SENANDUNG RUSUK RUSAK

By akhiriana_widi

1.6M 82.7K 3.2K

Tumbuh dari keluarga yang hancur sebab orang ketiga, Senandung Niluh Kaniraras tak menyangka bahwa masa depan... More

1. Riuh Redam Amsterdam
2. Vondelpark, Sepiring Sate, dan Segelas Wine
3. Tidur Berbayar Untuk Mantan
4. Emang Ada Babu Yang Seganteng Aku?
5. Bye, Amsterdam! Hi, Masa Lalu Kelam!
7. Apa Enaknya Kejatuhan Durian Runtuh?
8. Pernikahan Langit dan Bumi
9. Mungkin Kamu Salah Pilih Istri Bayaran?
10. Malam Pertama di Bulan Kedua
11. Jadi Cacat Aja Dulu Sana!
12. Bhara dan Bara di Antara Rasa
13. Melangkah Mengendus Luka
14. Istri Sah Yang Tersimpan
15. Samar, Remang, Pelakor
16. Istri Pertama, Istri Kedua, dan Segala Luka
17. Tentang Harga Diri di Antara Nurani
18. Terpasung Rasa
19. Maaf Yang Tak Bersambut
20. Balada Suara Hati Seorang Mertua
21. Siapa Yang Teriris, Siapa Yang Menangis
22. Maaf, Bhara. Mama Masih Ingin Hidup
23. Terpana Wajah Mama Tatkala Hati Papa Sakit Terpanah
24. Mama, Jantung Bhara Lari-Lari
25. Family Man Approved But Not Approved
26. Empati Seni Mungkin Sudah Mati
27. Bhara Yang Tak Sempurna
28. Morning Glory
29. Fenetrasi Seorang Bhara
30. Berjuang Merengkuh Sayang
31. Nyanyian Perkara
32. Pengorbanan Yang Mana, Istri Tua?
New Story :)

6. Abang dan Ayah Bedebah

22.6K 2.5K 33
By akhiriana_widi

"Lo jadi anak tuh jangan nyusahin doang bisanya!"

Seni remaja hanya bisa menundukkan kepala. Saat itu usianya baru 17 tahun. Baru lulus SMA dan punya kesempatan emas mendapat beasiswa dari sebuah kampus swasta berkat prestasinya selama sekolah.

"Bang, tapi Seni pengen ngelanjutin kuliah, Bang." Seni masih mencoba untuk merayu. Pikirnya, dengan ia menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ia bisa membantu memperbaiki perekonomian keluarga.

Raga berdecak kesal. "Lo mikir dengan lo dapet beasiswa segalanya udah kelar gitu? Terus lo mau maksa-maksa gue cari duit buat lo? Buat ibu lo yang dari dulu cuma bisa nangis itu? Ogah gue, Ni. Ogah!"

"Bang, Seni janji, kalau Seni kuliah dan lulus nanti, Seni janji bakalan bikin Abang bangga. Seni bakalan bantuin Abang memperbaiki finansial keluarga kita, Bang."

"Tolol!" Raga mendorong kepala Seni dengan keras. "Bacot doang emang lo. Capek gue bantuin ibu nyari duit biar lo lulus SMA. Habis lulus bukannya ikutan bantuin gue nyari duit malah sok-sokan mau kuliah. Sana kuliah, tapi jangan pernah minta duit sama gue. Ngerti lo?"

"Tapi, Bang ...."

"Cari uang itu susah, Ni. Lo dapat beasiswa nggak lantas bikin langkah gue ringan. Sementara lo lihat sendiri, keadaan kita, Ni. Gue kerja ke sana ke mari, rela gue jadi apa aja, hidup kita tetap gini-gini aja. Kalau nggak bisa ngebantuin gue, minimal lo jangan nambah nyusahin, deh."

Setelah mengatakannya dengan tega, Raga—pemuda berusia 21 tahun—itu pergi begitu saja. Seni yang ditinggalkan hanya bisa menangis bersama sang ibu yang diam-diam mendengarkan anaknya berseteru.

"Seni."

Melati—sang ibu—merentangkan tangan, lalu memeluk Seni dengan penuh rasa bersalah. Mereka memang hanya hidup bertiga. Saat Seni berusia 10 dan Raga berusia 14, suami Melati memilih hidup bersama istri barunya.

Istri yang digadang-gadang lebih muda dan lebih cantik dari Melati.

Melati hanya bisa menangis saat berkali-kali hatinya disakiti. Puncaknya, dia pun hanya bisa menangis saat Erlangga memberinya tawaran dimadu atau dicerai. Melati sudah mencoba. Selama 8 bulan dia bertahan di dalam satu rumah yang ditempati oleh 2 ratu. Tapi hatinya terlalu sakit untuk melanjutkan.

Dengan berderai air mata, Melati mengira dia bisa menyelamatkan hati dan anak-anaknya. Ia meminta berpisah. Erlangga yang dimabuk asmara pun mengiyakan tanpa banyak tanya.

Talak dijatuhkan. Melati terusir dari rumah tanpa mendapatkan apa-apa karena bersikukuh membawa kedua buah hatinya, Raga dan Seni.

Namun segalanya tak semulus yang ia perkirakan. Semuanya mulai berubah sejak kehidupan selepas keluar dari istana Erlangga, begitu terasa berbeda. Seni mungkin diam saja dalam menyelami derita sang ibu. Tapi Raga menyesal. Raga menyesal ikut bersama sang ibu sehingga membuat hidupnya menderita dan serba kekurangan.

"Ya udah deh, Bu. Seni besok cari kerja aja di Jakarta."

Melati hanya bisa tersenyum. Selama 7 tahun ini, dia memang membawa anak-anaknya tinggal di Bogor. Melati yang dahulunya terlanjur ketergantungan dengan Erlangga hanya bisa menangis dan berusaha sebisanya.

Perkara terlalu nyaman dan dimanja, membuat Melati tak banyak mengeksplorasi diri dan membuka wawasan. Akhirnya, begitu lepas dari zona nyaman yang diciptakan Erlangga, Melati benar-benar menemui kesulitan.

Maka saat bercerai, yang bisa Melati lakukan adalah bekerja serabutan di perumahan-perumahan. Penghasilannya tak seberapa bagi kebutuhan mereka bertiga. Membuat perangai Raga lama-lama menjadi berubah dan tak terarah.

"Kamu mau kerja apa, Nak?"

"Kerja apa aja, Bu." Seni terisak sedih. "Yang penting halal dan bisa bantuin Ibu sama abang cari uang."

Hingga akhirnya, Seni memberanikan diri ke Jakarta. Berhari-hari mencari lowongan pekerjaan. Pulang pergi naik kereta tanpa pernah mengeluh. Sampai dua minggu setelahnya, Seni diterima kerja di sebuah butik di daerah Kemang.

Butik mewah, yang tak pernah Seni bayangkan sebelumnya.

Kamila—pemilik butik tersebut—menempatkannya sebagai pramuniaga. Berdiri dari pagi hingga sore, melayani para pembeli, wajib tersenyum meski kaki pegal-pegal dan kesemutan.

Meski demikian, Seni senang sekali. Dia akhirnya bisa membantu ibu dan abangnya. Tidak ongkang-ongkang kaki saja seperti apa yang Raga bilang.

Seni yang jujur dan tekun, Kamila pun menyukai. Apalagi Seni begitu cantik dan polos. Sering sekali Kamila menawarkan bantuan agar Seni bisa melanjutkan pendidikan, tapi dengan rendah hati Seni tolak.

***

"Aku mau pergi, Bu."

Seni yang pada waktu itu baru pulang hanya bisa terdiam di teras saat mendengar suara kakaknya dari dalam.

"Mau pergi ke mana, Raga? Raga udah nggak sayang sama ibu dan Seni?"

"Raga capek ikut ibu." Raga menundukkan kepala. Di sampingnya sudah ada ransel yang siap ia bawa pergi. "Raga capek kayak gini. Aku capek hidup susah. Aku mau ikut ayah."

Begitu nama ayah disebut, Seni mengepalkan tangan. Namun tak kunjung bergerak di tempatnya.

"Oh, abang udah ketemu ayah?" Melati masih mencoba untuk tersenyum meski air matanya mulai berjatuhan.

Raga mengangguk. "Ayah minta aku pulang. Dia butuh penerus karena cuma aku yang bisa dia andalkan."

"Baik, ibu nggak apa-apa. Kalau Abang mau pulang ke ayah, nggak apa-apa. Ibu akan tetap doain supaya kamu selalu sehat dan jadi orang yang baik di mana pun kamu berada. Ibu akan tetap sayang sama Raga, Nak."

Sedikit banyak, Raga merasa tak tega. Tapi dia juga tak tahan hidup di bawah ambang kemiskinan bersama ibu dan adiknya. Toh, bila ia sukses dan berhasil nanti, semua itu juga akan ia gunakan untuk membantu ibu dan Seni.

"Kalau nanti kamu sukses, jangan jadi manusia yang tamak, ya, Ga. Hati kamu harus tetap bersih, seperti Raga yang ibu kenal dulu. Raga yang melakukan segala hal untuk kebaikan. Raga yang selalu peduli dengan orang lain. Jangan meninggi saat nanti sudah tinggi, ya, Nak."

"Maafin Raga, Bu. Raga pamit." Raga memeluk singkat Melati, melepas pelukan itu bahkan di saat Melati masih ingin didekap.

Lalu membalikkan badan. Terdiam sejenak tatkala mendapati Seni berdiri di teras. Adiknya terlihat kucel, seragam SPG masih melekat di tubuh rampingnya. "Ni."

"Kenapa berhenti? Katanya mau pergi?" Seni bersuara dengan begitu dingin. Dulu, ia dikecewakan sang ayah. Besar harapannya untuk hidup di bawah lindungan dan kasih sayang Raga. Tapi ternyata, Raga juga sama saja.

"Gue nggak akan ninggalin lo. Gue bakalan bilang sama ayah kalau lo mau kul ...."

"Nggak perlu." Seni melepas sepatunya. Lalu berjalan memasuki rumah, berpindah posisi dengan Raga. "Sukses buat lo, Bang. Nggak perlu lo inget-inget gue atau ibu di sini." Sebelum Raga sempat membalas, Seni dengan cepat menutup pintu. Menguncinya rapat-rapat.

Baginya, Erlangga dan Raga sama saja. Hanya laki-laki yang doyan lari dari tanggung jawab dan hobi menyakiti hati wanita.

"Seni!" Raga mengetuk pintu. Memang jarang ia akur dengan adiknya. Tapi saat Seni berkata sedingin itu, Raga baru sadar bahwa dia dan Seni adalah sebuah kesatuan. Tidak seharusnya ia menjadikan Seni sebagai pelampiasan atas kekecewaan terhadap orang tua. "Abang bakalan balik. Abang bakalan bikin semuanya lebih baik, Ni."

Seni terdiam di balik pintu. Percuma. Semuanya tidak akan ada yang lebih baik lagi. Kini hanya ada dirinya dan sang ibu. Selain itu, Seni akan mencoba tidak peduli.

"Abang pergi kali ini, tapi abang akan datang suatu hari nanti, Ni. Kita akan punya kehidupan yang lebih baik. Abang akan menyanggupi semua permintaan kamu. Kita akan bareng-bareng nemenin masa tua ibu. Kita sama-sama membahagiakan ibu, Ni." Raga masih berseru di luar sana. 

Di balik pintu, Seni mengepalkan tangan. 

Omong kosong, Raga pasti hanya membual. Dulu, ayahnya bahkan banyak sekali berbicara hal yang manis tentang tanggung jawab dan perlindungan. Tapi nyatanya apa?

"Ni! Maafin abang, Ni!"

Seni terkekeh kecil. Ia bergerak memeluk sang ibu yang terdiam di ruang tamu. Terisak sejenak, lalu mematikan semua lampu. Membawa ibu ke kamar. Membiarkan Raga pergi tanpa dibekali senyuman.

***See You Tomorrow***

Day 6!
Edit: Republish version. 

Terima kasih buat yang udah baca, share cerita ini ke mana-mana, votes, dan komen. 
Moga-moga cuma Seni ajaa yang punya ayah dan abang redflag kayak Erlangga sama Raga.

Kalau ada yang follow IG akhiriana.widi dan belum kefollback, DM ajaa, yaa. Hihihi. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 83.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
3.9M 259K 61
Sebagian part telah dihapus demi kepentingan penerbit ❌ . . . . . Ini kisah Khalisa Salsabila yang terpesona dengan ke tampanan seorang Gus tempat di...
2.8M 196K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
546K 40.5K 36
(TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA) Katamu aku tempatmu bermuara. Telah lama kutunggu-tunggu, kapalmu tak pernah sampai padaku. Lalu muara mana yang seda...