Magic In You | Haechan ✓

By 23byeolbamm

22.8K 1.2K 1.1K

"Tentang perjuangan yang tak kenal kata balas. Tentang ikhlas yang tak kenal kata pamrih. Dan tentang kehilan... More

Little Spoiler
Cast Revealed
Prolog: Forever Only
I. Ready For Love
II. How We Met
III. Demon Side
IV. This Is Fate And That's A Fact
V. Broken Hope
VI. On Our Home
VII. November 21, 2021
VIII. The Taste Of Pain
IX. Nightmare
X. Never Goodbye
XI. Sorry, Heart
XII. Lost Something Special
XIII. My Stupid Love
XIV. We're Empty
XV. Hard Slap
XVI. Fallin'
XVII. Be My Mistake
XVIII. 180 Degree
XIX. How Can I Love The Heartbreak
XX. The Way I Hate You
XXI. Unable To Love
XXII. It Will Rain
XXIII. The Rainy Night
XXIV. The Truth [bag. 1]
XXV. The Truth [bag. 2]
XXVI. Things I Could Never Say [END]
Epilog: Me After You [bag. 1]
Epilog: Forever With You [bag. 2]
📢Somethin' New‼️

Bonus Clip: Alisha Alegria

797 25 13
By 23byeolbamm

7 bulan kemudian...

"Sebelumnya maaf ya, Al, jadwal USG kamu harus saya majukan tiba-tiba."

Mendengar penuturan itu, seulas senyum muncul di bibir Alda. "Nggak apa-apa, dokter nggak perlu sungkan begitu. Saya nggak merasa keberatan."

"Aksara nggak ikut?"

"Mas Aksa masih di kantor jam segini."

Di balik kacamatanya, sepasang mata dokter Ali tampak membesar. "Jadi kamu sendiri ke sini?"

"Iya."

"Nyetir?"

"Nggaklah. Bisa abis dimarahin Mas Aksa kalau saya nekat nyetir. Saya pakai taksi."

Pria di hadapannya lalu tertawa. "Mau USG sekarang?" Dijawab anggukan ringan oleh Alda. "Let see apa yang sedang dilakukan peri kecilmu di dalam sana ya," ujarnya kemudian, sambil mempersiapkan peralatan.

Ini bukan kali pertama, tapi setiap melakukan ini, selalu ada perasaan was-was yang menghampiri dada Alda. Tegang, yang baru bisa berubah lega setelah layar di sampingnya memperlihatkan aktivitas si janin di dalam perut.


"She's fine, overall. Kamu masih ikuti saran dari saya?"

Mata Alda masih meneliti layar ketika menjawab, "Kadang lupa, kadang juga bisa tiba-tiba gak mood. Tapi selalu dipaksa Mas Aksa."

"Suami siaga banget ya Aksara." Entah dia mengejek atau tidak, tapi pria yang tahun ini memasuki kepala empat itu terkekeh di akhir kalimat.

"Tapi akhir-akhir ini saya jadi sering sakit punggung, is that okay, Doc?"

Dokter Ali mengangguk ringan. "Sangat wajar. Hormon kehamilan mengendurkan jaringan ikat yang menahan tulang panggul, tapi sebenarnya itu bagus untuk memperlancar persalinan.

"Selama trimester tiga juga kamu akan sering mengalami kontraksi palsu, banyak-banyak komunikasi sama suami apa yang kamu rasain. Dan kamu juga tetap ikuti saran dari saya, ya. Tetap aktif bergerak, bisa jalan-jalan sekitar rumah, atau berenang."

"Perkiraan lahirnya kapan, Dok?"

"Karena sekarang baru 31 minggu, jadi kemungkinan... pertengahan Maret tahun depan."

***

"Kamu serius nggak mau saya antar?"

Tepat di lobi rumah sakit, Alda menghentikan langkah, memutar tubuhnya sedikit hingga menghadap sang dokter. "Dokter Ali yang terhormat, nggak perlu. Saya bisa naik taksi sendiri. Saya masih bisa jaga diri saya sendiri. Tadi juga saya baik-baik aja pas sampai sini, kan?"

Kata-katanya membuat pria itu tidak bisa membantah lagi. Akhirnya ia menghela napas pasrah. "Entahlah, saya merasa cemas tanpa alasan."

"Fighting, semoga besok acaranya lancar." Setelah mengatakan itu, ponsel di dalam tasnya berdering panjang. Perhatian Alda teralihkan sebab lekas melihat siapa yang meneleponnya.

Ketika Alda pikir itu Aksa, dia salah sebab nomor yang tertera nomor asing.

+62 812-1277-1999
Calling...

"Siapa? Aksa, ya?"

Alda menoleh lagi ketika pertanyaan itu menyapa telinga. Dan begitu mendengarnya, ia refleks menggelengkan kepala. "Bukan. Nomor asing." Kemudian menggeser log hijau tanpa pikir panjang.

"Halo? Siapa?" Setelah mendengar jawaban, untuk sesaat Alda terdiam. Kedua matanya memandang dokter Ali dengan sorot ragu. Saat pria jangkung itu menaikkan alisnya, Alda menggeleng kaku. "Aku pamit ya," katanya pelan.

"Hati-hati."

Si perempuan mengangguk, lalu mengulas senyum. "Iya, Alice, kenapa?"

Alda tak tahu, bahwa di belakangnya, Dokter Ali masih dapat mendengar percakapannya walau samar. Dahi pria itu mengerut selama memperhatikan punggung pasiennya yang menjauh.

"Alice?"

***

Sore hari, setelah mencabut kunci, tak perlu waktu lama untuk Aksa keluar dari mobil. Guratan lelah yang semula tergambar di wajahnya lekas sirna saat kakinya menapak di halaman.

Hal sesederhana itu sudah ia terapkan sejak berbulan-bulan lalu. Aksa hanya boleh menunjukkan raut bahagia di depan sang istri, mau selelah apapun ia di kantor. Impulsif, tapi ia melakukan itu bukan tanpa alasan. Semenjak hamil, Alda menjadi lebih sensitif. Dia sering memikirkan hal yang tidak-tidak, sementara dokter sangat menyarankan perempuan itu untuk tidak memikirkan banyak hal.

"Aku pulang."

Saat kakinya melangkah menuju ruang tengah, hanya ada Mama yang duduk sendirian, bertemankan teh hangat dan sepiring kue cokelat.

"Tumben pulang telat, Nak."

"Alda mana, Ma?"

"Lho, dia nggak ke kantor? Tadi pamitan mau nyamperin kamu."

Aksa yang baru saja duduk di sampingnya langsung menolehkan kepala. "Aku nggak ketemu dia."

"Coba lihat handphone, barangkali dia chat atau telepon kamu."

Lelaki itu menurut, mengeluarkan ponselnya dari saku jas. "Oh, ada. Dia ke rumah sakit buat USG. Harusnya besok, tapi diubah karena Dokter Ali cuti besok." Setelah membaca pesannya, pria itu menghela napas. "Jadi dia USG sendiri tadi."

"Ya sudah, kamu nggak usah terlalu khawatir gitu."

Sebelumnya, Aksa tidak berpikir macam-macam, tetapi mendengar kata khawatir terselip dalam kalimat Mama, kenapa otaknya malah berpikir yang tidak-tidak? Apalagi setelah melihat jam yang terpampang di dekat pesan. "Tapi, Ma, chatnya udah dari jam tiga tadi. USG nggak selama itu."

"Coba kamu telepon lagi."

Menelepon Alda? Nomornya aktif. Namun tidak terjawab. Dia pasti lupa lagi nyalain nada dering, begitu pikiran positif Aksa. Akhirnya ia menelepon Dokter Ali.

"Iya, Aksara?"

"Dokter, apa Alda di sana? Tolong bilangin nyalain nada deringnya, saya nelepon tapi nggak diangkat."

"Alda? Dia... belum sampai?"

"Apa?"

"Dia memang di sini, tadi. Nggak lama karena memang cuma USG doang. Dia belum pulang?"

"Jadi dia nggak di sana?"

"Saya malah sudah pulang ke rumah."

Aksa kontan mengusap wajah. Berusaha menenangkan diri agar pikirannya lebih jernih.

"Maaf, saya mempercepat jadwal USG istri kamu tadi, saya harus ke Korea Selatan besok."

"Kenapa, Aksa? Alda di mana?"

Kalian bayangkan seberat apa jadi Aksa. Dia baru pulang kantor, disambut kabar hilangnya sang istri yang tengah mengandung 7 bulan. Namun, harus tetap bersikap tenang agar Mama tidak khawatir berlebihan.

"Aksara, ada apa?" Mama memburunya.

"Aku cari Alda. Mama tolong jagain Hanan."

"Tapi—kamu mau ke mana, hei—Aksara—!"

Aksa sengaja mengabaikan Mama, tak bisa menjawab lebih banyak pertanyaan karena di dalam kepalanya juga dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Setelah duduk di dalam mobil, dia beberapa kali menarik napas, berusaha menenangkan diri. Namun cekalan tangan pada roda kemudi tidak bisa membohongi. Bahwa Aksa sedang jauh dari kata tenang.

"Halo, Aksara? Masih dengar saya?" Ponselnya masih terhubung dengan dokter Ali. Aksa meliriknya, langsung menyalakan mobil, sementara benda tipis itu ia simpan di atas dasbor.

"Masih, Dok."

"Tadi sebelum pergi, kami sempat bicara sebentar sambil nganterin dia ke lobi. Waktu mau pulang, dia dapat telepon dari nomor asing, kemungkinan besar dia menemuinya."

"Siapa?" tanyanya memburu. Ini bisa jadi petunjuk.

"Saya gak yakin, tapi dia nyebut nama Alice?"

Mobilnya yang baru saja memasuki jalanan besar langsung berhenti. Beruntung tidak ada kendaraan lain di belakang Aksa. "Alice?" Ia kembali memastikan.

"Iya, kalau tidak salah."

"Terima kasih, sekarang saya tahu dia di mana."

***

Apa yang terjadi?

Begitu kedua matanya terbuka, dinding pucat menyambutnya. Alda familier dengan dinding itu. Dan benar saja, begitu ia memutar pandangan, ia tersadar bahwa dirinya masih di rumah Alice. Rumah yang dibeli Aksa untuk Alice, ternyata benar-benar berakhir diberikan kepada gadis itu dengan harapan dia bisa berubah. Sementara selama 7 bulan ini, Alda diajak tinggal di rumah Papa.

Kepalanya pusing, dan ia baru sadar tangan serta kakinya diikat saat hendak memijat.

"Alice?" panggilnya lantang, karena dia sendirian di ruang tengah ini.

Sekitar sepuluh detik kemudian, suara langkah kaki memasuki telinganya. Alda langsung waspada, menoleh ke sana-kemari dengan perasaan yang mulai dilanda cemas. Tapi suara itu terdengar dari arah belakang. Lalu saat ia menoleh dengan susah payah, sosok kurus Alice langsung memenuhi mata.

"Hai."

"Apa yang kamu lakukan? Kenapa saya diikat?" tuntut Alda. Namun perempuan dengan gaun merah itu hanya tersenyum tipis.

"Apa kabar, Alda?"


"..., kamu mau ngapain?"

"Jangan panik gitu, kamu lagi hamil besar." Matanya melirik perut Alda yang besar. "Maaf ya, Dek, aku harus ikat ibu kamu. Dia bisa sangat nekat, jadi aku ikat. Biar gak ngelawan."


Siapa yang tidak overthinking jika mendengar kalimat ambigu itu? Alda refleks mundur, sampai punggungnya menubruk sofa. Sakit, tapi ia harus menjauh sejauh mungkin dari gadis berbahaya itu.

"Aku nggak akan nyakitin kamu, aku justru mau minta tolong kamu. Tapi sebelum itu, mari kita ngobrol bentar. Karena aku rasa... ini bakal jadi pertemuan terakhir kita."

Kemudian dia bangkit, berjalan menuju dapur. Langkah kakinya terdengar menyeramkan dengan stiletto merah terang yang ia pakai. Sementara di tempatnya duduk, Alda memilih diam memperhatikan. Saat Alice kembali, saat itu juga mata Alda membelalak panik. Gadis itu membawa sebilah pisau besar di tangan kiri.

"Jangan berani menyentuh anak saya!" Namun walau Alda berkata dengan tegas, dia terus saja menggeser bokongnya hingga ke pojok sofa. Perempuan itu seperti berada di ambang garis antara takut dan berani.

Melihat itu, satu sudut bibir Alice tertarik. "Bahkan memikirkannya aja aku nggak berani."

"Terus mau apa kamu dengan pisau itu?!"

"Ini?" Wanita itu menodongkan pisau ke arah Alda. Ujungnya yang mengkilap sempat membuat Alda menahan napas selama 3 detik. "Pegang ini."

"Nggak."

"Pegang! Aku kasih buat kamu, simpan baik-baik karena nanti kamu bakal butuh ini."

"NGGAK! Mau kamu apa sebenarnya?!"

"Mauku?" Kepalanya memiring seperti orang yang berpikir. "Aku mau hidup tenang, seperti sebelum ketemu Aksa dulu."

"S-sekarang kamu udah gak sama Aksa—"

"Tapi hidupku masih nggak tenang!"

Tubuhnya terperanjat dengan kaki yang mulai bergetar. Alda ketakutan setengah mati, dalam hati terus mengelukan nama sang suami.

"7 bulan," ada jeda sejenak, "7 bulan aku hidup tersiksa, sementara kalian hidup bahagia. Aku nggak bisa—"

Kalimatnya dipotong getar ponsel yang tersimpan di atas meja. Nama Jefta terbaca sekilas sebelum Alice melemparnya ke sofa dan membuat getarannya teredam.

"Fuck. Dia bikin hidupku makin gak tenang," umpatnya pelan.

"Alice, sadarlah. Kamu nggak akan dapat ketenangan yang kamu mau kalau hidup begini."

"Terus aku harus hidup yang gimana? Hah? Aku udah menjauh dari kalian, aku pikir itu pilihan terbaik tapi ternyata enggak sama sekali, Alda!" Tangan kanannya mengusap wajah dengan kasar. "Aku nggak bisa hidup tanpa Aksa."

"Kamu udah gila."

Bukannya tersinggung, Alice justru menyulam senyum. "Lebih tepatnya, Aksa yang bikin aku gila."

"..."

"Dia harus tanggung jawab, bukan?"

"..., apa?"

Tidak ada balasan, tetapi perempuan itu berjalan mengitari sofa. Saat Alda mengikuti geraknya dan menoleh ke belakang, saat itu juga ia paham arti tanggung jawab yang dikatakan Alice.

"Alice, jangan bertindak bodoh!"

"Bodoh? Kamu menyebut cintaku bodoh?" Alice tertawa sumbang. Seolah tuli, dia tidak mengindahkan perintah Alda dan terus naik ke atas kursi makan yang sepertinya sudah disiapkan. "Tapi emang iya sih."

"Turun! Kamu nggak bisa merebut Aksa dengan ancaman itu!"

"Aku nggak berniat merebut Aksa, karena aku sadar itu bakal sia-sia. Aku cuma penasaran, kalau aku pergi... apa Aksa bakal menyesal?" Satu tangannya meraih tambang yang tergantung di depan wajah. Menatapnya dengan sorot sendu, sementara seulas senyum tersulam di bibir manisnya. Senyum yang redup, seperti matahari di luar jendela.

"Jangan..." Alda menggeleng keras beberapa kali. Air mata mulai berjatuhan di kedua matanya saat tambang telah melingkari leher Alice.

Hanya tinggal menjatuhkan kursi dan semuanya akan berakhir...

"Nggak, aku mohon..."

"Ambil pisau yang kukasih tadi, potong ini kalau udah selesai, mengerti?"

Brakk

"Alice?!"

"Jefta?"

***

Kekacauan sedang terjadi, Alda sadar itu. Saat berusaha membuka mata, pandangannya memang buram. Namun Alda mampu melihat bagaimana orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. Bahkan dari suasana dan berisiknya sekitar, Alda bisa dengan mudah menyimpulkan.

"Alda? Alda, kamu sadar?"

Di sampingnya, ia melihat Aksa tersenyum lega. Wajahnya cukup berantakan, tapi yang paling menarik perhatian adalah mata suaminya memerah, seperti habis menangis.

Dia hendak bersuara. Namun sebelum benar-benar keluar, seseorang yang datang di sisi lain ranjang mengalihkan atensinya.

"Alda? Kamu dengar saya?" Ia menjawab pertanyaan Dokter Ali dengan anggukan lemah. "Syukurlah dia sadar sebelum operasi."

"Saya... kenapa?"

"Kamu mengalami persalinan spontan karena syok yang janin kamu terima, efeknya ketuban kamu pecah secara dini. Kita harus segera mengeluarkan bayinya karena itu akan sangat berbahaya. Aksa sudah setuju melakukan prosedur operasi caesar untuk kamu. Baguslah kamu sadar, tolong tetap jaga kesadaran sampai sebelum operasi nanti."

"..., kapan?"

"Satu jam lagi."

Setelahnya, hening menghuni ruang inap itu. Dalam satu menit, mereka yang tinggal meninggalkan ruangan satu per satu. Tersisa Aksa yang setia duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

"Mas Aksa," Alda mencoba memanggil, takut-takut diamnya Aksa karena sedang menahan amarah. "Kamu... nggak marah, kan?"

"..."

"Aku minta maaf—"

"Enggak apa-apa," potongnya, mengulas senyum. "Kamu tidur cukup lama, aku takut."

Alda tidak membalas, memang, sebab tidak kuasa. Dia mendadak kehilangan kata-kata saat Aksa beralih berbisik ke perutnya. "Isha, ini Ayah, Nak."

"Kamu beneran mau namain dia Alisha, Mas?" tanya Alda susah payah, sebab bercampur dengan perasaan sesak yang membuncah di dada.

"Isha anak ayah, kamu yang kuat ya? Sebentar lagi kita akan ketemu."

Ada gerakan. Alisha mendengarkan. Lantas, tepat di atas punggung tangan suaminya, Alda juga ikut mengelusi perutnya.

"Hello, Alisha Alegria."


[MAGIC IN YOU : END]


bikin scene ini untuk menghibur hatiku wkwk

dan untuk menunjukkan pada kalian, bagaimana akhir hidup alice

Continue Reading

You'll Also Like

318K 25.7K 28
Winnaura Malya, seorang gadis cantik yang keras kepala dan pemberontak berniat untuk kawin lari dengan pacarnya yang berbeda keyakinan. Sebagai bentu...
1.8M 87K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
16.9M 748K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.2M 33.5K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...