AMBIVALEN (End)

By agustzz

7.6K 490 125

||follow dulu yuk, biar makin akrab sama aku|| Part lengkap tersedia di wacaku! (Judulnya ambivalen by agust... More

1. Waktu SMATUSA Bagian Bacot
2. Jenny Luciana
3. Inara Dan Lukanya
4. Nggak Boleh Cepu
5. Si Janda Kembang
6. Pertanyaan Tanpa Jawaban
7. Titik Terendah Seorang Wildan Pamungkas
8. Jam Kosong
9. Pertu, Perawan Tua
10. Lelah Secara Mental
12. Cinta tak Selamanya Indah, Dek!
13. Mangga Muda
14. Janda Bolong Bikin Heboh
15. Insiden Mobil Bergoyang
16. Yudha Day
17. Kado dan Permintaan Maaf
18. Isi Hati Serta Retaknya Persahabatan
19. Napak Tilas
20. Napak Tilas pt2
32. Om Pram Balik Kampung
33. Bikin Boneka Dari Kain Flanel
34. Kesederhanaan Cinta Untuk Jenny
35. Wildan Senang, Inara Bimbang
36. Pulang Bareng Ariel
37. Nenek Datang Hati Riang
38. Nonton Pertunjukan Wayang
39. Wildan Culik Inara
40. Kerja Kelompok IPS 1

11. Harus Sembunyi!

120 13 0
By agustzz

HAII APA KABAR SEMUA?

MAAP YA TELAT UPDATE SKSKK

MAKLUM, AKU WRITER BLOK

AKHIRNYA SETELAH MENCOBA MEMPERBAIKI MOOD AKU BISA BUAT SATU CHAPTER SEMOGA KALIAN SUKA YA ^^

Happy reading ❤️

Inara menatap pesan yang dikirimkan Farzan dengan ragu. Pasalnya, Farzan mengajaknya jalan tapi hanya berdua, tidak mengajak Farah. Tentu saja Inara tidak mau, bagaimana bisa ia pergi dengan orang yang sangat Farah cintai. Meskipun Farah tidak cerita, tapi ia tahu.

Inara hanya membuka pesan yang Farzan kirimkan tanpa menjawabnya, ia bingung akan membalas apa. Ia menoleh sebentar, di sampingnya ada Wildan yang sedang asik bermain hp, entah memainkan apa.

Drtt ... Drttt ...

Ponsel Inara bergetar. Gawat, Farzan menelponnya. Ia memilih untuk mematikan ponselnya. Tapi Farzan terus menerornya.

“Astaga, Ra! Berisik. Angkat ngapa!” seru Wildan merasa terganggu.

“Yakin mau diangkat?” tanya Inara.

“Angkat tinggal angkat apa susahnya, Ra?” sahut Wildan merasa gemas.

Inara menyunggingkan senyumnya. “Yakin, nih?”

Wildan menatap Inara dengan kerutan di dahinya. “Siapa, sih?”

Inara menunjukan ponselnya yang masih berdering. “Baca, aja.”

“Far ... Zan Andrew ... Oh,”

“Apa?!” mata Wildan langsung melebar, ia mengambil paksa ponsel Inara.

“Nih, bocah bencong ngapain VC, anjir!” omel Wildan.

Wildan tersenyum picik, ia mengambil bantal dan menaruhnya di paha Inara. Lalu ia menidurkan kepalanya. “Liat aja Ra, gue kasih pelajaran. Berani banget Vc sama lo!”

Inara memutar bola matanya. “Mulai, deh!”

“Diem!”

Wildan langsung mengangkat panggilan dari Farzan. “Ngapain lo VC, Inara?” tanyanya langsung.

Mana Inara?”

“Inara? Mana ya?” Wildan terkekeh.

Wildan mengambil tangan Inara, lalu menaruhnya di kepala. Bermaksud untuk  meng-elus-kan rambutnya. Ia memperlihatkan tangan Inara yang mulus didepan kamera.

“Nih, lagi manjain gue.” kata Wildan pamer.

Dalam hati Inara mengumpat pelan.

“Gue mau ngomong bentar sama Inara. Bisa nggak?”

“Nggak bisa dong! Pake nanya. Lagian, ngapain ajak Inara jalan. Lo nggak bisa liat, kalau gue posesif banget sama Inara?”

Rasanya Inara ingin muntah saja, melihat kelakuan menyebalkan tetangganya ini. Walaupun sebenarnya, jantungnya berdegup kencang.

“Jijik!”

“Dih! Iri bilang masseh!” ledek Wildan tertawa.

“Udah ya, ganggu orang lagi pacaran! Ngerusak suasana banget. Mending lo belajar, sekalian tuh, pacaran sama buku!” suruh Wildan semena-mena.

Baru saja Farzan ingin bicara, Wildan memotongnya. “Oh, iya. Gue cuma kasih tahu, Inara nggak butuh cowok pinter soalnya dia udah pinter.”

Tut ...

Wildan langsung mematikan ponselnya sepihak. Jujur saja ia merasa kesal, apalagi kalau ada cowok lain yang mengajak Inara jalan. Dipikir ia tidak pernah mengajaknya jalan?

“Kok, dimatiin sih, Wil. Kasian!” tutur Inara kesal.

“Katanya mau dirahasiakan sama temen sekolah. Kalau kamu tetangga aku,” ujar Inara.

“Maunya sih, gitu Ra. Tapi, 'kan cowok bencong itu pernah ke sini, jadi sekalian aja gue hajar!” seru Wildan tertawa.

“Btw Ra. Kita lebih dari tetangga! Masa nggak tahu,” goda Wildan menaik turunkan alisnya.

Pipi Inara memerah seperti tomat. Entah Wildan menganggapnya apa, tapi yang jelas ia merasa senang, itu saja.

“Ih, apaan sih, Wil!” Inara mendorong kepala Wildan agar bangun dari pahanya.

“Ceilah, ngambek!” ledek Wildan. Ia memajukan wajahnya, melihat muka Inara lebih dekat. Terlihat senang, tapi juga sedikit menjengkelkan.

“Lagi PMS, Ra?”

Pertanyaan itu sontak membuat pipi Inara semakin merah, Wildan selalu peka. Karena jika ia sedang kedatangan bulan, moodnya mudah berubah, seperti tadi. Rasanya seperti diterbangkan di langit, tapi juga langsung dijatuhkan begitu saja. Padahal, Wildan tidak mengucapkan apapun.

Inara mengangguk pelan. “Em ... Iya. Wil,”

“Menurut mbah Google, gue pernah baca. Katanya kalau cewe lagi PMS, hormonnya meningkat, jadi rasanya pengen dimanja-manja gitu. Iya nggak?”

“Eng ... Enggak tahu, Wil,” jawab Inara berbohong.

“Bagus, lah! Lagipula gue juga mau pulang. Bye Inara!” pamit Wildan berdiri enggan pergi.

Inara mendegus, merasa kecewa. Mau bilang iya. Takut nanti dikira terlalu berharap pada Wildan.

Wildan tertawa geli melihat Inara yang murung. Ia menarik tangan Inara untuk berdiri. “Canda Ra, serius amat!”

“Ayo, jalan-jalan,” ajak Wildan.

Mata Inara langsung berbinar. “Beneran, Wil?”

“Iya, Ra. Ayo!” Wildan mengambil kunci motor milik Inara yang ada di meja.

“Ke alun-alun aja ya, Ra. Bensin lo, merah nih,” ujar Wildan menaiki motor dengan cengengesan.

“Iya, Wil. Terserah kamu aja.” kata Inara menaiki motor.

“Sip. Pelukan dong, Ra. Biar kaya orang pacaran,”

Wildan menuntun kedua tangan Inara untuk melingkar diperutnya. Entah kenapa, Inara hanya diam menurut. Mungkin benar, hari ini ia ingin dimanja Wildan. Ia bahkan menaruh dagunya ke bahu Wildan saat mesin motor dinyalakan.

Motor terus melaju membelah jalanan. Untung saja, alun-alun kota Klaten dekat dengan perumahan mereka. Jadi, tidak memerlukan bensin, juga waktu yang lama.

Dari spion, Wildan dapat melihat wajah sumringah Inara. Ia memegang kedua tangan yang melingkar dipeluknya, mengusapnya pelan. Rasanya senang, sangat senang jika pergi berdua dengan Inara seperti ini.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang hanya sepuluh menit saja. Mereka sudah sampai.

“Ra, mau beli apa?” tanya Wildan saat turun dari motor.

“Emang bawa uang?” bukannya gimana-gimana tapi biasanya Inara yang suruh membayar.

Wildan terkekeh. “Takut banget gue suruh bayar?”

Inara memajukan bibirnya. Wildan mengandeng tangannya. “Kali ini gue yang bayar Ra. Kali-kali, 'kan?”

Inara melebarkan senyumnya. Terlebih lagi, saat Wildan menggenggam tangannya. Ia merasa sangat senang.

Hidung Inara mengembang saat mencium bau martabak manis yang sangat lezat. “Wil, mau martabak!”

“Pas banget Ra, di depan mata,” ucap Wildan sambil menunjuk gerobak yang tidak jauh dari pandangan mereka.

“Aku pesen ya, Wil?”

“Iya Ra, pesen aja.”

“Mas, martabak manis rasa cokelat sama keju satu.” pesan Inara pada pedagang.

“Ditunggu mbak,”

Inara mengangguk, ia berjalan mundur mencari kursi yang kosong ia duduk. Ia mengedarkan pandangannya, matanya langsung melebar saat melihat orang yang ia kenal. Ia buru-buru mendekati Wildan.

“Wil ... ” Inara menepuk bahu Wildan kencang.

“Apa sih, Ra?”

“Tuh,” Inara menunjuk ke arah dimana ia melihat Putri dan juga Edwin, teman Wildan.

“Mampus!”

Wildan yang melihatnya juga terkejut. Ia nampak kebingungan, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencari tempat untuk bersembunyi. Ia menarik tangan Inara kasar, lalu mengajaknya sembunyi di semak-semak.

Keduanya saling tatap, kedua napas mereka masih memburu. Jari telunjuk Wildan terulur, menempel pada bibir Inara. “Ssstt ...”

Inara menjauhkan telunjuk Wildan dari bibirnya. “Kalau ketahuan gimana Wil?”

“Diem Ra. Tenang aja,”

Dari sela-sela ranting, Wildan mengintip mereka apakah mendekat atau tidak. Mereka berdua terlihat mendekat, apakah mereka akan membeli martabak?

Krusak krusuk ....

Langkah putri terhenti. “Ed, kek denger sesuatu nggak sih?”

Edwin mengerutkan keningnya. “Ah, masa?”

Wildan langsung menoleh ke arah Inara, penyebab utama yang mengeluarkan suara. Kalau ketahuan kan bisa gawat.

“Kenapa sih, Ra?” tanya Wildan kesal.

“Gatel!”

“Diem!” desis Wildan.

Edwin yang juga curiga, ia melangkahkan pelan ke arah semak-semak. Kecurigaannya bertambah, saat mendengar suara orang mendesis.

Tangan Edwin terulur untuk menyikapnya dan ....

Brak ...

“Anjir!” umpat Edwin kaget melihat Wildan keluar dari semak-semak.

“Ngapain lo di semak-semak?!” tanya Edwin ngegas, ia masih terkejut.

Wildan tertawa garing. “Gue liat lo berdua jalan bareng, jadi gue kerjain hehe.” katanya berbohong.

“Gaje banget,” ujar Putri, yang merupakan teman sekelas Inara.

“Cie, jalan sama cewek nih,” goda Wildan mengedipkan sebelah matanya genit.

Edwin menonyor dahi Wildan pelan. “Sepupu gue.”

Wildan mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ayo, Ed,” putri menarik kemeja yang Edwin gunakan.

“Gue pergi dulu, nyet!” pamit Edwin.

“Sana-sana hush ... ” usir Wildan mendorong tubuh mereka.

Wildan menghela napasnya lega. Untung saja tidak ketahuan, kalau ketahuan bisa mampus. Ia tidak suka jika teman-temannya tahu tentang Inara. Perempuan kutu buku yang jarang bergaul.

“Ra, keluar Ra!”

“Pak, ini martabak perempuan tadi, 'kan? Ini uangnya pak!”

Wildan mengambil martabak itu, setelah membayarnya. Dan langsung menarik tangan Inara untuk berlari ke arah parkiran.

Inara mendegus kesal. Apa setiap ingin pergi keluar harus bersembunyi seperti ini? Harusnya ia sadar, bahwa Wildan tidak menganggapnya lebih dari tetangga.

Sesampainya di rumah, perut Inara terasa sangat sakit. Ia turun dari motor berniat masuk terlebih dahulu.

“Ra, merah!” seru Wildan melihat bercak darah dicelana yang Inara kenakan.

Inara melebarkan matanya. “Aku ganti dulu Wil. Ayo masuk.”

Wildan mengangguk, saat ia masuk ke ruang tengah. Ia melihat ada ayah Inara -- om Dodi yang tengah duduk menyesap kopinya.

“Seko nangdi, le?”

Darimana nak?

Wildan tersenyum canggung. “Dari alun-alun om.” katanya menyerahkan martabak ke meja.

Om Dodi menegakkan tubuhnya. Seperti ingin mengajak Wildan untuk berbicara serius.

“Wildan, saya ingin bicara serius sama kamu.” kata om Dodi.

Wildan meneguk ludahnya kasar, tentu saja merasa takut. Apalagi dengan tato yang melekat di seluruh badannya. “I-iya om.”

“Kamu bisa jagain Inara buat saya?”

Continue Reading

You'll Also Like

211K 16.7K 54
Kita terlalu terang hingga tidak menemukan jalan jika tetap berjalan beriringan. Namanya Lampion. Biasa dipanggil Pion. Cowok agresif yang berani mel...
3.4K 798 22
Vilia zelia Agata, gadis ceria berparas cantik sekaligus murid pindahan sekolah yang tertarik pada kakak kelas yang dingin dan tidak pernah menggangg...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.5M 262K 32
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.3K 261 13
"Meniup lilin orang lain tidak membuat lilinmu bersinar lebih terang." -Eunola- "Menarik seseorang ke bawah tidak akan membantumu mencapai puncak." ...