Ebulisi

By Amaranteya

2K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... More

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
5. Pamer Kebaikan
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
16. Proses yang (Sedikit) Gila
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
20. Bagus, Begitu?
21. Surat dari Konstantine
22. Asma' Wa Shifat

1. Allah Itu Kejam?

115 33 8
By Amaranteya

"Rui, apa jawaban nomor lima?" Kla memutar kursi, juga memainkan pena di tangan dengan tenang. Ia menukikkan satu alis, melihat Rui tampak belakang yang sepertinya kesal setengah mati. Sejujurnya, Kla bisa mendorong tubuh meski tetap duduk dengan kursi itu, tetapi ia terlalu malas. Ah ... mengintip jawaban pekerjaan rumah Rui sangat bukan gayanya.

"Panggil aku kakak, Kla. Kamu lebih muda dariku." Rui bersungut-sungut, memutar kursi dengan tampang luar biasa kesal. Sudah tiga kali ia mengingatkan hal sama--sejujurnya, lebih sering jika dihitung sepanjang hari. Namun, Kla tak peduli pada peringatannya.

Mendengar perdebatan kakak dan adiknya, Sra diam saja. Anak itu memilih tenggelam dalam buku dongeng terjemahan asal Jerman di depan mata. Lebih menarik. Lagipula, PR itu sudah ia selesaikan sejak pulang sekolah siang tadi, saat Kla dan Rui lebih memilih bermain game.

Benar juga, Kla dan Rui memang tak berniat bertanya pada Sra. Anak tengah itu paling tidak bisa diandalkan masalah memberikan jawaban. Sra justru akan bicara panjang lebar perkara bagaimana jawaban itu bisa ditemukan, agar dua saudaranya bisa menempuh jalan yang sama. Membosankan, Kla dan Rui ingin yang cepat dan instan.

"Apa jawabannya?" ulang Kla. Ia ikut kesal jika Rui sudah mengomel. Tenaganya tak cukup banyak untuk menanggapi celotehan Rui yang tak akan mengubah apa pun itu.

Rui mendesis, barang kali dengan suara ular itu bisa membuat Kla takut padanya. Ah ... nihil, terlalu tak masuk akal. "Jawabannya B. Baca materi lagi dong, makanya."

Segera Kla menyilang jawaban di bukunya. Selesai, ia memang hanya kurang satu nomor. Kla mengembalikan buku ke tempat semula, lalu mengambil buku lain. Lagi-lagi sebuah buku dongeng.

"Malas, baca buku pelajaran buat aku ngantuk." Kla membuka halaman terakhir yang ditinggalkan, tepat di tengah.

Sekali lagi Rui mendesis. Lama-lama ia bisa berteman dengan ular jika terlalu lama berhadapan dengan Kla. Ia lalu ikut berbalik, kembali fokus mengerjakan. Kasihan sekali hanya dirinya yang masih berkutat dengan buku pelajaran. Padahal, Kla benar. Ia mengantuk karena membaca buku itu. Tak apalah, segera selesaikan dan bergabung dengan dua adikmu, Rui.

Suara tik tok di dinding kamar tak akan melambat bahkan jika ketiganya ingin. Waktu mereka membaca kurang panjang, mama mereka sudah memanggil untuk makan malam.

"Iya, Mama. Tunggu sebentar." Sra menyipitkan mata saat menilik ke arah pintu. Illiya tersenyum lewat mata di sana, menyembulkan kepala lewat celah pintu. Perempuan itu memang kerap minta diyakinkan bahwa ketiganya tak akan menunda panggilan atau perintah atau apa pun itu. Ulah Rui dan Kla yang yang sering berkata "iya" tetapi lupa bergerak sampai diingatkan lagi.

"Dalam lima menit kalian harus sudah sampai meja makan, mengerti?" Sekali lagi Illiya tersenyum, sebuah ancaman halus yang sukses membuat Rui merengek. Namun apa daya, pinta mamanya nomor satu.

Illiya pergi lebih dulu, disusul ketiganya semenit kemudian. Membungkuk-bungkuk Rui berjalan, malas. Sra lebih dulu menuruni tangga, sementara Kla paling belakang dengan niat tertahan. Ah ... hanya sebuah niat ingin menendang Rui agar terguling ke bawah, pasti seru andai tidak berbahaya.

Sampai di ruang makan, Haidar sudah duduk manis sembari meneguk segelas air mineralnya. Mengusap kepala Sra saat selesai dan anak itu duduk di sisi kanannya. Yang lain, ah ... mereka tidak terlalu suka rambutnya dibuat berantakan. Sudah dewasa, malu katanya.

"Mama masak apa malam ini?" tanya Rui. Piring berisi makanan di atas mereka menjadi pajangan seketika di matanya, ini namanya basa-basi. Rui hanya suka bicara.

"Sudah jelas itu telur balado, Bodoh!" sentak Kla. Aduh, kakak beradik itu benar-benar.

Sama seperti Haidar dan Illiya, Sra hanya geleng-geleng kepala menyaksikan dua saudaranya, sudah biasa.

"Rankingku lebih tinggi darimu, Kla. Percuma mengataiki bodoh," sungut Rui sebagai balasan.

"Aku nggak peduli." Kla mengedikkan bahu tak acuh. "Angka menipu itu nggak penting."

Aih ... Rui kesal. Lagi-lagi Kla berhasil membungkamnya dengan nasihat sang mama dulu. Menipu? Lucu, bukan? Kata mamanya ranking itu seperti apel yang dimakan Cinderella. Kulitnya bagus, mulus, tetapi sekali kalian menggigitnya--mengelu-elukannya lewat lisan--kalian akan keracunan.

"Kla!" Haidar ikut ambil bagian, memperingati anak bungsunya.

"Maaf, Papa."

Meski sudah diperingatkan, anak-anak itu tetap saling sahut selama makan. Sedikit-sedikit berdebat, memang begitu. Jika mereka diam, justru akan sangat aneh karena menyalahi kebiasaan.

Setelah sendok di atas piring diletakkan secara terbalik, Sra yang sudah menahan tanya di ujung lidah akhirnya bersuara. "Papa, boleh Sra tanya sesuatu?"

"Tentu, Sra."

"Padahal itu sudah termasuk tanya," sambar Kla, lagi-lagi memancing, tetapi Sra tidak peduli. Sama sekali tidak.

"Di sekolah, kami sedang belajar tentang kurban menurut surat Al-Kautsar. Sra jadi ingat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail yang pernah diceritakan Mama, tapi Sra masih bingung, kenapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya sendiri? Itu sangat kejam, Papa. Sama saja ... dengan Allah meminta menyakiti sesama manusia, bukan?"

Mendengar pertanyaan Sra, Rui jadi ikut berpikir. Benar, masuk akal juga perkataan adik kembarnya itu.

"Tapi kan Nabi Ismail sudah diganti domba oleh Allah, apa masalahnya? Yang penting Nabi Ibrahim nggak jadi menyembelih anaknya, iya kan, Mama?" Kla tidak mau repot-repot memandang mama atau dua saudaranya di seberang meja, sibuk mengupas buah jeruk sebagai pencuci mulut.

Illiya hanya tertawa geli sebagai tanggapan. Tampaknya si bungsu tengah malas berpikir untuk saat ini.

"Kalian tahu apa yang suka diambil Allah dari makhluknya--maksudnya, manusia?" Haidar menatap tiga putranya bergiliran, menatap polos ke arahnya.

Kla terdengar mendesis, ingat peristiwa tak mengenakkan yang pernah menimpa. "Allah suka ambil semuanya. Kucing kesayangan Kla aja diambil, padahal nggak sakit."

Haidar menanggapi celetukan Kla dengan senyum tipis.

"Itu karena kamu nggak bisa rawat Kleo dengan baik," cibir Rui.

"Diam aja deh, kamu!" Kla menatap tajam dari balik kacamata.

"Baik, dengarkan Papa sekarang, ya?" Kembali mengambil atensi kepala keluarga itu. "Ingat apa yang Kla lupakan waktu ada Kleo? Diminta salat bilangnya nanti-nanti, waktunya ngaji malah sengaja ngumpet di gudang buat main sama Kleo. Kecintaan Kla pada Kleo sudah berlebihan, bahkan sampai melupakan kewajiban. Allah itu sengaja mengambil hal yang dicintai Kla secara berlebihan supaya kembali pada ketaatan terhadap Allah."

"Tapi Nabi Ibrahim nggak melupakan kewajiban karena Ismail, Papa. Kenapa Allah tetap memintanya menyembelih Ismail?" Rui mengakhiri pertanyaannya dengan mencomot potongan apel milik Sra yang baru diberikan Illiya.

"Mama pernah memberitahu kalian kalau Allah itu pencemburu, bukan?" tanya Haidar, membuat ketiganya mengangguk. "Nah, kecintaan Ibrahim pada Ismail sudah berlebihan dan membuat Allah cemburu, makanya Allah memerintahkan untuk menyembelih Ismail.

"Allah bukan berniat kejam atau menyakiti manusia lewat manusia lain, Sayang. Allah ingin hambanya menyembelih apa-apa yang dicintai berlebihan karena berlebihan itu tidak baik.

"Lagipula, seperti kata Kla, pada akhirnya Allah tetap mengganti Ismail dengan domba, bukan?"

"Jadi, kurban hewan itu hanya pura-pura? Kan Allah meminta kita menyembelih apa-apa yang kita cintai berlebihan, bukan hewan itu sendiri atau ... Nabi Ismail itu sendiri." Sra mengambil kesimpulan, meminta koreksi.

Karena tahu apel miliknya terus dicomot Rui, Sra memutuskan mengangsurkan semuanya untuk sang kakak. Biar saja dimakan Rui.

"Betul sekali, karena masih jarang dari kita yang bisa melakukan semua itu, jadi Allah membiarkan kita berlatih melalui penyembelihan hewan-hewan kurban. Jadi, bukan karena Allah kejam ya, Sra." Haidar tersenyum di akhir kalimat.

Menelan kunyahan apel terakhir, Rui menyahut, "Kalau begitu, harusnya orang yang kurban juga nggak boleh pamer ya, Papa? Apa itu namanya em ...."

"Riya', Sayang," balas Illiya.

"Nah itu, riya'."

"Loh tentu, Rui. Di mana-mana, yang namanya pamer kan memang tidak baik." Haidar menimpali.

Kembali Rui berujar, "Kayak Bu Darma, dong? Kemarin Rui dengar dia udah buat pengumuman kalau mau kurban kambing Iduladha nanti, sambil ketawa-ketawa."

Mendengarnya, Kla sengaja menumpu siku di meja makan, membuat tangannya mengarah ke atas, digoyangkan pelan. "Krincing! Krincing! Suara gelang emasnya juga ngalahin berisiknya alarm Rui. Sombong."

Bu Darma itu tetangga mereka. Perempuan paruh baya yang suka ikut gosip dengan ibu-ibu lain saat tukang sayur berhenti. Sengaja keluar rumah meski tidak belanja. Biasanya, Bu Darma akan keluar dari rumahnya yang berwarna hijau jreng dengan setelan daster bunga-bunga, lengkap dengan perhiasan emas yang memenuhi tangan dan leher.

Mendengar itu, Illiya tersentak. "Rui, Kla, tidak boleh seperti itu. Siapa tahu beliau lebih disayang Allah daripada kita. Hati-hati, bisa jadi fitnah, loh."

"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan." Sra tersenyum lebar, matanya sampai sisa segaris.

Bukannya menurut, Rui justru berdiri, mencondongkan tubuh ke arah Kla di seberang dan menyodorkan high five. Disambut santai tanpa rasa bersalah.

"Emang Bu Darma sombong, kok. Kla nggak suka."

Astaga, Rui dan Kla sungguh satu komplotan dalam hal yang satu itu.

-o0o-

Compared to others, I love Eero Kla more, hahaha. He's such a tsundere (in the next part he will look like that, indeed. Such a spoiler)🤣

Wish you enjoy

Amaranteya

31st of July 2022

Continue Reading

You'll Also Like

573K 42.5K 45
Spiritual-romance Sequel: ILHAM UNTUK MELLY Muhammad Fathur Al-Kausar-seorang dokter muda sekaligus juga bekerja di perusahaan keluarga. Fathur-soso...
19K 993 24
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
393K 33.5K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
4.7M 285K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...