PUNK (Selesai)

By Imajinati

319K 50.4K 7.7K

**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuh... More

Prolog
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 35 II
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
PART 76
PART 77
PART 78
PART 79
Bukan Up-PART
PART 80
PART 81
PART 82
PART 83
PART 84
PART 85
PART 86
PART 87
PART 88
PART 89
PART 90
PART 91
❤END❤
Jika...

PART 41

3.4K 525 97
By Imajinati


Karena anak kelas tiga sedang ujian, anak kelas satu dan dua jadi diliburkan satu minggu penuh. Pram didaftarkan les oleh Erik untuk persiapan menempuh Ujian Akhir Semester; yang akan dilaksanakan beberapa minggu setelah Ujian Nasional kelas tiga.

Di dalam ruangan kelas yang berisi beberapa anak itu, sekarang sedang jam les pelajaran Matematika. Pram malah mengantuk saat guru les sedang menjelaskan rumus cara cepat memecahkan salah satu jenis soal.

-

"Ini hari keenam kamu les di sini. Masih tidak mengerti?"

Pram menggeleng.

"Orang tua kamu bayar kami gak sedikit lho. Kalo kamu gak bisa bekerja sama, kami juga tidak bisa menjamin banyak. Nanti ujung-ujungnya orang tua kamu yang memandang tempat kami jelek."

"Nggak akan, Bu, Papa saya ngerti kok."

"Mungkin kamu bisa les tambahan hanya berdua dengan saya."

"Nggak usah, Bu, ini hari terakhir saya les. Hari Senin mulai masuk sekolah lagi."

"Kamu mau naik kelas tiga. Materi kelas 1 aja kamu gak ngerti."

"Nanti saya pelajari di rumah, Bu. Sekarang saya izin pulang dulu ya, Bu. Makasih atas bimbingan Ibu selama saya di sini." Pram bangkit, tersenyum dan mengayunkan kepala dengan sopan lalu keluar dari ruangan kelas yang sudah kosong itu.

Parkiran yang tadinya lumayan penuh, kini tinggal beberapa motor yang tersisa.

"Hhhh... " Pram mengembuskan napas panjang, mengelus dada lega; kunci motornya masih menggantung di lubang kunci, dia lupa mencabutnya tadi. Untung saja tempatnya aman.

Sudah bosan merutuki diri, Pram tidak mengeluarkan kata-kata, dia langsung memutar kunci itu, menyalakan mesin motor lalu melaju. Masih terlalu siang untuk pulang, jadi dia berbelok ke sebuah cafe.

Hanya memesan minuman dan duduk sendiri. Merogoh handphonenya di dalam kantong celana. Baru dinyalakan sejak tadi pagi; kelas lesnya dimulai.

Deki

Pang, jalan, yok. Masih mendidih nih otak gue Ujian gak bisa nyontek.

Deki memanggil tiga kali dan mengirimkan pesan itu, tadi pagi. Pram langsung menggerakkan jari, mengetik balasan

(Ke mana? Gue ada di cafe ***. Nongkrong di mana ya enaknya? Tempat kemaren?)

Pram kira Deki tidak akan langsung membalas. Tapi sepertinya kakak kelasnya yang baru selesai Ujian kemarin itu,
sedang tidak ada kerjaan. Pesannya langsung dibaca; kata mengetik tertera--bergerak-gerak.

Gak usah jauh-jauh. Tar gue sharelok tempatnya, gue jalan sekarang.

(Oke)

Pram menyedot minumannya. Duduk santai sembari menunggu Deki mengirimkan lokasi.

-

Motornya tiba di rumah berbarengan dengan motor hitam Dante. Mereka membuka helm berbarengan. Dante hanya melirik sekilas. Pram memutar bola mata, mengikuti langkah saudara tirinya itu memasuki rumah.

Sampai di dalam kamar, Pram melempar tas ke atas meja belajar. Mengambil handphonenya yang ada di dalam kantong celana... kemudian terbengong. Matanya berkedip dengan mulut terbuka. Pram menggeleng-gelengkan kepala lalu terdiam lagi, meneguk ludah.

"Gila," desisnya sembari mengetuk kepala dua kali; dengan kepalan tangan.

Handphonenya berbunyi. Pram mematikan panggilan yang masuk itu, lalu membalas chat yang baru saja dia buka.

(Masih di jalan, Bang, macet.)

Pram kembali membuka pintu, keluar dari kamar dengan cepat. Dia lupa. Tadi tiba-tiba mengantuk, Pram pulang begitu saja tanpa melihat lagi handphonenya. Haisshhhh... !!!

-

Sampai di lokasi tempat Deki berada; Pram memasuki cafe yang bernuansa alam itu. Cafe outdoor dengan pohon-pohon rindang yang rapi dan panggung live music di hadapan. Deki duduk sendiri dengan secangkir kopi di meja dan sebatang rokok di tangan.

"Nyasar lo?" tanya Deki.

Pram terkekeh, duduk di kursi.

"Pesen belom?"

Pram menggeleng. "Belom."

Deki mengangkat tangan, memanggil pelayan.

"Gimana, Bang?" tanya Pram setelah mengucapkan pesanan dan pelayan pergi untuk menyiapkannya.

"Susah banget, Pang, gak bisa nyontek gue. Lulus gak lulus, harus lulus pokoknya."

"Bukan Ujian. Rencana lo?"

"Hoo, belum nemu gue."

"Yaelah... kabur jadi?"

Deki mengedikan bahu. "Bokap masih di luar kota sama nyokap tiri. Di rumah ada adek tiri gue doang. Yakali gue tinggal."

Pram menaikkan sebelah alisnya dengan senyum tersungging, menggoda. "Udah sayang lo sekarang?"

"Dia mau masuk sekolah kita. Tar gue titip ke lo, ya." Deki tidak menyahut secara langsung, tapi dari tutur katanya itu mengartikan 'ya'.

"Hah? Gimana? Gue kan mau ikut lo pergi."

"Kagak usah deh, Pang. Tar lo bisa temuin gue kapan aja, tapi jangan ikut pergi. Lagian, lo lagi gak sehat, gue gak mau sampe kejadian apa-apa sama lo."

Bibir Pram langsung mengatup saat diingatkan hal itu. Tidak menyangkal. Karena memang ada kemungkinan; dia akan jadi orang yang sangat merepotkan.

"Adek tiri gue itu agak cupu. Anak baek-baek. Jadi gue titip ke lo, takutnya ada yang gangguin."

"Kalo anggota geng lo tahu itu adek lo. Adek lo aman kali, Bang. Mereka yang jaga."

"Tetep aja. Ya... kali aja lo juga mau ngerasain punya adek."

Pram melirik dengan mata sedikit melebar. "Mm, menarik tuh. Gak pernah gue punya adek-adekan. Kalo gue jadi abang, bakal baek kagak, ya?"

"Ya, mana gue tahu. Lo sama Dante tuaan sapa?"

"Si Dante lah, bokapnya kan nikahin nyokap gue pas nyokap dia hamil."

"Tapi lo bisa deh jadi abang dia, soalnya lebih jagoan lo."

"Ogah ya, Bang, punya adek kek dia, beban."

Deki tertawa. "Parah lo, Pang, saudara sendiri disebut beban."

"Bukan saudara gue, kita keiket darah doang."

"Darah itu gak doang, Pang, lebih kentel dari apa pun."

Pram mengedikan bahu. Terserah. Nyenyenye... aliran darahnya yang punya kesamaan dengan Dante ataupun Jhona, tidak berarti apa-apa.

-

Kalau sudah nongkrong, memang pantang pulang sebelum larut malam. Pram turun dari motornya, melangkah menuju rumah. Dia sudah lama tidak bertemu Jhona, sepertinya orang itu sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Biasanya sering merokok di teras malam-malam, sekarang sudah lama tidak pernah terlihat lagi.

Pram memasuki rumah, lampu ruang makan menyala.

"Dari mana lo?"

Dia tadinya tidak berniat menoleh, tapi mendengar suara tanya, kepalanya refleks menengok.

"Tumben bersuara. Ngapain lo nanya? Bukan urusan lo juga." Pram mengakhiri dengan decihan kemudian berlalu. Dante tidak bersuara lagi. Sedang apa orang itu duduk sendiri di ruang makan malam-malam? Bukannya tidur.

"Pram, baru pulang, dari mana?"

Erik yang berjalan menuruni tangga, bertanya. Papanya juga malam-malam ngapain keluar kamar? Ini orang-orang rumah pada insom apa gimana? Biasanya juga jam 10 udah sepi.

"Maen sama temen, Pa."

"Papa kirain tadi ada, pintu kamar kamu kebuka."

"Ohh, lupa nutup kali, Pa."

"Pram, besok kita bikin janji sama Dokter Ari. Papa anter."

"Hm? Kenapa? Kok tiba-tiba?"

"Mungkin Dokter Ari punya solusinya, kita konsul."

"Oh." Pram mengangguk, dia mengerti. "Ini udah pernah dikonsul, Pa. Kata Dokter Ari, kan: nanti juga daya ingatnya bakal balik lagi kalo aku udah sembuh."

"Besok ke rumah sakit bareng Papa," Erik malah menegas, tidak mendengarkan Pram.

Pram menghela napas. "Ya, ya, terserah Papa," katanya, tidak ada guna juga jika mengeluarkan kata penolakan lebih.

"Sekarang tidur. Jangan lupa bersih-bersih badan dulu sebelum tidur." Erik tersenyum.

Pram mengangguk. "Ya."

"Mm." Erik pun mengangguk, masih dengan senyumannya.

Pram membalas tipis. Lalu Erik melanjutkan langkah. Helaan napas panjang keluar, kaki Pram kembali berayun menaiki tangga.

--

"Pram, Dokter Ari hari ini lagi gak ada jadwal. Besok aja, Papa yang anterin."

"Mm? Besok Papa gak ke kantor?"

"Nganterin kamu dulu. Kita bikin janjinya pagi."

Pram mengangguk. "Oh, oke."

"Mau lanjut ke mana?"

"Nggak, mau ganti baju lagi, mau di rumah aja."

Erik mengangguk. "Ya, jangan kebanyakan maen. Istirahat."

Pram mengangguk. Erik menutup pintu kamarnya. Dia sudah memakai setelan siap pergi. Pram mengganti lagi celana panjangnya dengan celana pendek. Dan melepas kemeja, menyisakan kaos putihnya. Tidak berniat keluar hari ini. Sebenarnya Deki pasti mau saja kalau diajak keluar, tapi sepertinya... hari ini Pram ingin diam saja, tidur seharian.

--

Senin. Hari pertama masuk sekolah setelah libur satu minggu penuh. Dan Pram akan menambah liburnya satu hari lagi... oke, dengan senang hati. Karena hari Senin setelah libur panjang itu adalah hari yang paling tidak diinginkan.

Pram masih bergelung dengan selimutnya, saat Erik membangunkan.

"Janji sama Dokter Ari jam setengah 8."

Suara Erik terdengar saat alat di telinganya sudah terpasang. Dia bangun dengan kedipan mata berat, Erik tampak sudah mandi.

"Pagi banget. Konsul aja, kan?"

"Ya gimana Dokter Ari aja."

Pram menghela napas seraya beranjak, melangkah menuju kamar mandi

-

Selesai mandi dan berpakaian. Pram menyurai rambutnya di depan cermin lalu menyemprotkan minyak wangi; proses berdandannya hanya segitu. Dia mengambil handphone lalu menyalakannya.

Ada beberapa panggilan dan pesan dari Miki.

Sudah lama kontak itu tidak muncul di daftar panggilan atau pesan. Pram mengkerutkan kening, membuka pesannya.

Miki

Pang, lo bilang bakal berentiin si cepu sialan itu. Semalem Deki sama Demon dijemput polisi. Gimana sih lo.

Lo di mana, anjir? Baru nyampe sekolah kita langsung dipanggil BK.

Cipong, Nunu, sama Raka ada di kantor polisi juga.

Demon katanya keburu kabur gak dibawa polisi.

Gedung kosong ditutup. Basecamp juga kena.

Lo di mana?!

Demon mau hajar Dante, pagi ini di jalan pintas kalo ketemu..

Saudara tiri lo bakal mati. Demon bilang mau matiin dia.

Pesan beruntun itu dikirim dalam kurun waktu yang berbeda; pesan pertama dikirim pagi buta dan yang terakhir sekitar beberapa menit yang lalu. Diambilnya kunci motor.

Pram mencoba menghubungi Miki, tapi tidak kunjung ada jawaban. Dia menuruni tangga dengan cepat. Berharap Dante tidak pakai jalan pintas.

Brengsek! Kapan juga orang itu melaporkannya pada guru?! Pram tenang-tenang saja karena sedang hari libur... dia pikir akan aman.

"Pram."

Erik yang menunggu di ruang keluarga, memanggil.

Pram menghentikan langkah, meliriknya. "Dante berangkat kapan, Pa?"

"Barusan, gak sampe 15 menit yang lalu. Ke--"

Pram tidak menunggu ucapan Erik, dia langsung melanjutkan langkah menuju pintu depan.

Di atas motor, Pram mencoba sekali lagi untuk menelepon Miki. Namun nihil, sepertinya dia sedang diinterogasi di ruangan BK.

Pram memasukkan handphone ke dalam kantong celana. Lalu menyalakan mesin motor, melaju tanpa memakai helm.

Sialan, sialan, sialan!!! Yang Pram dengar dari Alvi: Dante sudah lama tidak melalui jalan pintas karena mungkin takut juga akan dihajar Demon lagi. Kalau dia takut, kenapa tetap mau berurusan dengan Demon? Bagaimana kalau dia berakhir seperti orang yang bernama Richi itu? Goblok! Walaupun niatnya baik, tapi tetap saja goblok! Sok jagoan. Pram juga tadi tidak melihat mobil Jhona, akhir-akhir ini orang itu sepertinya tidak pulang ke rumah, entah. Mampus Dante.

Motornya melaju secepat yang dia bisa. Jalanan depan sepertinya sedang macet. Kalau begini adanya, apa tadi Dante memilih pakai jalan pintas?... Mati. Apa orang itu akan masih hidup saat Pram datang? Atau Demon dan komplotannya sudah menghajarnya habis-habisan?

Jalan pintas yang merupakan area pemakaman umum dan kebun-kebun itu selalu sepi, tidak pernah ramai, sepi yang mencengkam. Tidak mengenal pagi, siang, malam; suasananya sama.

Pram menemukan beberapa motor terparkir di pinggir jalan. Dan ada motor Dante juga. Nah'kan, emang goblok! Gak mikir banget si Lonte. Mending lewat jalur macet, walaupun lama, tapi pasti selamat.

Di pinggir jalan itu ada kebun dengan jalan tanah yang menurun.

Pram meninggalkan motornya, berjalan cepat menuruni jalan itu. Suasana hening. Di mana orang-orang itu? Pram kemudian berlari saat melihat di depan sana tampak ada sebuah gerbang dan bangunan.

Di sepanjang langkah, mulutnya menahan segala sumpah serapah. Untuk saat ini dia harus menahan luapan emosinya pada Dante. Selamatkan anak itu dulu, baru nanti hajar dia. Lebih baik Pram yang hajar, daripada Demon; Pram sudah pernah bilang seperti itu.

Gerbang bangunan tua itu terbuka karena satu pintu besinya telah rusak.

Pram masuk. Berjalan pelan. Mencoba untuk mendengar suara lebih seksama, ada bising yang sepertinya bersumber dari lokasi yang tidak jauh dari gerbang. Langkahnya dipercepat. Dan Pram kemudian berlari saat melihat orang-orang itu; yang sedang memukuli seseorang, ya pasti si Lonte, siapa lagi?!

Demon mendecih kala melihat Pram. Dia berdiri tegak, menghentikan pukulannya pada Dante yang sudah terlihat tak berdaya. Beberapa orang yang bersama Demon memasang posisi siaga. Pram tidak mengenal satu pun dari mereka, wajah-wajahnya lebih tua, sepertinya bukan anak sekolahan.

"Siapa?" Orang yang di samping Demon bertanya dengan suara datar.

"Saudara tirinya. Yang itu si tukang cepu, yang ini si pengkhianat." Bola mata Demon menatap lurus ke arah Pram dengan tampak menyala.

"Lepasin Dante."

Demon terkekeh. "Woaw, hubungan lo berdua sebaik itu ternyata. Dari mana lo tahu, saudara tiri tercinta lo ini ada di sini?"

"Aura busuk dari badan lo kecium."

Demon mendecih. "Lo yang busuk, Bangsat! Lo bilang mau berentiin ini orang? Lo bohong, Anjeng! Lo juga harus mati sama si cepu ini! Gue udah berkali-kali bilang, gue gak BECANDA!"

Bugh!

Pram langsung meninju kuat rahang Demon yang sedang mengeras itu, tanpa banyak berkata-kata.

Demon memegang sudut bibirnya; robek hanya dengan satu pukulan.

"Emang minta mati ya lo. Hajar!"

Brughhh...

Pram terhuyung. Kaki yang jenjang tiba-tiba melayang, menendang bagian sisi tubuhnya. Hampir saja terhempas. Dia menengok kaget. Tak diberi waktu untuk mencerna--pemilik kaki jenjang itu maju, pukulan membabi buta diberikan bertubi-tubi sampai Pram terjatuh--terhempas ke tanah. Dan orang itu kini berada di atas tubuhnya, terus memberikan pukulan, tidak membiarkan Pram lolos barang sedetik saja. Boro-boro untuk membalas serangan, untuk mengembuskan napas saja dia tidak diberi waktu. Woah... memang menyeramkan. Pram seperti dianggap samsak; benda mati yang memang berfungsi untuk melatih pukulan.

Demon dan beberapa orang temannya yang tadi refleks termundur saat orang itu menyerbu dengan tiba-tiba; mereka kini terus melangkah mundur perlahan... dan setelah beberapa langkah--menjauh, mereka berlari.

Pram mendecih, dari ujung matanya yang terasa berdenyut-denyut--terus mendapatkan pukulan; dia melihat orang-orang itu kabur.

Gak takut?... Cih! Pram masih memegang kata-kata Demon waktu itu.

Entah dari mana Jhona tahu. Tiba-tiba saja dia datang tanpa suara dan langsung merobohkannya--menyerang tanpa jeda; tidak memberikan waktu untuk Pram berbicara.

Pram masih tersadar saat pukulan--yang seperti kerasukkan setan itu, akhirnya berhenti. Jhona bangkit, napasnya yang memburu terdengar samar di telinga Pram yang mendenging. Sepertinya dia bangkit untuk menghampiri Dante. Dari segaris matanya yang terbuka, Pram bisa melihat Dante dibopong dengan kedua tangan Jhona, dibawa menjauh dari tempat itu tanpa sedikit pun melirik Pram.

Pram meludahkan salivanya yang bercampur darah, tanpa tenaga. Bahkan sekarang dia tidak sanggup lagi bergerak. Sialan Jhona.

--

Continue Reading

You'll Also Like

Cafuné By REDUYERM

General Fiction

95.9K 9.1K 33
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

101K 15.7K 43
hanya fiksi! baca aja kalo mau
727K 26.6K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
115K 7.4K 23
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...