Petrichor

By SylicateGrazie

448K 42.9K 9.1K

Di seberang sana ada seorang pemuda. Pemuda buta dengan bekas luka sayatan di telapak tangannya. Ia selalu mu... More

-Prologue-
-Second Rain-
-Third Rain-
-Fourth Rain-
-Fifth Rain-
-Sixth Rain-
-There's No Rain-
-Seventh Rain-
-Eighth Rain-
-First Storm-
-Pluviophiles-
Eh, ada update nih, Petrichor
-Ninth Rain-
-First Kill-
-Too Dry To Rain-
-Tenth Rain-
-Eleventh Rain-
-Twelfth Rain-
-Second Storm-
-Thirtieth Rain-
-Second Kill-
-Electrocuted-
-Fortieth Rain-
-Third Storm-
-It's Raining Cats and Dogs-
-Fiftieth Rain-
-Epilogue-
-Extra Part(s)-
-A Message From Gash-

-First Rain-

35.2K 2.9K 968
By SylicateGrazie

"Kakak itu masih di sana," ucapku lirih. Kutatap dirinya melalui jendela rumah. Badannya berdiri tegap, kepala memandang ke atas. Seluruh bagian dari dirinya basah oleh ribuan tetes air yang berjatuhan. Terlihat dari wajahnya, ekspresi kenikmatan. Aku mengernyitkan dahi, bingung. Apa yang menyenangkan dari hujan? Hujan membasahkan bajuku, membuat jalanan licin, belum lagi suara petir... mengerikan. Kupalingkan wajah ke belakang, menatap sosok yang tengah duduk di sofa, sibuk sendiri.

"Ayah, Ayah tidak akan memberikannya sebuah payung?" tanyaku.

Ayah yang sedang menyeruput kopi hangatnya sambil membaca koran langsung memandangku kesal. "Biarkan saja. Mungkin dia hanya akan bunuh diri," jawabnya datar. Ia kemudian membenarkan kacamatanya lalu melanjutkan bacaan. Aku mendesah pelan. Kenapa ayahku selalu berbicara seperti itu?

Kutolehkan kepalaku ke jendela lagi. Berembun. Kuusap embun di jendela itu dengan lengan baju kuningku, dan pemuda itu masih ada di sana.

Ini baru pertama kalinya aku melihat pemuda itu. Ia mengenakan kaus lengan pendek hitam lusuh dan celana jeans biru, seperti seseorang yang tidak memiliki rumah. Kalau diperhatikan lagi, sepertinya umurnya belum sampai dua puluhan. Kenapa orang semacamnya ada di sana?

Sore itu hujan turun dengan sangat deras. Tidak akan ada orang yang mau keluar rumah di cuaca seperti ini. Matahari tak terlihat, hanya awan hitam yang menurunkan air. Hawanya dingin. Seluruh kaca-kaca jendela sudah basah di luar, berembun di dalam. Kira-kira hujan sudah turun selama satu jam, tetapi pemuda itu masih berdiri di sana. Tidakkah ia takut sakit? Orangtuanya pasti akan membunuhnya jika ia sakit.

"Tidurlah!" teriak ibuku mendadak dari arah belakang. Aku hampir jatuh saking kagetnya. Ia menjewer telingaku dan menariknya keras-keras. "Dasar anak nakal!"

"Ini masih sore!" Aku membantah seraya meronta-ronta dari tangan ibu. Namun tangan dinginnya tetap saja berhasil menangkapku.

"Kau lebih baik tidur dari pada memperhatikan orang itu!" teriaknya lagi. Yah, mungkin ada benarnya... tetapi aku bosan! Salah mereka sendiri mengurungku di rumah. Tidak, aku tidak akan mengucapkan kata-kata itu kepada ibuku. Aku tidak berani.

Kutatap ibuku dengan mata yang berkaca-kaca, berharap wanita itu melembutkan wajahnya kemudian memelukku. Suatu hal yang tidak akan pernah terjadi. Ia kini memandangku rendah. Wajahnya yang berkerut membuat tampilannya menjadi jelek. Sangat jelek. Aku membencinya.

Ibu lalu menyeret tubuhku. Aku diam saja. Ini sudah biasa terjadi. Tubuhku bergesekan dengan karpet biru rumah. Bagian belakang bajuku selalu kotor dan berdebu karena ini. Telingaku yang juga menggesek karpet memerah, dan rasanya panas. Ibu lalu melemparkan tubuhku ke atas kasurku. Ia banting pintu kamar keras-keras. Debu langsung beterbangan mengelilingi kamarku.

Menghembuskan napas pasrah, aku mengalihkan pandangan ke jendela. Kamarku hanya mempunyai satu jendela. Satu jendela kecil yang mengarah ke depan rumah. Aku menyipitkan mata, hendak mengintip keluar melalui jendela itu. Sialnya, pemuda tadi sulit dilihat dari sini.

"Ah, Ibu menyebalkan," gumamku. Kupukul-pukul kasurku yang berdebu, membuat benda kecil layaknya peri itu melayang. Setelah meluapkan rasa amarah ke kasur, kuganti pakaianku. Kukenakan piyama putih polos yang selalu kupakai tiap malam. Bahannya tipis dan kasar. Yah, setidaknya lumayan nyaman dipakai. Aku ingat sekali pernah muntah saat mengenakannya. Bagian itu sekarang menguning, tidak bisa dihilangkan. Sesekali aku tertawa melihatnya, membayangkan betapa menjijikkannya muntahku di sana. Sampai sekarang aku tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.

"Ibu... aneh," bisikku lagi. Aku menelentangkan tubuh di atas kasur. Kutatap jam di dinding cokelat tua ruangan ini. Baru jam empat sore! Tiba-tiba perutku berbunyi. Sepertinya aku kelaparan. Aku harus bersabar untuk menunggu makan malam. Makan siang jarang sekali diberikan untukku... entah karena tidak ada makanan atau apa. Aku terlalu takut untuk membuka kulkas. Suara dengungnya membuatku tidak nyaman.

Aku menututup tubuh kurus dan mungilku dengan selimut. Selimut yang tebal, sayangnya terlalu kecil. Kalau aku sudah besar nanti, kakiku akan menyembul keluar saat menggunakannya. Kupejamkan mataku. Ruangan ini agak dingin, jari-jemariku menjadi berkeriput. Dingin... dingin sekali. Aku dilahap gelapnya kantuk.

Hahaha... hahaha....

Secara mendadak kubuka mataku. Jantungku berdetak cepat. Mimpi, mimpi buruk lagi. Aku terduduk di atas kasur, memegang kepalaku yang berkeringat. Apa yang kudengar tadi? Suara tawa? Apa pun itu, aku... aku ingin tahu siapa itu. Suaranya sangat halus walaupun mengerikan. Suara seorang laki-laki. Tepatnya, pemuda.

Ah, pemuda di depan itu!

Kusingkirkan benda yang menyelimutiku. Aku melompat dari kasur, lalu segera berlari ke jendela. Langit sudah gelap, dan hujan sudah berhenti. Aku tersenyum lebar. Tak peduli sekarang sudah waktunya tidur, aku akan memeriksanya!

Kubuka pintu kamarku perlahan. Ayah dan ibu belum terlihat. Hawanya lebih dingin dari sebelumnya. Mungkin karena sekarang sudah malam. Aku mengendap-endap ke ruang tamu, ruangan di mana aku mengintip pemuda tadi. Aku mengintip keluar, dan... ia masih ada di sana! Pemuda itu tengah duduk menyender ke sebuah tiang lampu. Ia terlihat sangat kedinginan. Wajahnya menunduk dan tertempel ke dengkulnya. Nah, pasti ia merasa sakit karena hujan-hujanan tadi!

Aku langsung berlari ke arah dapur. Tentunya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Di sebelah kompor dapur terdapat kulkas-berusaha keras untuk mengabaikan suaranya-dan di sebelahnya lagi terdapat kardus-kardus berisi botol minum air mineral. Kuambil salah satunya.

Aku kembali ke ruang tamu dan mengambil jaket ayah yang ada di atas sofa. Jaket kulit yang kelihatannya mahal dan enak dipakai, entah kapan dibelinya. Warnanya merah marun. Ukurannya besar, pemuda itu pasti muat mengenakan jaket ini.

Kubuka kunci pintu, lalu aku berlari ke arah pemuda yang ada di seberang jalan itu. Napasku terengah-engah. Aku bukan anak yang aktif ataupun senang berolahraga. Sesampainya, wajah pemuda itu seperti menatapku, menyadariku. Anehnya, rambut pemuda itu menutup dahi dan matanya. Namun dapat kulihat dengan jelas bahwa ia memejamkan matanya itu.

"Ini," bisikku. Ia tetap terdiam.

"Buka matamu, Tuan," bisikku lagi. Ia malah tersenyum kecil.

"Maaf, aku buta," ucapnya. Suaranya tidak terlalu berat, tidak terlalu cempreng. "Dan cukup panggil aku dengan panggilan, Kak."

Aku terdiam mendengar perkataannya, merasa bersalah.

Cahaya lampu jalan menerangi kami berdua. Tidak ada bintang yang terlihat karena lampu-lampu kota. Di sini jarang ada pohon, hanya beberapa semak-semak dan rerumputan. Di pinggir jalan hanya ada trotoar dan sederet rumah tetangga. Namun di depan rumahku tidak ada rumah sama sekali. Hanya ada sebuah tiang lampu, dan pemuda ini.

Aku berjongkok di hadapannya. Kubuka tutup botol minum yang kubawa.

"Minumlah, Kak," ujarku lirih. Kugenggam tangan kanannya dan kutuntun tangannya ke botol yang kupegang. Ia pun meraihnya pelan. Didekatinya mulut botol itu ke bibirnya yang basah.

"... Tak mengapa?" tanyanya.

"Minumlah," pintaku. Pemuda itu tersenyum. Ia minum air di dalam botol minum itu. Hanya dalam berapa kali teguk, air itu sudah habis.

"Kakak haus sekali, ya?" tanyaku. Kuperhatikan dirinya yang bersimbah air. Rambut pemuda itu berwarna cokelat kemerahan yang acak-acakkan. Badannya kelihatannya tinggi, jauh melebihiku. Mungkin tinggiku hanya seperutnya.

"Iya.... Beberapa hari ini belum makan minum." Ia terbatuk (sudah kuduga dia akan sakit), lalu tersenyum. Senyum yang ia gunakan sangat khas, entah kenapa. Agak berbeda dengan senyum-senyum yang pernah kulihat.

"Kakak tidak pulang saja? Apa Kakak tidak akan sakit?" tanyaku cemas. Ia tertawa kecil.

"Aku justru lari dari rumah. Hahaha... hahaha...." Ia tertawa lemas. Tawa itu....

Hahaha... hahaha....

Aneh sekali.

"Sedang apa di sini, Dik?" tanya pemuda itu tiba-tiba. Lamunanku seketika pecah.

"Tidak ada apa-apa," jawabku pelan. "Kenakan ini, Kak. Jaket," ucapku sambil menyodorkan jaket ayahku kepadanya. Kubantu ia mengenakan jaket itu.

"Kau anak kecil kan? Jaket siapa ini?" tanyanya sambil menaikkan retsleting jaket.

"Jaket ayahku yang sudah tidak dikenakannya lagi," ujarku riang. Sebenarnya ayah masih mengenakannya. Tapi ayah masih punya jaket lain, dan jaket-jaket lain itu tak kalah bagusnya. Lagi pula, ayah sepertinya masih punya banyak uang untuk membeli jaket lain. Lebih baik kuberikan saja ke pemuda ini. Semoga saja ia menyukainya.

Tangannya hendak membuka retsleting jaket itu. Kutahan tangan besarnya itu.

"Pakai saja, Kak. Malam ini dingin."

"Sudah malam ya?" ucapnya pelan. "Kau tidak ke rumah?"

"Rumahku di seberang jalan ini, Kak. Tenang saja." Aku tertawa kecil.

"Begitu...." Ia tersenyum lagi. "Berapa umurmu?"

"Sebelas," jawabku tanpa ragu.

Pemuda itu tersenyum. "Kita beda lima tahun. Umurku enam belas," ujarnya lembut. Ia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk bersalaman. Tangannya basah dan penuh dengan bekas luka sayatan. Aku agak takut melihatnya. Kugenggam tangan itu. Dingin. Aku langsung mengusap tanganku ke baju setelahnya. Ia tertawa lagi.

"Tanganmu kecil sekali," komentarnya geli. Aku tersenyum. Pemuda ini baik, tidak seperti ayah.

"Aku jarang makan di rumah," jawabku dengan jujur.

"Kenapa? Diet?"

"Orangtuaku jarang memberikanku makan," ucapku dengan suara kecil. Pemuda itu sempat terdiam mendengarnya. Ia lalu mengusap-usap rambutku. Lebih tepatnya, ia mengacak-acaknya. Aku tertawa kecil. Mendengarnya, ia tersenyum lagi.

"Namamu?" tanyanya lagi.

"Erlyn. E-r-l-y-n," ucapku, mengeja namaku sendiri.

"Aku tau cara mengejanya," ucapnya. "Namaku Gash. G-a-s-h."

"Aku juga tau bagaimana cara mengejanya!" teriakku. Sejujurnya tidak. Aku tidak tau namanya menggunakan huruf A atau U. Kami tertawa bersama. Rasanya nyaman sekali berada di dekatnya, walaupun ini baru pertama kalinya aku berbicara dengannya.

"Suaramu manis sekali," ucapnya, membuat senyumku merekah. "Coba deskripsikan dirimu sendiri."

Aku terdiam sebentar untuk berpikir.

"Erm.... Aku punya hidung, mulut, dua tangan dan dua kaki...."

Ia mendengkus, tertawa kecil, lalu berkata, "Coba... lebih jelas?"

"Mm.... Mataku berwarna hijau. Rambutku hitam, tidak seperti Kakak. Rambutku tidak terlalu panjang. Ibuku melarangku untuk mempunyai rambut yang panjang. Katanya merepotkan."

"Begitu... kau juga pendek." Ia tersenyum nakal. Aku hanya bisa tertawa.

"Sekarang, coba deskripsikan diriku! Aku sudah lupa seperti apa aku ini," ucapnya bersemangat. Aku tertawa geli. Kuperhatikan Gash dari ujung rambutnya hingga kakinya yang tertutup sepatu kets hitam.

"Rambut Kakak cokelat, agak kemerahan.... Ada beberapa jerawat di pipi Kakak. Ada tiga," ucapku. Ia langsung meraba wajahnya yang agak pucat.

"Ah.... Aku merasa kotor," ucapnya lirih.

"Iya. Baju Kakak basah. Kenapa Kakak tidak mencari tempat untuk berteduh saat hujan tadi?" tanyaku.

"Ah, aku senang dengan hujan. Setiap hari aku mencari hujan. Mungkin aku buta, tapi aku sudah lumayan hafal perumahan di sini. Seluruhnya... aku wajib menghafalnya."

Aku terdiam, agak kaget dengan kemampuannya. "Iyakah? Di mana Kakak dapat makan? Ah, lalu Kakak mandi di mana?"

Gash tergelak mendengar serangan pertanyaan-pertanyaanku.

"Aku bekerja. Aku dapat uang. Aku bisa beli es krim, burger, atau apapun yang kumau," jawabnya sambil tersenyum. "Kalau mandi.... Di taman ada toilet umum."

Aku mengangguk pelan. "Oh.... Kakak kerja apa?"

Gash menempelkan telunjuk tangannya ke bibirnya.

"Rahasia," bisiknya pelan.

Aku mengernyitkan dahi. "Rahasia?"

Ia tersenyum. "Rahasia."

Aku menggaruk kepalaku. "Rahasia itu sebuah pekerjaan?"

Gash tertawa. "Sudahlah.... Kenapa kau terus membuatku tertawa?"

Aku kaget mendengarnya. "Tidak! Aku tidak sengaja membuat kakak tertawa!" teriakku. Aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan. "Maaf," ucapku pelan. Ia malah tersenyum ke arahku. Ia acak-acak lagi rambutku. Aku mengerucutkan bibirku.

"Kenapa... Kakak buta?" tanyaku tiba-tiba.

Ia memalingkan muka. "Kecelakaan," jawabnya singkat.

"Lalu mengapa Kakak lari dari rumah? Bukannya lebih baik Kakak di rumah?"

Ia terdiam, lalu tersenyum lagi ke arahku.

"Ra-ha-si-a," ucapnya. Aku menggembungkan pipi.

"Kenapa rahasia terus, sih!?" protesku.

"Wah.... Kenapa, ya? Karena rahasia." Ia menjulurkan lidahnya yang kering ke arahku. "Pulanglah. Sekarang pasti sudah larut malam. Besok kau harus sekolah, bukan?"

Aku mengangguk. Tidak ada respons.

"Ah, iya. Aku besok sekolah," jawabku cepat. Aku lupa fakta ia tidak bisa melihat. Rasanya sangat canggung... untung tidak ada satu pun orang yang melihatnya. Ditambah, tingkahnya seperti orang biasa-biasa saja. Atau mungkin semua orang buta sepertinya....

"Kalau kamu tidur terlalu malam, nanti paginya akan kesiangan," ujarnya.

"Aku tahu.... Ibu selalu bilang itu kepadaku," balasku. Ya, Ibu selalu bilang itu dengan sebuah jarum kecil di tangannya. Kalau aku tidak tidur, aku akan ditusuk dengan jarum itu hingga aku tertidur. Terkadang aku takut sekali dengan wanita itu.

"Kakak tidur di mana?" tanyaku. Ia tersenyum. Entah sudah berapa kali ia tersenyum kepadaku.

"Aku tidur di sini saja," ucapnya. "Di sini sudah nyaman."

"Kakak... tidak akan sakit nanti?" tanyaku lagi. Ia menggelengkan kepalanya.

"Tenang saja." Ia tersenyum hangat. Senyumannya itu sangat menular, aku ikut tersenyum karenanya.

"Ya sudah. Aku pergi ya, Kak!" ucapku.

"Terima kasih atas jaket dan air minumnya!" teriaknya, membuatku tertawa kecil. Aku berlari ke rumah. Pengalaman baru ini sangat menyenangkan! Aku penasaran mengapa orangtuaku bilang jangan berani-beraninya bicara dengan orang asing.

Pintu kubuka, terlihat Ibu dan Ayah menatapku tajam.

"Ke mana saja kau dari tadi, Erlyn?" tanya ibuku datar. Di tangan kanannya terlihat sebuah jarum jahit yang sudah bersiap-siap untuk menusukku.

"Jaket ayah di mana?" tanya ayahku.

Aku sangat kaget melihat mereka. Serius!

Aku menggigit bagian bawah bibirku panik. "A-aku.... Aku tidak tahu, Ayah!"

Ayah berdecak kesal. "Pembohong!" teriaknya. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku benar-benar takut.

"Jarum ibu sudah siap di sini," ucap ibu sambil menunjukkan jarum yang sudah sering menusuk dagingku. Senyum ibu sangat mengerikan, seperti tokoh-tokoh jahat yang ada di film kartun. Begitu pula dengan ayahku. Mereka lalu mendorongku masuk ke ruang tamu, takut ada orang lain yang melihat atau mendengar kejadian ini.

Aku berharap Gash mendengarnya.

"Ayo mengaku!" teriak ibuku tiba-tiba. Tangan kurusnya menggoreskan pipi kiriku dengan jarum itu. Setetes darah keluar. Air mataku sudah tidak bisa kutahan lagi.

"Ibu, berhenti!" teriakku.

"Tidak sampai kau mengaku kalau kau mengambil jaket ayahmu!" Ia tusuk lagi jarum itu, sekarang ke pundak kiriku, menembus bajuku. Kupegang luka di pundakku itu untuk menahan rasa sakitnya.

"Aku hanya memberikannya ke orang lain!" teriakku lagi, berusaha untuk membela diri. Ayahku hanya menatapku dingin dari pojok ruangan.

"Oh, berarti Erlyn seorang pencuri, ya?" tanya ibu sambil menatapku tajam, membuat nyaliku kian ciut.

"Bu-bukan!"

Ibu menusuk perutku. Rasanya perih sekali. Piyama putihku sekarang memiliki beberapa bercak darah.

"Tidurlah! Ibu tidak mau melihatmu lagi!" Ibu dan ayah meninggalkanku yang sudah berlutut. Lemas, rasanya sangat lemas. Kucoba berdiri dengan perlahan. Sepertinya darah dari lubang-lubang yang ibu buat tadi sudah berhenti mengalir keluar. Namun rasa pedihnya tersisa. Aku menyeka air mata di pipiku.

"Jahat," bisikku pelan. "Kenapa ayah dan ibu membenciku?"

Aku berjalan ke arah kamarku. Air mata masih berjatuhan. Kuseka lagi air mata itu dengan kedua tanganku. Pintu kamar kubuka pelan-pelan. Gelap. Hanya ada cahaya bulan dari jendela. Aku langsung menaiki kasurku dan membungkus tubuhku dengan selimut.

Kenapa ayah tidak seperti Gash? Suara Gash saat berbicara sangat lembut. Tidak seperti ayah yang dingin.

Kenapa ibu memperlakukanku seperti ini? Aku lebih senang bersama Gash.

Aku menahan tangisku dengan memeluk satu-satunya bantal yang ada.

Ini baru pertama kalinya aku bertemu dengannya, tetapi aku sudah senang sekali berada di dekatnya. Mungkin karena aku kesepian. Mungkin karena ia memang orang yang baik. Ia mungkin orang yang senang sekali menyimpan rahasia.... Namun itu wajar, bukan? Mana mungkin ada orang yang langsung menyebar rahasianya ke orang lain.

Kuingat lagi wajahnya. Ada dua jerawat di pipi kanannya, lalu ada satu lagi di pipi kirinya. Kulitnya putih seperti gading gajah, sama seperti kulitku. Rambutnya seperti orang yang baru saja bangun tidur. Warnanya cokelat kemerahan. Lalu senyum dan tawanya yang khas... yang selalu ada di mimpi burukku....

Tunggu, kenapa ada di mimpi burukku?

---

Welcome to Petrichor \('-')/

Nikmatilah perjalanan yang akan Anda tempuh bersama kedua tokoh kami yang nganu, fuwahahahaha~ (?)

Eh, kalau ada yang kacau... kayak typo atau apa, bilang aja ya! Semoga harimu menyenangkan~ Feel free to vote or comment :D








Continue Reading

You'll Also Like

361K 25.2K 35
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...
572K 5.9K 10
Cecilia tak pernah menyangka jika pernikahannya akan hancur setelah 2 tahun menjalin ikatan pernikahan dengan Derek. Cecilia juga tak pernah menyangk...
11.7K 2.4K 11
Katanya, tak ada ruang yang aman untuk perempuan. Di sini mereka mencoba menciptakan ruangan itu.
ElgaZa By Saha Ria

Teen Fiction

32.9K 2.2K 34
(DILARANG PLAGIAT!!!) (FOLLOW DULU DONG!!) Elgara Alexander Graham harus menikahi seorang gadis bernama Zahra Aurelia Rahman. Mereka menikah bukan ka...