Semper Paratus

بواسطة imajiaisyy

1.7K 900 979

Judul sebelumnya : Charmolypi. ------------------ "Cantik, boleh kenalan dong." "Diem! Atau mau kita videoin... المزيد

0. Arc; Konflik bersaudara.
1. Relaps (WARNING Self Harm)
2. Rumah Sakit.
3. VVIP K-2
4. Mimpi Buruk.
5. Anger.
6. Afeksi.
7. Histeris.
8. Senper Paratus.
9. Reminisensi.
10. BF.
11. Penjelasan.
12. COTUDRA.
14. F41.2
15. Suicidal Thoughts.
16. Suicide.

13. Mau mati saja.

67 36 18
بواسطة imajiaisyy

"Harapan dan malapetaka.
Mereka selalu berdampingan."

*******

Selamat membaca.
With love, Ais.
_______

"Loh? Siapa kalian?" tanya Rion kepada dua orang asing yang berdiri di depan ruangan Hiranya.

"Selamat malam, Tuan Muda. Saya Ahin dan ini Razkal," tunjuk Ahin pada pria yang memiliki perawakan lebih kekar darinya. "Kami bodyguard Nona Hiranya mulai hari ini."

Rion mengerutkan dahinya. Lantas tersenyum meremehkan. "Jean? Ega? Apa enggak cukup? Berapa banyak lagi yang bokap gue kirim?"

"Mereka juga. Kami berempat ditugaskan untuk menjaga Nona Hiranya. Apa Jean belum memberi tahu, Tuan Muda?" tanya Razkal memastikan.

Rion diam dengan senyuman remeh yang masih tercetak jelas di kedua sudut bibirnya. Dengan sengaja, Rion berjalan masuk melewati mereka yang kini merasa takut.

"Tuan Muda marah enggak, si, kalau kaya gitu?" Razkal berbisik kepada Ahin begitu Rion hilang dari pandangan mereka.

Ahin mengangkat bahu. "Enggak tahu. Kitakan enggak pernah jaga dari jarak dekat anak-anaknya Tuan besar dan Nyonya."

"Bener juga."

"Nanti kita tanya Jean. Sekarang fokus dengan tugas kita saja," kata Ahin yang dibalas dengan acungan jempol dari Razkal.

***

"Bang Alam, Mbak Shiara di dalem?" Rion bertanya kepada Alam yang sedang sibuk mengotak-atik kamera di tangannya.

Alam mendongak. Tangan pria itu terangkat mengajak bertos. "Kapan lo dateng?"

"Barusan." Rion membalas high five Alam sambil mendudukkan dirinya di samping pria itu. "Lo kefokusan, si. Mbak Shiara di dalem?"

"Yoi. Jangan masuk dulu, katanya. Shiara lagi ngajak Hiranya bincang-bincang. Kayaknya mau pastiin diagnosis, deh."

Penuturan Alam sukses membuat Rion sedikit panik. Pria itu khawatir jika Hiranya tidak bisa menerima dan merasa rendah diri dengan hasil diagnosis yang akan tersemat kepada dirinya, sekali lagi.

"Tenang aja. Hiranya bakal baik-baik aja, kok," ucap Alam tiba-tiba. "Lo mau nginap di sini?" tanyanya lagi.

"Heem," gumam Rion.

"Barang-barang lo? Sorry, nih, ye, gue cuma bawa satu set baju tidur."

Rion tertawa pelan. Ia paham maksud Alam. Sebab, biasanya Rion tidak pernah membawa baju ganti apapun dan hanya meminjam. "Tenang, sekarang gue bawa baju ganti kok."

"Hellow, good night." Suara bernada yang menarik atensi mereka terdengar tidak asing di telinga Rion. Suara familier itu muncul bersamaan dengan pintu yang terbuka. Rion menoleh dan mendapati Carlyle yang masuk dengan menenteng satu tas belanja dan tas kerja.

"Ngapain lo ke sini? Kan udah gue bilang, enggak bisa jenguk Hiranya," sewot Rion yang dibalas cengiran kuda dari sahabatnya itu.

"Gue enggak niat jenguk Hiranya, kok. Gue cuma mau nemenin lo," elak Carlyle. Pria itu dengan santai meletakkan kantong plastik besar berisikan snack ringan di meja dan tas kerjanya di sofa. Lantas ia mendudukkan diri di sofa seberang Rion.

"Temen lo, Yon?" tanya Alam penasaran.

Alam dan Carlyle memang belum pernah bertemu sebelumnya. Alam cukup terkejut dengan visual yang dimiliki oleh teman Rion yang sangat berbanding balik dengan visualnya warga Indonesia.

"Oh, hi, i'am Carlyle Charies. You?" Carlyle mengulurkan tangan terlebih dahulu. Pria itu tersenyum dengan ramah hingga mengangkat kedua tulang pipinya.

"Alam," jawab singkat Alam dengan tangannya yang membalas uluran Carlyle. "Tas kerja? Pulang ngantor?"

Carlyle melirik sekilas tas kantor miliknya lalu ia menggeleng. "Enggak. Ada kerjaan, jadi sekalian aja dibawa."

Alam manggut-manggut. "Lo temen deket Rion?"

"Calon adik ipar Rion, tepatnya," seru Carlyle penuh percaya diri.

"Enggak!" tolak Rion mentah-mentah. Pria itu menatap sengit Carlyle sambil membuka kuaci dari plastik belanjaan yang di bawa sahabatnya itu.

"Lo naksir siapa? Hiranya? Atau yang satunya, si bungsu. Siapa deh namanya, Yon?"

"Niovi. Pokoknya mau Niovi at- "

"Tentu saja, Hiranya! She is my favorite person," ungkap Carlyle memotong kalimat Rion. "Sshh ... keep it dark," bisik pria itu dengan jari telunjuk yang diletakkan di atas kedua bibir tipisnya.

Segera Rion meraih bantal sofa dan melemparkannya ke arah wajah Carlyle. Dengan sigap Carlyle menangkap bantal itu. Pria itu tergelak ketika melihat ekspresi Rion yang semakin kesal.

"Jangan berisik! Hiranya lagi konsultasi di dalem!" tegur Rion dengan melemparkan kulit kuaci ke arah Carlyle. Mendengar itu, Carlyle segera menutup mulutnya sendiri lantas menatap pintu kamar inap Hiranya.

"Sama psikolog?"

Rion menggeleng. "Psikiaternya dia. Mbak Shiara."

Carlyle beroh ria. "Masih lama enggak?"

"Mana gue tahu. Emang kenapa?" tanya Rion penuh selidik. Matanya menatap Carlyle, menyiratkan penuh kecurigaan.

Carlyle menghembuskan napas pelan. "Biasa aja dong liatin guenya. Slow. Gue cuma pengin ngintip dikit."

"Ngintip apaan?!" Tanpa sadar Rion menaikan intonasi suaranya.

"Sshh ... kalian! Kalau mau berisik di luar sana!" titah Alam yang sedari tadi sibuk mengelap lensa kameranya. Pria itu bangkit menarik kerah baju Rion dan Carlyle bersamaan. Membawa mereka keluar dari ruang rawat Hiranya. "JANGAN. MASUK. KALAU. MASIH. MAU. RIBUT!"

Pintu tertutup dari dalam. Sementara Rion dan Carlyle masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Tuan Muda?" Ahin memberanikan diri memanggil Rion.

"Ini ... baru saja ... gue diusir?" Bukan Rion yang menyahut. Melainkan Carlyle yang membuka suara terlebih dahulu. Pria itu bertanya sambil mengerjapkan-ngerjap. Ia terlihat syok.

"Gara-gara lo, sih!" tuduh Rion sambil mengacak-acak rambutnya. Pria itu bersandar pada tembok, lalu berjongkok. Kontan saja hal itu langsung membuat Ahin dan Razkal panik.

"Tuan Muda, silakan duduk di sini," tunjuk Razkal pada kursi berbulu tebal yang berada di luar ruang rawat Hiranya.

Ahin mengangguk. "Silakan Tuan Muda."

"Berisik. Diam." Ucapan ketus dan lirikan tajam mata Rion sukses membuat Ahin serta Razkal terdiam dan kembali ke posisi mereka.

Sementara, Carlyle mendudukkan dirinya di kursi berbulu itu. Tangannya memainkan setiap bulu-bulu halus yang terjangkau. "Lo kalau lagi ada apa-apa jangan sering lampiasin ke orang lainlah."

Rion mendelik. Menatap tajam Carlyle. "Gue lagi sebel sama lo."

"Oh? Okay, so what?" Carlyle mengangkat kedua tangannya.

"Jangan bercanda gitu lagi. Bercandaan lo itu enggak lucu!" ketus Rion. Pria itu melipatkan kedua tangan di atas lutut lalu menenggelamkan wajahnya di sana.

Carlyle mengangkat sebelah alisnya. "Bercanda? Gue? Kapan?"

"Lo selalu bilang suka Hiranya. Cinta Hiranya. Kalo lo bercanda, serius, itu enggak lucu!" tandas Rion. Tiba-tiba saja ia merasa emosinya akan meledak.

"Tapi gue enggak pernah bercanda, tuh," jawab Carlyle santai.

Rion geram. Ia bangkit. Menarik kerah baju Carlyle, lantas berkata dengan mata penuh emosi. "Jadi selama ini lo serius? Ha? Yang bener aja!"

Carlyle menghempas kasar tangan Rion. Pria itu berbisik dengan menekan segala kalimatnya. Menahan emosi yang hampir terpancing. "Lo cemburu kalau adik lo gue sukain? Lo kira Hiranya bakal selamanya sama lo? Are you sure, Man?"

Rion berdecak. Tangannya terkepal. "Bukan gitu," ucapnya lirih. "Gue enggak mau Hiranya sakit hati. Lo lihatkan kondisinya sekarang."

"Ha?! Lo ...." Carlyle menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan pemikiran dangkal Rion. "Persetan dengan semua itu, Yon!"

"Lo bisa bilang gitu karena lo enggak tahu separah apa dia sekarang. Lo mungkin bakal nyesel!" Rion kembali bersuara. Jika ini bukan di rumah sakit, mungkin sedari tadi ia sudah menaikan oktaf suaranya. Berteriak sekencang-kencangnya, melampiaskan segalanya.

Sejujurnya, Rion tidak pernah berharap ada pria yang mencintai adiknya. Pria itu tidak pernah mengharapkan seseorang yang mampu menerima Hiranya apa adanya. Sebab harapan-harapan seperti itu, nantinya mungkin akan menyakiti Hiranya.

Rion sama sekali tidak bisa melihat Hiranya sakit lebih dari sekarang ini.

"Spit it out." Carlyle menatap serius Rion.

"Apa?"

"Semua tentang Hiranya saat ini. Semua. Termasuk kondisi dia," pinta Carlyle masih dengan menatap tepat pada pupil hitam Rion dengan serius.

Rion memegang gagang pintu, berniat masuk. "Lo bisa liat sendiri nanti."

Carlyle mengekori Rion. Mereka kembali duduk pada posisi masing-masing. Untung saja, percakapan penuh emosi yang mereka lakukan tadi tidak terdengar sampai ke dalam.

Setengah jam berlalu. Tanpa obrolan dari Rion maupun Carlyle. Keduanya sama-sama menyibukkan diri di depan laptop masing-masing. Sedangkan Alam, pria itu diam tidak ingin ikut campur ke dalam konflik antara Rion dan sahabatnya, Carlyle.

Suara tawa menggelegar terdengar sampai ke ruang tamu mini di sana. Suara itu berasal dari kamar Hiranya. Mereka bertiga terkejut, lantas bangkit dan membukakan pintu dengan buru-buru.

Pemandangan nahas menyambut netra mereka bertiga. Seorang gadis tertawa keras dengan selembar kertas di tangannya. Sekilas, hal itu terlihat biasa saja. Namun, air mata yang turun dengan deras dari kedua mata indah gadis itu mampu menyesakkan siapapun yang melihat.

Gadis itu tertawa.

Namun, air matanya tidak mampu berdusta.

Ia menangis. Meraung, dengan suara tawa menyayat hati yang terus keluar dari bibir pucatnya.

Wajah penuh air mata itu memerah. Tangannya melepas kertas yang semula digenggam erat. Membiarkan kertas itu terbang hingga jatuh menyentuh dinginnya lantai.

Gadis itu menangis tersedu-sedu tanpa sisa tawa. Ia meraung lalu berteriak dengan kedua tangan yang menjambak kuat rambut panjang kusutnya. "Mati ... aku mau mati saja!"

"You can see, ini Hiranya yang saat ini," bisik Rion kepada Carlyle yang mematung. Air mata pria itu menggenang. "Lo nyeselkan dengan semua perkataan lo? It's okay, belum terlambat untuk berbalik, Le."

Ini yang terbaik untuk Hiranya ... dan Carlyle.

Rion segera meninggalkan Carlyle setelah mengucapkan kalimat tersebut. Pria itu menghampiri Hiranya, memeluk tubuh yang saat ini histeris. Mengunci segala pergerakan adiknya yang terus meronta-ronta.

Hingga akhirnya, tubuh kurus nan pucat itu melemas karena kelelahan dan jatuh pingsan.

_______

Menurut kalian, ada enggak, sih, seseorang yang bisa menerima pasangan mereka dengan apa adanya?
Bahkan saat kewarasan pasangannya yang semakin menipis?

Next chapter kira-kira bakal gimana, ya?

Terima kasih.
Sampai jumpa lagi.

-Ais.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

1.1M 107K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
ALZELVIN بواسطة Diazepam

قصص المراهقين

5.1M 291K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.5M 257K 61
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
283K 11.6K 31
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...