GENTAR [END]

Por 17disasalma

311K 29.6K 2K

"Ganteng beraksi, pantang patah hati!" Salah satu slogan yang dibuat oleh Gentario Dewanggara, pencetus PERGA... M谩s

GENTARIO DEWANGGARA
01. PESTA
02. BERTEMU KEMBALI
03. TOPIK HANGAT
04. KEPUTUSAN
05. PERBEDAAN
06. AZKIRA & KEPEDULIANNYA
07. PERLAKUAN MANIS GENTAR
08. JANGAN GOYAH, GENTAR!
09. PERLAKUAN MANIS GENTAR (2)
10. GENTAR DITUNGGU SESEORANG
11. MASA LALU & MASA DEPAN
12. BERUNTUNG
13. KELUARGA AZKIRA
14. RIBUT
15. GEN
16. PERTEMUAN DUA KELUARGA
17. MASALAH
18. BADMOOD
19. NEW PARTNER : LADIOTA
20. SENIORITAS
21. GENTAR PACARABLE?
22. MAIN BOWLING
23. GENTAR VS REVAL
24. GENTAR PASSWORDNYA
25. SISI BRUTAL GENTAR
26. INSECURE
27. CEMBURU?
28. MARAH
29. BAIKAN
30. GENTAR MOVE ON?
31. JAILIN GENTAR
32. CANTIKNYA GENTAR
33. NIGHT CALL
34. JAILIN GENTAR (2)
35. KAMU RATU & AKU RAJANYA
36. DINNER
37. BIDADARI
38. INSIDEN
39. WHO ARE YOU?
40. GENTAR JADI AYAH
41. AZKIRA KENA LAGI
42. OVERTHINKING
43. KEDATANGAN SI EX
44. GENTAR BUCIN AZKIRA
45. AKU CEMBURU
46. DEEP TALK W/AYAH
47. CLUE DARI REVAL
48. ISI PIKIRAN GENTAR
49. PERGANTA BUKAN GENG
50. BAZAR & ZIO
51. SALTING TERUS
52. GANANG & AZKIRA
53. DATE
54. OBROLAN RINGAN
55. ACCIDENT
56. AYO BANGUN, RA.
57. PANIK
58. AZKIRA BANGUN?
59. SLEEP TIGHT, KIRA
60. TAMAN RUMAH SAKIT
61. CASE CLOSED
62. KESALAHAN GENTAR
63. SUDAH YAKIN?
65. SATU PER SATU TERBONGKAR
66. AZKIRA PULANG
67. HEALING BERUJUNG PUSING
68. TIDAK PERCAYA
69. INTI MASALAH
70. PENYESALAN
71. LARANGAN BERTEMU AZKIRA
72. INTROGASI
73. KESEMPATAN TERAKHIR GENTAR
74. BACK TO YOU
75. TERIMA KASIH [END]
MAHANTA SERIES

64. AZKIRA & JELLA

1.2K 135 24
Por 17disasalma

Salah Satu Hal Yang Sangat Menyesakkan Itu Yakni Cobaan Yang Datang Secara Bertubi-tubi.

SELAMAT MEMBACA💘

•••

64. AZKIRA & JELLA

Ruang rawat inap Azkira menjadi lebih sempit karena kehadiran Arin, Gentar, dan sahabat-sahabatnya. Mereka datang untuk belajar bersama sesuai rencana Mami dan Gentar kemarin.

Sejak tiga puluh menit yang lalu hanya terdengar suara lembaran buku yang dibalik dan sahut-sahutan tanya jawab materi. Sampai akhirnya Adi mendengus pelan, mengadu ingin istirahat lebih dulu.

"Ngeluh mulu heran, lo dari tadi lima menit review materi sepuluh menit scroll toktok anjir," gerutu Fiki sembari menggetok pelan punggung tangan Adi yang berada di atas meja menggunakan pulpennya.

"Gue tuh lagi cari hiburan biar semangat belajarnya," kelit Adi, padahal kenyataannya hari ini dia sangat malas untuk memandang rentetan tulisan di depannya.

"Istirahat dulu nggak pa-pa, Di," ucap Azkira yang belajar dari atas brankarnya.

Adi menoleh ke arah Azkira dan sedikit mendongak. "Lo doang emang yang bisa ngertiin gue, Ra," katanya dengan acungan jempol.

"Cewek gue," ujar Gentar sembari menyenggol bahu Adi yang duduk di sebelahnya.

Arin, Ganang, dan Fiki yang duduk di kanan kiri Gentar dan Adi pun memutar bola matanya malas usai mendengar ucapan Gentar. Bucin, kata mereka dalam hati.

"Gue izin ke kantin beli minum," ucap Adi sembari bangkit. "Nggak ada yang mau ikut?"

"Males." Fiki menimpalinya dengan singkat.

"Ikut nggak, Nang? Bibir lo kering tuh, butuh minum pasti."

Ganang menggeleng pelan. "Gue nitip aja, nanti uangnya gue ganti."

"Ya udah, gue sendiri," ucap Adi bersiap untuk pergi.

"Eh, gue ikut, Di, bentar ambil uang dulu," ucap Arin sembari membuka tasnya, mengambil dompet kecil yang selalu ia bawa. Cewek itu bangkit dan merapikan rok yang ia pakai.

"Lo mau ke mana?" Adi menunjuk Fiki yang tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Nganter lo berdua," jawab Fiki apa adanya kemudian merangkul Adi dan Arin untuk keluar dari ruang inap Azkira.

"Katanya tadi males," cibir Adi masih terdengar di telinga Gentar, Ganang, dan Azkira.

"Kayanya Fiki beneran suka deh sama Arin," celetuk Azkira diakhiri kekehan pelan.

"Kenapa emang? Lo nggak mau sahabat lo itu punya cowok?" tanya Ganang tanpa mengalihkan pandangannya dari buku sedikitpun.

"Sok tau lo, Nang," sahut Azkira.

"Emang apa yang gue nggak tau dari lo?"

Gentar menyunggingkan senyum miringnya. Kemudian berdecih pelan, "Si paling tau."

"Kenapa? Gue sahabatnya," kata Ganang dengan sedikit menyombongkan diri. Matanya juga menatap Gentar yang duduk tepat di depannya dengan sinis.

"Nggak usah lo perjelas gue udah tau," balas Gentar. "Santai aja tu mata lihatinnya. Sensi amat lo sama gue akhir-akhir ini."

"Iya, emang. Gue bawaannya emosi mulu tiap liat muka lo," sinis Ganang kemudian bangkit dan pindah duduk di atas sofa.

"Kalian berdua kenapa? Lagi ada masalah ya?" tanya Azkira menyadari ada yang aneh dari keduanya.

"Nggak." Gentar dan Ganang menjawab serempak.

"Terus Ganang kenapa bilang emosi tiap lihat muka kamu?" Azkira bertanya kala Gentar sudah duduk di bangku samping brankarnya.

"Tanya aja sama Ganang. Kenapa kamu malah nanya aku?"

"Kok kamu kesel?"

"Siapa yang kesel?"

"Itu jawabnya, kenapa ketus banget? Pake cemberut lagi," tanya Azkira menatap Gentar dengan kerutan di keningnya.

"Enggak kesel, Sayang. Aku biasa aja. Enggak ketus juga jawabnya."

"Ketus, Gen." Azkira tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Ketus kan, Nang, tadi jawaban Gentar?"

"Jangan tanya gue, tanya cowok lo sendiri," balas Ganang ikut-ikutan ketus.

"Kalian berdua kenapa sih? Lagi musuhan? Iya? Nggak mau berantem aja sekalian, pukul-pukulan sampe masuk rumah sakit, bedrest kaya gue begini, hah?" omel Azkira saking jengkelnya.

Selang beberapa detik, tiba-tiba kepala Azkira rasanya nyeri sekali. "Ah, sakit," rintih Azkira sembari memegang kepalanya. Matanya terpejam, ia tertunduk kala mendapati rasa nyeri yang begitu menyakitkan.

Here we go again, batin Azkira untuk kesekian kalinya ia merasa tersiksa karena sakit kepalanya.

"Ra? Kira, kenapa?" Gentar panik, ia memegang tangan Azkira yang terus mencengkeram kepalanya sendiri.

"Sakit," rintih Azkira tertahan.

"Gue panggilin dokter dulu." Ganang pun langsung keluar dan mencari dokter untuk mengecek kondisi Azkira.

"Sakit banget." Suara Azkira yang kian pelan diiringi isak tangis membuat Gentar menjadi  lebih panik. Ia memang tidak bisa merasakan seberapa sakit kepala Azkira, tetapi ia bisa memahami seberapa tersiksa gadisnya sekarang.

"Bentar ya, Ra, dokternya lagi dipanggilin," ucap Gentar pelan dan penuh perhatian.

"Sakit banget ya pasti? Maaf ya, Ra, gara-gara aku kepala kamu jadi sakit lagi."

Azkira terus merintih merasakan nyeri yang hebat di kepalanya. Meskipun sudah sering merasakan nyeri, tapi kali ini rasanya lebih nyeri daripada yang biasa ia rasakan.

"Dokter akan memeriksa kondisi pasien, mohon Anda keluar terlebih dahulu," ucap salah satu perawat yang ikut masuk ke ruang inap Azkira.

Gentar mengangguk dan perlahan keluar dari ruangan itu. Menghampiri Ganang yang berdiri menyender ke dinding.

"Gimana?" tanya Ganang.

"Lagi diperiksa sama dokter."

"Bukan itu," sahut Ganang. "Lo ngerti kan sekarang, apa yang bakal terjadi kalo Azkira tahu masalah lo sama Jella?"

"Kondisinya belum seratus persen membaik. Dia masih harus nahan rasa sakit, dan sakit yang dia rasain itu bisa muncul kapan aja," pungkas Ganang membuat Gentar terdiam memikirkannya.

"Lo tega ngeliat Azkira kesiksa terus kaya gitu? Tahan lo liat dia nangis karena nggak kuat nahan sakit kepalanya?" cecar Ganang penuh dengan penekanan.

"Terus gue harus gimana? Gue harus putus sama Azkira hah? Itu yang lo mau, Nang?" balas Gentar balik bertanya.

"Lo dari awal nggak suka kan gue pacaran sama Azkira? Lo nggak rela dia jadi milik gue?" lanjut Gentar dengan nada yang mulai meninggi.

"Ah bangsat," umpat Ganang sembari menyugar rambutnya ke belakang. Ia kesal sekali Gentar tidak mengerti maksud dari perkataannya.

"Susah ngomong sama lo," katanya.

"Intinya aja, Nang, lo mau gue ngapain? Kalo gue putus sama Azkira sekarang, sama aja gue nyakitin dia."

Ganang maju dan mendorong bahu Gentar hingga menubruk dinding di belakangnya. Ia menahan bahu Gentar agar tidak kemana-mana. Tatapan tajamnya hanya ia tujukan pada sepasang mata hitam legam di depannya.

"Lo dongo apa gimana sih, hah?" tanya Ganang pelan.

"Nggak ada yang nyuruh lo putus sama Azkira. Gue cuma mau lo pilih salah satu, selesein urusan lo sama Jella sekarang atau nunggu Azkira tahu sendiri dan kondisinya bisa jadi lebih buruk dari ini," katanya.

"Gue juga lagi usaha nyari bukti," ucap Gentar menyentak bahu Ganang. "Lo cukup diem, tutup mulut, jangan sampe Azkira tahu masalah ini."

"Bagus kalo lo inisiatif nyari bukti. Jangan Jella mulu yang ada di otak lo, pikirin tuh jalan keluarnya," sungut Ganang kemudian duduk dan menetralkan emosinya.

"Lo berdua kenapa di luar?" Arin bertanya sembari mengulurkan minuman pada Gentar.

"Azkira lagi diperiksa sama dokter tadi kepalanya tiba-tiba sakit," jawab Ganang apa adanya.

Arin lalu menilik dari celah kaca yang ada di pintu. Melihat ke dalam meskipun tidak terlalu jelas tetapi ia bisa melihat Azkira yang berbaring dengan mata terpejam.

"Cepet sembuh, Ra, gue nggak tega liat lo begini terus," lirih Arin dengan mata berkaca-kaca.

"Gimana, dok?" Arin langsung melayangkan pertanyaan kala dokter keluar dari ruang rawat inap Azkira.

"Kondisi pasien belum bisa kami pastikan pulih seratus persen, besok kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ada baiknya kalau saat ini pasien diberi waktu untuk beristirahat dulu," ucap dokter.

Arin mengangguk paham. "Makasih, dok."

Dokter tersebut tersenyum dan pamit pergi bersama beberapa perawat yang ikut mengecek kondisi Azkira tadi.

"Azkira sakit kepala gara-gara mikir buat ujian kali ya?" celetuk Adi.

"Bisa jadi tuh," timpal Fiki.

"Jangan ada yang masuk ke dalem, biarin Azkira istirahat dulu," pesan Gentar.

"Lo mau kemana?" Fiki bertanya.

"Nyebat bentar," jawab Gentar kemudian melangkah pergi.

"Lo, Nang, mau kemana?" Kali ini Adi yang bertanya.

"Toilet, kenapa? Mau ikut?"

Adi menggeleng cepat. "Ogah banget. Emang gue apaan lo ke toilet gue ikutin?"

"Siapa tau kepo?" ucap Ganang sengan seringaian kecil.

"Dih si anjing," decih Adi yang sudah traveling pikirannya.

"Muka lo tuh kaya anjing." Fiki melempar plastik ke wajah Adi.

"Gue ganteng gini dibilang mirip anjing."

"Terus mirip apa?"

"Mirip monyet, kembaran lo!"

Arin menabok bahu Adi. "Jangan teriak-teriak ini rumah sakit bloon!" tegurnya pelan.

"Dasar bloon."

Adi mendelik saat Fiki ikut mengklaim dirinya bloon. "Biasanya doa orang terdzolimi itu peluang dikabulinnya gede," ucapnya pelan.

"Bismillah, Ya Tuhan berikanlah kesehatan kepada Azkira agar hamba ada yang belain kalau lagi dinakalin sama Fiki dan Arin, Aamiin." Adi mengusap wajah menggunakan kedua telapak tangannya.

•••

Hari berikutnya tidak ada lagi belajar kelompok. Mami Azkira tidak mengizinkan putrinya berpikir keras untuk ujian. Meskipun nanti Azkira tetap mengikuti syarat kelulusan tersebut, Mami tidak akan menekan Azkira agar mendapat nilai bagus. Berapapun nilainya, Mami akan sangat menghargai usaha putri sulungnya.

Siang ini Bunda Gentar pun datang. Beliau membawakan sup iga untuk calon mantu kesayangannya. Pun menyampaikan salam Kakek Gentar pada Azkira karena belum bisa menjenguk lagi.

"Calon mantu Bunda, boleh nggak Bunda minta kamu cepet sembuh? Bunda pengin sekali jalan-jalan sama kamu, jajan es krim sama kamu, pokoknya Bunda kangen ngelakuin semua hal bareng kamu," ucap Bunda sembari mengusap punggung tangan Azkira yang berada di genggamannya.

"Kira juga pengin cepet sembuh, Bunda."

Bunda tersenyum. "Semoga cepet sembuh ya, Nak," balasnya.

"Aamiin," timpal Azkira, Mami, dan Gentar yang berada di ruangan itu.

"Tiap hari Bunda nggak pernah lupa nanyain kabar kamu, Ra," adu Gentar pada Azkira.

"Oh ya?" Azkira membalas, senyum manisnya terulum.

"Iya." Gentar mengangguk. "Ayah juga sering nanyain kabar kamu. Bang Tegar sama kakak ipar juga. Kayanya semua keluarga aku selalu kepo tentang kondisi kamu. Mereka semua sayang banget sama kamu."

Azkira menerima uluran tangan Gentar, mengenggamnya erat. Senyum manisnya lagi-lagi terulum dengan dimple yang semakin mempercantik wajahnya. Hatinya terenyuh dan merasa beruntung mendapat keluarga baru yang sangat menyayanginya.

Entah apa kebaikan yang ia perbuat dulu hingga mendapat timbal balik yang begitu indah.

"Semua orang sayang Kira, kita doain yang terbaik buat kesembuhan Kira. Jadi Kira juga harus semangat buat sembuh ya? Anak Mami kan hebat. Katanya mau taekwondo lagi nanti kalo udah sembuh, iya kan?" ucap Mami mengalem Azkira.

Perempuan itu menganggukkan kepalanya, seiring dengan sebulir air yang berhasil lolos dari pelupuk matanya. Terenyuh mendengar ucapan maminya.

"Makasih Mami, Bunda, Gentar. Makasih semangatnya, makasih juga untuk doanya yang nggak pernah berhenti buat Kira," ucap Azkira.

"You deserve it, Cantikku," ucap Gentar sembari menyeka jejak air mata Azkira yang mengalir membasahi pipi mulusnya.

Azkira menoleh ke arah Gentar. Mengunci pandangan laki-laki itu yang hanya tertuju padanya. Ia memberikan senyuman terbaiknya. Kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk Gentar.

"Aku boleh bales pelukan kamu? Kamu nggak akan kesakitan kan kalo aku peluk?" tanya Gentar takut menyakiti gadisnya.

"Boleh, Gentar. Kalaupun sakit nggak akan kerasa, kan kamu obatnya," jawab Azkira membuat Gentar lega dan membalas pelukannya.

Mami dan Bunda hanya bisa saling melempar senyum melihat sejoli itu saling memeluk, mencurahkan kasih sayang satu sama lain.

"Cepet sembuh, Sayang. Nanti kalo udah sembuh kita jalan-jalan sama Renal. Bertiga aja biar seru," ucap Gentar usai mengendurkan pelukannya.

"Bunda sama Mami nggak diajak?" tanya Bunda pada putra bungsunya.

"Bunda sama Mami pergi sendiri aja. Rencana ini cuma khusus anak muda," jawab Gentar diakhiri kekehan khasnya.

"Mami masih punya jiwa anak muda loh, Gentar," canda Mami.

Mereka tertawa riang karena candaan itu. Ruangan ini semakin terasa hangat. Pun rasanya sekarang Azkira hanya sedang duduk di sofa rumah menyimak obrolan seru keluarganya. Ia seperti tidak berada di rumah sakit yang khas dengan baunya.

•••

Baru lima menit sampai di rumah, Gentar harus pergi lagi. Tegar, abangnya, yang melihat adiknya hendak pergi lantas menghentikannya.

"Lo mau ke mana lagi?"

"Pergi bentar."

Tegar mencekal bahu Gentar. Akhir-akhir ini Bunda sering cerita padanya kalau Gentar jarang di rumah.

"Mau nongkrong?"

"Enggak."

"Terus lo mau ke mana? Udah malem gini."

Gentar menepis lengan abangnya, kemudian melanjutkan langkahnya ke luar rumah. Ponselnya terus berdering karena telepon dari Jella. Cewek itu rewel lagi.

"Tasqia ke sini mau ketemu sama lo, tapi lo tinggal ngelayap?" Tegar berkata.

"Gue cuma pergi bentar, Bang," balas Gentar sembari memakai helmnya.

"Lo akhir-akhir ini nggak pernah di rumah, Gentar. Gini kelakuan lo kalo ayah nggak di rumah? Disuruh jagain bundanya malah ngelayap terus," ujar Tegar marah sembari mecabut kunci motor Gentar.

"Balikin, Bang, gue lagi pusing jangan nambahin pikiran gue dulu," keluh Gentar sudah malas berdebat dengan abangnya.

"Ya kalo pusing di rumah, nggak usah pergi. Nongkrongnya masih bisa besok!"

"Kan gue udah bilang tadi, gue bukan mau nongkrong! Gue jarang nongkrong, Bang. Gue ada urusan lain."

"Urusan apa? Lo tuh kebiasaan semua-muanya diurus sendiri. Gue abang lo, Gen, kalo ada apa-apa cari gue. Minta tolong ke gue," ucap Tegar mulai melunak kala melihat wajah lesu adiknya.

"Gue masih bisa handle ini sendiri," ucap Gentar.

"Batu banget lo ya dibilangin." Tegar mengembalikan kunci motor adiknya, kemudianelanjutkan ucapannya, "pergi aja nggak usah pulang sekalian."

Usai mengatakan itu Tegar masuk ke dalam rumahnya, membiarkan Gentar pergi ke tempat tujuannya.

Seperti biasa, di sepanjang jalan Gentar mengumpat tidak ada henti-hentinya. Ia berharap semua ini segera berakhir.

Kalau ditanya capek atau tidak? Jelas jawabannya capek, capek banget malah. Tapi ini semua Gentar lakukan untuk melindungi Azkira. Gentar tidak mau Jella nekat menemui Azkira dan menceritakan semua yang terjadi selama ini. Gentar takut Jella memanipulasi semuanya.

Saat Gentar hendak masuk ke wilayah apartemen Jella, ia melihat cewek itu keluar dari rubicon hitam. Gentar jadi semakin kepo siapa pemilik rubicon itu.

"Mobil pacarnya bukan rubicon, terus itu siapa?" gumamnya.

Gentar segera memarkirkan motornya dan bergegas masuk ke dalam gedung apartemen. Mengejar Jella yang hendak masuk ke dalam lift.

"Tunggu," pinta Gentar saat pintu lift hendak tertutup.

"Kok kamu cepet banget sampenya?" Jella tampak terkejut. Tetapi ia cepat mengkondisikan raut wajahnya.

"Dari mana?"

Jella pura-pura tidak mendengar dan sibuk menekan tombol lift menuju lantai empat dimana unitnya berada.

"Dari mana, Jel?" tanya Gentar lagi.

"Aku?" Jella balik bertanya. "Aku tadi keluar bentar cari angin. Bosen di kamar terus," jawab Jella apa adanya.

"Jujur aja, gue nggak akan marah."

Jella lantas terkekeh sumbang. "Ya buat apa juga kamu marah? Memangnya kamu punya hak marahin aku?" tanyanya.

Dalam hati Gentar merutuki kebodohannya. Apa yang dikatakan Jella memang benar, ia tidak ada hak untuk memarahi cewek itu.

"Tadi pergi sama siapa? Pacar lo?"

"Kamu kenapa jadi kepo sih? Udah sadar sekarang? Sadar kalo kamu harus perhatian sama aku? Iya?" cecar Jella.

Tingkah Jella tidak seperti kemarin-kemarin. Biasanya cewek itu berbicara dengan halus dan manja. Bahkan sering merengek pada Gentar, tetapi kali ini tidak. Nada bicaranya terdengar ketus dan cuek. Gentar tidak tahu mengapa Jella tiba-tiba berubah.

"Lo ngapain nyuruh gue ke sini?" tanya Gentar mengikuti langkah cewek itu keluar dari lift.

"Ya emang kenapa? Kamu kalo nggak disuruh nggak bakal tuh ada inisiatif dateng sendiri."

"Jel, gue lagi males debat," balas Gentar. "Lo mau apa? Gue beliin sekarang."

Cewek itu menghentikan pergerakannya. Kemudian berbalik menghadap ke Gentar. Jella menyunggingkan senyum mirisnya.

"Nggak semua hal bisa dibeli pake uang, Gen. Gue cuma butuh pertanggungjawaban dari lo. Apa lo lupa sekarang gue lagi hamil anak lo hah?" ujar Jella mendramatisir keadaan.

"Lo selalu minta gue cek ke dokter buat buktiin yang gue kandung ini bukan anak lo, tapi lo nggak pernah sekalipun nemuin gue atas kemauan diri lo sendiri."

"Lo selalu nuntut gue buat jujur, tapi lo sama sekali nggak pernah mau ngertiin posisi gue," lanjutnya dengan sebulir air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Gentar merasa ada gelenyar yang menyengat di dalam tubuhnya melihat Jella menangis. Perasaannya pada Jella sudah mati sejak lama, tetapi detik ini ia merasa perasaan itu hadir kembali. Bukan cinta, tapi iba. Air mata Jella seperti air mata sungguhan yang mengungkapkan kesedihan yang dia rasakan.

"Kita ngobrol di dalem ya, nggak enak nanti kalo ada orang yang lihat," ucap Gentar membukakan pintu untuk Jella.

"Lo punya air putih yang nggak dingin?" tanya Gentar berjalan ke dapur. Membuka laci-laci kecil yang ada di sana, mencari air mineral.

"Minum dulu," suruh Gentar pada Jella setelah membuka tutup botolnya.

Jella mengunci tatapan Gentar. Menggenggam kedua tangan cowok itu dan berkata, "Apa perlu aku gugurin janin ini?"

"Jel, jangan gitu. Anak itu nggak salah," balas Gentar menolak keras keinginan Jella.

"Terus aku harus gimana, Gentar? Aku nggak mau hamil di luar nikah kaya gini. Kalo orang tua aku tau, gimana sama nasib anak ini?"

Gentar terdiam. Memikirkan kata-kata Jella. Pasti akan sangat sulit orang tua Jella menerima kondisi anaknya yang sedang mengandung seperti ini. Meskipun yakin yang dikandung Jella bukan anaknya, Gentar tetap merasa iba. Kasihan kalau Jella harus mengurus semuanya sendiri.

"Gue nggak bisa nikahin lo, Jel. Tapi gue bakal berusaha buat tanggung jawab," ucap Gentar.

"Harus, Gen. Kamu emang harus tanggung jawab. Aku nggak peduli kamu enggak mau mengakui ini anak kamu atau bukan, tapi yang jelas kamu harus tanggung jawab."

"Iya, gue bakal tanggung jawab. Tapi inget kesepakatan kita. Lo nggak boleh ketahuan sama siapapun kalo lo lagi hamil. Terutama keluarga gue dan Azkira," ucap Gentar.

"Bisa kan, Jel?" tanya Gentar. "Sebagai gantinya gue bakal nemenin lo sampe gue dapet bukti kalo itu bukan anak gue. Setelah gue dapet bukti itu, gue bakal cari siapa ayahnya sampe ketemu. Gue bakal bawa orang itu ke lo, dan bikin dia ngakuin kalo itu anaknya," lanjut Gentar mencoba meyakinkan Jella.

"Serius kamu mau nemenin aku? Kamu bakal dateng ke sini aku tanpa aku minta? Janji?" Jella mengulurkan jeri kelingkingnya pada Gentar.

Dengan berat hati Gentar mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya pada jari Jella. "Iya, gue janji."

Maaf lagi Azkira, aku harus ngelakuin ini demi kebaikan kita bersama, ucap Gentar dalam hati. Berharap keputusan yang ia buat tidak berakhir dengan penyesalan.

To Be Continue

Ada yang tau Rubicon Hitam punya siapa??? Coba jawab di komen pengin liat siapa aja yang udah tau orangnya

Engga lupa untuk bilang makasih banyak buat kalian yang masih stay baca Gentar meskipun jarang update💘

Sampai jumpa di part selanjutnya yaa!

Twitter : @gentariodewa

Ceritanya RENZIO BHADRIKA judulnya 520 MEANINGS

Seguir leyendo

Tambi茅n te gustar谩n

93.6K 4.8K 60
Arga Anendra. Seorang ketua tim basket yang ahli dalam 'segala hal'. Tampan, most wanted SMA Cahaya Pelita, jago mengambil gambar dengan kamera kesay...
1.3M 64.9K 84
[sudah terbit + part masih lengkap] Diterbitkan oleh Kimbabpublisher. Gathan Revanorld adalah cowok tipe keras kepala, badboy tapi smart, cuek tapi c...
4.1M 243K 60
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
660K 38.8K 36
Pelita Dzafina gadis cupu yang berhasil membuat seorang Ketua geng sekaligus Most Wanted di SMA Cendana jatuh pada nya. Alex Vernon Xavier, Ketua Gen...