BandaNeira

By Nashwanzwa

753 123 207

Ambisi dalam pencarian jati diri terkadang menjadi anala yang membara lantas mengubur diri sendiri dalam luba... More

PROLOG
BAB 1 : UBAN(DA)
BAB 2 : RUNYAM
BAB 3 : KABIRA
BAB 4 : BEDAK
BAB 5 : IDENTITAS
BAB 6 : NEIRA
BAB 7 : TERKA
BAB 8 : LAMPAU
BAB 10 : BUYAR
BAB 11 : BERKENALAN
BAB 12 : BUANA
BAB 13 : SUAKA

BAB 9 : TARUNA/i

46 7 1
By Nashwanzwa

listen to the song!

~~~

"Gue kemarin ketemu Recaka."

Selayaknya kilatan yang kini nampak di bumantara, penuturan taruna dengan daksa tercekal ini menyambar penuh yang di dalam Fena. Seolah berita hangat itu mampu meredakan emosi kalbu; seolah vokal berat darinya ialah resolusi dan jawaban dari semua tanya; seolah—

"Lo ketemu sama Recaka?" Vokal Fena masih pelan tetapi kian menanjak, "Gue tanya, lo ketemu sama Recaka?!"

—seolah rangkaian kata itu bisa membuat mereka berhenti bicara tentang masa lalu.

"Telinga lo katarak, Fen? Gak usah drama seakan lo yang paling tersakiti lah." Sungguh, jika situasi dan suasana cukup ramah, mungkin dua monyet di sebelah Banda akan menyuarakan gelak tawa paling kencangnya kali ini. "Di angkot. Dan lo udah tau reaksinya."

Tolong, jangan katakan itu.

"Takut."

Sialan.

"Trauma."

Bajingan.

"Gak ada yang bisa kita lakuin buat bikin Recaka kayak dulu lagi, orangnya aja takut sama kita." Tangan Fena yang semula mencengkeram bahu Banda kala menerka tadi mulai berkurang tenaganya dan kian terlepas. Indra itu akhirnya kembali ke tempat semula, di sisi pinggang.

Fena selesai. Benar-benar selesai.

"Jadi mending lo sekarang ambil kunci motor dan jaket lo, pergi ke huthomah itu, dan jemput STNK sialan lo."

***

Selayaknya perdebatan tanpa hasil, pro dan kontra saling mempertahankan argumen masing-masing, menggambarkan silat lidah depan rumah yang terjadi tempo waktu antara Banda dan Fena. Sebenarnya jika ditilik kembali, antaranya dan Fena begitu berat sebelah. Banda yang tiada henti menyuarakan argumen, dengan Fena yang kian diam tak berkutik, menerima semua ujaran super ketus dari adiknya setelah sebelumnya vokalnya yang berteriak paling kencang.

Selepas mengatakan kalimat terakhirnya, Banda segera masuk ke dalam rumah diikuti Nami dan Etel. Bahkan setelah dua monyet itu pulang ke rumahnya, keduanya masih enggan memulai dialog. Fena tetap tak bisa menyangkal pernyataan Banda, sebab semua yang keluar dari mulut laki-laki itu memanglah fakta.

Dan dampak dari bahasan sensitif kemarin juga sampai ke hari ini, di mana kebiasaan aneh para adam di Bayundra tak terdengar oleh telinga Banda; tak terlihat oleh pandangan Banda; serta tak mengganggu tekanan darahnya pagi ini yang biasanya naik tak beralasan. Air mukanya sungguh berbeda dari Ubanda Kayana di hari-hari sebelumnya, tetapi saking buramnya hal tersebut sampai tak ada yang menyadari perubahan itu. Namun—

Langkahnya terhalang oleh kerumunan aneh itu, tubuh Banda berusaha menyingkirkan orang-orang gila yang sungguh enggan membuka mata, selalu melihat keluar hingga buta akan yang di dalam. Dan tentu langkahnya akan sampai di mana pemeran utama di Bayundra yang berusaha berlindung di balik tubuh Himalia dari riuhnya insan yang bersikukuh minta nomer telepon.

—Naira tahu.

Demi Tuhan. Dari sekian manusia bernyawa yang mengenal laki-laki ini lebih lama darinya, mengapa harus dirinya? Dan mengapa harus dirinya yang mengerti apa arti kekosongan mata yang sungguh samar itu? Mengapa harus Naira? Ia tidak benar-benar tahu penyebab dari kekosongan itu, tetapi intinya—

dia sedang tidak baik-baik saja.

"NAIRA, MINTA NOMER WA!!"

***

"Kok ngedadak banget, Pak?"

"Haduh, saya ndak tau juga. Dan ini pun gak ada kalah menangnya, ada perwakilan lima SMA di Yogya yang bakal ikut tampil, dan Bayundra masuk ke salah satunya." Sialan, nasib menjadi murid Pak Hameng yang paling keren memang tak selalu menyenangkan.

Beberapa menit lalu Pak Hameng tiba-tiba masuk ke dalam kelasnya dan meminta izin kepada guru yang sedang mengajar untuk menculik-maksudnya memanggil Banda dan membawanya ke ruang kesenian untuk membicarakan soal ini. Ya, padahal tempo waktu baru saja Bayundra membawa pulang piala dari pentas seni antar SMA Yogyakarta kemarin, tetapi lagi dan lagi Pak Hameng membawa berita yang mungkin mengharuskan sekumpulan anak tahun terakhir lembur di ruang kesenian kembali.

Ayolah, belum sempat memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Gigih serta persaudaraannya dengan Fena, Banda harus kembali menanggung tanggung jawab atas teman-teman satu ekskulnya? Memikirkannya saja sudah membuat Banda ingin pergi dari Yogya. "Bisa gak kalo saya gak usah ikut?" Hingga kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Heh, Banda, terus opo gunanya saya ngasih tau kamu soal ini? Ya biar kamu ikut lah!" Pak Hameng berdecak. Gak ngerti-ngerti bocah satu ini rupanya.

"Ada Etel sama Nami juga, 'kan? Gak selalu harus saya?" Banda masih bersikukuh menolak. Lagi pula, jika ingin menyampaikan berita besar seperti ini, seharusnya Pak Hameng memanggil semua anak di ekskul gamelan, bukan? Mengapa yang dipanggil hanya Banda saja?

"Tapi mereka belum tentu bekerja sebaik kamu."

"Wah, Bapak meragukan teman saya. Lagian saya juga aneh loh, ini kan kerjanya sendiri-sendiri, main alatnya juga sendiri-sendiri, kenapa seolah saya yang jadi dirigennya?"

"Ya karena emang kamu pemimpinnya, Uban Kayana!" Lagi dan lagi panggilan itu. Sudah tidak heran bahkan jika guru paling jauh dengan Banda menyebutnya begitu, apalagi Pak Hameng. "Wis, gini aja, kamu pertimbangkan dulu, mau ikut apa enggak. Tapi ingat, baik dan buruknya citra SMA Bayu Candra di pentas seni nanti ada di tangan kamu. Pilihan kamu cuma dua. Ikut dan mengharumkan nama baik sekolah, atau tidak ikut dan membiarkan tikus-tikus itu bermain tanpa arahan dan keluar dari nada."

Baiklah, situasinya sudah mulai mencekam kala Pak Hameng mulai mengangkat telunjuknya di pertengahan kalimat. Dua tetes keringat dingin mulai meluncur dari sumbernya, membasahi pelipis Banda. Sialan, kalimat dan nada bicara itu lagi. Jika kalian ingin tahu, begitulah cara Pak Hameng membujuk setiap muridnya yang hendak absen dari setiap penampilan maupun perlombaan di luar sekolah. Tidak heran, tetapi yang satu ini memang dikhususkan pada Banda.

"Kok diem? Pergi dari ruangan saya!" Dasar, sudah mengancam malah mengusir pula. Banda pun akhirnya beranjak dan angkat kaki dari ruangan itu. Satu demi satu balok besar seolah menghantam kedua bahunya, dan jumlahnya kini sudah empat. Padahal usianya masih jauh dari kata dewasa, namun mengapa semua beban ini kian menghantuinya?

Dan untuk saat ini kakinya menolak untuk pergi kembali ke kelas, lantas berbelok menuju jalur lain yang umumnya jarang terjamah oleh siswa-siswi Bayundra bahkan guru yang mengajar sekalipun. Di sana berdiri sebuah tangga yang menjulang tinggi sampai ke atap sekolah-biasanya digunakan oleh mereka yang hendak menambal sesuatu yang bocor di atas sana, ataupun sekadar mengecat ulang tembok yang sudah mengelupas catnya-dan, hei, berapa IQ pemuda itu sampai dirinya nekat memanjat tangga tersebut bermodalkan dua tangan dan kaki?

Tidak terjadi masalah kala Banda menaiki tangga yang nyaris vertikal itu, ia akhirnya sampai di atap sekolah-kendati sebenarnya ada cara lain untuk sampai ke sana, tentu dengan jalur yang lebih aman-pemuda itu berjalan di atas genteng sekolah yang bentuknya sedikit tak beraturan, dan jika salah langkah maka nyawa akan menjadi taruhannya.

Sejujurnya niat awal tubuhnya terdorong untuk pergi ke tempat ini hanyalah untuk menyegarkan pikiran dari lautan bising penuh lemparan balok besar itu. Pemuda sok kuat ini sebatas ingin menghilang sekejap dari kenyataan, terutama kenyataan bahwa satu jam meninggalkan kelas Bahasa Jawa ternyata bukan dihabiskan di ruangan Pak Hameng melainkan di atas genteng sekolah yang mengkilat terpapar cahaya ilahi.

Namun butuh lima menit untuk dirinya menyadari bahwa Banda tidak sendiri di atap sekolah kali ini, bukan hanya Banda yang duduk dengan tangan memeluk lutut tertekuk. Pandangannya terlalu fokus ke arah depan sampai tidak sadar bahwa dua meter di sebelahnya ada dia yang agaknya memiliki tujuan serupa dengan pemuda ini kala mengunjungi atap.

"Heh, lo ngapain di sini?!" seru Banda setengah berteriak mengalahkan deru angin kepada wajah serta rambut familier itu. Sedikit heran-tidak-sangat heran mengapa seseorang itu ada di sini, di atap sekolah di waktu yang bersamaan dengan Banda.

Hingga akhirnya sang empu menoleh, memperlihatkan wajah dengan topeng yang belum terhapus, dengan yang sering diperlihatkannya pada dunia, balas menatap ke arah Banda yang menatapnya heran. "Lo sendiri kenapa ada di sini?" Naira menjawab keheranan Banda dengan vokal aslinya-lagi pula tak ada gunanya lagi berpura-pura di depan pemuda itu, ia sudah tahu, bahkan nyaris tahu kisah di balik layarnya jika Naira bersedia mengiakan. Namun ada yang berbeda dari logat bicaranya; tak terdengar seperti Banda yang keheranan, seolah Naira memang sudah menyadari kehadiran Banda sejak tadi.

Dan kenyataannya memang begitu. "Bolos?" tanyanya.

"Lo sendiri?" Tanpa menjawab pertanyaan Naira, Banda justru kembali bertanya.

Naira mendengus, terkekeh pelan, pandangannya teralihkan ke arah langit biru dengan awan. "Kebiasaan. Ditanya malah balik nanya," ujar Naira, menirukan kalimat yang sama dengan apa yang Banda katakan padanya dengan konteks meledek tempo waktu di toko hewan peliharaan milik sang bapak. "Kelas gue jamkos. Di kelas berisik, jadi gue keluar." Tanpa diminta dua kali, rupanya Naira bersedia memberitahunya.

"Tapi kenapa lo milih ke atap?"

"Lo udah tau alasannya, Banda, dan itu juga alasan kenapa lo dateng ke sini."

Kepalanya sontak terangkat kala mendengar kalimat itu terlontar dari lisan sang wanodya yang segala aspek dalam kehidupannya didamba-dambakan oleh sebagian hawa di Bayundra. Ia tak membalas ujaran Naira yang satu ini, melainkan hanya menoleh ke arahnya yang kini justru sibuk memejamkan mata, membiarkan rambut-ralat-wignya berantakan tertiup angin.

Bokong pemuda yang berbalut celana abu-abu itu digeserkan sedikit demi sedikit ke arah sang wanodya, mengikis jarak lima puluh senti di antara mereka, setidaknya supaya mereka tak perlu saling berteriak lagi. Geming ialah satu kata yang mampu mendeskripsikan masing-masingnya sekarang. Seperti yang dikatakan Naira, tersirat namun tetap ada, bahwa ada kesamaan dalam tujuan mereka datang dan duduk di atas genteng jingga kemerahan ini.

"Lo punya temen curhat, Ban?" Aneh sekali, biasanya Banda yang akan memulai pembicaraan, kali ini justru Naira yang duluan bertanya.

"Hah? Punya lah, lo gak liat apa dua monyet yang suka ngikut gue ke mana-mana? Tambahan, atlet yang lagi lo deketin itu." Dua monyet yang dimaksud Banda ialah Etel dan Nami, sementara si atlet siapa lagi jika bukan Gigih. Dan juga yang paling penting, mengapa gadis ini tiba-tiba melontarkan pertanyaan tidak penting seperti ini padanya?

"Lo yakin lo udah curhat semuanya ke mereka?" Pemuda yang jaraknya satu setengah meter dari Naira itu sedikit tersentak dengan pertanyaan kedua darinya. Namun kemudian Banda kembali menatap langit.

"Semua orang punya privasi yang gak harus semua orang tau bahkan yang terdekat sekalipun. Dan gue udah ngerasa cukup dengan nyeritain yang perlu mereka tau aja." Banda menghela napas gusar, entah mengapa arah pembicaraan ini menjadi tidak jelas tetapi ia berusaha menjawab sebisa mungkin. "Emangnya gue elo, yang suka oversharing sama orang?" sambungnya, mengingat belakangan ini semesta telah memperlihatkan perangai sejati seorang Naira.

"Kata siapa? Dan kalo iya, lo pikir gimana caranya gue nyembunyiin semua ketidaksempurnaan ini?" balas Naira tidak terima. Jika begitu menurut Banda, berarti seharusnya sudah banyak yang mengetahui kepalsuan Naira. Sementara kenyataannya? Banda adalah orang ketiga yang mengetahui itu setelah Sara serta sang dalang.

"Oh ralat. Lo itu oversharing sama orang yang terlalu mudah lo percaya."

"Contohnya?"

"Gue," ujar Banda spontan. Hal itu pun membuat Naira terdiam untuk beberapa saat, tetapi ia masih berusaha menjawab lawan bicara di depannya.

"Lo? Kapan gue curhat ke lo?"

Tunggu sebentar, sepertinya Naira melupakan sesuatu. "Lo gak protes juga soal, sejak kapan lo percaya sama gue?" Sebab sebelum Naira bisa menceritakan seisi hidup beserta alurnya yang tidak jelas ke mana tujuannya, ia harus bisa mempercayai orang tersebut. Atau orang itu harus berusaha mendapat kepercayaan dari Naira sendiri.

Naira terdiam. Mulutnya seolah dibungkam oleh sesuatu, lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Banda yang selanjutnya itu.

"Gue juga heran tentang, kenapa lo enggak takut dan malah nantang waktu di warung gudeg, kenapa lo tadi gak menghindar, bahkan malah ngomong pake suara asli lo, juga apa yang lo bilang di taman waktu itu-"

"Jangan dibahas, gak usah dibahas, dan gak mau ngebahas."

Mendengar Naira memotong perkataannya begitu saja membuatnya semakin yakin bahwa keceplosan yang dialami Naira kala itu justru memuat fakta dan jawaban dari semua tanya. Namun di sisi lain juga ada air raksa tak terlihat yang semakin naik, membuat rasa ingin tahu Banda semakin besar meskipun beban serta masalah belum ada yang selesai total. "Gue ngerasa sia-sia aja pake semua samaran itu di depan lo, kalo lo aja udah tau wujud Naira yang asli itu kayak gimana."

"Berarti bener?" Yang dimaksud Banda kali ini adalah perkataan Naira di taman kala itu, apakah semua pernyataan Naira benar adanya?

"Kalo lo masih mau bahas soal itu, gue gak segan-segan dorong lo ke bawah, Ban," ancam Naira dengan nada bicara yang sungguh datar, menandakan bahwa dirinya tidak sedang bermain-main. Topik yang dibawa olehnya betul-betul sensitif, dan jika dilanjutkan, Naira tidak yakin ayar yang bersumber dari netra itu tak akan jatuh begitu saja.

Baiklah, Banda menutup mulutnya. Jatuh dari ketinggian berpuluh meter sungguh mengerikan hanya karena ia tak dapat menjaga lisannya. "Lo suka sama Gigih, Nei?" Didengar dari panggilan singkat itu, Banda agaknya tengah menggunakan nama Neira. Nama yang diperuntukkannya pada sang asli Naira Alhena.

Namun diluar dugaan, kening Naira justru berkerut selepas mendengar pertanyaan aneh dari Banda. Mengapa tiba-tiba membahas Gigih? "Kan katanya gak boleh bahas tentang yang tadi. Jadi yaudah, gue mau bahas itu aja. Itung-itung proses memperbaiki pertemanan gue sama Gigih, 'kan."

Baiklah, Naira mengerti, ia jelas tahu bagaimana tidak leganya menjalani hidup kala memiliki masalah dengan satu orang. "Gigih itu ... definisi sempurna. Gue gak perlu paparin semuanya ke lo, 'kan? Karena jelas lo juga udah tau, gimana Gigih Buana di pandangan siswi-siswi Bayundra," tutur Naira, mulai menjelaskan sebisanya dan secukupnya, "Tapi kalo soal perasaan ... andai aja lo tau sesuatu lagi di balik sempurnanya seorang Naira di sekolah itu kayak gimana, pasti lo bakal ngerti." Dengan berat hati Naira memaparkan semua itu, kendati masih berusaha menahan lisannya membongkar rahasia lain dari keharusan atribut-atribut itu digunakan olehnya.

Mendengar kata sempurna, Banda kembali teringat satu hal; pandangan 10% orang di Bayundra terhadap Naira. "Tapi kalo kata gue, lo juga gak sepenuhnya sempurna. Dengan atau tanpa atribut-atribut apalah itu gue gak ngerti." Naira bergeming, tidak menatap Banda tetapi juga tidak menatap langit. Pandangannya mengarah ke lapangan sekolah yang kosong memperlihatkan garis warna-warni sebagai penanda.

Naira jelas sudah tahu dan menyadari akan hal itu, dapat terlihat dari gadis-gadis lain yang tidak menyukai penampilannya, termasuk Banda yang pernah menyebutnya dengan sebutan lon-

"Naira, lo sadar gak sih dengan semua penuturan lo tadi udah mengisyaratkan kalo gue udah dipercaya sama lo buat menampung semua curahan hati itu?"

Seruan dari Banda benar-benar menyadarkan Naira. Bukan hanya menyadarkan dari lamunannya, tetapi juga menyadarkannya untuk kembali ke kenyataan bahwa sejatinya di dunia yang keras ini lisan Naira harus betul-betul dijaga dari oversharing demikian. Untung saja Banda bukan orang lain yang tidak sengaja Naira temui di jalan dan dijadikan tempatnya melampiaskan semua isi hati.

"Himalia tau?" tanya Banda ketika ia mulai menyadari siapa lapisan luar yang paling dekat ke lapisan dalam di hidup Naira. Banda juga turut mempertanyakan soal itu, soal apakah Himalia tahu Naira tengah pendekatan dengan Gigih karena suatu alasan.

Naira hanya mendengus dan terkekeh pelan, tangannya mengusap wig berwarna belang yang mulai berantakan itu. "Dia tau gue fake juga enggak."

Sialan. Jawaban itu ialah yang paling Banda takutkan sedari tadi. Meski suatu kesimpulan harus diambil dengan melihat persepsi yang lain terlebih dulu, sepertinya Banda sudah bisa menyimpulkan yang satu ini kendati hanya dilihat dari satu sudut pandang. "Dari sini gue mulai mempertanyakan tentang, yang sebenernya fake itu lo atau pertemanan kalian?"

"HEI! LAGI APA KALIAN DI SANA? TURUN!"

To be continued

HAIII HOW'S UR DAY GUYS????

part ini bener bener ngeliatin sisi tanpa bedak Naira yang sebenarnya gasi? kek dua tahun menetap di Jogja dia cuma punya Sara, satu temen yang bener bener temen.

dan mungkin sekarang nambah sama Banda?

emang yakin mereka baka temenan? yakin Banda gak akan nyebarin Naira yang asli ke depan publik?

YEA MAKIN DIPIKIRIN MAKIN RUMIT

btw dengerin lagu di mulmednya ya! jangan lupa denger versi originalnya juga

Salam hangat
Kabutsenja_

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 44.8K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
2.7M 276K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
281K 26.3K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 75.3K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...