Ebulisi

By Amaranteya

2K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... More

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
1. Allah Itu Kejam?
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
16. Proses yang (Sedikit) Gila
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
20. Bagus, Begitu?
21. Surat dari Konstantine
22. Asma' Wa Shifat

5. Pamer Kebaikan

67 28 6
By Amaranteya

Pelajaran yang paling tidak Pari suka berada di hari Jum'at. Olahraga. Selain karena malas berganti pakaian, itu juga karena Pari lemah dalam mata pelajaran yang satu itu. Ia tidak suka lari-larian, apalagi yang sudah berhubungan dengan bola.

Seperti biasa, saat yang lain pemanasan sambil bercanda dengan teman di sampingnya, Pari hanya mengikuti gerakan guru di depan dalam diam, tanpa semangat. Sedikit-sedikit melirik yang lain, tampak sangat senang. Ia juga ingin. Pada akhirnya, Pari hanya bisa mengembuskan napas lelah.

Materi hari ini adalah lompat jauh. Anak-anak kelas tiga duduk berkelompok di pinggir bak pasir, menunggu giliran namanya dipanggil. Sementara itu, Pari duduk sendirian di ujung bak pasir, menatap tanpa minat juga memainkan pasir sesekali. Ia bosan.

Beberapa saat menunggu, akhirnya guru memanggil namanya, "Prari!"

Ah ... ingin sekali Pari mengeluh saat ini. Pak Toha lagi-lagi salah menyebut namanya, pun tak pernah memanggilnya sebagaimana anak-anak yang lain memanggil.

Pari bangkit, berjalan gontai ke garis start lintasan. Banyak sorakan anak-anak mulai memenuhi lapangan. Ia jadi sedikit enggan mendengarkan aba-aba, mulai berlari saat Pak Toha membunyikan peluit.

Satu langkah, masih bagus, dua langkah, tidak buruk. Melakukan tolakan dengan kaki kiri dan melayang di udara untuk sedetik pun masih tak ada masalah. Baru saat mendarat, Pari melakukan kesalahan. Ia berteriak karena lututnya menubruk lantai batako keras. Lompatan Pari bahkan tak sampai pada bak.

Tangisan anak itu sukses membuat Pak Toha berlari, memeriksa kondisi Pari. Betul saja, lutut kiri dan dua telapak tangan anak itu terluka. Darah merembes meski tak terlalu banyak. Pedih.

Anak-anak yang lain diam, sedikit iba sebetulnya. Namun, karena membawa Pari ke UKS, pelajaran kesukaan hampir seluruh siswa kelas tiga itu terpaksa dihentikan Pak Toha. Mereka diminta kembali ke kelas, karena hal itu mereka kembali sebal pada Pari. Andai Pari tidak jatuh.

Setelah diobati, Pari tak banyak bicara. Menahan sakit juga tangis agar tak lagi pecah. Sengaja anak itu berdiam di UKS sampai bel istirahat berbunyi.

Terpincang Pari berjalan keluar UKS, ia lapar. Tak mungkin dia terus berada di sana. Baru sampai pintu, anak itu berhenti. Diperhatikannya para siswa yang lari-larian di depan sana dengan tampang keruh. Selanjutnya, Pari menunduk dalam, melihat luka di lututnya yang masih terasa pedih. Sakit.

Hampir saja air matanya kembali jatuh saat mengangkat wajah. Namun, kemunculan Kla dengan wajah datar yang tiba-tiba membuatnya urung.

"Dasar cengeng!" cibir Kla.

Tampang Pari semakin keruh, ujung-ujung bibirnya sempurna turun dengan mata yang kembali berair, memerah. Namun, karena tak ingin semakin diejek Kla, anak itu mendongakkan kepala, melihat langit-langit agar liquid bening di pelupuk matanya tak jatuh.

"Kamu mau berdiri di situ terus?" Ucapan Kla sukses membuat Pari melihat ke arahnya lagi. Masih belum berubah. Kla lantas menjulurkan tangan. "Kecuali kalau kamu mau jalan sendiri sambil pegangan tembok."

Meski kesal, tak urung anak perempuan itu memegang tangan Kla juga, menjadikannya tumpuan.

Mereka berjalan super pelan. Untung saja Kla sadar bahwa kaki Pari sakit. Andai tidak, ia sudah meninggalkan anak berambut pirang itu, seperti siput.

"Maaf," lirih Pari, membuat Kla menoleh. "Jangan marah lagi, dong. Kata Bibi Illiya, nggak baik loh, diemin teman lama-lama."

"Aku bukan teman kamu," balas Kla singkat.

Sengaja Pari menghentikan langkah, diikuti Kla. "Terus kenapa kamu bantuin aku?"

"Rui sama Sra nggak bisa istirahat, masih ngerjain soal, nggak bisa bantuin kamu."

Pari medengkus kesal. Anak itu sungguh banyak alasan.

"Jalan atau aku tinggal?"

"Iya-iya, jalan! Ish!"

-o0o-

Kalian tahu? Anak kecil itu aneh. Pikiran mereka sederhana, tetapi kadang lebih dewasa dari orang dewasa itu sendiri. Mereka yang melabeli dirinya dewasa sering mendendam untuk waktu lama, tak jarang meyakininya sampai mati.

Kla tidak bisa seperti itu. Lihat saja, untuk ukuran yang katanya marah, ia masih membelikan dua kotak susu cokelat untuk Pari dengan uang sakunya yang tak seberapa. Hal itu ia lakukan karena tahu, bahwa Pari tak akan lagi sedih bila meminumnya. Sebagai dalih, hasil iuran dengan Rui dan Sra katanya.

"Makasih, Kla." Senyum lebar sudah terbit di bibir Pari, tak seperti tadi.

Ia duduk di bangkunya sendiri, dan Kla kembali setelah pergi beberapa menit lalu. Dengan dua kotak susu di tangan.

Dua anak itu jelas menjadi pusat perhatian teman-teman Pari. Biar saja.

"Pulang nanti tunggu di sini!" perintah Kla, "biar Rui sama Sra yang bantu kamu jalan."

Pangkal alis Pari tertaut. "Kamu?"

"Malas!"

Pari mencibir tanpa suara saat Kla menghilang di balik pintu.

Sampai di kelas, Kla sudah dicegat Rui yang berbincang dengan Gardenia. Omong-omong, rupanya Gardenia pindah karena ayahnya yang seorang pegawai negeri dipindahtugaskan ke daerah itu.

"Kamu dari kelas Pari?"

Kla hanya bergumam, lalu duduk.

"Nggak mau jajan?" tanya Rui lagi. Meski sejujurnya Kla memang jarang pergi ke kantin atau koperasi, tetapi anak itu sering titip pada Sra.

"Habis," jawab Kla singkat. Ia mulai sibuk membuka buku yang dibawanya dari rumah. Karya penulis cilik bernama Abinaya Ghina Jamela yang berjudul Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru.

"Hah? Apanya yang habis? Uang saku? Kan tadi dikasih lebih sama Mama."

Sementara keduanya bicara, Gardenia diam, memperhatikan mereka bergiliran.

"Rui berisik!"

Sungguh, Rui heran dengan Kla. Anak itu mudah sekali marah hanya karena hal kecil.

"Aku serius tanya, Kla." Rui tak mau kalah. Pasalnya, uang yang diberikan mama mereka pagi ini memang melebihi biasanya.

Kla menatap tajam, berdecak sebelum benar-benar menjawab, "Beli Ultramilk buat Pari, puas?"

Sempurna bibir Rui melengkung ke atas.

"Pari itu anak perempuan yang tadi, ya?" Pertanyaan polos Gardenia sukses mengambil alih atensi dua anak lelaki itu. "Dia cantik banget. Matanya biru, aku suka."

Senyum Rui mengembang sempurna. "Iya, yang tadi Pari namanya. Anak depan rumah kami. Kamu mau berteman sama dia?"

Mata Gardenia berbinar seketika. "Boleh? Emang dia mau temenan sama aku?"

Anggukan mantap diberikan Rui sebagai tanggapan. "Dia baik, kok. Tenang aja. Dia pasti suka temenan sama kamu."

Sungguh, Kla tak ingin peduli. Sampai pulang pun, dia tak berbicara lagi sama sekali kecuali guru yang bertanya, itu pun dijawab sekenanya. Jelas, itu membuat Gardenia yang berada di sampingnya kikuk sendiri.

Tepat setelah bel pulang berbunyi, Kla langsung beranjak dan meminta Gardenia sedikit bergeser agar bisa lewat. Tak langsung meninggalkan kelas, anak itu sengaja berhenti di samping bangku Sra, membungkuk dan berbisik, "Kamu sama Rui samperin Pari ke kelas, dia nggak bisa jalan."

Saat Kla kembali ke posisi tegak, Sra baru menjawab, "Kamu?"

"Malas!" jawabnya singkat, lalu pergi. Ah ... anak itu bersikap seenaknya lagi.

-o0o-

"Loh, yang lain mana?" Berulang kali melongokkan kepala keluar jendela mobil mini cooper putihnya pun, Illiya tak menemukan anaknya yang lain selain Kla.

Tak seperti jika bersama Haidar, Kla akan lebih memilih bangku samping kemudi jika yang menyetir adalah sang mama. Selain karena terlalu sempit baginya duduk bertiga di bangku belakang mobil Illiya, hal itu juga karena jika bersama mamanya, Pari akan lebih cerewet, ia tak suka berisik.

"Nungguin Pari." Kla menjawab singkat sembari memasang sabuk keselamatan.

Meski hanya tampak mata, jelas terlihat Illiya heran. Biasanya juga mereka akan jalan sendiri-sendiri tanpa menunggu satu sama lain.

Baru akan bertanya alasannya, Illiya lebih dulu dibuat menoleh oleh sapaan Rui yang tengah membantu Pari berjalan. Segera perempuan bercadar hitam itu turun dari mobil dan sedikit membungkuk, memperhatikan lutut Pari yang dibalut kain kasa.

"Pari kenapa?" tanya Illiya lembut.

"Jatuh waktu olahraga, Bibi. Sakit banget."

Lihat, rengekan dramatis itu sukses membuat Kla yang berada di dalam mobil mendengkus. Pari lebay, pikirnya.

"Ya sudah, ayo buruan masuk."

Sedang Rui masuk lewat sisi lain mobil, Pari dan Sra masuk dari sisi yang sama, dengan Pari di tengah.

"Ma, uang sakunya Kla habis."

Bukan, sama sekali bukan si empu nama yang mengadu, melainkan si tengil Rui. Tubuhnya bahkan sudah melongok di sela bangku depan.

Jika Illiya mengerutkan kening, Kla justru langsung berdecak kesal, mendesah panjang setelahnya. Kakak kembarnya itu sungguh membuatnya kesal sekarang.

Illiya sekilas melirik sang putra. "Dibuat jajan semua?"

Tak ada jawaban dari si target. Anak itu justru memasang wajah cemberut luar biasa.

"Kla?" ulang Illiya. Sungguh, ia tak ada niat memarahi Kla, hanya ingin tahu jawaban anak itu.

"Bibi Illiya," sela Pari dengan ragu, "maaf, tapi tadi Kla beli minuman buat Pari. Dua lagi."

Sembari membelokkan kemudi ke kanan, senyum Illiya terbit. "Biar Pari tidak nangis ya, tadi?"

Perempuan itu tentu paham kebiasaan tiga putra kembarnya. Sejak kecil, baik Kla, Sra, maupun Rui memang memperlakukan Pari demikian. Hanya saja, Kla memang yang paling peka terhadap sekeliling.

Dari kaca mobil, Illiya dapat melihat Pari mengangguk.

"Anak-anak Mama hebat, Pari juga." Kalimat itu Illiya akhiri dengan tawa kecil. "Lain kali, kalau memang tidak salah, tidak usah takut mengatakannya, Kla."

Menatap ke luar jendela, si empu nama menyahut, "Mama bilang kalau ngelakuin kebaikan nggak usah diumbar-umbar, kan? Kla cuma lakuin itu, biar nggak kayak Bu Darma."

Di bangku belakang, tiga anak itu terkekeh mendengar nama Bu Darma disebut. Pasalnya, perempuan itu memang sering mereka bicarakan jika hanya berempat.

"Mengungkap kebaikan dengan menjawab pertanyaan Mama yang tadi itu dua hal yang berbeda, Sayang." Mau tak mau, Illiya terkekeh kecil meski sempat terkejut akan ucapan anak bungsunya.

"Bibi Illiya, jadi ... kalau tiap Daddy pulang Pari suka cerita dibeliin mainan sama buku itu salah? Berarti Pari mengumbar kebaikan Daddy, kan?"

Astaga, Illiya benar-benar dibuat tak habis pikir dengan pertanyaan anak perempuan itu. Sebelum menjawab, ia menggeleng pelan, "Bukan begitu, Pari."

"Bodoh!" sambar Kla.

"Kla!" peringat Sra.

Tawa masih lolos dari bibir Rui.

"Yang tidak boleh itu kalau kita membicarakan kebaikan kita agar dipuji oleh orang lain. Kan selama ini Pari hanya bercerita hal yang menyenangkan bagi Pari. Betul, kan?"

Sekali lagi, Pari mengangguk. Tak ada kekesalan sama sekali sebab ucapan Kla. Anak itu tak berniat marah pada Kla hari ini, apalagi setelah dibelikan Ultramilk rasa kesukaannya.

Hening beberapa saat, hanya ada suara klakson beberapa kali dari kendaraan lain di luar sana.

"Mama, Sra punya pertanyaan," celetuk Sra tiba-tiba.

"Apa, Sayang?"

"Tuhan menyediakan alam untuk kita manfaatkan, kan? Lalu, kenapa ada istilah ... apa tadi di pelajaran IPA, Rui? Aku lupa."

"Eksploitasi kalau nggak salah."

Sra mengangguk heboh. "Iya, itu, eksploitasi. Artinya, mau sedikit atau banyak memanfaatkan alam, harusnya nggak masalah, Mama. Kan memang itu tujuan Tuhan menciptakan alam. Contohnya hewan dan tumbuhan."

Tanpa rasa bersalah Kla menyahut sinis, "Buat apa Tuhan nyiptain kita kalau akhirnya mati juga?"

Tawa geli Illiya lolos.

-o0o-

Duh Klaaa ... jangan meresahkan.

Omong-omong masalah Kla-Pari, aku jadi inget pernah dimusuhin sekelas tanpa alasan jelas. Jaman SD, waktu naif-naifnya, tuh🤣 Puncaknya kesel, pernah nangis sambil jongkok di koridor dan tiba-tiba disamperin anak cowok, kakak kelas. Dia nyodorin buah depan muka (aku lupa buah apa tepatnya, intinya masih ada tangkainya tuh buah) sambil bilang, aku inget banget yang ini, "Nih, buat kamu. Jangan nangis lagi, dong. Nggak usah peduliin mereka."

Tingkat kepekaan bocah kadang lebih tulus🙂

Amaranteya

30th of August 2022

Continue Reading

You'll Also Like

401K 34.1K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
93.7K 5.1K 55
Ini tentang Nazira Shafira Aulia yang harus mengalami cinta segitiga dengan sepasang saudara kembar. Mereka adalah Farhan Habibie Alfaqih dan Farzan...
Hakim By ul

Spiritual

1.3M 75.2K 53
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...
2.8M 200K 44
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...