Beautiful Hacker

By leerin14

119K 7.2K 81

Yang dia inginkan adalah menjadi hacker. Hacker yang mampu menelusup ke sistem keamanan. Menerobos tanpa keta... More

The Beginning
[1] Penawaran
[2] Balas Dendam
[3] Pilihan Yang Sulit
[4] Keputusan
[6] Misi Pertama
[7] Alasan yang Sebenarnya
[8] Alfareno Pradipta
[9] Jarak yang Menipis
[10] Kebebasan yang Tak Diinginkan
[11] Kematian
[12] Kecurigaan
[13] Kejutan
[14] Perjanjian Mematikan
[15] Kenyataan yang Mengejutkan
[16] Rasa Bersalah
[17] Hati yang Memutuskan
[18] Kehancuran
The Ending
A Little Present for You

[5] Pekerjaan Baru

6.1K 373 1
By leerin14

"Berapa kali saya harus bilang, agar tidak stres?" Dokter berumur lima puluhan itu menatap kesal ke arah pasien yang kini sedang terbaring lemah di atas bangsalnya. "Cedera di kepalamu itu!" Dokter itu menujuk kepala pasien dengan pulpen hitam di tangannya. "Kalau kamu masih ngeyel, saya nggak akan tanggung jawab kalau tiba-tiba kamu kena alzheimer atau amnesia akut sekalipun!"

Pasien itu tertawa lemah. "Iya, Dok. Iya."

Dokter itu menghela nafas panjangnya. Menatap laki-laki yang kini terbaring di atas bangsal itu dengan tatapan nelangsa.

Mengenal lebih dari 10 tahun bukan berarti ia mengerti semua hal tentang laki-laki itu. Karena sampai sekarang, ia tidak mengerti bagaimana laki-laki itu hidup dengan penuh ambisi balas dendamnya.

"Lupakan balas dendam itu sebentar," ucapnya pelan sarat pengertian. "Hidupmu masih panjang, Ren. Bukankah sia-sia kalau hanya hidup karena balas dendam?"

"Akan lebih sia-sia lagi jika semuanya jatuh di tangan orang yang salah. Dan kebenaran tidak pernah terungkap."

Dokter yang disapa Dokter Ibnu itu menghela nafas panjangnya lagi. Menahan bibirnya untuk memberi nasehat untuk laki-laki itu. Membiarkan untuk sementara agar laki-laki itu bisa berbuat semaunya.

***

Hari ini Dewi kembali bekerja. Otaknya sudah mencoba melupakan segala kejadian waktu lalu. Melupakan kenyataan bahwa Ilmi telah mengorbankan dirinya untuk menolong Dewi dari mafia itu. Tapi berulang kali dicobanya, ia tetap tak bisa.

Pikiran tentang pengorbanan itu memenuhi kepalanya. Membuatnya kembali pusing, di saat Rofik juga tidak mau menyelesaikan masalah mereka meskipun Dewi sudah berusaha berbicara baik-baik dengannya.

Dewi mendesah panjang. Memasang kartu ID-nya pada alat pendeteksi dan memasuki lorong menuju ruangannya.

"Hai, Dewi."

Perempuan manis itu mendongak. Terkejut luar biasa saat menemukan orang yang kini duduk tepat di kursi milik Ilmi.

"Vina? Kok bisa?"

Vina tersenyum tipis. Menatap Dewi misterius.

***

Kedua mata Ilmi menatap serius ke arah monitor di hadapnnya. Kedua tanganya berlari lincah di atas keyboard. Di sampingnya ada beberapa Hacker handal seperti dirinya. Bahkan jauh lebih handal lagi.

Ilmi tak habis fikir, mengapa juga Sun World harus memperkerjakan Hacker begitu banyak? Apakah mereka akan menyerang sebuah Negara?

"SIP! Sedikit lagi... sedikit lagi..."

Ilmi kehilangan fokusnya saat Baron, anak muda yang duduk di sebelahnya, berteriak senang dengan kedua tangan masih berlarian di atas keyboard. Kacamatnya bahkan sampai melorot.

"BARON! Shut up!" Ilmi mendesis masih sambil meng-hack salah satu sistem keamanan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan besar.

"Sorry, baby."

Kembali, Ilmi mendesah kesal. Baron selalu saja memanggilnya seperti itu meskipun hubungan mereka tak jauh dari rekan kerja.

"Sekali lagi kamu panggil dia dengan sebutan itu, kamu akan berada dalam bahaya, Baron."

Terkejut. Keduanya langsung menoleh ke belakang dan menemukan Brian berdiri dengan jas biru tua yang melekat indah di tubuhnya. Rambut hitam yang begitu memesona dengan senyum tipis yang meluluhkan hati ribuan perempuan.

"Sorry, Bro. Janji nggak lagi deh." Baron nyengir. Menunjukkan deretan gigi putihnya. "Tapi, beneran deh, kalian ini ada hubungan spesial, kan!?" tembak Baron langsung.

Ilmi tersedak mendengarnya. Tangannya berhenti bermain di atas keyboard dan ia rasa pipinya sudah bersemu merah sekarang.

"Belum, Baron." Lagi-lagi Brian menunjukkan senyum tipis memesonanya. "Mungkin, sebentar lagi. Bagaimana, Ilmi?"

Perempuan itu tersentak. Bagaimana bisa Brian menanyakan hal seperti itu dengan mudahnya pada dirinya? Apakah pria itu tidak sadar bahwa kini Ilmi sama sekali tidak bisa bicara? Ia beku dan lidahnya begitu kelu.

"Ilmi?" Brian menatapnya bingung. "Kenapa?" tanyanya pelan. "Aku bercanda. Wajahmu sangat menyeramkan saat menatapku."

Setelah kalimat itu meluncur dari bibir Brian, Ilmi merasa lega namun ada sedikit kecewaan di hatinya. Bercandakah? Mengapa rasanya Ilmi berharap bahwa laki-laki itu mengatakan kebenaran, meskipun ia tidak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk membalas perkataannya.

"Eng... kamu berada dalam masalah, Ilmi." Brian memperingatkan. "Komputermu. Kamu akan kehilangan mereka jika terus menatapku seperti itu."

Tersadar. Ilmi melanjutkan kegiatannya. Berusaha melupakan bahwa ia baru saja merasakan patah hati.

"Ilmi?"

"Hmmm?"

"Jika sudah selesai, aku menunggumu di luar."

Lagi. Mengapa laki-laki itu malah membuatnya berharap lebih banyak? Ilmi mendesah panjang, memejamkan matanya sejenak, kemudian kembali fokus pada monitor di depannya.

***

Kaki Reno menendang kerikil di tanah. Mendesis kesal sambil melirik sepasang kekasih yang sedang tertawa bersama di balik kaca besar yang membatasinya dengan ruangan itu.

Sejak satu jam yang lalu, ia sudah ada di tempat ini. Berniat untuk membicarakan rencana ke depannya dengan gadis itu. Tapi yang ditemukannya adalah gadis itu menikmati makan malam dengan musuhnya.

"Bagaimana kencannya, Nona?"

Langkah Ilmi terhenti seketika saat mendengar pertanyaan itu meluncur dalam hitungan detik setelah Brian menghilang di ujung jalan.

Ilmi mendengus. "Apa urusan lo?"

Reno berdecak kesal. Menatap Ilmi dengan remeh. "Lo menghabiskan waktu penting gue."

"Apa gue minta lo buat nungguin gue?"

Cewek ini! desis Reno dalam hatinya. Kesal bukan main. Bagaimana bisa Ilmi tersenyum lebar dengan laki-laki itu, sementara dengan dirinya tidak? Bicara formal saja tidak, apalagi melemparkan senyum ceria nan ramah yang dilihatnya tadi?

"Denger!" Reno mendekat. "Kita udah buat perjanjian. Perjanjian ini udah menyangkut hidup mati gue dan lo." Katanya serius. "Kalau tadi gue main nerobos dan mengganggu acara kalian berdua, lo udah tau akibatnya."

Ilmi mendesah panjang. Haruskah ia menjadi pengkhianat seperti ini? kepada Sun World? Kepada sebuah group perusahaan yang begitu menakutkan?

"Brian orang yang baik." Ilmi menegaskan.

Reno tersenyum miring. "Baik?" Ia tertawa sinis. "Sebaik apa dia kalau sampai tau kalau lo adalah pengkhianat Sun World? Perusahaan yang menaungi dia?"

"Jangan bahas itu." Ilmi jengah. Kesal setengah mati dengan Reno. Seharusnya ia tidak melakukan perjanjian itu. Tidak seharusnya ia menjadi pengkhianat Sun World. Toh, hidupnya akan baik-baik saja.

Setelah bekerja di Sun World beberapa hari, hidupnya bahkan jauh lebih baik. Tidak perlu pusing memikirkan omelan Pak Candra yang menyuruhnya bekerja keras atau pulang kelelahan. Hidupnya menjadi lebih mudah di Sun World.

"Lagi pula apa hebatnya dia sampai dibilang baik," gerutu Reno dengan suara pelan.

"Dia ganteng!" Ilmi menatapnya dengan tajam.

"Gue juga ganteng kok."

"Cih, pede banget lo."

Reno menatap perempuan di hadapannya dengan kesal. Tidak pernah ia bertemu dengan perempuan sebegitu menyebalkannya seperti Ilmi.

Sesaat, Reno mendengar suara gemerisik tak jauh di dekatnya. Ujung matanya menangkap seseorang berusaha mengikuti dan mendengarkan percakapan mereka.

"Ehem..." Reno berdeham. Berfikir keras untuk mengalihkan pembicaraan dan segera pergi dari sana. "Lo udah makan?"

Ilmi mendengus. Apa laki-laki itu lupa ingatan? "Gue udah makan. SAMA BRIAN!" tekannya dengan nada kesal.

"Tapi gue belom." Reno menarik lengan Ilmi. "Ayo ke rumah. Sekalian ketemu sama Oom dan Tante."

Kening Ilmi berkerut. Ia tetap mengikuti langkah tergesa-gesa Reno yang menariknya dengan paksa.

"Oom? Tante?"

Reno mengangguk. "Nyokap-Bokap lo." Katanya dengan nada tenang. "Nggak usah banyak tanya," bisiknya.

***

"Lo diikuti. Gue rasa, mereka masih belum percaya dengan lo."

Kalimat itu lagi-lagi terngiang di telinga Ilmi meskipun kini ia hendak memejamkan matanya untuk tidur.

"Udah gue duga. Kalau kita pakai metode yang sama, mereka akan curiga."

"Trus? Apa yang lo rencanain?"

"Plan B. Awalnya gue mau lo ngasih tau gue semua informasi mengenai Sun World. Semua perintah yang mereka kasih ke elo, elo harus lapor ke gue." Katanya dengan nada tenang. "Tapi kalau begini, nggak mungkin rasanya. Jadi, gue menyiapkan partner buat lo."

"Partner?" Kening Ilmi berkerut. "Siapa?"

"Tunggu aja. Dia akan gue kirim minggu depan."

Tidak bertemu dengan Reno. Rasanya senang bukan main. Ia hanya perlu bertemu dengan partner ini untuk memberikan semua informasi yang ia ketahui dan partnernya ini akan memberitahukan semuanya pada Reno.

Baiklah. Ilmi harus mengakui bahwa otak licik laki-laki itu boleh juga.

Sejak masa kuliah, Reno memang selalu menujukkan bahwa ia memiliki otak emas. Meskipun sombongnya setengah mati. Tapi Ilmi tak menyangka bahwa laki-laki itu menyiapkan Plan B segala.

Jika ia menjadi Reno, mungkin ia tidak bisa mengatasi urusan balas dendam itu sendiri. Tunggu! Apa Reno benar-benar menyusun semua rencana itu sendiri? Tidak ada yang membantunya?

Diam-diam, Ilmi merasa penasaran dengan siapakah Reno merencanakan semua ini. Tidak mungkin Eva. Perempuan itu tidak mungkin ikut campur dalam urusan seperti itu. Yang ada Eva akan mengeluh saat diajak berfikir untuk merencakan hal kejam seperti ini.

***

"Sampai pindah apartemen kayak begini, lo beneran nggak apa-apa?" Dewi menatap Ilmi sedih.

Ilmi tersenyum. "Gue baik-baik saja kok. Lagian apartemen yang sekarang lebih besar. Perusahaan juga yang nanggung biayanya." Katanya.

Dewi memerhatikan raut wajah Ilmi. Namun perempuan itu begitu pintar menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, membuat Dewi bertanya-tanya, apakah Ilmi benar-benar menikmati pekerjaannya di Sun World.

"Ngomong-ngomong, lo kerja apa di sana?"

Terdiam. Ilmi menghela nafas panjang sebelum menjawab. Jawaban yang sudah dipersiapkannya jika ada orang yang bertanya.

"Sama kayak di kantor dulu. Tapi kali ini gue punya tim buat bikin software terbaru." Ilmi menjelaskan. "Mereka juga baik-baik kok. Jadi, nggak masalah."

"Tapi...," Kalimat Dewi menggantung. Perempuan itu ragu menanyakannya. Jika ia menanyakannya, belum tentu juga Ilmi menjawabnya. Dan jika perempuan itu menjawabnya, belum tentu jawaban itu benar.

"Apa?"

"Gosip yang gue denger, Sun World perusahaan kejam yang suka menindas perusahaan lain. Bener?"

Ilmi tertawa. "Jangan dengerin gosip dari luar." Katanya tenang. "Sun World nggak sekejam itu kok."

Dewi berdecak kesal. Ini bukan jawaban yang benar, kan? Jika jawaban ini benar, mengapa Sun World memaksa Ilmi untuk bekerja di sana?

"Mi,"

"Apa?"

"Gue gantiin posisi lo ya?" Katanya dengan raut wajah sedih. "Gara-gara gue, lo harus kerja di sana."

Dengan cepat, Ilmi menggeleng. Bagaimana ia harus menjelaskan semuanya pada Dewi, jika perempuan itu sebenarnya bukanlah alasan sebenarnya ia dipaksa bekerja di sana.

"Ini bukan gara-gara lo, Dew." Ilmi menjelaskan perlahan. "Serius. Mereka memang udah menawarkan gue untuk kerja di sana sebelumnya. Jadi, gue kerja di sana bukan karena terpaksa."

"Bener?"

"Ilmi?"

Keduanya menoleh. Mendapati seorang laki-laki tua berjas hitam dengan kacamata menghiasi wajahnya. wajahnya terlihat begitu ramah.

"Oom Juno?" Ilmi terbelalak kaget. Senyum di wajahnya mengembang. Ia menjabat tangan laki-laki tau itu lama. "Apa kabar?"

Laki-laki tua yang dipanggilnya Oom Juno itu duduk tepat di sebelah Ilmi. Tersenyum ramah dengan aura bijaksananya.

"Baik. Ini... teman kamu?"

Ilmi mengangguk. "Oom, kenalin, ini Dewi. Teman kerjaku di kantor. Dew, kenalin, ini Oom Juno. Mertua Kakak perempuan gue."

Dewi menjabat tangan hangat milik Oom Juno. Tersenyum ramah membalas senyuman Oom Juno.

"Jadi, sekarang kamu kerja di mana?"

***

Setelah menolak ajakan Brian untuk pulang bersama, Ilmi segera mencari taksi untuk ke tempat yang sudah Reno tentukan. Katanya, di sana ia akan bertemu dengan partner barunya. Partner yang akan membantunya untuk melancarkan aksi balas dendam Reno juga menyelamatkan teman-temannya dari ancaman Sun World.

Hari ini ia berniat memberitahu kepada partnernya bahwa ia mendapatkan perintah untuk menembus database pribadi milik presdir sebuah perusahaan kosmetik. Atasannya itu menyuruh dirinya untuk mencari berbagai macam surat perjanjian juga data-data yang dimiliki oleh perusahaan itu.

Ilmi tidak tahu jelas untuk apa semua data-data tersebut. Yang ia tahu, ia harus menjalankan tugasnya jika ia tidak mau mati di tangan para mafia yang bekerja pada Sun World.

Reno juga tidak memberikan intruksi apa-apa untuk melaksanakan statusnya sebagai pengkhianat Sun World.

Bekerja selama seminggu lebih dengan Sun World, membuatnya mengetahui sedikit hal gelap yang terjadi di sana.

Sun World memang kejam. Sesuai dengan gosip yang beredar. Namun lebih kejam lagi. Ia menemukan kenyataan bahwa Sun World telah "menyingkirkan" beberapa orang dengan dakwaan palsu agar mereka menutup mulut mereka tentang rahasia gelap Sun World.

Rahasia yang membuatnya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah terjadi pada Sun World? Mengapa perusahaan itu begitu berkuasa? Mengapa perusahaan itu berniat untuk menghancurkan perusahaan lain? Padahal perusahaan-perusahaan itu bekerjasama dengan Sun World.

"Ilmi?"

Perempuan itu menoleh saat namanya dipanggil. Sudah pasti itu partner barunya.

Namun, saat ia menoleh, ia menemukan orang yang sudah dikenalnya begitu lama. Orang yang begitu dekat dengannya lebih dari 5 tahun lamanya.

"Vina?"

Continue Reading

You'll Also Like

47.4K 941 17
Semoga bisa memotivasi Jangan lupa vote and comment
Khansa By dheedesm

General Fiction

24.9K 1.2K 13
Tenang, dingin dan penuh rahasia_* ~Khansa Amirah Afsheen Gilbert~ *********** Amazing cover by @hanisna
2.3M 19K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
748 169 19
Mengisahkan kelima saudara kembar yang memiliki sifat yang absurd yang membuat suasana ramai. Raka dan Risa merupakan orang tua kandung dari kelimany...