Survive as Hero's Mother (SE...

By GaluhCahya8

357K 80.8K 3.8K

Sebagai salah satu manusia yang terkena seleksi alam di era kapitalis, aku tidak banyak berharap begitu sadar... More

1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63

4

10.6K 2.1K 71
By GaluhCahya8

Pertemuan antara aku dan Oscar berakhir usai makan malam. Semenjak di kedai, aku tidak bertemu ataupun berpapasan dengan Oscar. Itulah yang aku harapkan. Lagi pula, tidak ada gunanya menjalin hubungan antara tokoh jahat dan karakter baik. Dia akan menjadi pembuka jalan bagi kedua tokoh utama bertemu dan aku akan melanjutkan hidup sebagai penyihir mapan dan kaya raya! Namun, suatu hari Oscar mendatangi Akademi Marwen, akademi penyihir, dan bertanya ke bagian administrasi mengenai salah satu murid berambut hijau, yakni AKU.

Tentu saja petugas administrasi dengan enteng menyebutkan sejumlah nama anak lelaki berambut hijau dan seorang anak gadis berambut hijau, yakni AKU. Di akademi hanya aku seorang yang berambut hijau!

Jantung seolah melompat ke tenggorokkan begitu salah satu murid memanggil, memintaku menuju bagian administrasi, dan menjumpai Oscar.

Dia terlihat bersih dan rapi. Tidak seperti kali terakhir yang didominasi oleh luka fisik, harga diri hancur, dan seragam kotor.

“Halo,” katanya sembari menyunggingkan seulas senyum. Rambutnya dikucir ekor kuda, berayun pelan mengikuti gerakan leher. “Celine Green?”

Green. Nama yang aku pilih berdasarkan warna rambut Celine. Di dunia ini tentu saja bahasa dari duniaku bukan hal lumrah. Di sini masyarakat memakai bahasa tertentu, tergantung asal daerah dan kelas sosial. Oh ya, anak dari panti asuhan boleh memilih nama belakang mereka. Bagiku, Green.

“Kenapa?”

“Aku mampir,” Oscar mendengus. Dia mengedarkan pandang, menatap lukisan Penyihir Marwen yang tergantung di dinding, lalu selintas keningnya berkerut ketika ada siswi yang tersipu melihatnya. “Kau tidak bersedia memberi tahu namamu.”

“Itu artinya aku tidak ingin bertemu lagi denganmu.” Aku berjalan cepat, mencoba menutup jarak di antara kami. “Seharusnya kau fokus ke pelajaran dan latihanmu! Kenapa kau ke sini sih?”

Oscar merapikan anak rambut dan menyelipkannya di belakang telinga. “Sesama teman, kan, harus saling bertukar kabar.”

Asamnya perasaan ini. “Begini, dengarkan baik-baik,” kataku sembari menunjuk dada Oscar. “Bukan hanya dirimu,” kataku sambil menunjuk seluruh ruangan. “Melainkan semua anak yang sedang mengalami perundungan, bila aku tahu, pasti akan aku selamatkan. Jadi, kau tidak is-ti-me-wa.”

Tindakan merendahkan orang lain bukan perkara sepele. Perundungan bisa menyebabkan trauma berkepanjangan dan krisis percaya diri. Sebagai salah satu orang yang pernah mencicipi pahitnya perundungan, dengan tegas aku akan melawan siapa pun yang bersikap JAHANAM!

‘Wahai ayah heroine, abaikan aku. Abaikan.’

“Kau tidak ingin berteman denganku?”

Ekspresi Oscar tampak terluka, seolah aku baru saja menamparnya berkali-kali.

“Pengalamanku dalam pertemanan amat buruk,” ujarku sembari menyembunyikan tangan di belakang pinggang. Aku mencoba mengalihkan pandang pada jendela, siswi yang sibuk memelototi seorang siswa, petugas pemeriksa catatan; apa pun selain Oscar. “Biasanya aku menjadi pihak yang ditinggalkan. Selalu begitu. Jadi, lebih baik aku tidak punya teman saja.”

Tentu saja ini bukan pengalaman Celine. Di kehidupan modern aku selalu menjadi pihak yang tidak dibutuhkan dalam pertemanan. Biasanya orang datang kepadaku di kala butuh saja, persis oknum yang ingin utang. Menjadi orang yang selalu menduduki posisi tidak penting, dan berkali-kali, membuat hatiku jadi keras seperti batu.

“Lagi pula,” kataku melanjutkan. “Menolong orang, kan, tidak harus ada tujuan tertentu. Sekadar menolong. Itu saja.”

“Seharusnya ketika berucap kau melihat lawan bicaramu.”

Aku menghela napas dan menepuk dahi. “Pulang sana.”

“Apa kau benar-benar tidak ingin berteman denganku?”

“Tuan Oscar, kau bisa mendapat teman terbaik di negeri ini. Namun, itu bukan aku. Andai kau berhasil lulus dengan nilai memuaskan, mahir menguasai seni berpedang, dan sukses mendepak kakakmu yang tukang perundung; maka, aku jamin semua orang pasti bersedia berkawan denganmu.”

Perlahan aku mundur, mataku menatap lantai—tidak sanggup melihat Oscar.

Lebih baik begini daripada membina hubungan dengan tokoh penting. Aku hanya ingin hidup damai dan makmur. Berada di dekat tokoh penting pasti menarik perhatian musuh dan sejumlah insiden mengerikan. Hohoho, cukup sudah. Aku tidak tertarik.

Setelahnya aku langsung buru-buru berbalik, lari, meninggalkan Oscar.

‘Maaf, Oscar. Kau akan menemukan jodoh cantik jelita dan memiliki seorang putri rupawan. Bye-bye, Oscar.’

Dan itulah terakhir kali kami berjumpa.

***

Kegiatanku berfokus pada pembelajaran, materi sihir, aplikasi jampi, dan rencana lulus secepat mungkin.

LULUS SECEPAT MUNGKIN!

Aku beri tahu, ya. Kehidupan remaja itu tidak hanya perkara cinta, tapi juga berisi tangisan menyelesaikan makalah, mengejar nilai bagus, dan mencoba bertahan dari serangan verbal pengajar. Enak saja bila ada yang berkomentar jadi anak-anak atau remaja itu mudah. Begini, menurutku, anak-anak maupun orang dewasa memiliki porsi masalah mereka sendiri. Satu sama lain tidak bisa dibandingkan. Alias, sama beratnya!

Apa asyiknya membandingkan penderitaan? Apa bila yang satu lebih rendah penderitaannya dari orang lain, maka akan mendapat hadiah piring cantik? Tidak! Kita semua memiliki masalah. Semua orang punya masalah! Tidak ada salahnya mencoba menjadi pendengar, dengan begitu barangkali orang yang memiliki masalah mungkin akan merasa tidak sendirian. Jangan asal menilai masalah orang dan berkata, “Milikku lebih susah daripada deritamu. Seharusnya engkau malu dan berlutut di hadapanku. Dasar manusia tidak tahu bersyukur. HAHAHAHAHA.”

Tekanan darahku sepertinya perlu diperiksa penyembuh.

Kembali ke perkara kegiatanku.

Berkat usaha keras, aku mampu menempuh jenjang pendidikan di akademi dalam kurun waktu terbilang singkat dan lulus pada usia sembilan belas tahun. Tidak ingin membuang waktu, aku pun mengajukan lamaran ke salah satu lembaga penyihir yang memfokuskan diri pada ramuan jampi dan artefak perlindungan. Nama lembaga tersebut adalah Lembaga Danun.

Berkat jerih payah dan pantang menyerah, bekerja di Danun mampu menghidupi dan membantuku menyewa satu rumah mungil di Kota Zel. Berbeda dengan orang-orang tengil yang dulu aku jumpai di kehidupan lalu, pekerja Danun jauh lebih SOPAN, BERBUDI, dan tidak SUKA MENGGOSIP. Jangankan memperbincangkan aib orang, memikirkan menu makan siang pun baru tercetus begitu pekerjaan tuntas. Dengan kata lain, kami hanya ada waktu untuk merancang prototipe artefak, membuat campuran ramuan demi jampi penolak bala, dan sibuk berhati-hati agar tidak salah campur hingga mengakibatkan kebakaran dan ledakan dan kecelakaan dan KEMATIAN YANG TIDAK DIHARAPKAN.

Perihal seragam. Hmmm. Kami bebas memakai baju apa pun selama jubah Danun; jubah berwarna merah dengan simbol rune pelindung; melekat pada tubuh kami.

Intinya, hidupku damai dan makmur untuk ukuran orang sepertiku. Asal bisa makan tiga kali sehari, bisa mandi dengan air bersih dan sabun, ada tempat berteduh dan tidur, bisa membeli baju beberapa bulan sekali; itu semua sudah tergolong makmur bagiku.

Asyik, ‘kan?

Hahaha, ternyata tidak seindah bayanganku.

Suatu hari surat permohonan datang dari istana. Isinya mengharapkan Danun mengirim sekelompok orang ikut ekspedisi ke Provinsi Saue. Tepatnya di salah satu desa yang terindikasi terkena dampak sihir jahat. Monster bermunculan, orang sakit, air terkontaminasi; secara keseluruhan, bencana besar.

Pemimpin, dengan teganya, memasukkan namaku ke daftar anggota yang dikirim menuju Saue. Semua orang tidak terlalu mempermasalahkan penempatan, kecuali aku.

“Gawat,” kataku sembari meratap. “Bukannya Julian ada di sana?”

Kacau!

Oscar? Sekarang Julian? Hahaha, ada apa ini?

“Ya,” sahut salah satu rekan kerjaku yang bernama Thy. “Kita hanya perlu mengambil contoh dari setiap tempat, meneliti, dan pulang.”

“Yakin?”

Thy mengangguk. “Kita tidak perlu berpapasan dengan monster.”

“Berani menjamin dengan kecantikanmu, Thy?”

Thy terkekeh. Setiap kali tertawa, maka gadis itu akan memamerkan lesung pipi. “Kecantikanku tidak ada gunanya bagimu.”

“Aku akan mengajukan protes,” kataku, bangkit dari kursi. “Bagaimana mungkin tipe pekerja dalam ruangan, sepertiku ini, sanggup bertahan di medan tempur?”

“Kau, kan, tidak perlu berperang, Celine.”

“Siapa yang sanggup menjamin keselamatanku?”

Thy berdeham. “Aku juga ikut bersamamu. Apa itu bisa menenangkanmu?”

“Oooh.” Perlahan aku kembali duduk. Masih cemberut. “Kenapa harus kita?”

“Karena aku dan dirimu pekerja paling kompeten.”

Sembari memejamkan mata, aku memijat pelipis yang berdenyut.

Pusing.

***
Selesai ditulis pada 18 Februari 2022.

***

(0_0) Sekadar info, cerita ini ditulis demi kepentingan santai. Oke?

Salam hangat,

G.C

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 187 47
Gimana rasanya saat bersiap berangkat ke kantor malah tiba-tiba kelempar ke dunia novel? Itulah yang dirasakan Lian Mahesa saat sedang berangkat menu...
221K 5.9K 4
DI PINDAHKAN KE NOVELTOON DENGAN JUDUL DAN COVER YANG SAMA. GRATIS. Menjengkelkan! Aku bahkan belum sempat lulus dari kuliahku, belum berhasil wisuda...
41K 4.2K 36
Awalnya semua tampak membosankan. Ayahku seorang Duke, ibuku punya banyak naga dan aku punya tiga kakak pria yang sangat kuat dan melindungiku. Aku...