He is Crazy

By ShintiaMonica4

752K 55.1K 7.4K

"Kau istriku!" kata laki-laki itu dengan tegas. Ia mengcengkeram tangan Gesya dengan kuat. "AKU BUKAN ISTRIMU... More

01. Kau Istriku
02. Kaivan Namanya
03. Makin Gila
04. Foto Pernikahan
05. Pelukan
06. Malam Panjang
07. Persamaan
08. Ketahuan
09. Aku membencimu, Kaivan!
10. Tidak Mau Melepaskan
11. Liburan
12. Pernikahan
13. I Love You
14. Amarah
15. Penculikan
16. Mencoba Menikmati
17. Malam Pertama
18. Anak Tiri
19. Menikah Lagi?
20. Kalung
22. Pelukan
23. Hukuman
24. Cincin
25. Dia Benar-benar Marah
26
27.
28.
29.
🍁
30.

21. KABUR

14.4K 1.3K 231
By ShintiaMonica4

21. KABUR

             “DI mana kau membuangnya?” Kaivan melepaskan pelukan membuat tubuh Gesya meluruh di tanah.

“Di sana.” Gesya menunjuk tempat di mana ia membuang kalung pemberian Kaivan. Gesya tidak berani menatap Kaivan, ia menundukkan kepalanya dengan terisak pelan. Kalau sampai harus memenuhi nafsu Kaivan lagi, ia sungguh tidak sanggup.

“Berhentilah menangis.” Kaivan mengangkat tubuh Gesya dengan lembut.

Gesya membekap mulutnya. Berusaha tidak mengeluarkan suara dengan cara itu. Namun air matanya masih senantiasa keluar. Terasa sulit untuk menghentikan itu. Kaivan pemarah. Hanya tidak mau menemani makan saja Kaivan sudah marah, tidak seperti Bian yang selalu sabar dengannya.

“Maaf,” kata Gesya pelan begitu tubuhnya didudukkan di bangku taman. “Aku sudah lelah. Aku tidak kuat lagi. Aku sungguh menyesal sudah membuangnya. Aku minta maaf, Kaivan. Jangan marah ya. Please ....” Gesya menyatukan tangan dan membawanya ke depan bibir, memohon maaf pada pria yang belum ada satu Minggu menjadi suaminya.

“Jangan menangis,” ulang Kaivan mengabaikan permintaan Gesya. Lihatlah wajah istrinya sekarang, begitu kelelahan. Mana mungkin ia tega memaksa Gesya lagi. Ditambah dengan air mata yang entah kenapa begitu menyiksa batinnya. Ia tidak bisa melihat itu, seakan-akan ia sudah melakukan hal yang sangat kejam pada istrinya, padahal yang ia beri adalah kenikmatan.

Kaivan menghapus air mata Gesya dengan lembut. Jempolnya bergerak penuh kehati-hatian untuk menyingkirkan air mata itu. “Aku tidak akan menghukummu jika kau berhenti menangis sekarang,” katanya sambil mendaratkan kedua tangannya di kepala Gesya. Ia membawa kepala Gesya mendekat pada bibirnya dan memberikan kecupan hangat di dahi wanita itu.

Gesya meremas tangannya. Ini gila! Bagaimana mungkin jantungnya berdebar hanya karena kecupan itu. Dan apa ini, kenapa pipinya terasa panas?! Apa sekarang pipinya tengah memerah hanya karena kecupan Kaivan?! Haissh, sial! Gesya mengutuk hatinya. Dia segera menundukkan wajahnya begitu bibir Kaivan minggat dari dahinya.

Gesya membulatkan matanya kala menemukan perut Kaivan yang tak terbalut apapun. Laki-laki ini agaknya kurang sadar diri. Apa dipikir Gesya akan tergoda oleh perut itu?! Oh, tentu saja iya! Gesya bahkan tidak bisa menghentikan pikiran kotornya begitu melihat perut itu.

Astaga, astaga, astaga! Gesya memejamkan mata rapat-rapat. Bagaimana mungkin, dia baru saja membenci Kaivan yang memperkosanya. Namun bayangan di mana Kaivan bergerak di atasnya kini malah seperti candu, tidak mau pergi dan terus kembali. Sungguh, Kaivan sangat sexy—AH STOP, GESYA!

“Kenapa?” Kaivan merasa heran melihat istrinya yang tiba-tiba memukul kepala.

“Tidak papa,” jawab Gesya cepat. Dia menangkup pipinya. Jangan sampai Kaivan tahu jika pipinya memerah. Laki-laki itu pasti merasa senang. Perlu Kaivan tahu saja, hatinya masih seratus persen milik Bian. Kaivan masih menjadi godaan kecil yang sering terjadi seperti sebelum-sebelumnya.

“Tunggu sebentar. Aku akan mencari kalung itu lebih dulu. Di sini dingin, kau pasti kedinginan.” Kaivan beranjak pergi mencari kalung.

Gesya menatap dari belakang. “Jika tahu dingin harusnya kau menyuruhku masuk ke dalam, bukan menunggu,” omelnya dengan suara pelan, takut jika Kaivan mendengar dan malah meledak seperti bom.

“Kau menemukannya?” tanya Gesya retoris. Jelas-jelas Gesya melihat Kaivan memegang kalung berbandul kunci itu, tapi masih bertanya apa Kaivan menemukannya. Bukankah pertanyaannya sangat tidak guna?

“Hm. Jangan dibuang lagi. Jika aku tidak menemukan kalung ini di lehermu, bersiap saja, kau akan berakhir lemas di atas ranjang.” Kaivan berjalan mendekati Gesya yang kini tengah mencebikkan bibir kesal.

“Dasar mesum.” Gesya memutar bola matanya. Awas saja jika Kaivan mesum juga pada perempuan lain. Ia paling benci pada laki-laki yang tidak bisa menjaga pandangannya.

Kaivan mulai memakaikan kembali kalung itu di leher Gesya dan Gesya terima-terima saja tanpa penolakan.

“Ayo ke dalam,” ajak Kaivan begitu selesai.

Gesya mengamati kalung yang melingkar di lehernya. “Duluan saja, aku susah jalannya. Kalau bersamaku kau akan marah-marah, aku terlalu lambat.” Gesya membuang muka tidak mau menatap Kaivan.

“Marah lagi?" tanya Kaivan yang paham maksud Gesya. Tentu saja Kaivan tahu sebab Gesya kesusahan berjalan, itu karenanya. Kaivan sadar diri.

“Tidak. Aku tidak marah,” balas Gesya ketus. “Aku hanya bertanya-tanya kenapa suamiku tidak punya otak. Apa dia tidak berpikir jika itu pertama bagiku? Bagaimana jika aku trauma dan tidak mau disentuhnya lagi. Dia memang bodoh! Tidak punya hati! Aku membencinya!”

“Ayolah, itu juga yang pertama bagiku. Tapi aku tidak membencimu.” Kaivan mengangkat tubuh Gesya. Membiarkan kaki Gesya melingkar di pinggangnya.

“Yang pertama?” Gesya tertawa. “Mana mungkin. Jangan membohongiku, Kaivan. Dan diam saja, jangan banyak omong. Semakin aku ingat aku mendapat bekas, semakin aku marah dan ingin membunuhmu!” Napas Gesya menderu kesal. Yang pertama? Hahaha! Kaivan pikir dia pelawak?! Itu tidak lucu sama sekali!

“Kau tidak percaya? Pamanku meninggal karena terkena HIV, Daddy selalu mengawasi dan mengomeliku. Jika aku sudah melakukan sex sebelum menikah denganmu, pasti dia akan membuatku jatuh miskin.”

“Kau bohong?” tanya Gesya menatap Kaivan sepenuhnya.

“Apa aku terlibat sedang berbohong?” Kaivan balik bertanya membuat Gesya menggeleng. Tidak ada kebohongan di mata Kaivan. Jika apa yang dikatakan adalah benar, Gesya merasa lega. Ia kira dia mendapatkan bekas orang lain.

“Aku yang pertama ‘kan?” tanya Gesya lagi dan Kaivan mengangguk. Hal itu membuat senyum Gesya mengembang. “Syukurlah.” Dia melingkarkan tangannya di leher Kaivan. Ia menopang kan dagunya di bahu suaminya. Matanya menatap ke bawah, punggung Kaivan yang ... Astaga! Sangat penuh dengan cakarannya.

Gesya mengigigit bibir bawahnya. Matanya melirik kukunya yang panjang. Tidak, tidak. Itu bukan masalah untuk Kaivan. Rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa nikmat yang laki-laki itu dapat. Luka itu sangat kecil. Pasti tidak terasa apa-apa oleh Kaivan.

“Ingin honeymoon di mana?” tanya Kaivan tiba-tiba membuat Gesya menarik tubuhnya agar bisa menatap Kaivan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

“Paris?”

“No, no, no. Tidak mau.” Gesya kembali memeluk leher Kaivan.

“Jepang?”

“No.”

“Italia?”

“Tidaaakk.”

“New Zealand?”

“Ck, tidak mau.” Gesya menatap Kaivan sebal.

“Mau di mana?” tanya Kaivan masih sabar.

“Terserah, Kaivan. Terserah. Kau tidak tahu arti kata terserah?” tanya Gesya balik membuat Kaivan menghela napas pelan.

“Oke.”

“Di mana?” tanya Gesya penasaran karena Kaivan terlihat seperti sudah memutuskan.

“Terserah.”

“California?”

“Kau mau ke sana?” tanya Kaivan membuat Gesya berpikir untuk sejenak.

“Tugas kuliahku banyak. Aku sudah libur terlalu lama.”

♡♡♡

Calon Ibu Mertua
Gesya, sedang di mana? Kau sibuk? Bian kecelakaan

Degh!

Dalam sekejap jantung Gesya terasa berhenti berdetak. Perempuan itu syok ketika membaca pesan dari ibu Bian.

Bian! Hatinya menjerit. Apa kekasihnya akan baik-baik saja?! Astaga. Gesya tidak bisa tenang. Tangannya bergetar. Bian tidak mungkin kenapa-kenapa bukan? Laki-laki itu pasti baik-baik saja. Ya baik-baik saja. Gesya yakin itu.

Calon Ibu Mertua
Kalian sedang ada masalah? Kata Bian kau tidak memberi kabar. Bian bilang mungkin kau sedang marah. Dia mabuk-mabukan dan akhirnya kecelakaan

Astaga, aku tidak bisa berhenti menangis.

Maaf. Aku tahu kau sudah menikah, tapi Bian sangat membutuhkanmu sekarang.

Dia kritis.

Gesya hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata yang siap jatuh. Segera ia simpan ponselnya di bawah bantal dan diam-diam menatap Kaivan yang tengah memijat kakinya. Ia baru saja merengek jika tubuhnya terasa remuk semua. Kaivan menawarkan pijatan yang dengan malu-malu ia terima.

Sekarang harus bagaimana? Ia harus menemui Bian. Namun mendapatkan izin dari Kaivan mustahil. Mana mungkin Kaivan mau memberikan izin.

Gesya mengigigit kukunya. Ia yang tengah berbaring langsung duduk membuat Kaivan bertanya, “Kenapa?”

“Pundak,” jawab Gesya sambil membawa tangan Kaivan untuk mendarat di bahunya. Menyuruh Kaivan berhenti akan sangat mencurigakan.

Maaf, tapi ia harus kabur untuk menemui Bian.

“Tidak mau melepas baju, Sayang? Aku rasa kalau bajumu dilepas akan lebih mudah.”

“Lebih mudah apa? Lebih mudah diserang?” tanya Gesya sinis. Ia mencubit paha Kaivan karena kesal. “Aku bisa masuk angin. Kenapa kau tidak betah melihatku pakai baju hm? Aku bosan terus telanjang jika bersamamu,” kata Gesya frontal.

Kaivan tertawa. “Aku sangat menyukainya, seperti narkoba, candu.” Ia mengecup pipi Gesya.

Gesya memayunkan bibir. Dalam hati ia mengutuk waktu yang sangat lama untuk berjalan. Tidak bisakah lebih cepat. Apa jam di dinding itu rusak atau bagaimana? Kenapa lambat sekali untuk berputar. Astaga!

“Aku mengantuk.”

“Tidurlah, aku memijatmu sampai kau tertidur.” Kaivan merebahkan tubuh Gesya dengan hati-hati.

‘AKU INGIN KAU YANG TIDUR, BUKAN AKU!’ Batin Gesya menjerit. Dia menarik Kaivan dengan cepat untuk berbaring di sampingnya. “Kau tidak kedinginan? Tidak punya baju? Tidak puas seharian tanpa pakaian?” tanya Gesya beruntun. Ia menyentuh punting laki-laki itu. Rasa-rasa ingin mencubitnya dengan kuat lagi.

“Jangan memancing, Gesya. Tidur saja atau aku akan membuatmu menangis meratapi nasib karena memiliki suami tak pengertian sepertiku.” Kaivan menjauhkan tangan Gesya dari dadanya membuat perempuan itu terkekeh.

“Lemah banget imannya.” Ia mengusap kepala Kaivan dengan lembut. Tangannya bermain-main di rambut pria itu membuat sang empu memejamkan mata merasa nyaman.

Gesya merapatkan tubuh mereka, dengan ragu dia mendaratkan kecupan pada dahi Kaivan. Efeknya cukup besar untuk Kaivan. Gesya bahkan dapat mendengar detak jantung Kaivan yang meledak-ledak di dalam sana. Gesya jadi takut, apakah Kaivan akan marah atau sangat marah saat mendapati dirinya menjenguk Bian.

“Akhiri hubunganmu dengan Bian secepat mungkin. Kau milikku, Gesya. Hanya milikku.” Kaivan menyerang bibir Gesya.

Gesya memejamkan mata. Ia meremas rambut Kaivan dengan pelan. Mengakhiri?

♡♡♡

Rasa haus membangunkan Kaivan. Namun Kaivan menyadari jika Gesya tidak ada di sisinya. Berusaha berpositif thinking jika Gesya sedang berada di kamar mandi, Kaivan mendekati pintu. Mengetuk dan memanggil nama perempuan itu. Namun, tak kunjung mendapat jawaban.

Pintu tak dikunci. Kaivan membukanya. Gesya tidak ada.

“GESYA! DI MANA KAU?!” Kaivan tidak bisa menepis pikirannya yang mengatakan Gesya kabur. Ia segera membuka laci. Mengambil ponsel yang ia gunakan untuk menyadap ponsel Gesya. Sepertinya ada yang tidak beres.

Baru saja kakinya hendak melangkah untuk mencari Gesya, namun melihat pesan dari ibu Bian untuk Gesya. Kaivan tidak bisa menahan amarahnya. “Gesya, beraninya kau meninggalkanku untuk menemui bajingan itu. Sialan!” desisnya tajam.

Ia segera menghubungi Gesya.

♡♡♡

SPAM NEXT DI SINI SEBANYAK-BANYAKNYA>>>

400 VOTE

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 347K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
2.7M 192K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.7M 82.5K 54
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.2M 22K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...