Tala dan Alin ☑️

By liliofvalley

10.2K 2.2K 195

[CERITA SELESAI DAN LENGKAP] "Dia adalah Khandra Arutala Vijendra sesosok pria yang selalu sempurna dimata ku... More

1. Sekretaris bayangan
Chat: Udah suka Alin belum?
2. Alin cemburu
Chat: kesehatan Tala melebihi gengsi Alin
3. Bingung harus apa
Chat: Khandra galau?
4. Karena dia Khandra
5. Pengakuan
6. Kejutan
8. Kecupan untuk omong kosong
9. Sekilas kenangan
10. Hanya Alin.
11. Worst
12. Help!
13. Ajarkan aku untuk melupakan mu
14. Know your place!
15. Final
16. Tala dan Alin [Ending]

7. Jujur itu baik, namun menyakitkan

459 101 3
By liliofvalley

Selamat membaca semuanya

Jangan lupa vote yaa~

"Shht! Jangan ucapkan kalimat apapun! aku masih marah." Ucap Alin begitu Khandra baru ingin membuka mulut yang membuatnya langsung mengatupkan bibirnya dan mengangguk lesu.

Khandra baru saja tiba di rumah Alin, atas pemaksaan yang dilakukan Khandra.

"Sudah makan?" Tanya Alin yang di gelengi kencang oleh Khandra hingga membuat Alin khawatir takut kalau kepala Khandra akan copot sakin semangatnya Khandra menggeleng.

Alin mengangguk, "Makan bareng?" Tanyanya yang diangguki semangat oleh Khandra.

Alin meringis, "jangan terlalu kencang nanti kepalamu copot" ujar Alin sambil mengelus pipi Khandra.

Setelah itu ia pergi untuk menyiapkan makanan yang Khandra bawa untuk keduanya makan. Meninggalkan Khandra yang senyum-senyum sendiri, kupingnya sudah memerah. Kakinya mengikuti langkah Alin kemana pun.

Merasa kesal karena diikuti terus, Alin berhenti dan menoleh menatap Khandra sambil berkacak pinggang, "berhenti mengikuti Khandra!" Ucapnya yang tak dihiraukan kekasihnya itu, ya karena dirinya yang dilarang berbicara oleh Alin. Kasian wkwkwk.

Alin yang ingin berjalan ke meja makan mengurungkan niatnya, ia kembali mundur dan menarik tangan Khandra untuk ikut duduk.

"Makasih ya" Alin tersenyum dan memakan makanannya setelah mereka selesai berdoa. Matanya menatap Khandra bingung. "Kenapa diem aja sih!?" Tanyanya kesal, karena kekasihnya itu hanya mengangguk dan menggeleng.

Khandra tetap diam sambil menatap Alin.

"Ngomong Tala!"

Khandra berdehem, "kau yang menyuruhku untuk berdiam diri." Ujar Khandra yang membuat Alin terdiam kemudian tertawa.

Setelah selesai mencuci piring, Alin dan Khandra duduk di ruang tamu sambil menonton.

Khandra menatap Alin, "sini deh" ucapnya meminta Alin untuk mendekat.

Alin menurut dan mendekat, "kenapa?"

"Dengerin deh" ucap Khandra membawa Alin untuk mendengar suara degup jantungnya.

"Ini degup jantung Alan." Ucap Khandra yang membuat Alin menarik tangannya dan menatap Khandra tak percaya.

"Kepalaku pusing, semua? kenapa tiba-tiba!?? Aku punya tumor? Abang aku? Alan? donor jantung?" Alin sungguh bingung, hidupnya kenapa selucu ini? Dan kenapa semua terjadi diwaktu yang bersamaan? Ayolah apa dia tak boleh bahagia dan merasa tenang sejenak?

Khandra memeluk tubuh kekasihnya itu, "aku baru tau setelah papa cerita. Alan sakit sejak dia masih bayi, ketika umurnya 6tahun disitu Alan mengalami masa kritis dan ketika ia sudah mati otak, mama dan papamu langsung mendonorkan jantungnya untuk aku." Penjelasan Khandra yang singkat membuat Alin melepas pelukan Khandra.

Lagi, apa ini semua masuk akal? Tumor? Khandra? Alan? Wah luar biasa!

"Aku mau istirahat, Tala lebih baik kau pulang sekarang, makasih. Sampai ketemu." ucap Alin yang segera berdiri dan berjalan menuju kamarnya.

Khandra meremas rambutnya, sebelum pergi meninggalkan rumah Alin. Setidaknya Khandra akan berusaha jujur, Alin harus tau semuanya. Entah akhirnya akan seperti apa, ia akan berusaha sebaik mungkin.

Tiga hari setelah Alin sendiri, hari ini dirinya meminta Khandra untuk bertemu dengannya. Setelah berpikir semuanya, walau tetap terasa tak masuk akal. Namun ia tak ingin menyesal karena egonya, toh semua sudah terjadi, ia sudah kehilangan semuanya, apa ia harus mengorbankan Khandra juga karena rasa kecewa atas nasibnya?

Ini adalah pilihan yang terbaik, menjalani hidup tanpa harus menyesal.

"Tala" teriak Alin begitu Khandra keluar dari mobilnya.

Khandra tersenyum dan berjalan kemudian memeluk tubuh gadisnya seerat mungkin, begitu juga dengan Alin. Ia sangat merindukan Khandra.

"Kita ke dokter ya?" Tanya Khandra tiba-tiba. Alin mengangkat kepalanya menatap Khandra yang juga sedang menatap dirinya tanpa melepaskan pelukan keduanya.

Alin hanya mengangguk, "mau terapi ya?" Tanyanya dengan wajah polos yang membuat dada Khandra terasa sakit.

Khandra mengeratkan pelukannya dan mengecup pucuk kepala Alin. "Enggk sayang, kita mau konsultasi aja." Ujar Khandra yang berusaha tegar.

Entahlah akhir-akhir ini Khandra cukup kacau. Keduanya sama-sama bingung dan hancur, dan keduanya sama-sama berusaha untuk saling menguatkan.

Lihatlah keduanya hari ini bertemu seolah kemarin tidak ada masalah apapun.

Alin tersenyum dan mengangguk, "ayok, aku kunci pintu dulu."

Keduanya sudah tiba di rumah sakit, dokter mengatakan tak perlu obat apalagi terapi. Dirinya hanya perlu mengubah pola hidup dan jangan stres.

Mendengar kabar baik ini tentu menjadi penyemangat untuk keduanya.

"Ini gk mau lepas?" Tanya Alin menunjuk tangannya yang masih di genggam Khandra.

Khandra menoleh dan tersenyum, "gk mau" ucap Khandra yang semakin mengeratkan genggamannya.

Alin tersenyum namun kemudian mengerucutkan bibirnya, "tapi aku mau buka cookies Tala." Sungut Alin yang membuat Khandra tertawa kemudian melepaskan genggamannya.

Setelah mengantar Alin, Khandra segera pulang karena ia perlu melanjutkan pekerjaannya.

Sejujurnya Alin tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang, lebih tepatnya ia tak tau apa yang dirinya inginkan, ia tak mau menyesal, tapi apa yang ia lakukan saat ini sudah tepat?

Banyak pertanyaan di otaknya, sangat banyak hingga rasanya kepalanya ingin pecah.

Hingga pertanyaan yang paling menakutkan membuat dirinya ragu untuk bertahan dengan Khandra.

No! Alin harus mikir positif! You can do it!

Ya lagi-lagi Alin harus menyemangati dirinya sendiri.

Suara mobil yang Alin kenal membuat dirinya segera beranjak.

"TANTE! OM! ROXANA!!" Teriak Alin semangat. Sejak terakhir kalinya ia pergi ke rumah keluarga Vijendra dirinya belom siap bertemu keluarga Vijendra yang ia anggap sudah seperti keluarga kandungannya.

Namun tidak mungkin ia mengusir ketika mereka datang bukan?

"Hai sayang, gimana keadaanmu baik-baik aja?" Tanya Rosalina yang langsung memeluk tubuh Alin.

Alin tersenyum dan mengangguk, "Tala jaga Alin dengan baik kok!".

Alin menatap Roxana adek Khandra, "hey kok nangis?" Tanya Alin begitu mendapati mata Roxana sudah memerah dan pipinya sudah basah.

"Kak alinn" Roxana memeluk tubuh Alin seerat mungkin.

Tentu hal ini membuat kedua orangtua disana merasakan nyeri di hati mereka.

Alin menahan air matanya, "ayok masuk dulu." Ucap Alin yang masih dipeluk Roxana.

Kehadiran keluarga Vijendra kecuali Khandra disini tentu dengan maksud.

Setelah perbincangan menyenangkan masuklah ke topik yang serius.

"Om mau ceritain semua secara jujur, om dan sekeluarga sudah siap jika kau membenci kami atau hal lainnya. Sebelumnya om benar-benar senang dengan kehadiranmu, makasih sudah bertahan hingga detik ini. Kau anak yang luar biasa, papa, mama dan Abangmu pasti bangga disana. Mereka bangga melihat putrinya bisa bertahan di dunia yang kejam ini. Maaf karena om baru bisa menceritakan ini sekarang." Vijendra menatap Alin yang sudah menegang di tempat duduknya.

Hal ini tentu membuat jantung Alin berdegup jauh lebih cepat, dirinya ingin tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh kepala keluarga Vijendra padanya.

Alin terdiam hingga kepala keluarga Vijendra itu selesai mengatakan semuanya.

Air mata Alin terus mengalir tanpa keluarnya suara. Roxana dan Rosalina sudah saling berpelukan.

Ini bukan hal yang mudah diterima, ini fakta yang sangat berat.

Suasana yang berubah menjadi dingin membuat Alin putus asa atas fakta yang ia terima.

"Kau tak harus memaafkan kami Lin. Om harap kau akan selalu bahagia, dan Alin.. om dan keluarga selalu ada untuk untukmu kapan pun itu." Ucap Vijendra lagi.

Alin menarik nafasnya, menghapus air mata dari pipinya dan berusaha tersenyum.

"Alin gk mungkin membenci keluarga Vijendra yang sudah merawat Alin dari kecil, Alin yakin ini juga berat untuk om. Dan Alin tidak marah dengan fakta bahwa Khandra menerima donor jantung dari Abang Alin, yang bahkan belum pernah Alin liat. Alin hanya bingung harus bersikap apa, semua terjadi tiba-tiba. Alin bersyukur karena setidaknya masih ada om dan Tante yang mau nampung Alin dan besarin Alin seperti anak kandung. Alin berterimakasih untuk semuanya, tapi mungkin Alin butuh waktu untuk nenangin perasaan dan pikiran Alin." Ucap Alin masih dengan senyum manisnya yang kini bergetar.

Vijendra tersenyum dan mengangguk, sebelum memeluk Alin yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Sayang, kalau kau ingin dimasakin sesuatu bilang Tante ya?." Ucap Rosalina yang menangis sambil memeluk tubuh Alin.

Roxana menangis tersedu-sedu, "kak Alin, Roxana sayang Kaka banget. Kaka kalau butuh temen telpon aku aja. Dan jangan tinggalin bang Khandra, aku ngeship kalian banget"

Alin tersenyum dan membalas pelukan Roxana.

Setelah kepergian keluarga Vijendra, Alin merenung di atas kasurnya.

Dia harus apa sekarang? Hal ini tak membuat perasaanya terhadap Khandra hilang, atau membuatnya membenci keluarga Vijendra, tidak sama sekali. Namun ia bingung apa menetap disisi mereka akan menjadi pilihan yang baik?

Dan bagaimana jika Khandra meninggalkannya? Ketika penyakit di dalam tubuhnya bukannya hilang tapi justru memburuk? Apa Khandra tak akan berpaling jika ia menjadi buruk rupa?

______

Aku ingin engkau selalu hadir dan temani aku di setiap langkah yang meyakiniku kau tercipta untukku.

-Tercipta untukku -ungu

Continue Reading

You'll Also Like

3K 353 6
[M] Kisah cinta berlatar belakang tahun 1927. Ft. 97L
35.3K 6.5K 26
Hanya saja ... Rose merasa Bastian selalu tau di mana dirinya berada.
5.2K 389 12
Jadi orang jangan terlalu baik. Belum tentu timbal balik. Tapi berbuat baik, bisa jadi tumpuan balik. Dan mereka lupa, jika bukan di dunia, maka timb...
1.9K 161 12
"Engga wahid engga like". "No Wahid No Ajibb".