SENANDUNG RUSUK RUSAK

By akhiriana_widi

1.5M 81.7K 3.2K

Tumbuh dari keluarga yang hancur sebab orang ketiga, Senandung Niluh Kaniraras tak menyangka bahwa masa depan... More

1. Riuh Redam Amsterdam
2. Vondelpark, Sepiring Sate, dan Segelas Wine
3. Tidur Berbayar Untuk Mantan
4. Emang Ada Babu Yang Seganteng Aku?
5. Bye, Amsterdam! Hi, Masa Lalu Kelam!
6. Abang dan Ayah Bedebah
7. Apa Enaknya Kejatuhan Durian Runtuh?
8. Pernikahan Langit dan Bumi
9. Mungkin Kamu Salah Pilih Istri Bayaran?
10. Malam Pertama di Bulan Kedua
11. Jadi Cacat Aja Dulu Sana!
12. Bhara dan Bara di Antara Rasa
13. Melangkah Mengendus Luka
14. Istri Sah Yang Tersimpan
15. Samar, Remang, Pelakor
16. Istri Pertama, Istri Kedua, dan Segala Luka
17. Tentang Harga Diri di Antara Nurani
19. Maaf Yang Tak Bersambut
20. Balada Suara Hati Seorang Mertua
21. Siapa Yang Teriris, Siapa Yang Menangis
22. Maaf, Bhara. Mama Masih Ingin Hidup
23. Terpana Wajah Mama Tatkala Hati Papa Sakit Terpanah
24. Mama, Jantung Bhara Lari-Lari
25. Family Man Approved But Not Approved
26. Empati Seni Mungkin Sudah Mati
27. Bhara Yang Tak Sempurna
28. Morning Glory
29. Fenetrasi Seorang Bhara
30. Berjuang Merengkuh Sayang
31. Nyanyian Perkara
32. Pengorbanan Yang Mana, Istri Tua?
New Story :)

18. Terpasung Rasa

18.7K 2.4K 104
By akhiriana_widi

Arayi membuka kamar perlahan. Lalu berjalan mendekati Seni yang tertidur tanpa menyentuh makanannya. "Kok nggak dimakan sih, Ni?"

Dia lantas duduk di samping tubuh Seni. Tangannya terjulur, mengusap kepala Seni. Wajah istrinya itu terlihat pucat dan kuyu. Matanya sembab dan melayu. "Ni, bangun."

Seni mengerjap, lalu bergegas duduk menjauhkan diri dari Arayi begitu tahu pria itu duduk begitu dekat dengannya. "Aku udah boleh ke luar kamar?"

Arayi terlihat menimbang sebentar. Lalu mengangguk sambil tersenyum. "Iya, boleh. Tapi jangan harap bisa pergi dari rumah, atau minta pisah."

Seni mendengkus kesal. Ia segera bangkit. Bergegas keluar kamar dan mencari keberadaan Bhara. Sudah sangat rindu. Ia butuh satu-satunya penyemangat yang suci. Hanya Bhara yang mungkin saja bisa menguatkannya.

Langkah Seni berpacu cepat. Ia bertemu Kamila di ruang keluarga. Lantas berseru memanggil Bhara.

"Bhara di kamar Alsha, Ni."

Mendengar suara Arayi, Seni lantas berlari. Mencari keberadaan putranya sesegera mungkin. Namun begitu langkahnya tiba di depan kamar Alsha, hatinya berdebar begitu kuat demi mendengar gelak tawa dari dalam sana.

Arayi menyusulnya. Hendak mencegah. Namun Seni sudah terlebih dulu membuka pintu. Rumah Kamila memang begitu besar. Sebelum-sebelumnya, setiap berkunjung ia tak pernah ingin tahu dengan ruangan-ruangan lain. Sekarang ia baru sadar, kamar di lantai dua yang menghadap ke kebun belakang rumah, adalah kamar Alsha dan Arayi.

Seni terdiam. Menatap potret pernikahan Alsha dan Arayi yang terpampang begitu besar di atas ranjang. Juga foto-foto mesra lainnya yang menghiasi tembok cantik kamar Alsha. Begitu manis. Begitu memukul telak harga dirinya.

"Seni." Arayi maju, menyentuh bahu Seni yang langsung perempuan itu hempaskan.

"Bhara, Bhara lagi apa, Nak?" Seni bersuara lirih. Dia melihat Bhara begitu nyaman di atas ranjang tertidur bersama Alsha sambil bercanda-canda. Beginikah yang terjadi selama dua malam ia dikunci di kamar Arayi?

Inikah yang terjadi? Bhara tidur bersama Arayi dan Alsha. Berbahagia bertiga seperti keluarga yang sempurna?

"Mama!" Bhara berseru riang. Ia berdiri. Lalu melompat-lompat di atas kasur sambil melambaikan tangan. "Mama, kita main ama bunda dan ayah."

Arayi memejamkan mata, merasa tercekik oleh suara Bhara. Sementara Alsha ketar-ketir demi melihat reaksi Seni yang membeku di samping sang suami.

"Bunda?"

"Iya, Bunda Alca, Mama. Kita main ama-ama." Bhara bersuara lagi.

Seni memaksakan diri untuk tersenyum lalu menggeleng sambil meneteskan air mata. "Bunda, ya?"

Perempuan itu lantas menoleh ke arah Arayi yang kini menatapnya dengan penuh penyesalannya. "Jadi memang semua ini udah kamu persiapkan matang-matang, ya?" Seni terkekeh.

"Ketika aku mau Bhara panggil aku mama, kamu bersikeras minta dipanggil ayah. Sekarang, aku tahu jawabannya. Karena, bundanya adalah Mbak Alsha, ya? Kenapa, ke ...."

"Seni, jangan berpikiran yang nggak-nggak. Kenapa kamu sekarang jadi orang yang pikirannya jelek terus, sih?" Arayi menutupi ketakutannya dengan menggertak Seni.

"Emang udah sesuai tujuan, ya? Aku kasih kamu anak, buat istri kamu yang mandul itu?"

Arayi mengepalkan tangan. Lantas menampar pipi Seni hingga perempuan itu terhuyung karena terkejut setengah mati.

"Mas!" Alsha menjerit. Sementara Bhara menangis histeris melihat sang ayah memukul ibunya sendiri.

"Se-Seni." Arayi tergagap sambil menatap tangannya yang bergetar begitu hebat. Ia marah, meski ia sudah mencintai Seni, tapi ia tak rela bila Seni terus-terusan menghina Alsha. Di hatinya, tetap Alsha yang bertahta paling utama. Tapi sekarang, Seni juga sama pentingnya. Apalagi ada Bhara yang melengkapi.

Seni tersenyum. Dari kemarin ia bingung, ada rasa sakit yang tak bisa ia raba. Sekarang akhirnya ia memilikinya. Memar di pipi sebagai bukti bahwa ia masih manusia yang bisa disakiti terus-terusan.

"Maafin mas, Ni. Mas minta maaf." Arayi maju, hendak merengkuh tubuh Seni. Ketika perempuan itu memutuskan untuk berbalik dan pergi dengan langkah pasti.

"Seni!"

Arayi berlari, menghadang langkah Seni dengan ketakutan. "Kamu nggak papa? Mas minta maaf, mas salah."

Seni tersenyum. "Iya. Aku nggak apa-apa. Masih sanggup kalau kamu pukul lagi sampai mati, Mas."

"Mama! Mama!" Bhara menyusul, lalu memeluk kaki Seni sambil menangis begitu kencang. "Mama, Mama!"

Seni menundukkan kepala. Menatap Bhara yang berlinangan air mata. Sekarang ia sedang hancur-hancurnya, bagaimana mungkin ia membawa Bhara dan menyuruh anak itu berhenti menangis?

"Kamu sama ayah dan bunda kamu dulu, ya. Mama mau ke kamar nenek." Seni melepas tangan Bhara. Lalu bergegas pergi menuruni tangga dan memasuki kamar Melati. Arayi yang menatap Seni dengan rasa bersalahnya kini merengkuh Bhara. Menggendong putranya itu sambil berlinangan air mata pula.

Alsha yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa terdiam. Air matanya pun jatuh berderai. "Kamu keterlaluan sekarang. Sejak kapan kamu kasar sama perempuan? Apa kamu sering mukul Seni selama ini?"

Arayi spontan menggelengkan kepalanya. Tentu tidak. Meski rasa cintanya begitu lambat tumbuh, tapi sedikit pun tak pernah ia melakukan kekerasan terhadap Seni selain malam ini.

"Bukan gini cara untuk mempertahankan Seni, Mas. Kamu terlalu egois. Jujur sama dia kalau kamu cinta sama dia, nggak perlu kamu takut nyakitin aku hanya karena kamu ngaku cinta ke Seni. Aku udah sakit sejak lama dan hal kayak gini udah aku prediksi. Jadi, sebelum kamu nyesel, sebaiknya kamu berhenti egois."

***

"Bu." Seni terduduk di lantai. Bersimpuh di perut Melati yang berbaring lemah di atas kasurnya.

Melati yang sedang sama hancurnya, terjaga sedari Seni memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.

"Kamu udah makan, Nak?"

Seni mengangguk. Perut tak ia pikirkan. Hatinya sudah kenyang.

"Ibu nggak apa-apa, kan? Ibu kalau ada yang dirasa tolong kasih tahu Seni, ya," kata Seni lirih. Sungguh, belum masalah rumah tangganya yang tragis, ia pun takut menghadapi kenyataan jikalau Melati semakin parah. "Seni nggak apa-apa kok, Bu. Ibu jangan mikirin Seni, ya. Ibu harus sehat. Seni nggak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Ibu tahu itu, kan?"

Melati menghela napas. Bisa bertahan sejauh nyaris 3 tahun ini, rasanya seperti keajaiban. Tapi entah firasat atau takdir yang menyapa, ia selalu merasa ada yang salah. Ternyata, terjawab sudah semua tanya di dalam hatinya.

Tentang, mengapa ada konglomerat yang rela menghamburkan uang demi pengobatannya hanya agar Seni mau dinikahi?

Tentang, mengapa Kamila memilih Seni dari jutaan wanita di atas bumi yang setara dengan mereka?

Tentang, mengapa ada perempuan yang sesekali datang mengirimkan makanan dan memanggil Kamila mama?

"Maafin ibu ya, Ni." Melati terisak pelan sambil mengusap kepala putrinya. "Kamu harus ngalamin ini semua gara-gara ibu. Demi ibu hidup kamu jadi harus sesakit ini, Ni. Maafin ibu."

Seni menggelengkan kepala. Bukan Melati yang salah. "Ibu sembuh, ya. Seni janji, setelah ini Seni akan bekerja keras. Seni akan belajar lebih banyak hal. Seni akan kejar semua yang bisa Seni kejar. Biar kita nggak bisa dibodoh-bodohi orang lagi. Seni janji Seni bakalan memperbaiki kehidupan kita, Bu."


***See You Tomorrow***
Day 18

Terima kasih buat yang udah baca, votes, dan komen, juga berbaik hati share cerita ini ke Twitter dan base lainnya. Huhuhu terharuuuu.

Continue Reading

You'll Also Like

367K 16.8K 49
Another story dari "My Wedding Story" "Dia udah nyakitin lu Res..." kata gue lirih. "Tapi gue cinta sama dia." Jawab Ares sama lirihnya. "Dia ga pant...
78.1K 18.9K 56
D'abangs seri 4. Prekuel Aww-dorable You (bisa dibaca terpisah) Di tengah tuduhan Gadis bahwa ia menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Vigo, Bita d...
796K 10.6K 32
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
328K 39.4K 52
Setelah dua tahun membabu dengan nyaman sebagai Cook Assistant di Celestial Hotel, Lisa, si jenius penggila Astronomi yang fokus menyibukkan diri seb...