari-hari sibuk memandu wisata ke luar negeri, kesalahan itu memorak-porandakan segalanya. Tentang cinta, kesetiaan, dan kepercayaan, musnah saat tanpa sadar mereka lalai. Kelalaian yang menghadirkan kehidupan dalam rahim terlarang.

Rama gamang. Ia geram pada dirinya sendiri, tapi sisi hatinya kadang juga egois ingin menyalahkan Risa yang sibuk dengan dunianya sendiri dan melupakan hubungan mereka yang riskan. Bagaimanapun ia laki-laki dan Riana perempuan yang tak ada ikatan darah.

Dan keegoisannya itu semakin bertingkah liar ketika ia tahu Risa selalu menolak memperbaiki semua. Lalu, satu kenyataan lain muncul. Rama ... belum sanggup melihat Marisa jatuh ke pelukan laki-laki lain. Sebab mungkin ... masih ada cinta yang terpendam. Yang tak sengaja terkubur karena kehadiran Riana.

Panas di dada membuat Rama seharian terusik. Tapi mengajak bicara dengan Risa di kantor mustahil dilakukan. Tatap tegas Pratama Baskoro dilihat terlalu mengerikan kalau harus diterjang saat ini. Manik kelam pria itu sepertinya tak lepas mengawasi Risa seharian ini. Lagi-lagi, dadanya bergemuruh panas.

Untuk menuntaskan segala perkara keresahan batinnya seharian ini, Rama bersedia menunggu. Lepas senja, ia mendatangi perumahan di mana Risa tinggal. Hatinya teramat menggebu ingin segera bicara. Namun, sosoknya yang berlalu menaiki taksi--yang mungkin dipesan melalui aplikasi--itu membuat Rama berbalik arah dan mengekor.

Sayang, langkahnya tertahan begitu ia tahu perempuan itu memasuki area lobi apartemen. Sepertinya, bukan orang biasa yang akan ditemui mengingat tempat elit itu cukup menawan dengan lantai marmer yang berkilau, ornamene-ornamen bangunan yang terkesan mewah. Rama bahkan harus mencari tempat parkir khusus untuk motornya sebelum beranjak mendekat ke lobi.

Ia baru menapak di ambang teras lobi ketika melalui dinding kaca itu atasannya muncul dari sisi lift khusus penghuni apartemen. Kaki jenjang Rama berhenti melangkah. Dua tangannya yang tersimpan di saku jaket secara tak sadar mengepal erat begitu melihat Risa mengikuti Pratama menaiki elevator. Laki-laki itu ... membawa Risa ke area pribadinya yang jelas-jelas tak boleh dijamah orang asing.

Namun, ia rela bersabar menunggu. Rama pergi ke kafe di area komersil bangunan itu. Mungkin satu cangkir kopi habis, gadis itu kembali turun dan pulang.

Pada cangkir kedua, Risa terlihat muncul bersama Pratama. Berjalan cepat-cepat ke arah apotek lalu kembali menuju lobi. Pikiran Rama pun semakin kalut. Maunya berlari mengejar, tapi ia juga tak mau disangka pembuat onar oleh petugas keamanan yang berjaga. Ini bukan kawasannya. Ia pun lagi-lagi rela menunggu, memperpanjang rasa sabar berselimut resah dan gelisah.

Sayang, sampai cangkir ketiga, Risa tak kunjung kembali muncul. Bahkan ketika ponsel di saku jaketnya bergetar, memunculkan nama sang istri yang menelepon pada pukul setengah dua belas malam, baik Risa maupun Pratama Baskoro tak lagi terlihat. Rama pun bangkit dan berlalu.

Sedang apa mereka? Sejauh apa hubungannya sampai hampir tengah malam begini berdua saja di apartemen lelaki itu sepulang dari apotek? Ada afair-kah?

"Brengsek!" umpatnya tertahan sembari memacu motor merahnya menjauh dari halaman gedung apartemen elit itu.

**

Pantry adalah pemandangan pertama yang Risa temukan saat menapak di unit apartemen milik kekasihnya. Iris hitamnya bahkan berkali-kali mengerjap ketika menemukan piranti masak lengkap yang tertata di dalam kabinet.

"Ada mixer, cooper, blender, dan ... oven? Pemukul daging dan aneka pisau juga? Panci presto juga? Mas Tama ada waktu masak-masak memangnya?" Risa ternganga-nganga seraya menutup kembali lemari kabinet.

Niatan mengambil penggorengan untuk menggoreng ayam ungkepnya batal  begitu melihat betapa dapur milik Tama. Dapur ini lebih pantas dimiliki koki profesional daripada seorang direktur yang bekerja di balik meja kantor.

"Nggak usah kaget, Sa. Mama emang kebiasaan lebay kalau anak-anaknya mau menempati rumah tinggal sendiri. Dapur pasti jadi prioritas pertama yang diisi lengkap sama Mama. Padahal waktu mau pindah ke sini udah aku larang beliin isi dapur selebay ini." Tama membuka kulkas. Mulanya ragu mana yang akan ia suguhkan. Bir atau soft drink saja? Namun, satu gelengan mengakhiri pilihannya berlabuh pada dua kaleng minuman ringan berperisa jeruk.

"Mas Tama bisa masak sendiri emang?" Risa tersenyum menerim uluran minuman dari laki-laki itu.

"Ya, nggak. Laki-laki di keluargaku nggak ada yang pinter masak. Mama malah kebanyakan ngomel kalau aku sama Papa ikutan main-main di dapur."

Suara desis dari minuman terdengar ketika Tama membuka minuman di tangannya. Risa menurut saja ketika minuman di tangannya yang masih tertutup rapat ditukar dengan minuman Tama yang baru dibuka.

"Terus, alat-alat masak selengkap ini buat apa?" Dua alis perempuan yang mulai menyingsingkan lengan sweter hingga siku itu berkerut heran.

"Ya ... dipake Mama tiap berkunjung. Aku tinggal makan aja." Geligi putih Tama tampak ketika ia hanya mengulas senyum lebar.

"Orang tua Mas Tama udah pernah ke sini?"

Laki-laki itu menggangguk. "Sekali pas hari pindahan. Sekarang di Jakarta. Tapi Mama bilang mau datang lagi ke sini nanti. Dua adikku juga suka nyamper ke mana aja aku tinggal. Di Bali juga sering keluargaku datang."

"Wah, pasti keluarga Mas tipe-tipe keluarga yang penuh kasih sayang dan menyenangkan." Risa bergumam lirih, tatap sendunya tertuju pada kaleng minuman dingin yang permukaannya mulai mengembun.

Tiba-tiba saja, ia rindu dengan ibunya. Lalu, demi membuang sesak dalam dada yang mungkin akan berdesakan dan memaksanya menangis lagi, Risa menghela dan mengembuskan napas panjang. Entah kenapa akhir-akhir ini ia jadi lebih cengeng. Mungkin terlalu lelah dan merasa perlu menumpahkan segala tekanan-tekanan hidup melalui tangis.

"Nggak juga. Kadang terlalu berisik dan kebanyakan ikut campur urusan pribadi juga bikin aku risi." Tama berkata lirih di sela desah napasnya yang sama pelan. "Nggak ada anak yang suka waktu didekat-dekatkan dengan anak rekan bisnis orang tua, Sa. Iya, kalau berhasil, kalau gagal nanggung malunya sampai ubun-ubun."

Bibir basah usai meneguk minuman dingin sekali itu mengulum senyum kecil. Risa membenarkan posisi duduk pada stool bar, sedikit membungkuk dan mengalihkan perhatian dari acara minum sejenak pada laki-laki di sisinya. "Mas, lagi ... curhat, ya?"

Kaleng dingin di tangan Tama terhenti di udara, batal menyesap minuman bercita rasa asam manis itu. Lalu tatap iris hitamnya menemukan Risa yang mengerutkan tubuh seperti sedang berusaha bisik-bisik mencari tahu dan menggodanya. Tama berdecak di sela menahan tawa kecilnya.

"Nggak, Sa. Sharing aja biar kamu nggak ngira hidupku baik-baik aja dan semenyenangkan pikiran polosmu itu."

Risa menegakkan tubuh. Ia tampak menimbang-nimbang perkataan Tama. "Polos?" Ada gestur tak terima saat laki-laki yang kini memilih menghadapkan tubuh padanya menyebut Risa memiliki pikiran polos.

Tama terkikik seraya memutar stool bar yang diduduki Risa menghadap padanya. "Kalau nggak polos, nggak mungkin main percaya aja sama cowok yang baru kenal." Laki-laki itu menjeda kalimatnya dengan satu tegukan minuman ringan di tangan sebelum bergumam pelan, "Mau diajak tidur pula."

Risa spontan mengepalkan satu tangan dan meninju sekali dada pria itu. "Kita jangan mabuk berdua lagi makanya! Biar acara tidur kebablasan itu nggak ...."

Bibir berpoles lipstik warna nude itu tiba-tiba mengatup. Kelopak mata Risa memelotot dan ia bangkit dengan gestur gugup seraya meraih sling bag miliknya di stool bar yang kosong.

"Mas! Aku kelupaan!" pekiknya. "Di bawah ada apotek nggak?" Risa menarik pergelangan Tama, mengajaknya segera pergi saat itu juga.

"Kamu sakit? Ke dokter aja kalau gitu." Tama tersaruk-saruk mengganti sandal busa tipisnya dengan sandal kulit di rak sisi pintu. Ikut panik meski belum paham kenapa harus sepanik ini.

"Nggak, Mas! I forgot to take the morning-after pill!" Marisa menggigit bibir, menatap laki-laki yang tiba-tiba terdiam dengan raut syok dan kebingungan.

"Aku bilang juga apa?! Nikah cepet-cepet kenapa, sih, Sa?! Gini jadinya kalau lalai!" Tama sempat membenturkan kening ke pintu saking syok dan stresnya karena panik. Namun, tak urung ia kembali menggenggam tangan Risa yang tiba-tiba berkeringat dingin, membawanya keluar dan turun ke lantai satu.

Malam itu, keduanya pontang-panting dari unit apartemen turun ke lobi dan mencari apotek. Risa kapok. Seharusnya memang tak lagi-lagi berbuat di luar batas.

Apa sebaiknya cepat-cepat menikah saja, ya?

Toh Tama sepertinya bukan laki-laki jahat. Niatan lelaki itu mendatanginya untuk mempertanggungjawabkan semua yang telah terjadi. Lalu, apa lagi yang harus Marisa tunggu?

**

(19-03-2023)

====🏖🏖🏖====

Gimana-gimana? Nikah aja gimana? 🤭

Btw, Rama pasti keponya sampe panas dingin, ya? Pake liat ke apotek berdua segala. Pasti otaknya udah bermanuver ke mana-mana dia. 🤣

Oke, vote jangan lupa, ya. Komentar yang banyak biar aku semangat nulis. 🥳

Terima kasih. 🥰

Continue Reading

You'll Also Like

370K 28.7K 37
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
338K 1.7K 15
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
433K 27.2K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
2.2M 33.5K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...