He is Crazy

By ShintiaMonica4

751K 55.1K 7.4K

"Kau istriku!" kata laki-laki itu dengan tegas. Ia mengcengkeram tangan Gesya dengan kuat. "AKU BUKAN ISTRIMU... More

01. Kau Istriku
02. Kaivan Namanya
03. Makin Gila
04. Foto Pernikahan
05. Pelukan
06. Malam Panjang
07. Persamaan
08. Ketahuan
09. Aku membencimu, Kaivan!
10. Tidak Mau Melepaskan
11. Liburan
12. Pernikahan
13. I Love You
14. Amarah
16. Mencoba Menikmati
17. Malam Pertama
18. Anak Tiri
19. Menikah Lagi?
20. Kalung
21. KABUR
22. Pelukan
23. Hukuman
24. Cincin
25. Dia Benar-benar Marah
26
27.
28.
29.
🍁
30.

15. Penculikan

17.3K 1.5K 54
By ShintiaMonica4

15. Penculikan

                      Gesya mengerutkan keningnya saat taksi yang ditumpangi berhenti. Dia yang tengah gelisah dan tak bisa duduk tenang, sontak langsung menatap ke depan. Jantungnya terasa akan lepas saat Kaivan keluar dari sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di depan sana.

Tubuh Gesya meremang. Ia memukul-mukul pahanya dengan kepalan tangan.

“Gesya, keluar!” Kaivan membuka pintu taksi dengan kasar. Tatapan tajam dan Gesya tidak bisa menemukan sedikit kebaikan Kaivan. Pria itu benar-benar terlihat marah.

Gesa beringsut menjauh. “Ampun, Kaivan. Aku salah. Aku minta maaf.” Air mata Gesya tumpah. Perasaannya benar-benar kacau. Melihat kehadiran Kaivan dengan segala kemarahan laki-laki itu, ia tak memiliki daya. Ingin lari, tapi bahkan hanya dengan tatapan, Kaivan mampu melumpuhkan syaraf tubuhnya.

“AKU BILANG KELUAR! KAU TULI?!” teriak Kaivan murka. Bayangan bagaimana Gesya menyatukan bibir dengan si bajingan itu tak bisa hilang, terus berputar menyebabkan ledakan amarah yang tak terbendung. Gesya berani menguji kesabarannya yang tercipta sangat sedikit untuk Gesya.

“Aku minta maaf.” Gesya terisak. Salah? Gesya tidak merasa melakukan kesalahan sebelumnya. Bian pacarnya. Kaivan tiba-tiba datang dan mengaku menjadi suaminya. Saat hatinya masih penuh dengan nama Bian, Kaivan muncul tiba-tiba menerobos masuk mencari celah. Ia diporakporandakan.

“AKU BILANG KELUAR!” Kaivan menarik tangan Gesya dengan kasar. Ia menghempaskan tubuh perempuan  itu hingga jatuh di jalanan. Kesabarannya benar-benar habis.

Gesya makin menangis. Kenapa nasibnya menjadi begitu buruk. Ia menekuk kakinya dan menumpukan kepalanya di sana. “Aku salah, aku minta maaf.” Gesya tidak tahu harus apa selain itu. Mengatakan jika Kaivan tidak berhak marah dan melakukan ini padanya, Gesya tidak berani, kesabaran Kaivan menyentuh angka nol, ia tidak mau membuat Kaivan semakin marah dan akan berimbas buruk padanya.

“Bagus jika kau sadar, Sayang. Tapi apa kau pikir hanya dengan kata maaf aku akan memaafkanmu?” Kaivan tertawa sinis. Ia menendang trotoar jalan dengan kuat. Kaivan butuh rasa sakit untuk mengurangi sedikit amarahnya. Jika Gesya menanggung semua amarahnya, perempuan itu benar-benar tidak akan selamat malam ini.

Gesya tidak tahu seberapa besar dia menahan. Ia sudah mencoba sabar. Namun, Gesya terus menguras habis kesabarannya. Jika tidak mengingat pemerkosaan bisa membuat seseorang kehilangan kewarasan, ia sudah melakukan itu sedari dulu.

“Aku sungguh minta maaf.” Gesya mengulang kalimat yang sama. Perasaannya hancur berkeping-keping. Apa pada akhirnya ia harus mengarahkan hidupnya pada orang asing ini.

“SIALAN!” Kaivan meremas rambutnya. Ia kembali melayangkan tendangan. Hatinya sangat panas. “Maafmu tidak diterima, Gesya.” Anggap saja Kaivan tidak tahu diri.

“Aku minta maaf, Kaivan.” Gesya bangkit, berjalan lunglai mendekati Kaivan. Di tangan Kaivan kini sudah ada alat pematik yang mungkin saja siap digunakan untuk benar-benar membakar bibirnya. “Jangan seperti ini, kakimu bisa sakit.”

“Apa pedulimu?” tanya Kaivan dengan sinisnya. Gesya mengusap air matanya kasar. Kaivan sangat sulit untuk diluluhkan.

“Aku benar-benar minta maaf. Tolong, jangan marah lagi. Aku menyesal, sungguh.” Mau tidak mau, Gesya memang sangat menyesal telah mencium Bian. Jika tahu Kaivan akan semarah ini dan ia tak seberdaya ini, pastilah, ia lebih baik diam saja.

Gesya meraih tangan Kaivan, menariknya hingga tubuh laki-laki itu sedikit membungkuk. Kaivan tersenyum miring melihat itu. Memang Gesya pikir semudah itu?

“Tidak sudi, Gesya.” Kaivan mendorong Gesya menjauh sebelum bibir perempuan itu menempel di bibirnya.

Gesya mengusap bibirnya kasar. Air matanya semakin mengalir dengan deras. Tak tanggung-tanggung, ia menarik kemeja Kaivan dan kembali mengusap bibirnya untuk menghilangkan jejak Bian.

“Ya, sekarang kau memindahkan najis itu di bajuku? Yang benar saja. Kau membuatku semakin marah, Gesya.” Kaivan menepis tangan Gesya yang menahan bajunya.

Perempuan itu membawahi bibirnya dengan lidah. Wajahnya mendongak berusaha menghalau air mata yang siap jatuh. Gesya merasa ini sudah cukup, bukanlah ia sudah terlalu banyak menangis.

“Maaf.” Gesya menarik tengkuk Kaivan. Niatnya hanya ingin benar-benar menghilangkan jejak Bian agar amarah Kaivan segera menyusut tapi laki-laki itu lagi-lagi menolak membuat Gesya menjerit emosi. “APA MAUMU, SIALAN?! MAU MEMBAKAR BIBIRKU? MAU MEMATAHKAN KAKIKU?! LAKUKAN SAJA! SILAKAN! LAKUKAN SAJA! LAKUKAN SAMPAI PUAS!”

Geysa terisak kuat. Ia memukul dada Kaivan membabi buta hingga akhirnya ia menjatuhkan diri ke pelukan Kaivan. “Kau sangat jahat,” isaknya lirih. “Lakukan saja Kaivan. Lakukan. Aku tahu, walau aku berusaha keras membersihkannya, jejak Bian tidak akan hilang bukan?” Ia mendongak dan tertawa kecil.

Kaivan menghela napas kasar. Ia memasukkan korek apinya ke dalam saku dan kemudian membalas pelukan Gesya. Ada sesuatu yang menekan dadanya saat melihat tawa Gesya. Apa ia sudah sangat keterlaluan? “Aku tidak akan meminta maaf.”

Ya, Kaivan tidak akan meminta maaf. Walau sudah keterlaluan, tapi bukankah ini disebabkan oleh Gesya. Gesya yang tidak bisa menjaga batasannya.

“Kenapa harus meminta maaf? Kau tidak salah.” Gesya tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada Kaivan.

“Kau justru semakin memojokkanku untuk merasa bersalah.” Kaivan berdecak. Reaksi hatinya berbanding terbalik dengan kalimat yang baru saja dikeluarkan Gesya. Ia malah jadi bertanya-tanya dan menuduh diri sendiri. Rasa bersalah itu timbul. Apakah seharunya ia tidak melakukan ini? Lagi pula sebenarnya Gesya bukan istrinya.

Kaivan menggeleng cepat. Tidak, tidak! Tidak akan ia biarkan rasa bersalah itu semakin besar hingga bibirnya menyebutkan kata maaf.

“Aku yang salah. Jadi jangan merasa bersalah.”

Oh, sial! Gesya kembali berbicara. Sepertinya perempuan itu mau menyulut amarahnya. Lihatlah, dari nada-nadanya Kaivan merasa disindir.

“Jangan banyak bicara lagi. Jika tau kau salah, maka jangan pernah mengulanginya lagi. Aku tidak bisa berbagi, apalagi itu tentangmu, Gesya. Kau istriku, hanya milikku, dan selamanya milikku," tekan Kaivan mengatakan hak mutlak kepemilikannya terhadap Gesya. Ia mengusap surai Gesya lembut dan berakhir dengan memberikan ciuman hangat di bibir Gesya. Tidak akan ia biarkan jejak Bian berlama-lama di bibir jodohnya. Memang laki-laki itu siapa? Bian tidak punya hak apapun, semua tentangnya harus segera disingkirkan dari Gesya, bahkan jejaknya sekalipun.

Tangan Geysa yang berada di pinggang Kaivan tanpa sadar meremas pelan. Jujur saja, ia kira akan mendapatkan ciuman kasar dan menuntut mengingat Kaivan sangat marah tadi, tapi rupanya tidak. Kaivan bahkan memberikan ciuman terlembutnya.

“Sudah cukup. Bibirku sudah dipenuhi jejakmu.” Geysa mendorong Kaivan begitu selesai dan laki-laki itu hendak menyambung lagi. Hal itu tentu saja membuat Kaivan berdecak sebal.

“Aku masih belum puas.” Mana pernah ia merasa puas hanya dengan ciuman singkat itu. Jika bisa ia akan mencium Gesya dari terbit fajar sampai terbit fajar lagi.

Geysa pura-pura tidak mendengar. Ia sibuk mengedarkan pandang. Jalanan cukup lengang. Supir taksi itu pasti orang Kaivan, ia sudah menyebutkan alamat rumahnya, tapi malah dibawa kemari, jalan yang bertolak belakang menuju rumahnya.

“Di sini sangat sepi bukan? Pasti karena itu kau menyerahkan diri dan tak banyak melawan. Kau sangat penakut, Gesya,” ejek Kaivan sembari menyelipkan beberapa helai rambut Gesya ke daun telinga. Ia menatap dengan intens.

Gesya juga melakukan hal yang sama. Dia menatap Kaivan. Wajah Kaivan tampan, sangat tampan. Namun sayangnya laki-laki ini sangat gila.

“Aku akan mengantarmu pulang. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Aku tahu, setelah menghabiskan waktu seharian bersama bajingan itu, kau pasti lelah,” sindir Kaivan.

“Aku akan pulang sendiri. Kau pasti lelah juga bukan? Kau juga harus banyak-banyak beristirahat. Bukankah dari Las Vegas kemari membutuhkan 13 jam? Aku yakin, pasti setelah kau tahu aku berciuman dengan Bian kau langsung berangkat dan mencariku tanpa istirahat.” Gesya mengusap dada Kaivan dengan lembut. Senyum lebar terukir dari bibirnya membuat Kaivan kesal.

“Kau berusaha membuatku marah lagi? Jujur saja, sangat sulit menghilangkan amarahku. Aku yakin, jika marah sekali lagi, aku akan langsung memesan kamar hotel. Menghukummu dengan kenikmatan yang luar biasa—”

“Diam. Aku akan pulang. Maaf membuatmu marah.” Geysa mendorong Kaivan kuat. Ia langsung masuk ke dalam taksi dan menekan dadanya yang berdebar setelah mendengar ancaman Kaivan.

“Aku bilang pulang denganku, Gesya.” Kaivan tidak tahu Gesya itu pelupa atau tuli. Ia sudah jelas mengatakan itu sebelumnya, tapi bodohnya Gesya malah masuk ke dalam taksi.

Meow ....

Kaivan menoleh ke arah sumber suara. Matanya menelisik kegelapan, mencari-cari sumber suara itu.

Meow ....

Suara kucing yang terdengar sangat lemah kembali terdengar. Kaivan tidak bisa mengabaikan.

“Kau antar istriku pulang dengan selamat. Jika kau berani menatapnya dengan mata kurang ajar atau dengan durasi lebih dari tiga detik, aku akan memberikan ganjaran,” peringat Kaivan pada bawahan yang menyamar menjadi tukang taksi.

“Baik, Tuan.”

Gesya menatap tak percaya. Kaivan membebaskannya?! Benarkah?! Astaga, astaga! Gesya bersorak senang dalam hatinya. Mengira Kaivan akan kembali menyeretnya ternyata salah.

“Hubungi aku begitu sampai. Jika kau ketahuan berhubungan dengan Bian, aku tidak akan memaafkanmu lagi.”

Gesya diam saja. Mulutnya tidak mau menjawab. Sebenarnya ia tak butuh maaf Kaivan, jika saja laki-laki itu tidak melakukan hal gila padanya.

Setelah Kaivan mengizinkan, mobil yang ditumpangi Gesya berputar arah dan melaju. Saat jaraknya lumayan jauh, Gesya mengeluarkan kepalanya dari jendela. “DASAR PRIA GILA! AKU BUKAN ISTRIMU!”

Gesya meneriakkan kalimat yang sedari tadi terpendam. Kaivan hanya tertawa kecil melihat itu.

Gila? Tentu saja ia gila. Gesya sendiri yang membuatnya gila. Dan apa katanya tadi? Bukan istrinya? Memang belum, ia masih berusaha keras untuk mencapai jenjang itu.

“Pus, kau di mana?” tanyanya sedikit berteriak mencari kucing yang menarik perhatiannya. Menghidupkan fitur senter di handphone-nya, Kaivan memecah kegelapan.

Berjalan sedikit ke semak-semak, Kaivan mendapati sesuatu yang membuat rahangnya mengeras. “Dasar manusia sialan! Kenapa mereka tega sekali melakukan ini?!”

Kaivan buru-buru menceburkan kakinya genangan air yang cukup dalam untuk seekor kucing yang usianya kurang lebih baru satu bulan itu.

Meow ....

Kucing yang kedua kaki depannya diikat pada sebuah ranting kayu dan tubuhnya tenggelam dalam air itu kembali mengeluarkan suara.

“Aku tahu kau kuat, jadi bertahanlah.” Kaivan segera membawa ke pelukan saat kucing itu berhasil ia lepaskan. Tubuh yang menggigil dan nyaris pingsan itu membuat Kaivan benar-benar mengutuk orang yang melakukan ini.

Sesampainya di mobil, Kaivan segera mengambil tisu dan berusaha mengeringkan tubuh kucing malang itu. Supir buru-buru ia suruh bergegas untuk meninggalkan tempat mereka.

Meow ....

“Bertahanlah.”

—𝓒𝓻𝓪𝔃𝔂 𝓵𝓸𝓿𝓮—

Pagi hari yang cerah. Gesya baru saja selesai menyegarkan tubuhnya. Btw, ia tidak menghubungi Kaivan semalam, tapi ia juga tidak menemui Bian yang datang. Ia mengurung diri  setelah mengamuk dan menghancurkan barangnya di kamar.

Kedua orang tuanya sama sekali tak mau mengerti. Gesya tidak tahu kenapa mereka setega ini. Tidak tahukan mereka bahwa dirinya begitu tertekan?!

Gesya mengerang frustasi. Semakin mengingat, ia semakin ingin mengamuk. Tidak bisakah Tuhan mengembalikan ingatannya sekarang?! Gesya membenturkan kepalanya ke lemari dengan kuat. Sungguh, ia butuh ingatan itu. Apakah benar ada Kaivan di sana?! Apakah benar ia menjadi istri Kaivan?! Apakah benar mereka menikah?!

Gesya sangat butuh itu! Jika memang iya. Oke, baiklah! Ia akan dengan lapang dada menerima Kaivan.

Gesya tidak mau hancur. Bagaimana jika mereka menikah tapi ternyata Kaivan salah orang. Bagaimana huh?! Ia tidak mau dibuang begitu saja. Gila saja jika itu benar-benar terjadi!

“Aku akan kabur ke pulau terpencil dan kembali saat Kaivan sudah menikah lagi. Tidak peduli dia dulu benar-benar suamiku atau tidak, aku tidak mau bersamanya. Aku hanya mau Bian, hanya Bian.” Gesya hendak meloloskan handuk yang membalut tubuhnya hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Kaivan yang terlihat dari cermin besarnya.

“Kau mau Bian, dan aku mau dirimu. Bagaimana jika kita berlomba. Kita buktikan siapa yang keinginannya akan terwujud. Aku atau kau, Sayang?” Kaivan menyeringai. Ia melangkah lebar mendekati Gesya membuat perempuan itu panik bukan main.

“Jangan mendekat, Kai—LEPASKAN AKU! TURUNKAN AKU, SIALAN! DASAR KURANG AJAR!” Gesya memekik, tubuhnya diangkat kayaknya karung beras. “DASAR GILA!  TURUNKAN AKU KAIVAN! KAU TIDAK LIHAT AKU HANYA MEMAKAI HANDUK?! KAU MAU BERBAGI KEINDAHAN TUBUHKU PADA ORANG LAIN, HAH! DASAR SUAMI SIALAN!”

“Haish, sial!” Kaivan mengumpat. Ia menurunkan Gesya dan kemudian hendak kembali mengangkatnya untuk dibawa ala bridal style, tapi Gesya buru-buru menahan.

“Sabar, Kaivan. Apa matamu buta, aku harus merapikannya dulu.” Gesya menepis tangan Kaivan. Dalam hati ia mengumpat. Mata Kaivan tidak berguna! Bisa-bisanya main angkat tanpa memperhatikan handuk yang berantakan di tubuhnya. Ganti saja mata sapi jika tidak berguna seperti ini. Barang kali mata yang lebih besar bisa membuat Kaivan melihat dengan baik.

Kaivan berdecak. Ia memalingkan wajah. Gerah menyerang. Celananya cukup sesak melihat penampilan Gesya. Sabar, Kaivan. Sebentar lagi kau akan menikahinya.

“Aku sudah selesai,” kata Gesya menarik perhatian Kaivan lagi. Perempuan itu bersiap diangkat membuat Kaivan mencuramkan alisnya.

“Eh, tunggu.” Gesya merasa ada yang aneh. Ia memiringkan kepalanya sedikit. Otaknya bekerja keras hingga tiba-tiba matanya terbuka lebar. “DASAR BODOH, KAU HARUS KABUR, GESYA!” Ia memekik menyadari kebodohannya yang malah menunggu diangkut. Bodoh! Bodoh! Bodoh. Gesya bodoh!

Berusaha berlari, Kaivan langsung mengangkat tubuhnya membuat Gesya menjerit memanggil kedua orang tua dan adiknya.

“Papa, tolong aku, Pa! Papa!” Gesya ingin memberontak, tapi keadaannya yang hanya dibungkus handuk tidak memungkinkan.

“Kau sedang apa, Kaivan?! Turunkan, Gesya!” Reynald terkejut dengan kelakukan Kaivan.

“Aku akan menculik dan mengurungnya di mansion-ku. Jika kau ingin membawanya pergi, jangan harap akan berhasil.” Kaivan melangkah santai keluar dari rumah Gesya.

“TURUNKAN PUTRIKU!” Meira menjerit marah.

Kaivan tidak mendengarkan. Gesya melihat ibunya yang mengambil sebuah vas dan siap melemparkan ke Kaivan, tapi ayahnya buru-buru menahan sebelum vas itu melayang membuat Gesya merasa sakit hati. Ayahnya keterlaluan.

“Kaivan ....” Gesya memanggil pelan. Ia menahan handuk di pahanya.

“Hm?” Kaivan menatap sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap lurus.

“Turunkan aku atau aku akan membuka handuk ini di depan anak buah sialanmu itu?” ancam Gesya membuat Kaivan menghela napas pendek. Pria itu menatap bawahannya yang berdiri di sisi mobil.

“Menurutlah, atau ayahmu akan masuk penjara?” Kaivan menurunkan Gesya di bangku samping kemudi.

Gesya terdiam sejenak. Ia tak lepas menatap Kaivan yang tengah mengitari mobil sampai pria itu duduk di bangku kemudi.

“Kenapa ayahku harus masuk penjara?”

Kaivan terkekeh. Ia memakaikan sabuk pengaman dan kemudian mencuri kecupan di pipi Gesya.

“Aku menjebaknya, dia terlilit hutang denganku," jawab Kaivan santai. “Mau tau lagi? Perusahaannya kini sudah menjadi milikku.”

Gesya memejamkan mata sejenak. Ia lalu membuang muka menatap jalanan. “Kita akan menikah kan? Tolong tahan dirimu, aku akan memberikan tubuhku saat kita sudah resmi menjadi suami istri. Aku tidak peduli dulu kita sudah menikah atau belum. Tidak ada hubungan badan sebelum acara pernikahan.”

“Kau menyerah, Sayang?” Kaivan terkekeh. Ia mengusap rambut Gesya lembut. “Keputusan yang tepat. Permintaanmu diterima, Tuan Putri.”

—𝓒𝓻𝓪𝔃𝔂 𝓵𝓸𝓿𝓮—

SPAM NEXT DI SINI
250 VOTE

Continue Reading

You'll Also Like

3M 23.7K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.7M 190K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
545K 36.7K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
788K 5.2K 6
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...