Magic In You | Haechan βœ“

By 23byeolbamm

26.2K 1.2K 1.1K

"Tentang perjuangan yang tak kenal kata balas. Tentang ikhlas yang tak kenal kata pamrih. Dan tentang kehilan... More

Little Spoiler
Cast Revealed
Prolog: Forever Only
I. Ready For Love
II. How We Met
III. Demon Side
IV. This Is Fate And That's A Fact
V. Broken Hope
VI. On Our Home
VIII. The Taste Of Pain
IX. Nightmare
X. Never Goodbye
XI. Sorry, Heart
XII. Lost Something Special
XIII. My Stupid Love
XIV. We're Empty
XV. Hard Slap
XVI. Fallin'
XVII. Be My Mistake
XVIII. 180 Degree
XIX. How Can I Love The Heartbreak
XX. The Way I Hate You
XXI. Unable To Love
XXII. It Will Rain
XXIII. The Rainy Night
XXIV. The Truth [bag. 1]
XXV. The Truth [bag. 2]
XXVI. Things I Could Never Say [END]
Epilog: Me After You [bag. 1]
Epilog: Forever With You [bag. 2]
Bonus Clip: Alisha Alegria
πŸ“’Somethin' New‼️

VII. November 21, 2021

395 26 0
By 23byeolbamm

Ada berapa banyak hari terindah dalam hidup kamu?

Jika seseorang menanyakan itu pada Alda, maka Alda tak akan berpikir lama untuk menjawab 3. Bagi seorang Alda Adzkiana Lovensa, hari terbaik dalam hidupnya sejauh ini baru 3 kali. Pertama, pada hari kelulusan kuliahnya. Ia menandai hari itu sebagai hari terbaik karena berhasil lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Kedua ketika hari pembukaan tokonya secara offline. Alda memulai bisnis kue sejak di bangku kuliah semester 4, akan tetapi baru mendirikan toko resminya dua tahun kemudian. Selama dua tahun itu ia membuka usaha via online dan masih bertempat di rumah dengan memanfaatkan fitur instagram bisnis. Ketiga hari ini, hari ketika akhirnya ia bisa merasakan bagaimana ciuman pertamanya. Dan itu dari Aksa, seseorang yang akan menjadi imamnya dalam sebulan ke depan.

Pantaskah jika ia senang?

Alda tidak tahu, ia terlalu bodoh untuk mendeskripsikan bagaimana situasi hatinya saat ini. Namun, dua sudut bibirnya masih tertarik cukup tinggi ketika ia membaringkan diri di ranjangnya yang dingin.

Selepas diantar Aksa hingga pintu depan, ia bergegas mandi dan tentu membilas seluruh tubuhnya hingga dirasa bersih, tak terkecuali bibir. Tapi kenapa jejak pria itu masih bisa dirasa Alda hingga detik ini?

Masih segar dalam ingatannya ketika bibir lelaki itu menjelajah hingga ke leher, tangannya yang hampir menyentuh seluruh titik sensitif tubuh, bahkan sorot matanya yang lembut masih terbayang dalam benak Alda sampai sekarang!

Sial, Alda mulai gila karena tersenyum sendirian.

"Aish!" Gadis itu menggerutu kesal, lalu mendecak dan menenggelamkan kepala pada bantal kuning kesayangannya. Tapi tak lama, ia menurunkan sedikit bantal hingga terlihatlah sepasang matanya yang berkedip.

Tidak, sepertinya hari terindah dalam hidupnya akan bertambah jadi 4.

Hari pernikahan tentu akan jadi hari terindah selanjutnya, bukan?

*

Pagi selanjutnya, rumah Alda kedatangan tamu tak terduga. Ah, tak terduga sepertinya tidak tepat, sebab tamunya adalah Yura, ibu dari Aksa. Bukankah wajar jika perempuan yang selalu terlihat modis itu datang ke rumahnya? Beliau akan menjadi orang tua keduanya dalam waktu dekat.

Tapi walau begitu, kedatangannya yang tiba-tiba tetap membuat Alda cukup kerepotan. Dia harus membereskan rumah, menata perasaan yang lebih utama, ia juga belum sempat melihat Nenek yang belum juga keluar kamar.

"Mama kenapa tiba-tiba ke sini?" Alda langsung bertanya setelah meletakkan segelas teh hangat di depan calon ibu mertua. "Ah, maaf kalau pemandangannya nggak enak, aku belum sempat beres-beres."

Sebelum menjawab, Yura tampak tersenyum. "Kayaknya emang Mama yang kepagian datangnya. Tapi gimana, ya, Aksa nyuruh Mama buat ketemu kamu."

"Semua persiapan udah selesai, kan?"

"Bukan soal itu. Kemarin Aksa cerita ke Mama, kalian lihat rumah masa depan ya?"

Rumah masa depan. Alda tersenyum kecil. "Iya." Oh ya ampun, mengapa ia malah teringat kejadian itu lagi?!

"Itu rumah murni dibeli Aksa pakai uangnya sendiri, waktu dia belum jadi CEO kayak sekarang."

"Aku pikir karena dia anak Papa, dia langsung diangkat jadi CEO. Ternyata enggak, ya?"

Wanita itu kembali tersenyum, kemudian menggeleng. "Enggak. Aksa itu, walau terjun ke dunia bisnis bukan minatnya, tapi karena permintaan Papa dia jadinya mau belajar bisnis. Dia juga nggak membantah waktu Papa nyuruh dia meniti karirnya dari nol. Dari mulai karyawan biasa, manajer lapangan, sampai tembus posisi CEO kayak sekarang."

"Aksa juga cerita, itu rumah tadinya dihadiahkan buat pacarnya yang dulu, tapi nggak jadi karena mereka keburu putus, itu bener ya, Ma?"

Perubahan wajahnya memang tidak kentara, tapi Yura menegang ketika kalimat itu terlontar mulus dari bibir tipis sang calon menantu. "Astaga, kenapa kita malah bicara soal rumah sih? Mama ke sini bukan untuk itu."

"Iya juga, kenapa bahasnya jadi ke sana ya..." Alda terkekeh samar. "Jadi Mama ke sini mau apa?"

"Aksa bawain suster buat Nenek Fatma. Harusnya sih, Aksa yang anterin ke sini, tapi karena pernikahan kalian tinggal menghitung minggu, terus juga Aksa kan pingin nyobain dipingit, jadi Mama yang dikorbanin buat ke sini."

"Suster?"

"Iya, kemarin Aksa udah hubungi jasa perawat lansia, pihak penyedia katanya bakal mengirim suster hari ini. Mungkin agak siangan nanti, jadi nanti kamu sambut aja."

Serius, Alda saat ini masih tidak mengeluarkan banyak reaksi. Wajar untuknya yang masih terkejut. Semua ini terlalu tiba-tiba untuknya.

"Apa nggak ngerepotin, Ma? Aku masih bisa rawat nenek aku sendiri." Ia mencoba menolak.

"Mama juga awalnya nggak setuju, Mama nggak meragukan kemampuan kamu. Tapi kan habis nikah kamu bakal tinggal bareng Aksa, Nak. Jadi untuk menggantikan kamu, Aksa kirim suster."

Alda terdiam cukup lama. Sesaat, ia memandang wajah cantik Yura, kemudian ia alihkan ke arah lain.

"Beliau harus sehat pas hari H nanti, Alda," tambah Yura. Dan itu membuat Alda yang awalnya sedikit tidak setuju jadi berubah pikiran.

Alda menghela napas. "Yang menurut Mama terbaik aja, aku ikutin."

"Nanti bakal ada masa percobaan seminggu, kalau nggak cocok kamu bisa bilang. Tapi semoga aja cocok."

"Iya, nanti aku bilang ke nenek."

*

"Kamu ngapain nelepon sih? Kita nggak boleh komunikasi."

"Gue kangen."

Entah itu jujur atau hanya alasan, yang jelas, Alda seharusnya tidak bertanya seperti itu. Sebab dua kata dari Aksa itu membuatnya kehilangan kata-kata seketika.

"Lo nggak berhak larang gue, toh, Mama aja ngebolehin kalau cuma nelepon doang."

"Kamu yang pingin dipingit, tapi kamu sendiri yang gak bisa nahan," sindir Alda.

"Gue tadi iseng cari di google, dan ternyata ada kok yang pingitan cuma seminggu. Tadinya mau ngikut gitu aja, tapi gue rombak lagi. Teknisnya, dipingitnya emang sebulan, kita nggak boleh keluar atau ketemuan sebelum hari pernikahan, tapi kalau telepon boleh-boleh aja. Kecuali kalau udah masuk H-7, itu bener-bener udah gak boleh interaksi apa-apa."

Penjelasan panjang Aksa memberi sensasi menggelitik bagi Alda. Di sana, di rongga-rongga perutnya, seperti ada jutaan kupu-kupu yang mendadak berpesta ria, menyebar ke seluruh penjuru tubuhnya. Ke perut, ke dada, bahkan kepala. Alda menggelengkan kepala namun ia tak bisa menyembunyikan senyum yang terbit di bibirnya.

"Ada yang begitu?"

"Ada lah. Kita."

"Dasar."

"Tadi gimana? Apa Nenek nyaman sama Indri?"

Alda menatap langit-langit kamar cukup lama. "Nyaman, katanya, walau agak kaget karena tiba-tiba ada orang asing. Kak Indri juga udah pulang sekarang."

"Alda, gue mau nanya sesuatu, boleh?"

"Boleh, apa?" Alda menjawab tanpa berpikir lama.

"Sebelum gue, apa lo pernah berhubungan sama pria lain?"

"Pacaran? Pernah, sekali, itu juga waktu kuliah."

"Sejauh mana hubungan itu?"

"Maksudnya?"

Ada jeda cukup lama. "Ya mungkin... lo pernah ciuman atau tidur sama dia?"

Kata-kata Aksa sedikit menyakiti hatinya, tapi Alda berusaha biasa saja. "Ohh, kalau yang kayak gitu nggak sih, pacarannya juga cuma tiga bulan, nggak lama kayak kamu."

"Jadi yang kemarin itu first kiss lo?"

"Mm-hm."

"Pantes."

"..., kenapa emang?"

"Nggak papa, gue suka."

"Hah?"

"Alda Adzkiana Lovensa, itu nama panjang lo kan?"

"..., iya."

"Sampai ketemu di hari akad nanti."

*

"Saya terima nikah dan kawinnya Alda Adzkiana Lovensa binti Rizal dengan mas kawin tersebut, tunai."

2 jam yang lalu, tepatnya jam 5 sore, Aksa mengucapkan kabul dalam sekali tarikan napas. Dalam balutan jas hitam yang terlihat elegan, berikut warna jingga dari sunset yang menyorot wajah seriusnya, Alda bersumpah itu adalah pemandangan paling menakjubkan yang pernah dia lihat.

Tangan lelaki itu menjabat langsung tangan penghulu, karena Alda tidak memiliki kerabat laki-laki yang bisa dijadikan wali setelah ketiadaan sang ayah. Alda tidak pernah memperhatikan sedetail ini, tapi tangan Aksa yang berotot terlihat indah di matanya.

Lalu kata "sah" yang dikatakan para saksi secara serempak membuat perasaan tidak karuan yang menghuni dada perempuan itu menguap entah ke mana. Bersamaan dengan Aksa yang menarik napas lega, diam-diam Alda juga menghela napas. Ia menggulirkan tatapannya pada Aksa yang berada di sampingnya. Sebuah keputusan yang salah sebab pria itu juga tengah menatapnya.

Keduanya sama-sama melempar senyum. Namun hanya sesaat, sebab perhatian mereka teralihkan ketika penghulu menyatakan mereka telah resmi menjadi sepasang suami-istri.

Ada yang aneh ketika menyadari fakta bahwa kini, ia telah menjadi istri seorang Aksara Alegria. Statusnya telah naik satu tingkat lagi.

Setelah akad berikut beberapa dokumen yang harus ditandatangani, hingga sampai pada mereka yang resmi memiliki buku nikah sendiri, mereka lalui dengan senyum bahagia terukir di bibir.

Kini, langit di atas sana sempurna menggelap. Bulan telah menggantikan peran matahari. Dingin dari angin yang sesekali berembus tidak melunturkan senyum di bibir Alda. Sejak resepsi dimulai, aura yang terpancar hanya bahagia. Apa dia bahagia dengan pernikahan ini? Entah.

Satu jam yang terasa panjang, sebab banyaknya tamu yang harus ia salami. Sedikit informasi, tamu yang diundang mencapai 1000 orang dan 65% di antaranya adalah kolega bisnis yang tidak dikenal Alda.

Aksa sendiri tidak henti-hentinya mengulas senyum. Beberapa kali Alda melihat pria itu berbicara formal dengan beberapa pasangan yang datang menghampirinya.

Seluruh dekorasi selaras dengan gaun yang dipakai si wanita, putih. Berpadu dengan warna hijau dari tanaman sebagai hiasan. Sementara untuk tamu, dress code yang dipilih adalah biru. Impian Alda yang akhirnya diwujudkan Aksa.

Mereka baru bisa bernapas lega setelah para tamu disibukkan dengan berbagai hidangan. Hal kecil yang kini menjadi sangat disyukuri Alda sebab ia bisa mengistirahatkan kakinya yang terus saja diajak berdiri-duduk-berdiri-duduk terus sejak resepsi dimulai. Gaun yang ia kenakan cukup rumit, jadi untuk duduk saja ia harus hati-hati. Aksa yang sejak tadi setia membantunya.

"Kita belum pernah ngobrol banyak sejak akad." Aksa tiba-tiba membuka suara.

"Mhm. Kamu sibuk sama rekan-rekanmu," balas Alda, sekali lagi menarik napas.

"Lo nggak papa, kan? Dari tadi gue lihat narik napas terus."

"Nggak, aneh aja rasanya." Perempuan itu menunduk, menatap jemari tangannya yang dihiasi cincin emas putih. "Sekarang aku udah jadi seorang istri."

"Laper gak?" Dia yang bertanya lebih dulu, dia juga yang mengalihkan topik.

"Lumayan."

"Mau gue ambilin makan?" Namun meski dia bertanya, Aksa tak memerlukan jawaban dari Alda. Ia justru beralih menatap Yura yang duduk manis di sampingnya. "Ma, Alda laper katanya, aku boleh, kan, ngambilin dia makan?"

"Boleh, ambil aja."

"Nggak usah, eh, nanti make up-ku rusak."

"Kalau gak mau belepotan, makan buah aja. Aksara bener kok, Al, kamu harus makan atau kamu mau pingsan? Acaranya baru setengah jalan."

Alda tidak bisa berkutik jika sudah dihadapkan pada omelan Yura yang selalu menamparnya. Perempuan itu benar, sejak siang tadi ia memang belum makan apa-apa karena sibuk dengan riasan. Perutnya pun keroncongan sekarang.

"Yaudah," pasrahnya lalu. Hanya bisa diam ketika Aksa pergi dan mengambilkan sepiring buah semangka untuknya.

"Gue suapin ya," kata pria itu ketika sampai. Alda lagi-lagi menurut, kemudian membuka mulutnya untuk mendapat satu potong semangka dari garpu yang disodorkan Aksa.

Apa yang mereka lakukan mengundang decak kagum bagi sebagian orang yang menyaksikan. Menganggap bahwa Aksa seperhatian itu hingga rela mengambil lalu menyuapi sang istri dengan potong demi potong buah. Bahkan juru kamera yang bertugas mengabadikan momen pun tidak pernah melunturkan senyum.

Sibuk dengan kegiatan itu, mereka tak menyadari jika di sudut ruangan, Naufal menyaksikan semuanya. Perih menjalar ke seluruh tubuh ketika melihat perempuan yang ia dambakan selama ini kini malah menjadi kakak iparnya. Saat akad tadi dia bahkan tidak sepenuhnya menyaksikan, sebab untuk menyembunyikan air matanya, Naufal memilih mengurung diri di dalam toilet, menumpahkan kekecewaan yang menggerogoti hatinya. Dia baru kembali setelah dirasa lebih tenang. Walau ketika melihat Aksa yang tengah menyuapi Alda, hatinya kembali dilanda nyeri tak kasat mata.

"Mojok bae lu, Na, gak gabung sama yang lain?"

Suara familiar mengunjungi telinganya. Tanpa melihat pun Naufal tahu, itu suara Jefta, musuhnya. Dia menghela napas, menatap si oknum dengan malas.

"Udah nemuin si Aksa?" Tahu bahwa pertanyaan tadi tidak mungkin dibalas, Jefta menggantinya dengan yang lain. "Jawab kek!"

"Gue gak minat ngomong sama pengkhianat."

"What?"

Naufal mendesis pelan sebelum kemudian mengalihkan topik. "Lo baru dateng? Gue baru ngelihat lo."

"Iya, lo udah ke sana belum? Kalau belum bareng."

"Belum. Tapi ogah bareng lo, lo aja sana duluan, entar gue."

Jefta kontan mendecih, kemudian memilih pergi dari sana. Harga dirinya merasa tercoreng setelah ajakannya ditolak begitu saja.

Oke, ia memang sendiri ke sini, tapi bukan berarti ia tidak memiliki pacar. Gadisnya banyak, di mana-mana. Hanya saja, Jefta tak membawa satu pun karena sadar ada ibunya Aksa yang tidak boleh melihat sifat bajingannya.

"Wei, bro, congratulations!!" Pria itu berseru bahkan baru selangkah menaiki altar pelaminan. "Gila, bisa-bisanya lo ngelangkahin gue yang lebih tua dari lo."

Aksa memutar bola matanya jengah. "Kita cuma beda setahun. Lo dari mana aja? Baru nongol sekarang."

Jefta terkekeh. "Urusan bisnis, biasa. Better lo kurangin sikap posesif lo ini deh, Sa, lo udah punya bini sekarang."

"Bajingan gue cuma nanya!"

Jefta tergelak, begitu juga Alda yang melepaskan tawa refleksnya samar. "Gue mau ngobrol sesuatu, bisa ikut bentar?"

Yang ditanya mengangguk, tanpa banyak bicara ia mengalihkan piring semangka yang tinggal sedikit itu pada Alda. "Bentar ya," izinnya, lantas berlalu mengikuti ke mana Jefta pergi.

Pria itu membawa Aksa ke penjuru gedung, sedikit menjauh dari orang-orang. "Lo mau nanya apa deh?"

"Soal rencana yang kita bicarain di tempat gue beberapa waktu lalu, udah lo jalanin belum? Kok, gue lihat-lihat lo malah akrab sama dia, mana suap-suapan segala."

Aksa tersenyum miring. "Akting gue natural banget, ya, sampai lo aja nggak sadar."

"Akting?" Jefta terdiam sesaat, selang dua detik matanya melotot karena sadar. "Anjing! Jadi—"

"Yeah, it was just an act to smooth out my plans."

"Gue gak peduli lo mau akting atau apapun buat memuluskan rencana lo, yang jadi pertanyaan, rencana utama yang gue kasih udah lo kerjain belum? Udah lo bilang ke si Alda kalau pernikahannya nanti bakal settingan?"

"Belum—eh, nggak akan kayaknya."

Kontan saja Jefta mendelik. Dia bisa saja menoyor kepala temannya itu jika tidak ingat bahwa mereka di tempat umum. "Lo gimana sih? Masa akting lo utamain daripada rencana utama?"

Reaksi Aksa di luar ekspektasi. Pria itu terkekeh, menatap lelaki bongsor di hadapannya dengan senyum jahil. Sebelum bersuara, ia menepuk-nepuk jas bagian bahu yang dikenakan Jefta. "Gue punya rencana sendiri."

"What?"

"Ada deh, yang jelas ini bakal menguntungkan gue, sekaligus menghancurkan Naufal." Tatapannya menajam pada Naufal yang kini menemani Alda di kursi pelaminan. "Gue bakal membalas semua kekalahan gue dari dia lewat Alda."

"Jangan bilang lo mau rebut Alda dari Naufal?"

"Ssstttt, nanti ada yang denger," tukas Aksa, "Lagian gue gak merebut, lo tahu semua cerita hidup gue. Dari awal, Alda milik gue."

"Ini beresiko anjir, lo sadar gak sih, Sa? Gimana kalau semua perhatian lo yang ternyata akting ini bikin dia jatuh cinta sama lo? Bakal jadi bumerang buat lo."

"Yang ngejalanin gue, kenapa lo yang paling worry gini dah? Kalaupun dia bakal suka gue, ya itu urusan dia. Tenang, Jeftara, perasaan gue cuma buat Alice seorang."

Because from the start, Aksara was an asshole.

*

Di tempatnya duduk, Naufal terus saja memperhatikan Alda yang duduk sendirian. Entah ke mana Jefta membawa sang mempelai pria, ia tak peduli juga sih. Tapi melihat Alda yang sepertinya kesepian-terlihat dari wajahnya yang tidak secerah ketika bersama Aksa tadi-maka dengan impulsif, ia berjalan ke sana.

Tepat saat kakinya mulai naik ke atas altar, perasaannya kembali tidak karuan. Naufal menelan ludah tanpa sadar, membulatkan tekad untuk terus berjalan karena jika kembali ke bawah, itu akan sangat memalukan.

Maka Naufal lanjut berjalan. Dia memeluk ayah ibunya sebentar, mengucapkan selamat karena akhirnya mereka memiliki seorang menantu. Kemudian bergilir pada Alda. Pria itu berdiri cukup lama persis di hadapan si wanita. Sementara Alda, perempuan itu hanya menatapnya dengan senyum manis seperti biasa.

"Aku dari tadi nunggu kamu di sini."

Naufal menyunggingkan senyum kecil. "Selamat atas pernikahannya." Dia memeluk Alda, cukup lama. Dalam pelukan itu, Naufal berbisik. "I'm sorry for taking too much time."

Kata-katanya membuat Alda membeku untuk beberapa lama. Bahkan setelah Naufal melepaskan pelukannya, dia masih belum banyak memberikan reaksi seremeh senyuman atau ucapan terima kasih.

"Di luar semua pengakuanku, tolong jangan merubah sikapmu. Jalani semuanya senatural seperti biasa. Still, you're still my little sister." Tangan besarnya menepuk kepala Alda dua kali, lalu tanpa mendengar jawaban dari si mempelai, pria itu berlalu melewatinya, kini menghadap Nenek yang tersenyum hangat.

"Nek, lama nggak ketemu." Naufal berjongkok untuk menyesuaikan ketinggian dengan Nenek yang duduk.

"Kamu semakin jarang berkunjung ke rumah selama persiapan pernikahan Alda. Padahal Nenek sangat menunggu kamu."

"Aku sengaja menyibukkan diri selama persiapan kemarin, biar nggak ada pekerjaan apa-apa pas hari ini." Alibinya cemerlang sekali. Padahal ia sedang menghindari segala macam acara pertemuan yang membahas pernikahan kakak dan kekasih hatinya.

"Nenek mau makan? Aku ambilkan."

"Tidak usah, Nenek punya suster sekarang." Ia mengenalkan Indri yang setia di sampingnya pada Naufal. "Dari Aksa, namanya Indri."

Lagi-lagi Naufal kalah telak. Betapa cerdasnya Aksa yang menggunakan jalur Nenek untuk mendapatkan hati Alda. Cih.

Lelaki itu tersenyum kaku. "Kalau begitu, Naufal turun dulu, hm?"

"Jaga diri baik-baik, Nak."

Naufal hanya tersenyum mengangguk. Padahal dalam kepalanya, muncul satu pertanyaan yang mau sampai kapanpun, tidak bisa ia temukan jawabannya.

Apa ia bisa baik-baik saja setelah pernikahan ini?

〖 To Be Continued 〗

"21 November 2021, adalah hari berbahagia untuk Alda, sekaligus hari patah hati terbesar sepanjang hidup Naufal."


Guys, buat yang penasaran gimana dekorasi, gaun, sama cincin yang dipilih Aksara buat Alda (iya wkwk, semua itu pilihan Aksa karena Alda terlalu bingung buat milih konsep, dia cuma berperan pilih warna doang) ini aku kasih gambarannya yaa ^^

Dekorasi altar

Gaun akad

Gaun resepsi

Cincin dari Cartier seharga 78jt

Sekian. Holkay mah bebas lah ya.

bintang

Continue Reading

You'll Also Like

207K 28.2K 36
#HTLSeries (5) Taeyong sudah terlalu lama memendam perihal masa lalunya tentang dia, yang kini sudah bahagia bersama orang lain. Tidak pernah ada yan...
3.1M 223K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
Committee By kez

Short Story

9.6K 1.8K 26
"Males dah organisasi periodenya setahun, lama. Mending panitia aja ga sih? Paling lama enam bulan."
3.5M 109K 87
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...