Titik Balik

By fatimahrosyidah13

6.9K 1K 222

Selama ini, Abid hanya ingin menjadi santri patuh dan berbakti pada sang Kiai. Karenanya, ia bisa melakukan a... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga

Empat Belas

157 30 5
By fatimahrosyidah13

Untuk kesekian ratus kalinya, Abid mengetikkan nama Husna pada setiap fitur pencarian akun medsos yang ia miliki. Lantas, memeriksa setiap foto profil yang muncul. Setelah berulang kali kecewa, ia tetap tak mampu menemukan Husnanya. Tentu saja, dia hanya tahu nama gadis itu sebagai Husna saja.

Apa mungkin di zaman seperti ini masih ada gadis yang tak memiliki medsos? Rasanya tidak mungkin.

Atau jangan-jangan, salah satu akun medsos tanpa foto diri jelas adalah Husna. Tapi, tak mungkin Abid tiba-tiba berkomentar atau mengirim pesan pribadi. Dia bisa malu. Untuk apa juga ia bersikap konyol begitu? Tak secuil pun hadir keinginan mengobrol secara lebih pribadi. Ia hanya ingin … melihat gambarnya atau kalau tidak, mengetahui kabarnya saja sudah cukup.

Abid masih 22 tahun. Tak pernah terpikir bahwa ia akan menikah muda. Tahun ajaran yang akan datang, ia masih harus mengabdi di pesantren. Mungkin setelahnya, ia akan pulang dan membantu di pesantren ayahnya sembari berdagang dan mengurus sawah. Nanti, jika sudah waktunya tiba—saat ia sudah bisa menjadi imam rumah tangga yang bertanggung jawab dunia dan akhirat—ia baru akan memikirkan pernikahan. Urusan Husna … akan ia serahkan saja pada Allah.

Sepertinya Abid benar-benar bisa menjadi Majnun gara-gara seorang gadis. Bayangan Husna nyatanya tak pernah bisa pergi bahkan setelah berbulan-bulan tak bertemu.

Masih terbayang jelas bagaimana kegugupan dan kecemasan Husna kala itu. Ekspresi cemas yang tiba-tiba berubah senang saat keinginannya terkabul. Atau mimik gugup dan malu-malunya setiap kali mereka berdekatan. Dan sepertinya, penglihatan Abid kala pertama menjadi supir pengganti tidaklah keliru. Husna memang memperhatikannya.

Bunyi ketukan pintu disertai panggilan ibunya membuat Abid seketika meletakkan ponsel dan beranjak. Ia membuka pintu seraya menjawab.

"Ada Kiai Mahrus." Bu Nyai Nikmah berisyarat dengan jempol ke arah ruang tamu.

"Abah Yai?" tanya Abid terkejut.

Perempuan paruh baya yang masih tampak cantik itu mengangguk. "Iya. Baru rawuh. Nyariin kamu. Cepat ke depan."

Abid mengangguk, lantas berbalik untuk mengambil dan memakai peci. Seraya membenahi penampilan, ia berjalan cepat ke ruang tamu.

Tampak senang, Kiai Mahrus bangkit dari duduknya dan menyambut Abid. Bukan hanya menerima salam hormat sang murid, lelaki paruh baya bersahaja itu bahkan memeluk dan menepuk-nepuk punggung santrinya itu. Seolah-olah Kiai Mahrus sangat merindukannya.

Biasanya, setelah memberi salam hormat, Abid pamit masuk dan meninggalkan sang Ayah bersama gurunya untuk bercakap-cakap. Tapi kali ini, Kiai Mahrus tak mengizinkannya masuk.

Demi takzim, ia menuruti. Untuk beberapa saat, setelah seorang santri putra datang menyuguhkan kopi dan kudapan, Kiai Mahrus menyampaikan bahwa kedatangannya bukan hanya bersilaturahmi lebaran biasa, tapi beliau ada kepentingan khusus terhadap Abid.

Kepentingan macam apa sehingga sang Kiai tak bisa menunggu sampai jadwal kembali ke pesantren tiba? Bukankah tersisa hanya seminggu lagi?

"... jadi Nak Mas, aku ini mau minta tolong sekali lagi sama kamu. Ya sama Kiai Muhib juga."

Kiai Muhib menatap putra dan sahabatnya bergantian. Tampak jelas beliau juga penasaran.

"Dengan segala kerendahan hati, aku melamarmu untuk Salma," lanjut Kiai Mahrus yang membuat Abid seketika mendongak sebab terkejut.

Tidak, dia pasti salah mendengar. Ia tak mampu menjawab.

"Bagaimana Kiai?" lanjut Kiai Mahrus pada ayah Abid.

"Saya senang sekali mendengarnya. Mengukuhkan persahabatan kita dalam ikatan keluarga. Tapi, saya akan menyerahkan sepenuhnya kepada Abid," Kiai Muhib menatap putranya dengan senyum terkembang. Tampak nyata harapan dalam senyumnya.

Masih, Abid masih belum mampu menenangkan diri atas keterkejutannya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi Salma? Bagaimana mungkin harapannya tentang Husna harus pupus sebelum terkembang. Bahkan, Abid belum sekalipun memintanya pada Tuhan. Tak adakah kesempatan sedikit saja? Mengapa rasanya hatinya sesakit ini? Apakah ini artinya … ia telah patah?

***

Kalau bukan karena panggilan ibunya, sungguh Salma enggan untuk sekadar beranjak dari ranjang. Ia masih ingat betul bagaimana takutnya ia melihat sang ibunda di ruang ICU kala itu. Terlebih lagi, pesan Sofia beberapa minggu lalu, sekitar dua minggu sebelum Ramadhan, "Jangan berulah lagi, Salma. Umma nggak tahu ulahmu yang itu. Abuya juga sengaja nggak menegurmu. Itu artinya, beliau masih memberimu pengampunan dan kesempatan."

Salma sempat berpikir bahwa kesempatan itu berarti harapan baginya untuk bisa bersama Ishak. Tapi, nyatanya bukan. Itu hanya maksud lain dari, Kiai Mahrus tidak akan memarahinya.

Memang benar sang ayah tak memarahi atau sekadar mengungkit kesalahannya, tapi beliau telah menjatuhkan hukuman terberat yang pernah ada. Menjodohkan Salma dengan lelaki lain. Dan lelaki itu adalah … Abid. Orang yang selama ini Salma curigai sebagai cepu dalam kasusnya. Licik!

Bukan hanya mengurung diri di kamar, Salma juga jadi jarang mandi atau sekadar membersihkan diri. Andai tak ada kewajiban salat, niscaya dia tak akan menyentuh air kecuali untuk buang hajat.

Hatinya masih ngilu setiap kali mengingat Ishak. Ia telah meninggalkan pujaan hatinya begitu saja, tanpa pamit atau kabar lagi. Sofia telah menyita ponselnya seketika itu juga. Padahal, ia belum mengabari perihal insiden ketahuan ini padanya.

Tak hanya itu, pakaian yang sempat ia beli terakhir kali di Surabaya, juga diborong Sofia beserta ponsel jualannya. Kata sang kakak, demi ketenangan Salma. 

Itu bukan ketenangan, itu tekanan dan pembatasan.

Dengan sisa tenaga yang ada, Salma melangkah keluar kamar setelah menyampirkan begitu saja pashmina hitam di kepalanya. Ia menuju ruang keluarga di lantai dua, di mana sang ibu biasanya tengah bersantai saat petang begini.

"Dalem, Umma?" ujar Salma saat ia menginjakkan kaki ke ruang keluarga. 

Bu Nyai Saudah duduk pada sofa. Smart TV 75 inchi menyala, menayangkan kanal favorit sang ibu. Seorang santri perempuan duduk pada karpet, tak jauh dari ibunya. Sementara pada balkon, ada Nabila yang duduk pada kursi rotan, menghadap ke taman kecil di pinggiran balkon. Ia tengah mengaji demi menambah setoran hafalannya.

"Sini, temani Umma nonton." Ibu Salma menepuk sofa di sebelahnya.

Mencoba menyembunyikan lara hatinya, Salma tersenyum dan duduk di samping sang ibu.

"Umma senang sekali dengan pertunanganmu."

Deg! Kalimat sang ibunda bak sembilu yang kembali mengiris hati Salma yang memang masih terluka. Tapi, sekuat tenaga ia berusaha menyembunyikan lukanya.

Bu Nyai Saudah masih terus bercerita perihal rasa hatinya. Bahkan, dia menambahkan dengan cerita persahabatan antara Kiai Mahrus dan Kiai Muhib. Cerita yang telah Salma, bahkan hampir seluruh keluarga, hafal di luar kepala. 

Baru Salma ketahui bahwa Abid adalah putra Kiai Muhib setelah penentuan perjodohan mereka tiga hari lalu. "Abid itu selain alim dan patuh, dia juga putra sahabat Abuya, Kiai Muhib. Dengan perjodohan ini artinya, persahabatan Abuyamu semakin erat, karena akan berubah menjadi keluarga," ibu Salma menjelaskan panjang lebar kala ia diberitahu perihal perjodohannya dengan Abid.

Hal yang sangat Salma sesalkan adalah mengapa ayahnya sangat jarang mau berbicara langsung dengannya? Mengapa harus memakai perantara ibunya padahal sang ayah juga ada di tempat yang sama? Bahkan urusan hubungan Salma dan Ishak, mengapa dia tak menanyakan dengan jelas terlebih dahulu, memberi keringanan, misal? Mengapa harus mendiamkan semua seolah-olah mengampuni, tapi lantas tiba-tiba menjodohkan tanpa pertanyaan. Bahkan tanggal pernikahannya pun sudah ditentukan.

"Tahun depan, kamu bisa langsung kuliah, Nak. Seperti yang pernah Umma katakan."

Dulu, kalimat itu terasa menggembirakan bagi Salma. Tapi, sekarang tak berasa apa-apa. Lagipula, melihat Abid, Salma jadi ragu apakah kehidupannya akan indah seperti bayangannya. Abid itu kolot dan kaku. Dia itu hanya cocok untuk gadis seperti Husna.

Ketika mengingat Husna, Salma jadi teringat bagaimana reaksi sang sepupu ketika ia mengatakan bahwa Abid adalah cepu. Iya, Husna sangat menyukai Abid. Dan kemungkinan besar, Abid juga menyukai sepupunya itu. Sebab setelah percakapan mereka kala itu, Husna sempat bercerita bahwa Abid membelikannya gamis dan sepasang kaos kaki.

Hubungan yang kacau. Bukan hanya Salma yang patah, tapi Husna juga. Bahkan mungkin … Abid mengalami hal yang sama.

Continue Reading

You'll Also Like

17.8K 2.4K 26
"Berjodoh denganmu mungkin adalah salah satu dari sekian hal yang tak pernah terbayangkan." ** Mereka jarang bertemu, tapi kenal walau hanya sekadar...
2.6M 39.5K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
452 63 7
[Update setiap hari] Bagi orang yang saling mencintai, pernikahan adalah puncak ikatan untuk berbagi kebahagiaan dan menghabiskan sisa hidup bersama...
3.8M 54.6K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...