GENTAR [END]

By 17disasalma

311K 29.6K 2K

"Ganteng beraksi, pantang patah hati!" Salah satu slogan yang dibuat oleh Gentario Dewanggara, pencetus PERGA... More

GENTARIO DEWANGGARA
01. PESTA
02. BERTEMU KEMBALI
03. TOPIK HANGAT
04. KEPUTUSAN
05. PERBEDAAN
06. AZKIRA & KEPEDULIANNYA
07. PERLAKUAN MANIS GENTAR
08. JANGAN GOYAH, GENTAR!
09. PERLAKUAN MANIS GENTAR (2)
10. GENTAR DITUNGGU SESEORANG
11. MASA LALU & MASA DEPAN
12. BERUNTUNG
13. KELUARGA AZKIRA
14. RIBUT
15. GEN
16. PERTEMUAN DUA KELUARGA
17. MASALAH
18. BADMOOD
19. NEW PARTNER : LADIOTA
20. SENIORITAS
21. GENTAR PACARABLE?
22. MAIN BOWLING
23. GENTAR VS REVAL
24. GENTAR PASSWORDNYA
25. SISI BRUTAL GENTAR
26. INSECURE
27. CEMBURU?
28. MARAH
29. BAIKAN
30. GENTAR MOVE ON?
31. JAILIN GENTAR
32. CANTIKNYA GENTAR
33. NIGHT CALL
34. JAILIN GENTAR (2)
35. KAMU RATU & AKU RAJANYA
36. DINNER
37. BIDADARI
38. INSIDEN
39. WHO ARE YOU?
40. GENTAR JADI AYAH
41. AZKIRA KENA LAGI
42. OVERTHINKING
43. KEDATANGAN SI EX
44. GENTAR BUCIN AZKIRA
45. AKU CEMBURU
46. DEEP TALK W/AYAH
47. CLUE DARI REVAL
48. ISI PIKIRAN GENTAR
49. PERGANTA BUKAN GENG
50. BAZAR & ZIO
51. SALTING TERUS
52. GANANG & AZKIRA
53. DATE
54. OBROLAN RINGAN
55. ACCIDENT
56. AYO BANGUN, RA.
57. PANIK
58. AZKIRA BANGUN?
59. SLEEP TIGHT, KIRA
60. TAMAN RUMAH SAKIT
61. CASE CLOSED
62. KESALAHAN GENTAR
63. SUDAH YAKIN?
64. AZKIRA & JELLA
65. SATU PER SATU TERBONGKAR
66. AZKIRA PULANG
67. HEALING BERUJUNG PUSING
68. TIDAK PERCAYA
69. INTI MASALAH
70. PENYESALAN
71. LARANGAN BERTEMU AZKIRA
72. INTROGASI
74. BACK TO YOU
75. TERIMA KASIH [END]
MAHANTA SERIES

73. KESEMPATAN TERAKHIR GENTAR

1.5K 180 15
By 17disasalma

Kata Maaf dan Penyesalan Belum Cukup Untuk Sekadar Menghapus Rasa Kecewa. Setuju?

SELAMAT MEMBACA💘

❗CW : Harsh Words❗

•••

73. KESEMPATAN TERAKHIR GENTAR

Selama satu minggu ini Azkira mengasingkan diri tidak mau bertemu siapa-siapa, kecuali keluarganya. Bahkan Arin yang notabene sahabatnya sendiri pun masih tidak diberi izin untuk bertemu.

Maklum kalau Azkira merasa kecewa, marah, dan sedih. Rasa percaya pada laki-laki yang ia sayangi dihancurkan begitu saja. Sampai detik ini pun setiap melamun sedikit Azkira langsung menangis, karena kepikiran masalahnya dengan Gentar.

"Kakak!" panggil Renal usai membuka pintu kamar Azkira. Anak itu lari, naik ke atas tempat tidur sang kakak.

Semenjak pulang ke rumah, Renal tidak pernah absen menemui kakaknya di kamar. Memastikan sang kakak baik-baik saja. Renal tidak mau kakaknya masuk rumah sakit untuk yang kesekian kali.

Azkira menyeka air matanya. "Apa, Ren?"

"Kakak kenapa nangis?"

"Enggak. Kakak enggak nangis kok."

"Kepala Kakak sakit lagi ya? Mau Renal panggilin mami?" cecar anak itu dengan raut wajah khawatirnya.

"Kakak kalo sakit bilang aja, nanti Renal minta tolong mami buat panggilin dokter. Yang penting Kakak jangan masuk rumah sakit, di sini aja. Renal nggak mau jauh-jauh dari Kakak lagi."

Kasih sayang yang tercurah dari sang adik membuat Azkira ingin menangis lagi. Cewek itu lantas menyuruh Renal untuk mendekat, lalu memeluknya dengan erat.

"Renal sayang Kakak. Kalo kepala Kakak sakit lagi bilang sama Renal ya. Janji ya, Kak?"

Azkira tidak membalas apa pun. Ia masih menangis di pelukan sang adik. Meskipun, masih berumur kurang lebih tujuh tahun tahun, adiknya ini benar-benar seperti orang dewasa pemikirannya. Terlebih selama ia sakit.

"Renal Mami cariin ke kamar loh tadi, ternyata di sini." Mami masuk ke dalam kamar putrinya.

"Renal mau tidur siang sama Kakak aja. Boleh ya, Mami?" Renal meminta izin, Mami pun menganggukkan kepalanya.

Renal membaringkan tubuhnya. Ia menarik lengan sang kakak agar ikut berbaring di sebelahnya. Renal tidur dengan memeluk lengan kakaknya, tidak mau jauh sedikit pun seakan-akan ini menjadi kali terakhir ia bersama sang kakak.

"Kira kenapa?" Mami duduk di dekat Azkira yang berbaring. Tangannya mengusap lembut puncak kepala putri sulungnya itu.

"Kenapa nangis, Nak?" tanya Mami lagi. Perih rasanya setiap melihat anaknya menangis terus-menerus sepanjang hari.

"Kepalanya sakit?" Azkira menggelengkan kepalanya.

"Gentar ya?" Mami tersenyum tipis dan menyeka air mata Azkira. Semingguan ini hanya Gentar yang menjadi alasan Azkira selalu menangis. Sebesar itu sakit hati Azkira pada Gentar. Mami pun sebenarnya sakit hati, tetapi Mami sadar anaknya jauh lebih sakit.

"Mau ketemu sama Gentar? Mami kasih izin kalo Kira mau ketemu sama dia. Kita sama-sama tau dia salah, dia juga udah minta maaf. Tapi secara personal Kira belum ketemu lagi kan sama dia? Belum ngobrol lagi kan?" pungkas Mami mendapat gelengan dari Azkira.

"Terus sekarang maunya gimana? Kira tiap hari nangis gara-gara Gentar loh. Makan juga jadi nggak napsu gitu. Mami nggak suka kalo Kira nyakitin diri Kira sendiri kaya gini," kata Mami dengan mengusap lembut tangan Azkira.

"Putus enggak harus musuhan kok, Nak. Sebesar apa pun kesalahan Gentar sama kamu, sebelum ada masalah ini dia sering bikin kamu bahagia, kan?"

Azkira mengangguk pelan. Yang dikatakan maminya memang benar. Sebelum mengkhianatinya, Gentar selalu menjadi alasan untuknya tersenyum. Gentar bisa membuatnya bahagia, meskipun hanya berdiam diri berada di sisinya.

"Kalo mau ketemu sama Gentar, Mami temenin."

"Kira nggak mau ketemu sama Gentar dulu. Kira nggak tahan lihat muka Gentar. Kira takut makin kecewa dan nggak bisa maafin Gentar nantinya," balas Azkira dimaklumi oleh maminya.

"Ya udah kalo gitu." Mami bangkit dan menepuk lengan putrinya. "Kamu istirahat aja ya, tuh Renal udah nyenyak tidurnya."

Azkira menganggukkan kepalanya dan mencoba memejamkan mata. Menangisi kenyataan pahit yang menimpa hidupnya juga menguras tenaga. Lelah, sangat lelah rasanya.

•••

Di waktu yang sama di apartemen Tegar, Gentar berbaring di sofa dengan layar televisi yang menyala. Gentar tidak menonton acara yang sedang tayang, ia menghidupkan televisi itu untuk mengurangi rasa kesepiannya.

Cowok itu berulang kali mencoba menelpon Azkira, tetapi dijawab terus oleh operator. Pesannya dari seminggu yang lalu juga masih centang satu. Baru kali ini Azkira menonaktifkan ponselnya lama sekali.

Gentar menghela napas panjang. Kemudian memejamkan matanya agar dapat istirahat sejenak dari bayang-bayang rasa bersalahnya pada Azkira.

"Gentar di sini kan, Bang?"

"Iya, masuk aja. Gue tinggal lanjutin kerjaan dulu ya."

Sayup-sayup Gentar mendengar suara pintu terbuka dan obrolan abangnya dengan orang yang baru saja datang.

"Tidur, Gen?" Ganang, dia menepuk lengan Gentar berulang kali. "Bangun! Gue mau kasih tau lo sesuatu. Ini penting."

"Nggak ada yang lebih penting dari Azkira!" jawab Gentar tanpa membuka matanya.

"Gue tau. Bangun dulu kenapa sih, njing?! Lo emang nggak kangen udah seminggu nggak bisa ngobrol sama Azkira?"

Mata Gentar langsung terbuka. Cowok itu bangun dari posisi berbarignya. Kemudian menaikkan salah satu alisnya. "Gimana caranya biar gue bisa ngobrol sama Azkira?"

"Bentar, nunggu Fiki sama Adi dulu."

"Lama."

"Enggak. Sabar dulu!"

Beberapa saat kemudian, Fiki dan Adi masuk bersama Tasqia. Dua cowok itu membantu Tasqia membawa beberapa tas belanjaannya.

"Taruh sini aja ya, makasih udah bantuin," ucap Tasqia sembari melempar senyum kepada Fiki dan Adi.

"Sama-sama, Kak." Dua cowok itu membalas dengan saksama.

Tasqia jalan menuju dapur untuk membuatkan Gentar dan para sahabatnya minuman, serta membuatkan camilan agar mereka betah main di unit apartemennya.

"Lo bertiga mau kasih tau gue apa?" tanya Gentar saat sahabatnya sudah lengkap.

Ganang memberikan ponselnya pada Gentar. Menyuruh sahabatnya melihat video yang beberapa jam tadi di kirim oleh Alizka.

Detik per detik, menit per menit, Gentar lihat dengan saksama. Pergerakan Jella dan Reval selama pergi ke area toilet hingga Jella menghampirinya di depan meja bartender terekam semua.

Di rekaman itu terlihat jelas Jella ribut dengan Reval, karena Reval tidak mau mengakui kesalahannya.

Gentar menggertakkan giginya. Emosinya mulai terpancing kala Reval memapahnya keluar dari kelab. Saat itu kesadarannya sudah mulai hilang. Gentar tidak ingat kalau orang yang membantu Jella menuju apartemennya itu Reval.

"Bajingan!" umpat Gentar melempar ponsel Ganang ke sofa hingga terpental ke lantai.

Si pemilik ponsel pun tidak marah, maklum kalau Gentar tersulut emosi. Seraya mengambil ponselnya, Ganang berkata, "Lo dengerin nih voice note dari pacarnya Jella."

"Tarik napas dulu, jangan emosi. Abis ini kita cari Reval," ucap Fiki sembari menepuk pelan bahu Gentar.

"Gue juga udah ngabarin anak-anak yang lain buat nyari Reval kalo lo udah kasih komando." Adi menambahkan.

Ganang memutar voice note dari Pacar Jella yang dikirim oleh Alizka, karena katanya Zidan mulai sulit menggerakkan tangannya.

"Halo, Gen. Gue Zidan, pacarnya Jella. Sebelumnya gue mau minta maaf karena gue udah rebut Jella dari lo. Gue juga minta maaf atas semua kesalahan yang udah Jella perbuat selama ini."

Suara Zidan terdengar sangat lemas, bahkan jika tidak benar-benar fokus mendengarkan tidak akan tahu apa yang sedang cowok itu bicarakan. Cara berbicaranya sudah tidak selancar saat bertemu Gentar waktu itu.

"Lo udah lihat video yang dikirim Alizka? Maaf gue cuma bisa dapetin rekaman di kelab doang. Rekaman cctv di sekitar unit apartemen Jella gue enggak dapet."

"Maaf juga udah nuduh lo yang enggak-enggak waktu itu. Sekarang kita sama-sama tahu kalau Jella hamil karena Reval. Gue sekali lagi minta maaf."

"Kalo boleh gue mau minta tolong sama lo. Jaga Jella buat gue ya. Setidaknya sampai anak dia lahir. Gue enggak percaya sama Reval. Gue cuma percaya sama lo."

Selesai sampai di situ suara Zidan terekam. Tidak ada lagi voice note yang dikirim oleh Alizka. Hanya ada pesan yang mengatakan Zidan akan menjalani serangkaian pemeriksaan sebelum melaksanakan operasi besok pagi.

Gentar menangkup wajahnya. Kini Gentar sudah bisa merasa lega kalau memang ia tidak bersalah. Jella tidak hamil anaknya. Detik berikutnya, Gentar bangkit, grasak-grusuk mencari ponselnya. Ia harus mengabari bundanya, jika ia tidak macam-macam dengan perempuan.

"Lo cari apa?" Tegar yang baru saja keluar dari ruang kerjanya kebingungan melihat Gentar grasak-grusuk mencari sesuatu.

"Hape gue di mana, Bang? Gue mau ngabarin bunda kalo Jella nggak hamil anak gue."

Tegar tersedak minumannya. Ia buru-buru meletakkan gelasnya ke atas nakas di dekat pintu masuk. "Lo udah dapet buktinya?"

"Udah, Bang. Gue nggak salah." Gentar tersenyum lega. Setelah mengatakan itu Tegar memberikan ponselnya pada Gentar.

"Pake hape gue dulu," suruh abangnya itu.

Gentar lantas memanggil nomor bundanya. Memberitahu kalau anak bungsunya tidak berlaku senonoh pada perempuan. Gentar ingin orang pertama yang tahu ia tidak bersalah itu bunda. Gentar tidak mau bunda terus-menerus merasa bersalah, karena gagal mendidiknya.

Tegar menghampiri sahabat-sahabat Gentar untuk melihat bukti yang mereka dapatkan. Sama seperti Gentar, Tegar emosi melihat rekaman cctv yang ada di kelab. Benar-benar kurang ajar dua orang itu sudah membuat adiknya sengsara beberapa hari ini.

"Bajingan itu di mana sekarang?" Tegar bertanya pada Ganang. Orang yang dia maksud adalah Reval.

"Nggak tau, Bang. Semenjak kami introgasi di tongkrongan udah nggak pernah lihat lagi. Mau nyari tapi Gentar belum kasih komando buat bergerak."

"Cari dia sekarang! Gue yang suruh. Kalo nunggu Gentar kelamaan. Dia pasti langsung nyamperin Azkira setelah ini."

Ganang pun menganggukkan kepalanya. Kemudian memberi kode kepada Fiki dan Adi untuk melanjutkan perintah dari Tegar.

"Gue kabarin anak-anak sekarang," ucap Adi sembari mengetik sesuatu untuk ia kirimkan di grup utama Perganta. Kini, Gentar sudah tahu kalau Reval terlibat, jadi tidak masalah membahas hal itu di grup utama.

"Kita ke Tongkrongan Perganta sekarang," ucap Adi usai membaca pesan terbaru dari anggota Perganta.

"Ada apa, Di?"

"Tunggu Reval di sana lah, Ki. Ngapain lagi? Biar satset!" Adi menjawab.

"Ada apa sih rame-rame?" Tasqia datang membawa camilan dan minuman untuk mereka.

"Adik ipar kesayangan kamu nggak salah. Jella enggak hamil anak Gentar," jawab Tegar pada istrinya.

Tasqia yang sudah meletakkan nampan di atas meja menutup mulut saking terkejutnya. Berarti selama ini ia tidak salah mempercayai Gentar. Adik iparnya itu anak baik-baik, tidak mungkin sejahat itu pada perempuan.

"Gentar mana? Aku mau bicara sama Gentar," tanya Tasqia.

"Lagi telpon bunda di ruang kerja aku."

Tasqia lantas melangkah menuju ruang kerja suaminya untuk menemui Gentar.

"Diminum dulu tuh, kalo udah abis baru boleh ke tongkrongan," suruh Tegar pada ketiga sahabat adiknya.

"Kalo ada sesuatu langsung kabarin gue."

"Lo juga ya, Bang, kalo udah dapet rekaman di area unit apartemen Jella atau yang ada di kamar Jella langsung kabarin gue," pinta Ganang sebelum pergi bersama Fiki dan Adi.

•••

Benar saja kata Tegar tadi, Gentar tidak akan memikirkan perihal Reval. Gentar jauh lebih mementingkan untuk segera bertemu dengan Azkira. Seperti sekarang, Gentar sudah sampai di depan rumah Azkira.

Cowok itu keluar dari mobil dengan senyum semringah. Melangkah pasti menuju pintu masuk rumah mantan pacar tersayangnya.

Gentar menekan bel di samping pintu. Berdiri menghadap ke arah pintu sembari melihat layar ponselnya. Gentar mengirim pesan kepada Azkira, memberitahu kalau ia datang membawa bukti yang harus dilihat oleh cewek itu.

"Gentar?" Mami terkejut melihat Gentar datang ke rumah.

"Maaf Gentar nggak bilang dulu sama Mami kalo mau dateng," ucap Gentar, lalu mencium punggung tangan Mami Azkira.

"Kamu sendirian? Mau ketemu Azkira?" cecar Mami.

Gentar menganggukkan kepalanya. "Iya, Mami. Azkira ada di dalem kan?"

Mami menoleh, melihat ke dalam rumahnya sebentar. Kemudian, menoleh lagi ke arah Gentar dan menganggukkan kepalanya.

"Iya, Azkira di dalam," jawab Mami. "Tapi Azkira masih belum mau ketemu sama kamu, Gentar."

"Tolong izinin Gentar buat ketemu sama Azkira, Mam. Anggap aja ini kesempatan terakhir Gentar buat ketemu sama Azkira," ucap Gentar memohon.

Usai berpikir panjang, Mami lantas menghela napas berat. "Oke, Mami bantu bicara sama Azkira, tapi Mami nggak bisa janji Azkira mau ketemu sama kamu ya?"

Mata Gentar berbinar mendengar jawaban Mami. Cowok itu menganggukkan kepalanya dan masuk ke dalam rumah usai dipersilakan.

"Kamu duduk di sini dulu, Mami mau ke kamar Azkira." Mami naik ke lantai dua setelah menyuruh Gentar duduk.

Setelah mengetuk pintu tiga kali, Mami membuka pintu kamar Azkira. Berjalan mendekati putri sulungnya yang sedang duduk menyender pada headbed.

"Ra," panggil Mami pelan.

"Gentar ya, Mam?" Azkira menebak.

Mami menganggukkan kepalanya dan duduk di samping Azkira. Dengan lembut Mami mengusap puncak kepala Azkira. Lalu, berkata, "Kamu tadi lihat dari jendela ya Gentar datang ke rumah?"

Azkira hanya mengangguk pelan. Tatapannya masih seperti biasa, kosong. Senyum yang terulas pun senyum hambar yang tidak bisa diartikan.

"Gentar ke sini mau ketemu sama ka—" Belum selesai Mami berbicara, Azkira sudah lebih dulu menyela.

"Kira nggak mau ketemu sama Gentar."

Mami hanya bisa bersabar jika putrinya sudah membuat keputusan. Lagipula hak Azkira mau bertemu dengan Gentar atau tidak. Azkira sudah besar, sudah bisa memutuskan sesuatu yang baik untuk dirinya sendir. Mungkin dengan tidak menemui Gentar, Azkira merasa jauh lebih baik.

"Yakin Kira nggak mau kasih Gentar kesempatan?" tanya Mami untuk memastikan dan Azkira menjawabnya dengan penuh keyakinan.

"Iya, Kira nggak mau ketemu sama Gentar. Suruh dia pulang aja, Mam."

"Kasihan, Ra, dia udah jauh-jauh ke sini masa Mami usir?" Mami berucap dengan pelan agar putri sulungnya itu mengerti.

"Gentar biar di sini dulu ya? Boleh kan?"

Azkira menoleh ke arah Mami. Matanya berkaca-kaca. Cewek itu menggenggam tangan kiri maminya dengan erat. Entah mengapa rasanya sakit sekali setiap mengucap dan mendengar nama Gentar.

Hatinya seperti berkali-kali dijatuhi benda runcing. Dadanya juga sesak seperti kehilangan banyak oksigen. Kalau boleh mengeluh, Azkira tersiksa sekali selama ini.

"Aku nggak mau dia ada di sini, Mami," lirih Azkira.

Mami yang paham akan perasaan Azkira pun hanya bisa mengalah. Mami keluar dari kamar Azkira dan kembali menemui Gentar.

"Azkira mana, Mam?" Gentar menyambut kembali kedatangan Mami dengan sangat antusias.

"Maaf ya, Nak. Azkira belum mau ketemu sama kamu. Lain kali kamu ke sini lagi ya? Biar Mami coba bujuk Azkira dulu," ucap Mami dengan berat hati.

"Kamu tau kan seberapa kecewa Azkira sama kamu?"

Gentar menganggukkan kepalanya. "Gentar ke sini mau minta maaf langsung sama Azkira. Gentar mau buktiin kalo Gentar nggak salah, Mam."

"Tapi Azkira belum mau ketemu sama kamu, Gentar. Kamu pulang dulu ya? Nanti pasti Mami kabarin kalo Azkira udah mau ketemu sama kamu."

Senyum semringah yang sejak tadi menghiasi wajah Gentar sirna. Gentar mencoba lapang dada Azkira belum mau bertemu dengannya. Lalu, Gentar memutuskan untuk pulang dan menunggu kabar yang dijanjikan Mami tadi.

"Mamiiiiii," teriak Renal yang berlari ke arah Mami. Di belakanngnya ada Papi yang mengejar membawa mainan pesawat.

"Renal tadi denger suara abang, abang ke mana Mami?"

Mami berjongkok di depan Renal dan tersenyum hangat. "Abang Gentar ya? Dia baru aja pulang."

"Yahhh," ucap Renal pelan hingga bahunya melemas. "Padahal Renal mau ketemu sama abang."

Papi mendekat dan menggendong anak itu. Mengajaknya duduk di sofa dan mengusap puncak kepalanya. "Besok kita main ke rumah abang ya? Mau kan?"

"Sama Papi?"

"Iya, sama Papi."

"Kakak ikut enggak?"

Papi dan Mami sontak saling melempar pandang mendengar pertanyaan Renal. Mereka kompak diam, tidak tahu harus menjawab apa. Berbohong pun mereka tidak tega.

"Pasti kakak nggak ikut ya? Kakak kan masih sakit kepalanya," ucap Renal ketika tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

"Iya, kakak masih sakit." Mami menimpali ucapan anak bungsunya itu. "Renal tidur siang yuk sama Mami?"

"Aaaa Renal masih mau main sama Papi," tolak Renal.

"Mainnya bisa nanti lagi. Sekarang tidur dulu ya?" bujuk Mami, tetapi Renal tetap tidak terbujuk.

"Papi mau tidur ah, Renal main sendiri ya?" ucap Papi jahil.

"Yaudah Renal juga tidur, tapi sama Papi. Boleh kan, Mami?"

Mami menganggukkan kepalanya. "Boleh dong. Gih, tidur sama Papi."

"Leggggooooo Papiiii!" Renal memeluk leher papinya saat pria paruh baya itu berdiri dan berjalan menuju kamar sang putra bungsu.

Mami tersenyum melihat kedekatan ayah dan anak itu. Jarang-jarang Mami melihat suaminya di rumah dan menghabiskan waktu dengan anaknya, karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan suaminya berada di luar kota bahkan luar negeri.

Di waktu yang sama tepatnya di dalam kamar, Azkira menatap ponselnya yang beberapa hari ini sama sekali tidak ia hidupkan dayanya. Azkira menantapkan hati selama beberapa saat sebelum menghidupkan ponselnya itu.

Ada ratusan panggilan yang masuk dari Gentar. Puluhan panggilan masuk dari Arin dan Ganang. Sisanya spam pesan dari orang-orang terdekatnya, terutama tiga orang yang mendominasi riwayat panggilan ponselnya tadi.

Jari Azkira tergerak untuk membuka pesan Gentar yang berada di paling atas. Pesan itu berisi bahwa Gentar datang untuk bertemu dengannya.

Azkira hanya membacanya, tidak ada niat sekali pun untuk membalas pesan dari Gentar. Jarinya asyik menggulirkan roomchat-nya dengan cowok itu. Melihat sekilas pesan-pesan berisi kalimat permintaan maaf dan penyesalan.

Namun, sayang sekali rasa kecewa dan sakit hatinya tidak akan pernah hilang dengan kata maaf dan penyesalan. Kejadian beberapa waktu lalu masih membekas di hatinya, tentu menggoreskan luka yang sangat dalam.

Lamunan Azkira buyar ketika mendapat panggilan dari Arin. Azkira tidak langsung menerimanya, ia tampak menimang harus menggeser icon berwarna hijau atau icon berwarna merah.

Panggilan itu kembali masuk setelah beberapa saat mati, karena tidak segera Azkira terima. Di panggilan ketiga barulah Azkira memantapkan hati menerimanya.

Dengan perlahan Azkira mendekatkan permukaan layar ponsenya ke daun telinga. Mendengar dengan saksama suara Arin yang entah sedang berada di mana.

"Ra? Ini Azkira? Halo, Ra?" Arin memberondong pertanyaan dengan suara bergetar.

"Ini gue, Rin. Kenapa?"

"Azkira lo ke mana aja? Dari tadi gue telpon nggak lo angkat!"

Azkira mengerutkan keningnya saat suara Arin meninggi padanya. "Kenapa lo telepon gue?"

"Lo di mana sekarang, Ra? Lo pasti nggak percaya."

"Percaya apa? Ngomong yang jelas, Rin." Entah mengapa perasaan Azkira jadi tidak enak mendengar perkataan Arin. Terlebih suara sahabatnya itu bergetar dan sedikit terdengar sirine ambulance.

"Biar gue yang ngomong sama Azkira." Fiki, ya itu suara Fiki. Azkira yakin sekali seseorang yang baru saja berbicara di dekat ponsel Arin itu Fiki.

"Ra? Lo bisa denger gue?"

"Iya, kenapa?"

"Lo bisa dateng ke rumah sakit tempat lo dirawat waktu itu? Gue nggak maksa, hak lo juga mau ke sini atau enggak. Kalo boleh kasih saran, lo cepetan ke sini. Anggep aja ini kesempatan terakhir Gentar buat ketemu sama lo."

Deg! Jantung Azkira seperti berhenti beberapa detik. Kemudian degupnya cepat sekali dari detik-detik sebelumnya. Pikiran-pikiran buruk mulai melintas di benaknya ketika mendengar kalimat terakhir yang Fiki ucapkan.

Azkira segera memutus sambungan teleponnya tanpa mengatakan sepatah kata apa pun. Ia mengambil cardigan di dalam lemari dan bergegas keluar dari kamar.

Azkira sudah kepalang panik, air matanya pun mulai menetes meninggalkan jejak di pipi mulusnya.

"Ra, kamu mau ke mana?" Mami kebingungan melihat Azkira tergesa-gesa saat menuruni tangga.

"Gentar udah pulang, Mam?"

"Loh, dia udah pulang dari tadi. Bukannya tadi kamu nggak mau ketemu sama dia ya?"

Tubuh Azkira melemas. Padahal Azkira baru saja berharap Gentar masih ada di rumahnya dan apa yang dikatakan Fiki hanyalah halusinasinya saja.

"Aku pergi dulu, Mam," pamit Azkira berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah.

"Azkira mau ke mana? Ini udah mau maghrib, Nak!"

Mami menyambar kunci mobil di atas nakas dan keluar dari rumah. Beliau tidak akan membiarkan Azkira pergi sendiri dengan kondisinya yang masih belum pulih seperti ini.

"Mami antar ya?" Mami mengajak Azkira masuk ke dalam mobil, kemudian melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah.

Selama di perjalanan Azkira menggigit jarinya. Terlihat jelas kepanikan dari raut wajah cewek itu. Sama halnya dengan Mami yang ikut panik usai mendengar cerita Azkira yang mendapat telepon tadi.

"Mam, kalo Gentar kenapa-kenapa gimana?" tanya Azkira dengan bibir yang bergetar.

"Nggak boleh ngomong kaya gitu, Nak. Kita harus berpikir positif. Semoga Gentar enggak kenapa-kenapa. Tadi dia baik-baik aja kok pas dateng ke rumah."

"Bisa aja kan Gentar kecelakaan pas pulang dari rumah kita? Kira takut, Mam."

"Enggak. Gentar pasti baik-baik aja. Mami nggak mau denger kamu ngomong macem-macem lagi."

Mobil yang dikendarai Mami berhenti tepat di parkiran khusus mobil. Azkira yang sudah tidak sabar pun langsung keluar dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, meninggalkan maminya sendirian.

Azkira berusaha menghubungi Arin, tetapi sahabatnya itu tidak kunjung menerimanya. Azkira kalang kabut mencari keberadaan orang-orang yang ia kenali di rumah sakit ini.

"Sus, permisi saya mau tanya," ucap Azkira menghadang seorang perawat yang lewat di depannya. "Suster lihat orang ini masuk rumah sakit? Kira-kira dua puluh menit yang lalu."

Perawat itu melihat foto yang ditunjukkan oleh Azkira. Foto yang menampilkan wajah Gentar yang dulu ia ambil menggunakan kamera ponselnya.

"Kalo enggak salah tadi saya lihat di ruang ICU. Mari saya antar ke sana," ucap perawat itu membuat jantung Azkira semakin berpacu dengan cepat.

Sesampainya di lantai tiga, Azkira diarahkan untuk berjalan sepuluh meter ke depan dan belok ke kiri oleh perawat tadi.

Kaki Azkira benar-benar melemas saat itu juga ketika melihat beberapa anggota Perganta menyambut kedatangannya dengan raut wajah yang sulit diartikan.

Azkira juga melihat Jella di sana. Cewek itu menangis tersedu-sedu di depan pintu ruang ICU. Ganang, Fiki, Adi, Arin, dan Alizka juga terlihat menundukkan kepala.

Air mata Azkira semakin turun deras. Kakinya sangat berat untuk melangkah mendekat ke depan ruang ICU.

Kemungkinan terburuk yang ia pikiran sejak di perjalanan tadi bisa saja terjadi. Apalagi ia tidak melihat keberadaan Gentar di antara orang-orang itu.

"Nang," panggil Azkira tepat di depan Ganang yang berdiri dengan menundukkan kepalanya dalam.

Ganang menatap Azkira dengan kosong. Cowok itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ganang hanya bangkit dan memeluk Azkira dengan erat.

Perlakuan Ganang semakin membuat Azkira kebingungan. Sebenarnya ini ada apa? Lalu, Gentar ada di mana sekarang? Mengapa Jella menangis? Mengapa Fiki, Adi, Arin, dan Alizka menatapnya sendu seperti itu? Mengapa anak-anak Perganta berkumpul di sini?

Azkira benar-benar hopeless. Ia sangat takut, jika harus merasakan penyesalan seumur hidupnya.

To Be Continue

WKWKWK kasian sama-sama nyesel.

Sini-sini pelukan dulu... tahan emosi, jangan marah-marah yaaaa💘

Sampai jumpa di next part.

Instagram : @perganta_ofc
Twitter : @gentariodewa

Difollow ya yang punya Instagram & Twitter🙌🏻

Continue Reading

You'll Also Like

93.6K 4.8K 60
Arga Anendra. Seorang ketua tim basket yang ahli dalam 'segala hal'. Tampan, most wanted SMA Cahaya Pelita, jago mengambil gambar dengan kamera kesay...
2.3M 77.8K 44
FOLLOW SEBELUM MEMBACA! NEW VERSION Cerita lengkap sudah tersedia di aplikasi Icannovel Darrel Alvaro Zaydan, siapa yang tidak mengenalnya? Dia adal...
516K 89.8K 45
Marianne Eka Wirya atau yang sering dipanggil Anne adalah gadis manis dengan berat badan yang berlebih. Orang sekitarnya memanggil dengan julukan Ann...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 110K 59
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...