ALLAMANDA [SUDAH TERBIT]

By Oolitewriter

1.6M 56.3K 1.4K

SEBAGIAN CERITA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN "It's all about senior high school, maybe." || Amazing c... More

PROLOG
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 10
CAST
BONUS CHAPTER 1
BONUS CHAPTER 2
BONUS CHAPTER 3
BONUS CHAPTER 4
BONUS CHAPTER 5
BONUS CHAPTER 6
BONUS CHAPTER 7
BETA & GAMMA
INFO PENERBITAN & OPEN PO
COVER & OPEN PRE ORDER

BAB 9

39.4K 2.7K 32
By Oolitewriter

PERCAKAPAN Manda dan Nazwa berhenti karena Bu Wuryani sudah memasuki kelas. Kelas yang tadinya heboh mendadak jadi sunyi senyap. Bahkan lalat pun tak berani mengeluarkan suaranya. Salah sedikit langsung kena pelototan tajam dari Bu Wuryani. Dan sampai sekarang, senjata itu masih ampuh untuk di pakai di dalam kelas. Termasuk kelas C yang dijuluki biang masalah. Karena memang semua pembuat masalah ada di kelas C.

"Gue suka deg-deg-an kalo pelajaran Bu Wur. Mungkin ini yang dinamakan cinta." Itu celetukan Johannes yang sekarang duduk tepat di belakang Manda. Memang, itu cowok rada aneh. Masa jatuh cinta sama Bu Wur yang notabennya guru dia sendiri. Sudah jelas usia mereka terpaut jauh. Dan yang lebih parah, Bu Wur sudah menikah.

"Dasar gendeng. Kalo ngomong mikir dong!" Nazwa mendadak ikut nimbrung. Walau sekuat hati cewek itu menahan tawanya.

"Itu siapa yang bicara?!"
Nah, itu dia. Alasan karena kelas selalu sepi saat pelajaran matematika peminatan ya karena ini. Bu Wur pendengarannya memang terkenal tajam. Ibaratnya, suara nyamuk pun dia bisa dengar.

"Mampus!" Nazwa menunduk. Sedangkan Manda menatap sahabat di sampingnya kasihan.

"Mana orangnya? Tidak tau ya kalau Saya sedang mengajar? Kalau saya suruh kalian bicara, baru bicara."
Masih saja dibahas. Manda melengos panjang. Kalau sudah begini pelakunya harus tertangkap.

"Lo sih, Jo." Nazwa ini, sudah tahu Bu Wuryani sedang marah. Bukannya berhenti berbicara justru memancing singa betina keluar dari kandang.

"Maaf Bu, tadi saya yang ngomong. Silakan dilanjut Bu." Johannes memang terkenal murid yang tak punya rasa bersalah sama sekali. Lihat saja dia sekarang, tampangnya nyantai-nyantai minta ditampar gitu. Guru sudah marah malah dipancing-pancing.

Bu Wuryani yang memang sudah amat sangat mengenal Johannes, lantas memilih mengalah. Percuma saja kalau mereka adu debat. Pasti tidak akan nyambung. Bu Wuryani ngomong kemana, Johannes kemana. Topiknya tak akan bertemu. Karena Johannes kalau ngomong memang suka muter-muter. Ujung-ujungnya tak ada yang mengerti.

"Simpan hp kalian semua. Kita bahas materi baru."

Murid-murid memang tak ada yang berani menanggapi. Bahkan hanya sekedar menjawab 'iya'. Kecuali kalau memang disuruh bicara.

---

"Ada tugas nih dari Pak Yatno. Dew, catet ni." Suara bising di kelas D mulai berhenti saat Dandi -Ketua kelas-masuk dengan buku di tangannya.

"Pak Yatno nggak masuk ya?" Kalau masalah guru yang tak bisa masuk kelas, siapa yang tak senang coba? Sama seperti Elizabeth. Dia sudah siap-siap mau wi-fi-an di depan kelas. Cewek itu memang sering nonton musik-musk korea dari Youtube.

"Masuk. Tapi nanti pas bel pelajaran kedua. Sekarang nyatet dulu."
Dandi memang tak bisa mengerti situasi kelas. Harusnya cowok itu bohong sedikit kek untuk menyenangi hati teman-teman sekelasnya.

"Dew, nyatetnya lama-lamain dong. Males belajar nih gue. Bisa nggak sih Kimia free sehari aja?" Elizabeth terlihat geram. Cewek itu memang paling muak sama Kimia. Masalahnya, meski sudah dijelaskan berkali-kali dia tetap tidak mengerti. Entah itu salah siapa.

"Yeu, Pak Yatno nanti marah-marah lagi."
Memang sih, kalau diingat-ingat Pak Yatno kalau marah serem juga. Beliau orangnya memang jarang marah, tapi sekalinya marah murid-murid pada kicep ketakutan. Ada yang sampai nahan tangis gara-gara dimarahin. Memang, kita itu tak boleh menyepelekan marahnya orang sabar. Terkadang, orang sabar itu marahnya lebih menyeramkan dari orang-orang yang memang asli pemarah.

"Yaaah, payahlah."

Arka sendiri memilih diam. Adam justru sedang asyik memainkan ponselnya.

"Eh, pulsa yang kemaren udah sampe kan?" Adam menghiraukan teman-temannya yang mulai berpencar kesana-kemari.

"Udah kok, kemaren dia bales SMS gue." Arka membuka buku tulisnya. Cowok itu mencatat apa yang ditulis Dewi di papan tulis.

"'Dia' yang lo maksud itu siapa sih?"
Arka hanya terkekeh, tak berniat menjawab pertanyaan Adam.

"Adam, beli pulsa dong. Paketan gue abis nih. Nanti mau LINE Mama minta jemput. Tapi ngutang ya?"

Gini nih, dukanya jualan pulsa sama anak-anak sekolahan. Diutangin mulu. Mending kalau dia bayarnya cepat. Ini kadang-kadang udah sebulan belum dibayar. Alasannya belum gajian. Gajian darimana coba? Ya kalau nunggu mereka gajian sih lama. Kerja aja belum.

"Ngutang mulu lo. Yang kemaren aja belom bayar."

Dendy hanya cengengesan. "Yaelah, Dam. Nanti juga gue bayar. Jangan kayak orang susah deh."

"Ada juga lo yang kayak orang susah. Pulsa lima puluh rebu aja ngutang."

"Ssstttt, Dam."
Mendengar seseorang memanggil namanya lewat kaca samping, cowok itu lantas menoleh dan terkejut melihat Nazwa.

"Pinjem buku cetak Matematika Peminatan lo dong. Gue lupa bawa nih."

Adam menengok sekeliling. Cowok itu nampak kaget melihat banyak anak-anak C yang masuk ke kelas D. "Emang nggak pada bawa semua?"

"Nggak lah. Lo bayangin aja, Bu Wur kan emang jarang ngajar pake buku cetak. Kalo gue bawa berat-beratin doang. Jarang dipake juga. Eh, masa tiba-tiba tadi anak-anak yang nggak bawa buku cetak dimarahin. Alhasil, kita disuruh minjem ke kelas D." Jelas Nazwa. Cewek itu terlihat kesal.

"Dewiiii, mana si Dewi?" Suara Nida memang paling dominan di kelas D.

"Itu lagi nyatet. Mata lo dimana?" Elizabeth menanggapi.

Nida lantas menoleh ke arah papan tulis. "Oh iya. Santai dong lo jawabnya."Jangan dianggap serius. Nida dan Elizabeth memang sering bercanda seperti ini.

"Kenapa lo nyari gue?" Dewi berhenti menulis. Matanya menatap Nida malas.

"Pinjem buku cetak Matematika Peminatan lo dong. Gue lupa bawa. Sebenernya emang niat nggak bawa sih." Nida mulai cengengesan tak jelas.

"Tumen lo nanya. Biasanya juga langsung buka tas gue."

"Tau aja. Formalitas doang. Meskipun lo nggak ngasih pinjem juga, gue ambil sendiri." Nida ini memang kurang ajar orangnya.

"Ya, Dam."

Adam kembali menolehkan kepalanya ke arah Nazwa. "Yaudah. Manda pinjem punya siapa?"

"Tuh dia lagi nyari. Belom dapet kayaknya. Kayak nggak tau kebanyakan murid sini aja. Mereka kalo sama Manda emang gitu." Nazwa menunjuk Manda yang sedang meminjam buku pada Tasya.

"Kenapa nggak pinjem sama Arka aja?" Adam memberikan buku cetaknya pada Nazwa.

"Katanya malu."

"Malu?" Arka ikut nimbrung setelah lama hanya mendengarkan.

"Baru denger gue Manda punya malu." Nazwa sebagai sahabat seharusnya menceritakan kebaikan-kebaikan Manda. Tapi justru semakin membuat Manda malu. Dia mengatakan itu, setelahnya tertawa. Kalau Manda tahu, mungkin Nazwa sudah dihabisi. Atau yang lebih parah, tak direstui sebagai calon Kakak Iparnya.

"Manda! Minjem sama Arka aja!" Teriakan Nazwa lantas membuat semua orang menoleh. "Lah? Kenapa pada liatin gue?" Cewek itu bertanya pelan. Lebih kepada dirinya sendiri.

Karena memang Manda belum mendapat buku dan semua orang sudah hampir mendapatkannya, Manda memilih menghampiri Arka. Mungkin memang takdirnya sudah seperti ini. Manda memang harus meminjam buku Arka.

"Ka?"

"Apa?" Arka menjawab cuek. Tapi matanya menatap Manda terang-terangan.

"Minjem buku cetak Matematika Peminatan lo dong." Seperti biasa. Manda menggunakan trik memelasnya. Agar disangka benar-benar memprihatikan. Walaupun sebenarnya trik ini tak ampuh tadi.

"Kata Nazwa lo malu sama gue? Kenapa?"

"Eh?" Manda menatap Arka kaget. Setelahnya dia memberikan pelototan tajam pada Nazwa yang dibalas cengiran menyebalkan cewek itu.

"Fitnah tuh." Sumpah, Manda rasanya tambah tidak punya muka lagi kalau berhadapan dengan Arka. Kenapa Nazwa tak bisa menjaga mulutnya sama sekali? Manda benar-benar gemas dibuatnya. Dia ingin sekali memutilasi Nazwa sekarang. Tapi kalau dipikir-pikir, dia tak tega juga.

"Kalo bener juga nggak apa-apa. Lo malu sama gue? Kalo iya, tiap ketemu gue pake helm aja."

Pernyataan Arka jelas meledek banget. Cowok itu tampak senang mengetahui kenyataan bahwa Manda malu bertemu dengannya. Itu semakin menurunkan harga diri Manda sebagai seorang cewek. Terlebih di depan cowok macem Arka.

"Udah ah! Lo mau kasih pinjem bukunya nggak? Keburu Bu Wur marah-marah lagi." Manda ingin sekali menyudahi percakapan yang mempermalukan dirinya sendiri seperti ini. Cewek itu akan memarahi Nazwa nanti. Setelah dia berhasil selamat dari amukan Bu Wur.

"Karena gue nggak tega kalo lo dihukum, jadi gue kasih pinjem." Arka memberikan buku itu yang langsung ditanggapi oleh Manda. "Kalo bisa, pas ngembaliin nanti selipin tiket nonton ya?"

"Minjem buku doang, mintanya tiket nonton. Ini juga buku pinjeman dari sekolah." Manda mendengus, setelahnya cewek itu melangkah pergi.

Arka memang bercanda. Tapi cowok itu tetap berharap Manda menyelipkan dua tiket nonton di buku cetaknya. Ya, mungkin saja. Selalu ada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kan?

---

"Ah, tuh kan penuh. Gara-gara Nida nih minta ditemenin ke toilet." Manda terdengar kesal setelah melihat keadaan kantin yang penuh sesak.

"Lo mah gitu emang. Harusnya lo tuh ikhlas kalo melakukan sesuatu. Lo tega kalo ginjal gue bermasalah gara-gara nahan pipis?" Nida merasa tak terima.

"Ya terus kita mau makan dimana? Laper nih." Manda mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mata cewek itu terlihat mengamati setiap kursi kantin yang memang sudah penuh semua.

"Makan di samping gedung aja deh. Enak. Adem." Usul Nurcahaya yang ditanggapi positif oleh Manda, Nazwa dan Nida.

"Manda?" Yang dipanggil memang hanya Manda, tapi ketiganya ikut menoleh.

"Kak Nadine? Kenapa Kak?"

"Gue boleh ikut makan bareng kalian nggak? Kebetulan yang gue kenal akrab di sini cuma Manda sama Nazwa doang."

Manda nampak meminta pendapat ketiga temannya. Mereka nampak tak keberatan sama sekali. "Boleh kok. Tapi kita rencananya mau makan di samping gedung. Di bawah pohon mangga deket aula."

"Nggak apa-apa kok. Lagian males kalo balik lagi ke kelas. Kantin juga penuh."Mereka berlima menyetujui. Setelahnya memesan makanan lalu menuju samping gedung.

---

Di samping gedung dekat aula ini memang suka ramai saat istirahat, meski tak seramai kantin. Karena memang udara di sini begitu sejuk dan banyak pohon. Juga biasanya daerah ini sering dipakai anak-anak rohis buat kumpul.

Manda, Nazwa, Nurcahaya, Nida dan Nadine duduk di bawa pohon mangga. Menikmati angin sejuk yang menimpa wajah mereka.

"Ih gila adem banget di sini." Nurcahaya gayanya udah kayak duduk di pantai saja.

"Eh, Kak Nadine?"
Nadine menoleh saat dirinya dipanggil Nurcahaya.

"Gue jualan donat loh! Enak. Manda aja sampe ketagihan. Kalo bisa, gue minta tolong promosiin donat gue ke anak-anak kelas XII. Biar mereka bisa ngerasain kelezatan donat gue yang nggak ada duanya itu."

Manda melengos. Kalau berkenalan dengan orang baru Nurcahaya memang seperti ini. Mempromosikan dagangannya agar mendapat lebih banyak keuntungan pasar. Semua orang dimanfaatin, termasuk Zafran. Cowok itu juga harus selalu menghindari Nurcahaya agar tak dipaksa menjualkan donatnya di kelas Zafran.

"Kenapa nggak sekalian aja lo pasang iklan di koran?" Nazwa memberi saran. Tapi sepertinya dengan nada yang malas. Siapa yang tak bosan coba jika mendengar Nurcahaya selalu memuji donatnya itu? Ya memang sih, donatnya enak. Tapi bosan juga jika terus dibicarakan.

"Maunya sih gitu, Wa. Tapi nggak ada kenalan sama orang majalah cetak. Lo ada nggak?"

Nazwa menepuk dahinya. Sepertinya cewek itu salah bicara.

"Kalian ini nyenengin banget ya. Nggak bikin bosen gitu." Perkataan Nadine mengalihkan perhatian ke-empatnya dari obrolan tak menarik dengan Nurcahaya. "Gue boleh gabung nggak? Jadi temen kalian gitu?"

"Oh, kita mah membuka pintu yang sebesar-besarnya buat orang luar yang mau kenal sama kita. Tuh kan, Man! Apa gue bilang. Kalo kita bikin girlband, pasti banyak yang suka. Belom terkenal aja udah ada fans." Nida memang sering mengajak mereka bergabung membuat girlband atau vokal grup. Cewek itu nampaknya ingin sekali terkenal. Tapi Manda terus menolak. Siapa juga yang mau mendengar suara tak mengenakan darinya? Bisa jadi sebelum rekaman single pertama mereka, mereka sudah diusir keluar. Jangankan nyanyi, jalan aja fales.

From: Arka

Dimana? Nggak ke kantin?

Manda hampir tersedak kuah baksonya setelah menerima pesan singkat dari Arka. Cewek itu sepertinya masih belum terbiasa akan hal ini.

Manda juga merasa tak enak setelah tahu kalau Arka yang mengirimkannya pulsa waktu itu. Alasannya tak masuk akal. Dia bilang karena mau pesannya dibalas. Itu juga Arka mengaku setelah mengalami beberapa paksaan dari Manda. Manda sempat ingin menggantinya tapi Arka menolak. Cowok itu hanya minta ganti rugi dengan ID LINE Manda. Ganti rugi macam apa itu?

Tapi memang Arka jarang mengirimnya pesan lewat LINE. Cowok itu lebih sering SMS lewat aplikasi pesan. Kecuali sering video call tiba-tiba lewat LINE.

To: Arka

Nggak. Kantin rame.

Tak ada balasan dari Arka hingga lima menit telah berlalu. Sepertinya cowok itu sibuk makan.

"Kenapa, Man?" Nadine yang memperhatikan Manda yang sejak tadi melamun lantas bertanya.

Cewek itu sedikit terkejut, sebelum akhirnya menjawab. "Nggak apa-apa."

Tapi seharusnya bukan seperti ini. Harusnya Manda biasa saja jika Arka tak membalas pesannya. Tapi kenapa rasanya kesal ya? Atau bahkan kecewa lebih mendominasi. Seperti menunggu sesuatu yang diharapkan tapi tak kunjung datang. Ya, Manda mengharapkan balasan dari Arka meski hanya satu kata. Tapi hingga bel masuk, cowok itu belum membalasnya.

---

From: Ayah

Arka, nanti pulang sekolah kamu langsung pulang ya. Bunda lagi sakit, badannya panas. Kakak kamu lagi ada urusan sebentar. kalo dia udah selesai sama urusannya, kamu boleh pergi lagi. Nanti Bunda, Naufal yang jagain.

Arka masih ingat pesan singkat yang dikirimkan Raihan saat istirahat tadi. Saat bel pulang berbunyi. Dia lantas segera beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke tempat parkir. Kali ini tak ada pergi kemana pun. Dia langsung pulang ke rumah.

Mendengar kabar kalau Sandra sakit sedikit membuatnya cemas. Karena memang di rumah tak ada siapa pun.

Cowok itu membuka pintu rumahnya kasar setelah sampai. Tanpa mengganti seragamnya, dia berjalan ke depan pintu kamar orangtuanya. Tapi bukannya masuk, Arka justru berdiri mematung. Pikirannya melayang ke kejadian sebelum dirinya seperti sekarang. Bahkan saat dia sakit, Arka merawat dirinya sendiri hingga sembuh. Tanpa bantuan siapapun.
Tapi di sana, di dalam sana, wanita yang melahirkannya mungkin sedang terbaring lemah. Bagaimana pun juga, Sandra yang telah berjuang agar Arka bisa terlahir ke dunia ini. Sandra yang membuat Arka bisa menghirup oksigen setiap harinya.

Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Arka mengetuk pintu. "Bun, ini Arka."

"Masuk, Nak."

Pintu berderit saat Arka membukanya. Cowok itu bisa melihat Sandra yang sedang berbaring di ranjang dengan selimut tebal yang menutupi wanita itu hingga ke leher.

"Badan Bunda panas. Tapi tadi udah minum obat." Sandra tersenyum setiap mendengar bunyi langkah kaki Arka yang mendekat ke arahnya. Langkah kaki ini yang selalu dia rindukan. Karena selama ini, Arka selalu melangkah menjauh. Suaranya terdengar kecil lalu menghilang. Tapi yang didengarnya sekarang justru semakin nyata.

"Udah makan?" Arka berdiri menjulang di samping ranjang.

"Udah tadi sama roti."

"Arka nggak bisa buat bubur. Arka beliin di luar. Kayaknya Pak Joko masih ada buburnya."

"Arka?" Arka yang tadinya ingin melangkah pergi mendadak berhenti. Tapi cowok itu tak menoleh ke belakang. "Di sini aja."

"Arka cuma beli bubur sebentar, abis itu balik lagi. Arka janji nggak akan kemana-mana."

Sandra menggeleng. "Bunda nggak perlu bubur. Bunda perlunya Arka."

Arka sontak membalikkan badanya hingga bertatapan dengan Sandra yang menatapnya lemah. "Bunda harus makan."

Lagi-lagi Sandra menggeleng. "Bunda nggak laper." Wanita itu menepuk tempat yang kosong di sebelahnya. "Bunda kedinginan. Arka bisa peluk Bunda nggak?"

Arka nampak ragu. Cowok itu hanya berdiam diri tanpa sekalipun bergerak. Rasanya berat jika harus berada sedekat itu dengan Sandra. Tapi tak lama, akhirnya cowok itu berjalan mendekat. Tubuhnya berbaring di samping Sandra.

Wanita itu lantas memeluk Arka, hingga
membuat tubuh cowok itu menegang kaget. Sudah lama dia tak pernah merasakan kehangatan seperti ini. Dipeluk seorang Ibu yang melahirkannya seperti ini. Tapi beban yang dipikulnya selama beberapa tahun begitu memberatkan tangannya hanya untuk sekedar membalas pelukan. Arka hanya membiarkan Sandra memeluknya, tanpa membalas pelukan wanita itu.

"Arka?"

"Bunda istirahat aja."

Sandra mengangguk. Menyadari nada suara Arka yang berubah menjadi dingin. Wanita itu ingin sekali membuat Arka mengerti. Tapi rasanya dia memang tak mau memahaminya. Cowok itu sebisa mungkin menjauh dan menutup telinganya kuat-kuat. Arka memang sudah terlalu lama menderita sendirian. Wajar cowok itu tak bisa dengan mudah bergabung lagi dengan keluarganya sendiri. Luka yang diperolehnya cukup dalam. Butuh waktu lama untuk memulihkannya. Bahkan tak hanya dengan pelukan hangat. Arka jelas membutuhkan yang lebih dari itu.

---

"Adam, Arka kemana ya?" Manda yang sejak bel pulang menunggu Arka menghadang Adam saat cowok itu baru keluar dari kelas setelah selesai piket.

"Tadi dia pulang duluan. Keliatannya sih buru-buru. Kayaknya dia lewat tangga IPS deh."

Manda berpikir sebentar. Kalau dihitung-hitung, jika Arka lewat tangga IPS justru membuang waktu dan tenaganya untuk sampai ke pintu gerbang. Jelas-jelas cowok itu menghindarinya.

"Kenapa ya? Lo tau nggak?"

Adam menggeleng. "Dia nggak ngomong apa-apa. Tadi langsung lari aja pas bel pulang."

Manda mengangguk mengerti.

"Lo kenapa belom pulang?" Adam bertanya sambil berjalan beriringan bersama Manda menuruni anak tangga.

Yang ini Manda bingung harus menjawab apa. Tak mungkin rasanya jika menjawab kalau cewek itu menunggu Arka. Kesannya agak gimana gitu. Malu juga sih sebenarnya kalau Adam tahu Manda sengaja menunggu Arka pulang.

"Abis piket tadi." Jawabnya asal.

Adam hanya mengangguk mengerti. "Lo pulang bareng siapa?"

"Naek angkot."

"Bareng gue aja. Kita kan searah."
Manda menggeleng. "Gue naek angkot aja."

"Beneran nih?"

"Iya."

"Yaudah, gue duluan ya."

Manda melambaikan tangannya saat Adam berjalan ke tempat parkir. Cewek itu masih mencari tahu kenapa Arka buru-buru ingin pulang? Biasanya juga cowok itu selalu menunggunya.

Continue Reading

You'll Also Like

Jagoan By Sena

Teen Fiction

1.4M 202K 64
Pemuda itu bernama Daniel Alvis Romero. Ia adalah berandal yang menyebalkan. Namun orang orang menyebutnya sebagai Jagoan di sekolah. Berandal sepert...
49.5K 7.1K 73
kisah Laily dan dia... kisah yang hanya berisi 18 kata... ° ° ° ° ° ° ° Beneran cuma 18 kata? Cek buruan!!❤
292K 10.8K 47
"gue benci banget sama lo ngerti gak" -Anastasya Ferderan Clays "Gue sama tapi kebalikanya" -D karma itu memang selalu ada dan gue percaya itu. "Beca...
539K 18.9K 83
[SUDAH TERBIT] Kisah seorang wanita biasa yang merasakan jatuh cinta. Namun tidak ada dari satupun pria yang sadar akan kehadiran dari cinta wanita i...