Magic In You | Haechan ✓

By 23byeolbamm

22.8K 1.2K 1.1K

"Tentang perjuangan yang tak kenal kata balas. Tentang ikhlas yang tak kenal kata pamrih. Dan tentang kehilan... More

Little Spoiler
Cast Revealed
Prolog: Forever Only
I. Ready For Love
II. How We Met
III. Demon Side
IV. This Is Fate And That's A Fact
V. Broken Hope
VI. On Our Home
VII. November 21, 2021
VIII. The Taste Of Pain
IX. Nightmare
X. Never Goodbye
XI. Sorry, Heart
XII. Lost Something Special
XIII. My Stupid Love
XIV. We're Empty
XV. Hard Slap
XVII. Be My Mistake
XVIII. 180 Degree
XIX. How Can I Love The Heartbreak
XX. The Way I Hate You
XXI. Unable To Love
XXII. It Will Rain
XXIII. The Rainy Night
XXIV. The Truth [bag. 1]
XXV. The Truth [bag. 2]
XXVI. Things I Could Never Say [END]
Epilog: Me After You [bag. 1]
Epilog: Forever With You [bag. 2]
Bonus Clip: Alisha Alegria
📢Somethin' New‼️

XVI. Fallin'

328 28 5
By 23byeolbamm

"..., kamu bebas, tapi tolong jangan gegabah."

Aksa mengacak rambutnya frustasi. Sepeninggal Alda yang ia suruh istirahat setelah melihat bibirnya pucat, kalimat itu terus berputar di kepalanya seperti lagu yang sengaja disetel satu kali. Aksa bisa tetap biasa saja, tapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari otaknya jelas membuatnya tidak bisa mengenyahkan kalimat itu.

Apa maksudnya berkata demikian?

Bagaimana bisa dia terlihat biasa saja?

Kenapa reaksinya di luar ekspektasi?

"Cukup aku yang tahu, orang luar jangan."

Oh, sial. Ini tidak seperti perkiraan Jefta.

Jefta: gue udah lakuin yang lo suruh
Jefta: tapi alda gak kayak perkiraan lo
Jefta: kita meleset kali ini

Tanpa menunggu balasannya, Aksa memilih beranjak. Dia tidak bohong saat mengatakan mengantuk tadi, tetapi menemukan Alice masih terjaga, Aksa rasa dia tidak akan tidur cepat.

"Kok belum tidur?"

Alice terlihat mengembangkan senyum. "Nungguin kamu."

"Tadi aku nggak sadar kapan kamu pergi. Maaf ya." Itu tidak penting, tapi karena berurusan dengan Alice, maka Aksa rasa meminta maaf jadi penting. "Buruan tidur, aku juga ngantuk," sambungnya, kemudian membaringkan diri di atas sofa.

"Aksa, ini baru jam sepuluh."

"Iya, udah malam kan."

"Kita bukan anak sekolahan, hey. Ayolah, sini duduk samping aku dulu. Tadi aku dengerin lagu dari playlist kamu, ada beberapa yang aku suka. Ayo dengerin bareng."

"Besok aja, Al, kamu harus banyak istirahat."

"Kamu nyebelin ah sekarang!" Sesuai dugaan, wanitanya merajuk. "Lagian aku udah sehat. I'm totally fine, babe. Sini dulu bentarrr ih."

Pasrah, Aksa kembali bangkit. Sesaat setelah duduk di sampingnya, Alice lekas menyumpalkan satu earphone yang sempat menyumbat kedua telinganya. Sepenggal lagu langsung memenuhi kepala Aksa.

"Ini bagus banget liriknya, menggambarkan kita banget ya?"

"Hm, iya."

1 lagu ... 2 lagu ... 5 lagu Aksa dengarkan dengan sabar. Dia tidak menyerap liriknya sama sekali, jadi begitu Alice bertanya ia iyakan saja agar cepat. Semua berlalu tanpa sadar, sampai lagu terakhir dari playlist-nya diputar dan selesai, Aksa tidak juga beranjak. Bukan apa, Alice jadi yang pertama tumbang dan menumpukan kepala di bahunya, alasan utama kenapa ia tidak banyak bergerak karena takut membangunkan si gadis.

Sebelumnya Aksa tidak berniat tidur, tapi rasa kantuknya yang membesar, juga wajah Alice yang tampak nyaman dalam posisinya, membuat ia memutuskan ikut tidur di sana.

*

"..., kamu bebas, tapi tolong jangan gegabah, Mas."

Aksara tersentak. Kedua matanya terbuka dalam sekali gerak. Bahkan dalam tidur pun, kalimat itu masih mengganggunya? Sial. Ia menghela napas pendek.

Posisinya masih sama, dia masih terduduk dengan punggung bersandar pada kepala ranjang. Sementara Alice entah sejak kapan jadi berada di dadanya. Perempuan itu tertidur dengan nyenyak, sampai ketika Aksa memindahkannya, dia tidak menolak.

Tadinya, ia ingin melanjutkan tidur di sofa, tetapi pikirannya tiba-tiba berbelok pada Alda. Dipikir-pikir seminggu ini dia tidak lagi melihat istrinya itu tidur. Jadi setelah menaruh satu kecupan sederhana di dahi Alice, pria itu keluar dari sana. Kakinya langsung menuju ke arah kamar tamu yang berada di dekat halaman belakang.

Satu kebiasaan buruk Alda yang Aksa ketahui adalah ini, dia tidak pernah mengunci pintu. Entah lupa atau memang sudah terbiasa. Bukan hanya kamar, pintu depan saja sering tidak ia kunci. Saat mereka tinggal di satu kamar pun selalu dirinya yang mengunci kamar. Tidak heran jika sekarang pun dia tidak mengunci pintu.

Hal pertama yang Aksa temukan adalah suasana kamar yang temaram. Dia terdiam beberapa saat di dekat pintu, matanya menelusuri ruangan. Ini pertama kalinya Aksa berkunjung ke sini sejak seminggu Alda menetap di kamar ini. Dan terlihat ada beberapa perubahan yang sepertinya Alda ubah sendiri.

Pandangannya lalu jatuh pada sosok perempuan yang memunggunginya di atas kasur. Tanpa dikomando, kakinya melangkah mendekat. Tepat jarak satu langkah dari sisi ranjang, tubuh Aksa menjulang tinggi, terdiam lagi. Sepertinya Alda sudah tidur. Tapi, ada yang aneh. Sepasang mata Aksa memicing saat menyadari badan Alda tampak menggigil.

"Al?" Tidak ada sahutan. Ia memilih naik dan memeriksanya sendiri. "Al, ya ampun badan lo panas banget!"

Suhu tubuhnya jauh di atas suhu orang normal. Bahkan ketika telapak tangannya bersentuhan dengan dahi kecil Alda, Aksa sempat meringis karena suhunya sepanas itu. Beberapa jam yang lalu wanita ini baik-baik saja, suhunya normal walau Aksa menangkap wajahnya lumayan pucat. Tapi kenapa panasnya bisa naik drastis seperti ini?

"Lo demam."

"Mas ...."

Saat ia beranjak dari duduknya dan hendak melangkah, suara serak Alda masuk ke telinga. Aksa menoleh, lalu menjawab dengan nada khawatir. "Iya?"

"..., sakit."

Si pria menghela napas mendengarnya. Dia memilih keluar daripada menanggapi rengekan sang istri, kembali tak berapa lama bersama kotak P3K di tangannya. Ketika menyalakan lampu, Aksa dibuat lebih membelalak saat melihat wajah Alda jauh lebih pucat dari terakhir ia melihatnya.

"Minum dulu." Dia membantu Alda bersandar sebelum kemudian menyodorkan segelas air putih yang ia ambil dari atas nakas. Lantas memeriksa suhu tubuh Alda dan ketika mendapat hasil 40 derajat, sepasang matanya membola panik. "Astaga empat puluh derajat?!" Dia sampai mengucek kedua matanya karena takut salah lihat. Bahkan ketika Aksa memeriksa untuk yang kedua kali, hasilnya tetap sama. "Lo kenapa bisa sepanas ini sih? Tadi perasaan biasa aja."

Tidak ada balasan dari Alda. Perempuan itu memilih memejamkan mata setelah bersandar pada dinding di sisi kanannya. Membuat Aksa kontan mendecak. "Pakai fever patch dulu buat sementara, pagi kita ke dokter."

Sekali lagi, Alda memilih tidak menanggapi karena jujur, seluruh tubuhnya sakit bukan main. Kepalanya pusing dan badannya seperti remuk. Alda tak berdaya.

Perempuan itu lekas meringis saat dahinya ditempeli sesuatu yang dingin. Sangat dingin sampai ia refleks menggigit bibir. Dia sempat ingin melepasnya, tangannya sudah terangkat, tetapi Aksa cekatan menahan lengannya.

"Dingin, pusing," keluh Alda. Suaranya serak.

"Lo harus pakai itu biar panasnya turun."

"Tapi dingin ...."

Aksa menarik napas dalam, berusaha sabar. Ternyata karakter wanita kuat yang selalu Alda tunjukkan tidak lebih dari topeng semata, dia sama saja dengan perempuan lainnya yang cengeng ketika sakit. Tapi walau mendumel seperti itu, Aksa menarik tubuh sang istri hingga bersandar di dadanya. Menarik selimut Alda yang melorot hingga kembali menutupi tubuhnya. "Sekarang udah nggak?" tanyanya.

Balasan dari Alda hanya rintihan super pelan. Badannya tetap menggigil sampai Aksa kembali memangkas jarak di antara mereka. Satu tangannya ia gunakan untuk merangkul bahu Alda, satu lainnya meremas tangannya yang mengeluarkan keringat dingin.

Tidak terduga, Aksa mempertahankan posisi itu sampai pagi datang. Dia benar-benar terjaga sampai langit berubah terang. Tiga jam lamanya ia habiskan hanya dengan melamun, sementara tangannya tak lelah mengusap-usap lengan Alda sebagai penenang.

Gerakan kecil dari Alda di pagi hari membuat ia yang nyaris menutup mata kembali terjaga, Aksa mengerjap beberapa kali. "Udah bangun?"

"Mhm ...."

"Tiduran sendiri deh, pegel juga gue lama-lama."

Dalam hati Alda merasa tidak enak karena membiarkan Aksa menjaganya semalaman. Apalagi ketika ia melihat sendiri pria itu tampak merintih saat melakukan peregangan badan.

"Mas, maaf kalau aku ngerepotin kamu semalam ...."

"Nggak perlu, tanggung jawab gue buat jagain lo."

"..."

"Jangan geer, almarhumah nenek udah wasiatin gue untuk terus pastiin lo baik-baik aja." Agaknya dia salah dengan menegaskan itu sebab canggung jadi terasa antara ia dan Alda. "Demam lo udah turun, mau tetap ke dokter nggak?"

"Nggak usah. Aku baikan sekarang."

Pagi itu dia bisa berkata baik-baik saja. Jam-jam selanjutnya juga Alda mampu turun dari ranjang dan memperhatikan Alice yang belajar berenang dengan Aksa di halaman belakang. Tapi beranjak malam, panasnya kembali datang. Malam yang untuk pertama kalinya Aksa memilih menginap di kamarnya. Begitu kakinya melangkah keluar dari kamar mandi, dan menemukan Alda sudah meringkuk lengkap dengan selimut, Aksa diserang dèjá vu. Pria itu menyampirkan handuknya lebih dulu sebelum menghampiri sang istri. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati panas Alda kembali, bahkan sepertinya naik dari kemarin.

"Alda?!" Tidak seperti kemarin, sekarang dia bahkan tidak merespons sama sekali. Namun tidak pingsan juga sebab Aksa menangkap pergerakan lemah dari matanya yang terpejam, seperti berusaha terbuka.

Ponsel. Aksa langsung terpikirkan menghubungi tantenya yang berprofesi dokter di kondisi genting ini. Seraya menghubungi, ia membuka selimut yang menutupi tubuh sang istri.

"Iya, Aksa? Ada yang bisa Tante bantu?" Suaranya terdengar halus saat bertanya.

"Tante, maaf kalau aku ganggu. Istri aku demam, aku jadi khawatir, Tante berkenan ke rumah aku sekarang?"

"Loh, dari kapan, Sa?"

"Dua hari ini. Panasnya naik-turun, Tante. Kemarin dia panas, 40 derajat. Seharian tadi turun jadi biasa, sekarang panas lagi."

"Tante ke sana sekarang. Kamu kompresin dia dulu pakai air hangat."

"Makasih, Tante."

*

Semenjak diangkat menjadi pemimpin perusahaan, dihadapkan dengan banyak pilihan sudah jadi makanan sehari-hari Aksa. Setiap hari dia harus mempekerjakan otaknya, berpikir keras pilihan mana yang paling tepat untuk kemajuan perusahaan. Itu tanggung jawab besar, tetapi karena Aksa menyerap semua ilmu yang dipelajarinya selama masa pendidikan, sejauh ini perkembangan perusahaannya cukup stabil.

Tapi malam ini, dia dihadapkan dengan dua pilihan yang untuk pertama kalinya membuat kepalanya puyeng bukan main. Bukan tentang perusahaan, melainkan tentang harus di mana ia malam ini tidur? Pertanyaan yang sederhana, tapi tidak sesederhana situasinya. Kedua wanitanya sama-sama dalam kondisi sakit. Dia jadi bingung. Alice yang masih takut sendirian atau Alda yang sedang demam tinggi?

Itu mungkin tidak separah demam berdarah, tapi perempuan berusia setengah abad itu tetap menyuruh Aksa siaga dan memastikan kebutuhan cairan Alda tercukupi agar tidak dehidrasi. Jadi sudah terlihat sangat jelas siapa yang paling membutuhkan Aksa saat ini, bukan?

Tapi lihatlah, Aksa malah duduk sendirian di sini. Tidak di kamar Alice, tidak juga bersama Alda. Aksa malah berbelok ke ruang baca setelah mengantarkan tantenya sampai ke depan. Niat awal ingin mendinginkan pikiran, tetapi begitu melihat deretan botol yang berjajar pikirannya berubah.

Oh, rasanya sudah lama sekali ia tidak mencicipi minuman favoritnya itu.

*

"Mas Aksa?"

Kamarnya gelap begitu Alda membuka mata. Perasaannya tiba-tiba gelisah, dalam kondisi begini pikirannya memang selalu tidak bisa dikontrol. Dia ketakutan, tetapi menemukan tangan Aksa, juga sahutan pria itu yang serak, Alda seketika merasa lega.

"Mas, kenapa gelap?"

"Biar tidur lo gak keganggu," jawab pria itu, "Kenapa bangun? Haus?"

"Mm-hm."

"Itu di samping lo udah ada segelas air."

Alda memaksa diri menukar posisi jadi duduk, lantas minum. "Kenapa kamu belum tidur?"

"Lagi minum."

Awalnya, Alda tak paham dan sempat ingin bertanya. Tapi kemudian ia paham setelah mencium aroma alkohol yang menyatu dengan udara.

"Lampunya dihidupin aja kalau gitu." Tepat saat tangannya hendak menyalakan lampu, Aksa menahannya.

"Nggak usah, udah lo tidur lagi aja, pagi masih lama," katanya.

"Kenapa?" Pertanyaan polosnya membuat Aksa mengembuskan napas. Dalam suasana remang, tatapannya jatuh pada sepasang netra sang istri yang sudah kembali berbaring.

"Biar gue ngerasa sendiri di sini." Dia lalu kembali meneguk minumannya, berusaha melupakan wajah Alda dan segala pikiran liarnya. "Lo tidur aja sana, nggak usah peduliin gue."

Aksa mengusap-usap rambut Alda, dengan tujuan membuat sang istri cepat kembali terlelap. Tapi tujuan itu disalahartikan oleh Alda, dia malah meringkuk mendekatinya. Tangan keduanya bertaut dan wajahnya sengaja Alda sembunyikan di paha sang suami.

"Alda, tempat lo masih banyak. Sana di tempat lo."

"Begini nyaman. Boleh ya?" Sebelum Aksa membalas, Alda segera melanjutkan. "Sebelum kamu kembali lagi ke Mbak Alice besok, jadi please?"

Dari dulu, apapun yang berhubungan dengan Alice pasti membuatnya bungkam, begitu juga sekarang. Alda tahu kelemahannya.

"Al, lo harus tahu gue suka di luar kontrol kalau minum." Jadi walau Aksa membatin seperti itu, dia tetap tidak menolak keinginan sang istri.

Hening berkuasa cukup lama. Alda yang disuruh tidur tidak juga memejamkan mata sebab berpikir ingin mengabadikan momen ini. Kapan lagi dia bisa tidur sedekat ini dengan Aksa? Dengan tangan pria itu yang setia mengelusi kepalanya. Ini bisa jadi momen terakhir sebelum ia merelakan suaminya pada perempuan lain.

"Mas Aksa, suka minum?"

Bukannya jawaban, yang Alda dapat justru cercaan. "Udah gue kasih izin, lo juga harus nurutin gue. Tidur."

"Bentar, aku penasaran sesuatu." Alda berkilah. "Kamu sering minum?"

"Dulu sering, sekarang enggak."

Ini sepertinya jawaban jujur, mungkin karena dipengaruhi alkohol. Atau, dia hanya ingin semuanya berlalu dengan cepat?

"Udah, kan? Sekarang lo tidur."

"Satu lagi." Kalimat dari Aksa barusan membuat Alda refleks menjawab, padahal tidak ada pertanyaan lagi yang terpikirkan olehnya.

"Apa?"

Alda mengambil jeda cukup lama, berpikir harus bertanya apa. "Kamu ... suka Mbak Alice?"

Pertanyaannya mungkin aneh, sampai Aksa tidak segera menjawabnya. Dalam hati Alda merutuk, bagaimana bisa ia bertanya seperti itu.

"Iya, gue suka dia."

Tapi jawaban Aksa membuatnya terdiam. Agak menyesal, tapi sekaligus lega karena dia akhirnya tahu untuk siapa hati Aksa sekarang. Alda sudah lama memikirkan ini, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

"Kalau kamu suka dia, kamu harus cepat nikahin dia," katanya lalu, sempat menelan ludah karena ternyata susah juga mengatakan hal ini. "..., tapi setelah kita cerai, dan setelah kamu jujur sama keluarga kamu. Aku mau perpisahan yang baik, yang nggak meninggalkan luka sama sekali."

"Udah cukup. Omongan lo udah ke mana-mana."

"Aku cuma bicara fakta. Dan juga sedikit keinginanku." Alda mendongak, tetapi karena kondisi gelap dia jadi tidak bisa melihat wajah Aksa dengan jelas.

"Itu urusan gue, lo nggak usah ikut campur." Aksa membalas lagi, nadanya penuh penekanan. Tanpa Alda tahu, tangannya mencengkeram permukaan gelas dengan kuat.

"Tapi, Mas—"

"Kenapa lo gak diem aja sih? Udah diem, gue bilang diem. Gue gak suka topik perceraian."

Setelah luapan emosi itu, hening langsung menguasai kamar. Alda memilih bungkam setelah mendapat bentakan Aksa, sementara Aksa berusaha menetralkan kembali emosinya yang sempat meletup sedikit. Iya, baginya ini sedikit, puncak emosi versinya bisa lebih parah dari ini. Dia menenggak lagi minumannya, bukan dari gelas, melainkan langsung dari botolnya. Setengah botol dia habiskan dalam waktu beberapa detik.

"Mas, aku minta maaf kalau pembahasan ini bikin kamu gak nyaman."

Sesuai dugaan, Aksa memilih tidak menanggapi. Tapi sebelum Alda benar-benar kembali tidur, pria itu bersuara. "Apa lo bisa baik-baik aja setelah cerai dari gue?"

"..."

"Apa lo gak mikirin gimana kata orang, gimana masa depan Hanan, atau gimana lo ke depannya? Pernah gak lo mikirin itu?"

"Aku bahagia kalau lihat kamu bahagia."

"Bisa gak sekali aja lo mikirin diri lo sendiri dulu sebelum mendahulukan orang lain?"

"Kalau orang lain itu kamu, aku nggak bisa."

"Lo—" Aksa kehilangan kata-kata. Ternyata berdebat dengan seseorang yang sehari-harinya selalu diam bisa melelahkan juga. "Tadi lo bilang lo bahagia kalau lihat gue bahagia, kan? Gimana kalau kayak gini aja udah bikin gue bahagia? Nggak ada perpisahan—"

"Kamu gak bisa serakah, dan aku nggak mau jadi yang kedua. Kalau kamu lebih menginginkan Mbak Alice, maka ceraikan aku—"

"Tapi gue gak mau! Lo ngerti itu gak sih?"

"Mbak Alice juga pasti gak mau kayak gini, Mas."

"Nggak usah bawa-bawa Alice dulu."

"Harus." Alda menyahut cepat. Kemudian satu helaan napas menguar dari mulutnya. "Ini mungkin bakal jadi malam terakhir aku yang berpikir kalau kamu punya aku. Besok dan seterusnya, aku serahin semuanya sama kamu. Aku bersedia cerai kalau kamu mau. Tadi aku udah bilang, kamu bebas, tapi tolong jangan gegabah. Sebelum kita benar-benar pisah, hubungan kamu sama Mbak Alice gak boleh ketahuan orang lain selain aku."

Entah kenapa hatinya tertohok mendengar keputusan final Alda. Istrinya sudah menyerah pada hubungan yang belum genap setahun ini. "Lo nyerah, hm? Terus, apa kata lo tadi? Ini bakal jadi malam terakhir lo, iya? Baik, gue bakal kasih kenangan di malam terakhir yang lo maksud."




〖 To Be Continued 〗


“Aku mau perpisahan yang baik, yang nggak meninggalkan luka sama sekali.”

—bintang

Continue Reading

You'll Also Like

8.2K 1.3K 22
The daily marriage of Abian and Legina. Side story from Playlist: Camaraderie [BIHI x JENYONG Collaboration] written on: Jan 6, 2022 - Dec 24, 202...
2.8K 305 18
[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita suda...
690K 44.1K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
320K 25.8K 28
Winnaura Malya, seorang gadis cantik yang keras kepala dan pemberontak berniat untuk kawin lari dengan pacarnya yang berbeda keyakinan. Sebagai bentu...