DOOZY

By Sfiensa

1.6K 612 3K

⚠️ Warning ⚠️ !! Cerita ini mengandung kekerasan fisik !! _____________________________ Arsene Orc atau biasa... More

*PERHATIAN
Prolog
✧◝Cast◜✧
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Orc Visual
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28

Chapter 20

5 2 0
By Sfiensa

☞ Jangan lupa follow dan beri bintang serta comment

________

Ibu panti berusaha berdiri tegak dengan kedua tangannya diikat oleh rantai dan tubuhnya bersimbah darah. Tiba-tiba Grusha datang bersama Arsene, salah satu tangan Arsene tengah memegang sebuah pisau yang dia gunakan untuk menyerang Kaysen semalam. Grusha hanya melipat kedua tangannya seraya bersender di dinding.

"Kamu tahu? Semalam aku telah bersenang-senang menggunakan benda ini," Tutur Arsene seraya memainkan pisaunya. Ibu panti yang tubuhnya mulai melemah susah untuk mencerna apa yang dikatakan oleh Arsene barusan.

"Apa yang kamu lakukan semalam? Dan dimana Kaisa!?" Pekik ibu panti yang sedang berusaha berdiri tegak.

"Jangan buang-buang energimu untuk meneriakiku, untuk berdiri saja tidak bisa!" Ejek Arsene menyeringai.

"Kembalikan anak-anak itu!" Pekik ibu panti dengan tatapan menusuk kepada Arsene.

Arsene memberi kode kepada Grusha untuk melepaskan rantai yang mengikat kedua tangan ibu panti. Dia kemudian duduk di sebuah kursi yang berada di sudut ruangan. Saat rantai dibuka, ibu panti terduduk lemas. Tubuhnya tidak kuasa menahan rasa sakit yang berada di sekujur tubuhnya karena dicambuk oleh Arsene kemarin. Grusha memberikan sebuah air yang tentu saja itu bukan air murni, Grusha telah mencampurkan beberapa ramuan sihir di dalamnya. Arsene masih belum tahu siapa yang menyeret dia ke alam manusia. Grusha sebenarnya tahu siapa pelakunya, hanya saja dia masih ingin bermain dengan Arsene sebagai tokoh utamanya.

Ibu panti enggan untuk meminum air tersebut, dengan terpaksa Grusha membuka paksa mulut ibu panti dan memasukkan air tersebut ke dalam mulutnya. Ibu panti tersedak saat air tersebut turun ke dalam kerongkongannya. Sensasi panas dan perih pada kerongkongannya, namun tiba-tiba rasa sakit pada tubuhnya menghilang. Ibu panti menatap Grusha sekilas.

"Berterimakasihlah padaku! Jika aku tidak ada disini, air ini sudah berubah menjadi air racun." Bisik Grusha dengan tatapan menusuk.

"Grusha, antar dia ke dalam rumah itu!" Titah Arsene sembari beranjak dari kursi dan melenggang keluar dari ruangan ini.

Grusha membawa paksa ibu panti ke dalam rumah kecil yang terletak di halaman belakang rumah Arsene. Setelah memasukkan ibu panti ke dalam rumah tersebut, Grusha mengunci rumah dengan sihirnya agar ibu panti tidak dapat kabur.

"Setelah Teon, kali ini siapa lagi yang akan mati dengan tragis? Lama kelamaan menjadi sangat seru!" Gumam Grusha menyeringai.

Kala itu saat Teon telah masuk ke dalam kampus, Grusha dengan hati-hati menukar mobil Teon dengan mobil yang sama dengan yang dia bawa. Mobil tersebut telah disihir oleh Grusha agar Teon dan orang yang berada di dalamnya celaka. Saat itu, dia ingin memisahkan Teon dengan Kaisa. Karena tubuh Kaisa dapat membawa dia kembali ke alamnya. Grusha telah mengikuti Kaisa sejak lama dan orang yang mengintip Kaisa yang tengah mengantar Kaysen masuk ke dalam mobil di halaman rumah adalah dia.

Kini Grusha berhasil membuat Arsene dan Kaisa menjadi tokoh utamanya. Dia kemudian menemui Arsene bahwa dia telah menyelesaikan tugas yang diperintahkan oleh Arsene.

"Siapa orang yang semalam menembakku?" Tanya Arsene yang tengah duduk di kursi sofa.

"Dia seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama. Namun aku merasa dia bukanlah seorang manusia." Balas Grusha yang berdiri dua meter dari Arsene.

"Segera cari tahu orang itu! Berani-beraninya dia ikut campur dalam masalahku!" Tegas Arsene.

Grusha hanya mengangguk dan segera mencari tahu siapa sebenarnya Valentin. Di lain tempat, tubuh Halena terdampar di sebuah pulau terpencil. Terik matahari berhasil membangunkan Halena yang pingsan karena kelelahan berenang untuk menjauhi para prajurit yang hendak membunuhnya. Arus gelombang laut telah membantunya menghindar dari para prajurit itu, meskipun tubuh Halena tergulung oleh arus laut. Halena terbangun dengan terbatuk-batuk, semua air laut yang berada di dalam tubuhnya termuntahkan keluar. Cicitan burung-burung memekikkan telingan Halena.

Dia setengah sadar terduduk di atas pasir laut. Atensinya menatap samping kanan dan kiri tubuhnya, dia bingung kini dia berada dimana. Saat kedua maniknya menatap laut, dia terbayang akan tubuh Aubree dan Laurels yang tertancap ujung tombak. Kemudian dia memeluk kedua lututnya lalu menangis, dia merasa bersalah kepada Aubree dan Laurels karena tidak berhasil menyelamatkannya.

"Maafkan aku..." Gumam Halena terisak.

Tiba-tiba seekor penyu menabrak kaki Halena dan membuat dia menghentikan tangisannya. Penyu tersebut terlihat sangat menyukai kaki Halena yang mulus tanpa berbulu.

"Hey! Menyingkirlah!" Pekik Halena seraya menggeser duduknya menjauhi penyu itu.

Penyu tersebut membalikkan tubuhnya dan pergi. Halena sejenak menikmati hembusan angin laut yang begitu sejuk namun sedikit dingin karena baju yang dipakainya masih basah. Kemudian dia berdiri untuk mencari sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. Dia masuk ke dalam hutan rimbun yang berada di tengah pulau tersebut. Beberapa ranting pohon yang tajam sesekali menggores kulit kaki Halena. Tiba-tiba Halena menemukan sebuah rumah tua dengan pagar yang terbuat dari tulang-tulang manusia dan diatasnya ditancapkan tengkorak manusia.

Saat Halena masuk ke dalam kawasan tersebut, kepala tengkorak tiba-tiba menyala merah terang. Lalu pintu rumah tua terbuka lebar dan seorang nenek berwajah seram keluar dari rumah dan menghampiri Halena.

"Ada apa nona muda kemari?" Tanyanya dengan nada serak dengan tatapan tajam kepada Halena.

"A-aku hanya kebetulan lewat dan tidak sengaja melihat rumah nenek," Tutur Halena sedikit takut dengan wajah seramnya.

Nenek tua tersebut tertawa keras seraya membawa sebuah sapu lidi di tangan kirinya. Halena mengedikkan bahunya mendengar tawaan nenek tua itu.

"Kamu tidak tahu siapa aku?" Tanya nenek tua itu seraya melotot.

Halena hanya menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba tubuhnya terasa lemah dan kepalanya terasa berat. Halena berusaha menstabilkan penglihatannya namun tubuhnya terlalu lemah dan berakhir pingsan. Nenek tua tersebut menyeringai iblis.

Kaisa tengah membantu Kaysen duduk di kepala tempat tidur. Kaisa merasa bersalah atas keadaan Kaysen saat ini. Sherin masuk bersama Duca untuk melihat keadaan Kaysen.

"Lenganmu masih sakit?" Tanya Duca.

"Sedikit," Balas Kaysen.

Duca menatap Kaisa, "Kaisa, boleh bicara sebentar di luar?" tanyanya. Kaisa yang hendak beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba Kaysen menahan tangan Kaisa.

"Bicara saja disini, aku tidak mau kamu membawa kabur Kaisa kembali!" Tegas Kaysen. Duca hanya mendesah pelan, sebenarnya dia tidak mau Kaysen tahu tentang ini.

Duca akhirnya membuka suara, dia meminta Kaisa untuk bertemu dengan peri bulan dan meminta darahnya. Kaysen terkejut tatapannya seolah bertanya, untuk apa Kaisa bertemu dengan peri bulan. Kaysen tidak mengizinkan Kaisa untuk mencari ataupun bertemu dengan peri bulan. Duca menjelaskan bahwa Kaisa melakukan itu dapat membantu Kaysen pulih. Namun Kaysen tetap tidak mengizinkan Kaisa mencari peri bulan.

"Sebenarnya aku sakit apa sampai kamu meminta Kaisa mencari peri bulan untuk meminta darahnya?" Tanya Kaysen dengan mimik serius.

"Iya, sebenarnya kak Kaysen sakit apa?" Tanya Kaisa dengan menatap Duca.

"Kamu masih ingat pisau Arsene yang dipakai untuk mencoba membunuhmu? Dia telah mengoleskan racun di ujungnya dan kini racun itu telah menyebar di seluruh tubuhnya, untungnya belum menyebar hingga jantung." Tutur Duca. Kaisa dan Kaysen terkejut mendengarnya.

"Tapi apa hubungannya Kaisa dengan peri bulan?" Celetuk Sherin penasaran.

"Karena yang membutuhkan harus yang sedarah. Itu sudah menjadi aturan bangsa peri bulan. Maaf jika aku terus menyusahkanmu." Tutur Duca seraya menatap Kaisa sekilas.

"Katakan, dimana peri bulan tinggal?" Tanya Kaisa seraya mendekati Duca.

"Tapi sebelum kamu mencari peri bulan, kamu harus menemukan bulu domba rambouillet. Mencari domba itu lebih susah daripada mencari peri bulan, kita hanya membutuhkan bulunya." Tutur Duca.

Halena terbangun, dia menatap langit-langit kamar yang mendominasi warna coklat gelap. Namun dia merasakan kedua tangannya diikat oleh sesuatu yang keras. Tiba-tiba seorang nenek tua masuk ke dalam ruangan ini sembari membawa pisau besar dan sebuah ember.

"Nona muda sudah sadar?" Tanya nenek tua dengan senyum iblisnya.

"Siapa kamu!?" Pekik Halena seraya menatap pisau yang dibawa oleh nenek tua itu.

"Jangan marah-marah nanti dagingmu akan mengeras dan tidak lembut lagi," Tutur nenek tua dengan santainya.

Halena mencoba untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Nenek tua itu duduk di kursi secara perlahan karena punggungnya yang bengkok sedikit mengganggunya.

"Aku akan memberimu dua pilihan, kamu mau mematuhi permintaanku atau kamu menjadi santapan pagiku?" Tanya nenek tua meneyringai iblis.

"Tidak ada manusia yang mau menjadi santapan!" Pekik Halena setengah marah dan takut.

"Baiklah, aku anggap kamu mau menuruti permintaanku." Tutur nenek tua sembari beranjak dari kursi. Kemudian nenek tua itu berjalan menghampiri Halena, dia melepaskan tali yang mengikat kedua tangan Halena. Setelah itu, nenek tua keluar dari kamar ini tanpa menutup pintu.

Halena menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Dia mengendap-endap keluar dari kamar. Setelah berhasil keluar dari kamar, Halena mencoba untuk mencari pintu keluar. Beberapa barang kuno menghiasi rumah tua ini, tidak lupa dengan vas yang terbuat dari tulang sumsum, entah itu tulang hewan atau manusia. Penerangan yang kurang membuat Halena sedikit sulit untuk menemukan pintu keluar.

"Mau kemana nona muda?" Tanya nenek tua yang muncul dari belakang tubuh Halena. Sontak, Halena segera berlari sekuat tenaga untuk keluar dari rumah ini. Setelah dia menemukan sebuah pintu, engsel pintu tidak dapat terbuka.

"Percuma saja kamu kabur, semua pintu di rumah ini hanya akan terbuka jika kamu mau mematuhi permintaanku." Tutur nenek tua dengan seringai khasnya.

"Apa permintaanmu?!" Pekik Halena sembari berdiri di depan pintu.

Sherin dan Duca tengah membantu Kaisa menata baju ke dalam koper. Nanti malam Kaisa akan terbang ke Inggris untuk mencari domba yang telah disebutkan oleh Duca. Kaysen tiba-tiba muncul di depan pintu kamar Kaisa. Sontak, Kaisa langsung membantu memapahnya masuk ke dalam.

"Sudah Kaisa bilang jangan kemana-mana! Susah dibilangin!" Kesal Kaisa seraya berkacak pinggang. Namun Kaysen hanya tertawa mendengar rasa kesal adiknya yang selama ini dia rindukan.

"Berangkatlah bersama Valentin, dia juga akan terbang ke Inggris malam nanti." Tutur Kaysen.

"Tidak mau!" Tutur Kaisa. Kemudian dia kembali menata bajunya.

"Setidaknya kamu aman bersama Valentin," Tutur Kaysen sedikit memaksa.

"Pokoknya Kaisa nggak mau satu pesawat sama kak Valentin!" Tutur Kaisa seraya menatap tajam Kaysen

*****

Pesawat lepas landas dengan sempurna. Kaisa berdecak kesal melihat siapa yang duduk di sebelahnya. Kini Kaisa bagaikan sandera Valentin yang tidak bisa kabur kemanapun. Valentin hanya diam sembari membaca majalah.

"Apa nggak capek baca terus?" Tanya Kaisa dengan kesal.

"Lalu, kamu nggak capek jadi anak bandel?" Tanya balik Valentin tanpa menatap Kaisa.

Mendengar hal ini, Kaisa ingin memukul Valentin sekarang juga. Namun dia sadar kekuatan Valentin jauh kebih besar daripada kekuatannya sendiri. Kemudian Kaisa memilih untuk mendengarkan musik menggunakan earphone dan tidak sengaja tertidur pulas. Valentin menatap lekat Kaisa dan menggoyangkan bahunya pelan. Merasa Kaisa telah tertidur lelap, Valentin melepas jaketnya untuk menyelimuti tubuh Kaisa. Kemudian Valentin melepaskan earphone yang tertancap di kedua telinga Kaisa.

"Selamat tidur peri bunga, have a nice dream!" Bisik Valentin. Dia kemudian menaruh kepala Kaisa di bahunya.

Halena tengah menghitung biji gandum yang telah diberikan oleh nenek tua itu. Dia harus benar-benar menghitung dengan benar jika tidak mau menjadi santapannya. Perutnya begitu kosong dan kerongkongannya kering, dia benar-benar ingin makan dan minum sekarang juga. Halena menghela nafas berat.

"...494,495,496,497,498,499,500." Tutur Halena, akhirnya dia selesai menghitung biji gandum dan beranjak dari kursi untuk menemui nenek tua yang tengah duduk di kursi goyang di ruang tamu.

Halena mengetuk pintu terlebih dahulu, nenek tua tersebut membuka matanya dan menatap Halena. Dia pun berjalan mendekati nenek tua sembari membawa wadah yang berisi biji gandum.

"Baba, semua gandum sudah aku hitung. Semuanya ada lima ratus biji gandum." Tutur Halena dengan nada takut menatap nenek tua itu.

"Anak pintar," Puju nenek tua.

"Sekarang bersihkan dapur dan gudang sampai mengkilap, jangan lupa benda-benda yang ada di dapur dan gudang di lap hingga bersih." Tutur nenek tua.

"Lalu, kapan aku boleh keluar dari rumah ini?" Tanya Halena dengan hati-hati.

"Sampai kamu menyelesaikan tugas yang aku sampaikan. Setelah kamu berhasil menyelesaikan semua tugas yang aku berikan, aku akan memberimu sebuah hadiah." Balas nenek tua sembari memejamkan matanya dan menikmati kursi goyang.

Halena menatap nenek tua itu sejenak, kemudian dia segera pergi ke dapur untuk membersihkan ruangan itu hingga mengkilap. Namun saat Halena hendak keluar dari ruang ini, nenek tua itu menyuruh Halena untuk memakan tiga potong roti yang berada di atas meja dan Halena hanya mengangguk. Setelah sampai di dapur, Halena menatap tiga potong roti yang berada di sebuah wadah dan ada secangkir air putih. Halena segera menyantapnya dengan perlahan. Setelah perutnya terisi, Halena segera menjalankan perintah yang nenek tua itu perintahkan.

-tbc-

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 102K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
521K 32.2K 61
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
817K 72.4K 32
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
129K 12.1K 34
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...