SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Da lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Altro

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

43: Chaos Begins to Blow

1.2K 244 128
Da lnfn21

CHAPTER 42
Chaos Begins to Blow

[Playlist: Fara Effect – Meet Again]

***

Tiga hari silam, Jeffrey mengeksekusi serangkaian rencana yang telah ia pikirkan semalaman.

Ia mengajak Bona makan malam di sebuah kedai seafood pinggiran. Tempat tersebut sesak oleh para pekerja proyek yang bau keringatnya bercampur-baur dengan udara sekitar. Jeffrey baik-baik saja dengan keadaan demikian, tetapi Bona tidak. Perempuan itu tertampil tidak nyaman berada di tengah-tengah lingkungan yang lembab dan menjijikkan, beberapa kali pula, Bona seakan menahan mual saat hendak menyantap hidangan yang dipesan.

Dengan alasan hendak menghubungi Mingyu, Jeffrey diperkenankan Bona untuk menggunakan ponsel perempuan itu setelah mengatakan jikalau baterai ponselnya sendiri habis. Jeffrey menarik sudut bibir, mengerlingkan sebelah mata pada Bona yang segera membalas dengan seulas senyum tipis.

Padahal saat itu Jeffrey hanya sedang memberikan isyarat pada salah seorang pria paru baya yang ia bayar untuk berpura-pura memuntahkan isi mulut di meja. Posisi duduk pria itu tepat di sebelah Bona. Maka, sesaat setelah ia membuat ricuh, seperti dugaan, Bona segera menyingkir dari kerumunan di dalamnya dan bergegas menuju toilet wanita.

Kesempatan tersebut digunakan Jeffrey untuk memasang fitur penyadap di ponsel Bona. Ia melacak histori pesan Bona dengan pria-prianya sehingga didapatkan informasi tentang kapan, di mana, dan pukul berapa mereka bertemu. Lima alamat hotel telah Jeffrey datangi dan mintai rekaman kamera pengawas. Beberapa foto yang menampilkan sudut terbaik kemudian dihimpun, dicetak, dan diletakkan di atas meja kerja milik Bona bersama surat pemecatan pagi ini.

Sebilah pintu kaca didorong kuat. Sepasang kaki berbalut heels tinggi bergegas mengurai langkah sedemikian tergesa memasuki ruang. Dua pupil bergetar menaruh tatap tajam pada punggung lebar seorang pria di dekat jendela, tegak berdiri membelakangi sembari menyimpan seluruh jemari di balik saku celana.

Bona melemparkan foto-foto dalam genggaman, bukan lagi berbentuk lembaran sebagaimana ia menerima di mula, melainkan potongan kecil yang kini berterbangan lalu mendarat di mana-mana mereka suka. Bona menyobeknya tepat sedetik setelah ia menyadari bahwa Jeffrey baru saja mencuranginya.

Agaknya, pemandangan kota beserta kasak-kusuk manusia di bawah sana tak akan lebih menyenangkan dipandang ketimbang tatanan wajah Bona. Cukup penasaran, Jeffrey memutar badan guna melihat sekacau apa perempuan itu sekarang.

"Kau pikir, kau bisa memukul mundur diriku hanya dengan benda sampah begini?"

Namun, ternyata Bona masih memiliki sekian banyak porsi kepercayaan diri, seakan gertakkan tiba-tiba Jeffrey bukan perkara krusial yang sanggup melahirkan guncangan hebat. Bona tak ingin bertanya dan tak ingin tahu pula sejauh mana Jeffrey berselancar hingga bisa mendapatkan informasi sebegitu detail. Ia hanya melesat cepat mencengkram erat dua sisi jas milik Jeffrey lalu berujar pelan, lalu bicara tepat di depan wajah pria itu.

"Aku Kim Bona. Jika kau berniat menyiarkan rumor buruk tentangku, itu tidak akan mempengaruhi apa pun. Aku bisa dengan mudah membungkam seluruh portal media di negeri ini."

Mata padam Bona menelisik retina Jeffrey yang bahkan tak gemetar barangkali sedikit pun. Sebelah sudut bibir Jeffrey terangkat naik. Ia menyadari satu peringatan untuk tak lagi saling mengusik nyatanya tak Bona hiraukan. Lantas, apa boleh buat. Jeffrey jelas tak akan membiarkan perempuan itu mengendalikan jiwa bebasnya berlama-lama.

Maka, sebuah ponsel dikeluarkan, rekaman suara diputar tepat di sebelah telinga Bona.

"Dulu, kupikir dengan menjadi anak keluarga konglomerat bisa membuatku bahagia. Dengan pemikiran sempit itu, aku meninggalkan Mingyu seorang diri di panti asuhan. Nyatanya, hidup di balik dinding rumah bak istana tak semenyenangkan yang kupikir. Kedua orang tuaku memberikan banyak aturan menyebalkan. Aku seperti boneka yang mereka setir, aku hidup hanya untuk menuruti semua kemauan mereka.

Saat aku menginjak remaja, aku mulai iri dengan teman-teman seusiaku. Mereka punya banyak waktu berjalan-jalan ke taman hiburan, berkemah, berkaraoke, hingga mencoba alkohol. Sedangkan aku hanya harus terus memakan buku-buku tebal setiap hari untuk bisa menjebol seleksi ketat masuk fakultas kedokteran.

Saat itu, aku berusia delapan belas. Seseorang yang kusukai mengajakku datang ke promt night-nya. Dia yang tahu kondisiku tidak memungkinkan lalu memberiku serbuk yang kemudian aku letakkan ke dalam makanan kedua orang tua angkatku. Dia bilang itu hanya akan membuat mereka tertidur semalaman sehingga aku bisa pergi bersamanya, tetapi ternyata itu justru membuat mereka tidur selamanya.

Polisi datang ke rumah, tetapi bukan aku yang diseret, melainkan salah satu pelayan rumah kami. Seluruh harta kekayaan orang tuaku kemudian jatuh ke tanganku, salah satunya Lullabies London. Ya. Bertahun-tahun aku yang tinggal di negeri orang akhirnya bisa menginjakkan kaki kembali ke tanah kelahiran.

Orang pertama yang kudatangi adalah Mingyu. Namun, dia yang begitu marah atas keegoisanku di masa lalu selalu mendorongku pergi. Aku merasakan penyesalan. Setiap hari rasanya aku hanya ingin mengutuk diri sendiri.

Malam itu, aku mabuk berat lalu mengalami kecelakaan saat berkendara. Mingyu tak bisa datang menjenguk karena sedang menjalani program pertukaran pelajar di Jepang. Jadi, ia mendatangkan Jung Jaehyun. Jaehyun yang mengurusku selama pemulihan. Setiap detik bersamanya membuatku selalu berdebar. Aku sungguh tak mengira, bocah laki-laki yang dulu pernah kurawat telah menjelma menjadi pria dewasa yang sebegitu rupawan."

Cairan bening tersimpan di kedua sudut pelupuk milik Bona. Jemari bergetar perempuan itu kemudian menyingkir dari pakaian Jeffrey lambat laun. Ia tak mengira, Jeffrey bisa lebih licik dari dugaan. Ternyata, Jeffrey bukan tanpa alasan mengajak Bona bersulang manis dan meneguk soju bersloki-sloki tadi malam di apartemennya. Diam-diam, pria itu juga merekam raungan putus asa Bona yang sedang dalam keadaan setengah mabuk.

"Apa ini masih tak bisa akan mempengaruhi apa pun?"

Jeffrey tersenyum miring mana kala Bona terbisukan. Jelas bukan hal yang patut dipertanyakan lagi, hidup Bona sudah dipastikan akan seketika porak-poranda jika Jeffrey menghantarkan bukti yang ia miliki pada pihak berwajib. Pun, Jeffrey bisa melihat adanya kepedihan dan penyesalan mendalam ketika Bona kembali diingatkan dengan kesalahan fatal dirinya di masa lalu.

"Apa yang kau harapkan dari memacari pria sebejat aku?"

Netra kelam Jeffrey menghunus perempuan di hadapan dengan tatapan yang luar biasa dingin. "Kau berambisi memilikiku hanya karena aku sangat mirip dengan pria yang membuatmu berdebar-debar itu? Kau terbuai oleh wajah ini dan ingin memandanginya setiap waktu? Jika memang begitu, kusarankan kamu agar cepat-cepat melenyapkan keinginanmu sebelum keinginan itu berbalik melenyapkan kamu."

Bona mengepalkan jemari kuat-kuat. Tak pernah terbesit di akal Bona, jikalau Jeffrey akan sanggup merubah keadaan semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimanapun, Bona telah menyimpan rahasia tentang kematian orang tua angkatnya sedemikian rapat selama bertahun-tahun. Bodoh jika ia memilih menukar itu hanya demi seorang Jeffrey—pria asing yang serupa dengan pria pujaan hatinya tetapi lain dari segi apa pun juga.

"Dengar baik-baik!" Sedikit jarak dipangkas oleh wajah Jeffrey. Sepasang bibir tipis yang berada tepat di samping telinga Bona bergerak membisikkan kalimat,

"Aku bukan Jung Jaehyun. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa memperlakukanmu sebaik dia."

***

Sebuah troli didorong pelan mengarungi jajaran rak-rak pusat perbelanjaan. Dengan wajah bertabur riang, mata Rosé berpendar memilah daging, buah, hingga sayuran. Troli hampir penuh oleh kebutuhan pangan untuk satu minggu ke depan.

Ini adalah akhir pekan. Rosé berbelanja seorang diri karena pelayan rumah diliburkan, termasuk juga Mola. Ingin rasanya meminta Jeffrey menemani, tetapi pria itu telah lebih dulu dimintai kesediaan untuk menjadi narasumber pada acara seminar bisnis di sebuah perguruan tinggi. Tidak masalah. Rosé lebih-lebih bersyukur lantaran kerja keras sang suami kini telah diakui dan dijadikan inspirasi banyak orang sehingga ia kerap diundang ke beberapa acara besar.

Sebelum melangkah kemari, Rosé sempat melihat televisi raksasa di luar gedung ini menampilkan tayangan acara yang Jeffrey hadiri. Tak perlu diragukan, pria itu selalu menjadi pria maha hebat yang pernah Rosé temui sepanjang hidup. Ia menjawab lugas dan tuntas semua pertanyaan yang datang dari berbagai kalangan. Pesona juga kewibawaannya memancar begitu deras, tak tertampung di mata manapun juga.

"Pimpinan Jung sungguh luar biasa. Tampan dan cerdas."

"Senyumannya melelehkan hatiku. Dia sempurna dilihat dari sudut mana saja."

"Ketimbang pengusaha, dia bahkan lebih cocok menjadi idola."

Demikianlah, sepanjang Rosé melangkah, para kaum Hawa di sekitar tiada sudah menggaungkan pujian teruntuk sosok yang saat ini tengah hangat dibicarakan selayak selebriti. Rosé tak berniat ambil pusing sebab jagat dan seisinya jelas tak sanggup mengkhianati garis takdir yang berbunyi 'Jung Jaehyun' adalah miliknya.

Seulas senyum terbit di sepasang bibir agak pucat. Kabar terkait pemecatan Bona dari kantor telah sampai di telinga Rosé. Cukup melegakan menerima kenyataan bahwa apa yang Jeffrey ucapkan beberapa waktu silam bukan sebatas omong kosong belaka. Ketahuilah, Rosé telah sampai pada titik di mana ia sama sekali tak mempunyai keraguan terhadap sang suami, barang sedikitpun.

Malam ini, Rosé berencana menghidangkan menu spesial sup seafood pedas teruntuk Jeffrey. Setelah pekan lalu sempat menyaksikan sosoknya begitu lahap menyantap seafood di sela-sela perjalanan pulang sehabis berboncengan mengelilingi sudut-sudut kota, Rosé kini terdorong untuk membuat masakan yang serupa.

Langkah terarak menuju susunan para saus beraneka citarasa. Saat hendak mengambil salah satu, Rosé menyenggol beberapa hingga mereka berjatuhan malang di atas lantai. Cepat-cepat, Rosé berjongkok hendak membereskan kekacauan yang ia buat tanpa kesengajaan. Sampai pergerakannya lantas terjeda begitu seseorang turut berjongkok dan membantu memunguti bungkusan saus yang tercecer.

"Asisten Kim?"

Menengadahkan wajah, Rosé mendapati pemuda dengan tampilan santai serupa kaos putih yang ditimpa mantel coklat bergaris kini mengulas senyum. "Selamat sore, Nyonya Jung."

Dua sudut bibir Rosé melahirkan lengkungan seiring munculnya semburat merah di pipi setelah mendengar sebutan dari pria yang kini tengah menata kembali saus pada rak semula. Mingyu tak asal menyebut, ia teringat akan Rosé yang pernah menegaskan bahwa dirinya bukan lagi seorang 'nona', tetapi 'nyonya'.

Jalinan pertemanan yang sempat berjarak kini mulai berangsur merekat kembali setelah beberapa kali mereka berbincang. Saat Mingyu mengantar kepulangan Rosé dari Busan lalu mereka berakhir singgah di sebuah kuil dekat pantai adalah yang pertama; sedang yang kedua terjadi beberapa hari lalu saat Mingyu tak sengaja menemukan Rosé berjalan di waktu siang seorang diri, lantas mereka berakhir mengunjungi sebuah kafe untuk segelas cappucinno dingin dan sepiring obrolan hangat.

Dari situ pula, titik mula Mingyu mengetahui sebuah fakta, bahwa ketimbang sebelumnya, Rosé kini jauh lebih bahagia. Jeffrey memperlakukan perempuan itu dengan baik, meski sebagian kecil kecerobohan Jeffrey tak elat ditemui oleh Mingyu. Ya. sebagian kecil berarti tidak seluruhnya. Mingyu hanya tahu apa yang nampak di depan mata, tidak untuk yang disaksikan oleh dinding-dinding kokoh rumah hunian mereka.

"Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja bersama Mingyu."

Sebuah ponsel ada di dekat telinga Rosé yang kini duduk nyaman di dalam mobil Mingyu. Ia tengah berbicara dengan Jeffrey melalui panggilan yang tersambung sejak lima menit lalu.

Mingyu tadi membantu Rosé membawakan belanjaan juga menawarkan tumpangan. Sekalipun Mingyu selalu ingin mendedikasikan diri guna menjaga perempuan itu sepenuh jiwa dan raga sepanjang usia, pada kenyataannya usaha Mingyu hanya selalu berhenti pada titik memberikan sedikit bantuan. Tak mengapa, bahagia seorang Kim Mingyu tak pernah muluk. Hal sesederhana Rosé yang tak menyuguhkan penolakan atas niat baiknya sudah lebih dari cukup menabur benih kebahagiaan di ladang hati pria itu.

Kaca jendela diturunkan Rosé. Terlalu tenggelam dalam lamunan seraya pandang berlabuh secara horizontal pada jalanan, Mingyu tak tahu pasti sejak bila panggilan suara antara Rosé dan Jeffrey di seberang sana usai.

Separuh atensi Mingyu akhirnya bergulir pada wajah cantik perempuan yang tertampil teramat menawan diterpa kejinggaan sinar mentari sore. Hembusan angin musim gugur menerbangkan ujung-ujung surai panjang kecoklatan, dan senyuman manis di sana memaku Mingyu bersekon-sekon lamanya sebelum pria itu kembali berupaya menfokuskan diri mengemudi lantaran tak ingin mereka berakhir celaka saking ia tak bisa mengontrol gelora rasa.

Adakah manusia di dunia ini yang sesabar Mingyu dalam urusan menaruh hati pada seseorang? Bahkan, Hujan Bulan Juni pun tak lebih tabah dari seorang Kim Mingyu yang berhasil memendam perasaan selama ribuan hari tanpa menjadi gila. Entah kapan Mingyu berkesempatan mengungkap rasa. Ia pikir itu adalah rahasia semesta yang sedang dibungkam waktu. Atau, sesungguhnya, semesta kerap menghadirkan peluang, hanya saja Mingyu yang berkali-kali tak memanfaatkan?

Dan, apakah sesungguhnya, ketika mereka ditakdirkan untuk saling bertemu seperti sekarang ini adalah bentuk kesempatan yang kerap Mingyu sia-siakan? Entahlah, Mingyu hanya merasa belum menemukan fase yang tepat sehingga ia pada akhirnya berkali-kali memilih kembali menyimpan.

Keributan kecil yang terjadi di kepala Mingyu terhenti ketika telinga pria itu diperdengarkan dengan erangan kecil yang lolos dari bibir Rosé. Mingyu menoleh, menemukan Rosé meraba-raba perutnya sendiri entah mengapa. Yang jelas ada raut kesakitan yang tampil samar-samar oleh netra.

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan Mingyu tak terjawab. Rosé mulai sibuk memejamkan mata manakala merasakan sesuatu di dalam perutnya seakan terdorong untuk segera dikeluarkan. Maka, tangan kiri kontan difungsikan untuk menutup mulut cepat-cepat.

Mingyu yang melihat jelas gelagat aneh Rosé segera membanting stir ke kanan. Mobil dihentikan di tepi jalan. Ia membiarkan Rosé bergegas keluar dan berlarian ke tengah-tengah himpunan ilalang liar. Syukur, kala itu jalanan tak terlalu ramai sebab Mingyu memilih jalan alternatif yang membentang di tengah area tanah lapang dan perkebunan guna menghindari kemacetan akhir pekan.

Bulir-bulir keringat dingin bercucuran di sekujur wajah pucat luar biasa. Mingyu bersama kekhawatiran yang menggunung segera menghampiri Rosé yang berjalan lamban sehabis membuang isi perut.

Mantel coklat bergaris ditanggalkan Mingyu, berniat ia pakaikan pada tubuh Rosé yang hanya berbalut gaun sutra hitam selutut. "Maaf jika aku berkendara terlalu kencang."

Mingyu sama sekali tak memikirkan latar belakang lain yang membuat Rosé mengalami kondisi setidakbiasa ini.

Rosé menggeleng. "Bukan begitu." Ia juga menepis tangan Mingyu pelan seakan tak ingin menerima mantel pria itu. Terlebih melihat Mingyu yang hanya mengenakan kaos tipis hitam, pendek pula. Rosé tentu merasa segan. Ia hendak berlalu, tetapi Mingyu buru-buru menahan dengan menggenggam erat lengannya.

"Pakai ini!" Mingyu masih berupaya. Dan, Rosé yang begitu keras kepala hanya sebatas berujar lirih, "Aku baik-baik saja."

"Jangan membantah!"

Cemas yang tak tertampung di dada membuat Mingyu berakhir memaksa. Ia membungkus tubuh lemah Rosé dengan mantelnya tanpa seijin sang pemilik. Mata siapapun akan tahu, jikalau Rosé tak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Keyakinan Mingyu terbukti dengan segera ketika dua tungkak Rosé tak lagi mampu menumpu raga yang kemudian roboh, siaga Mingyu dekap dengan dua lengannya yang kokoh.

***

"Adik iparmu sudah tak pernah lagi berobat ke rumah sakit ini. Kemungkinan besarnya dia sudah tahu bahwa obat yang selama ini ia minum bukan akan menyembuhkan tetapi mematikan."

Sebuah kursi di tengah-tengah khalayak ramai para peserta seminar bisnis yang didominasi oleh muda-mudi kini dihuni oleh pria berkepala tiga, berpenampilan selayak mahasiswa. Melipat tangan di depan dada, Johnny Suh membentangkan garis pandang sebegitu kelam yang bermuara pada sosok jangkung tampan di atas podium. Ia seperti sudah tahu pasti siapa dalang yang senantiasa menggagalkan tiap-tiap rencananya.

Selalu, ketika tepuk tangan serempak dihadiahkan kepada Jeffrey dari setiap orang, Johnny hanya akan berakhir menyungging senyum miring. Tidak. Ia tidak dengki pada puja-puji yang Jeffrey dapatkan atas kepiawaiannya berceloteh di depan sana. Biar saja Jeffrey menikmati semua itu sesaat sebelum nanti sebuah 'pertunjukkan besar' membuat pria itu pulang dalam keadaan merangkak lantaran tak sanggup memikul segudang hujatan.

Lima detik lagi, pertunjukkan besar itu akan dimulai.

Arloji dilirik Johnny beberapa kali sembari menghitung dalam hati.

Lima ....

Empat ....

Tiga ....

Dua ....

Satu ....

Seluruh lampu di segala penjuru aula dipadamkan, sebagai gantinya adalah satu lampu sorot memapar panggung beserta orang-orang yang di sana, termasuk pula Jeffrey yang seketika menyipitkan mata, menaikkan tangannya untuk menghalau cahaya menyilaukan.

Proyektor membawa tampilan pada layar raksasa di belakang Jeffrey. Tampilan pertama sontak menyulut keterkejutan seluruh insani. Segegas Jeffrey menolehkan kepala lantaran ditubruk penasaran, segegas itulah sepasang pupilnya melebar, mulutnya ternganga, dan jari-jemarinya terkepal erat.

Tak butuh waktu lama untuk keterkejutan luar biasa menyambar jiwa Jeffrey selayak halilintar, ia tak bisa bernapas dengan benar seperti bumi tak menyediakan oksigen yang cukup bagi pria itu, jantungnya berdebar-debar tak karuan seakan diserang habis-habisan oleh kegelisahan, dan jangan lupakan hatinya yang kini nyaris sekarat tanpa penyelamat.

Layar raksasa melukiskan foto-foto kebersamaan Jaehyun dengan Bona di masa lalu lengkap beserta catatan kaki yang berisi kapan dan di mana foto tersebut diambil. Tidak asing di mata Jeffrey sebab semuanya pernah ia lihat di ponsel milik Jaehyun. Tak sampai di sana, kini turut ditampilkan pula foto-foto Jeffrey dengan Bona ketika mereka berjumpa pertama kali di bar dan Bona memeluknya, juga ketika mereka menghabiskan beberapa hari untuk makan siang dan makan malam bersama.

Pertunjukan besar itu diakhiri dengan satu kalimat yang ditulis tebal:

PRIA TUKANG SELINGKUH ADALAH SAMPAH!

Keributan terjadi tepat setelah penerangan kembali dinyalakan. Setiap lisan mengeluarkan ocehan, makian, bahkan umpatan kasar yang ditujukan kepada Jeffrey. Tak cukup dengan itu, sekelompok oknum melempari Jeffrey dengan telur, tepung, bahkan kuah sup sekalipun.

Jeffrey terdiam. Bukannya pasrah. Ia hanya seperti sedang diseret kembali ke masa-masa silam. Perlakuan yang serupa pernah ia terima dahulu dari teman-teman sekolahnya, menjadi sasaran perundungan karena dianggap sebagai benalu sebuah keluarga. Kini, bukankah seharusnya Jeffrey baik-baik saja jika sudah terlatih?

Benar. Jeffrey akan baik-baik saja jika harus menanggung derita seorang diri tanpa menyeret orang lain untuk turut menderita bersamanya. Namun, saat ini, ia pikir hal itu tak berlaku. Ketika wajah kecewa seorang perempuan menyapa ingatan, Jeffrey akui dirinya tak baik-baik saja. Fakta yang baru saja terkuak ke publik jelas akan menyakiti seseorang yang jauh di sana.

Lima jemari menarik lengan Jeffrey yang kala itu masih mematung juga membisu. Jeffrey dibawa oleh Mingyu menjauhi aula beserta kericuhan di dalamnya. Basement gedung menjadi saksi bisu atas bagaimana Mingyu melayangkan pukulan demi pukulan ke wajah Jeffrey. Entah apa yang ada dipikiran pria itu saat ini, yang jelas, Jeffrey melihat amarah berkobar-kobar di sepasang matanya.

Mingyu menyudutkan Jeffrey pada sebuah pasak dan mencengkram kuat kerah kemeja pria pria itu seraya berucap tegas, "Hentikan kegilaanmu sekarang juga, Jeffrey!"

Jeffrey sumarah, sebab ia ingat betul perkataan Mingyu yang konon akan menghajarnya jika ia kembali membuat Rosé meneteskan air mata. Setidaknya, sikap Mingyu saat ini memberitahu Jeffrey bahwa Rosé memang terluka. Namun, jika hal tersebut disebabkan oleh insiden barusan, Jeffrey tak bisa terus menimbun kesabaran sebab itu juga di luar kendalinya.

Satu kepalan tangan menghantam pipi kanan Mingyu begitu kuat. Tatapan tajam menyeruak retina Mingyu seiring dengan gema suara merambat dan memekak telinga.

"Kenapa aku? Kenapa aku sendirian yang harus menanggung pukulanmu?"

Jeffrey sedari tadi mempertanyakan manusia bejat mana yang berani membuat rencana sebusuk ini. "Bagaimana dengan perempuan itu?"

Akal yang perlahan mulai sehat kembali telah berhasil menyeret sebuah nama dengan segera.

"Siapa maksudmu?"

Ketika Mingyu seakan berpura-pura tak paham, sebelah bibir Jeffrey yang punya luka di sudutnya tersungging. Ringisan perih tersemat nyata. Satu langkah mendekat, Jeffrey bicara tepat di depan mata Mingyu.

"Pacar gelap Jung Jaehyun. Kim Bona. Bukankah dia juga berperan menyakiti Rosé? Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Jaehyun, lalu ketika dia berpikir bahwa aku adalah Jaehyun, dia dengan seenaknya memeluk dan menciumku. Bahkan setelah tahu kalau aku bukan Jaehyun, dia masih tetap memaksaku jadi pacarnya. Bukankah dia jauh lebih pantas disebut gila?"

Mingyu terdiam.

"Dan, kau pikir siapa yang menyiapkan rencana segila ini kalau bukan dia?"

Mingyu masih terdiam.

"Sekarang, pergi padanya! Datangi dia dan pukul dia juga!"

Kali ini pandangannya jatuh, bukan pada ketajaman mata Jeffrey melainkan pada ubin tempat mereka berpijak. Jeffrey tertawa hambar di tempat ia berdiri.

"Mengapa hanya diam saja?

"Kau tidak tega?"

"Karena dia adalah kakakmu?"

Kepala Mingyu kontan kembali terangkat usai mendengar pertanyaan terakhir. Ada keterkesiapan yang tergambar di raut pria itu seakan-akan bertanya tanpa suara, bagaimana kau tahu?

Yang tahu status persaudaraan Mingyu dengan Bona hanya Alice dan Johnny. Mingyu sama sekali tak berpikir bilamana Jeffrey akan turut mengetahui rahasia itu. Tidak menutup kemungkinan, Rosé pun akan segera tahu.

"Mengapa begitu terkejut? Kau benar-benar tidak tega karena dia kakakmu padahal dia bahkan tega menelantarkanmu di panti asuhan hanya demi menjadi putri keluarga konglomerat? Padahal kamu pun sudah berjanji di depanku, akan memberikan pukulan bagi mereka yang membuat Rosé menangis, tidak perduli siapa pun itu."

Jeffrey masih sedemikian ingat perbincangan pukul dua dini hari di antara sepasang pria. Perkataan Mingyu tak sedetikpun lenyap dari pusaran nalar Jeffrey. Lalu, kini, seorang Kim Mingyu yang nampak selayak pria sejati menjelma menjadi pecundang ulung.

Sekali lagi, ringisan kecil Jeffrey merasuki pendengaran. Pria itu menunduk dan menarik napas sebanyak yang ia bisa lalu kembali menjatuhkan pandang teruntuk Mingyu seraya berujar pelan juga penuh penekanan,

"Jika kamu tidak sanggup memberikan satu saja pukulan, biar aku yang memberikannya! Biar aku yang menyeretnya ke neraka."

Sedetik berselang, Jeffrey melenggang pergi meninggalkan Mingyu yang masih membeku. Sebanyak apa pun kesalahan yang dibuat Bona, Mingyu masih lebih dari mau untuk mengakui bahwa perempuan itu adalah kakaknya. Ia tak bisa diam saja di kala tahu Jeffrey dalam pemberangkatan menuju tempat Bona, dan dalam rangka membumi-hanguskan sang kakak. Ucapan Jeffrey seperti sungguh-sungguh.

Maka, segera Mingyu melesat, memacu mobil sedemikian kencang mengejar mobil Jeffrey yang sudah berada di depan cukup jauh dari jangkauan. Terlambat sedikit saja, nyawa kakaknya mungkin akan melayang. Mingyu tak bisa menutup fakta bahwa Jeffrey memiliki riwayat seorang pembunuh bayaran kelas dunia.

Saat Mingyu mendorong pintu apartemen Bona, ia menemukan Jeffrey selayak dirasuki predator yang tega mencekik mangsa. Bona merintih, meminta sang predator untuk melepaskan cengkraman dari lehernya yang terasa seperti akan diputus paksa. Mingyu yang tak sanggup melihat kakaknya mati di depan mata menyeret Jeffrey menjauhi Bona dan melempar pria itu hingga tubuhnya membentur kabinet dapur.

Sebilah pisau diambil Mingyu dari wadah.

"Sebelum kau mengirim kakakku ke neraka, aku yang akan lebih dulu mengirimmu, Bajingan!"

Mingyu gelap mata. Di saat yang sama, Jeffrey hanya tertawa.

"Bunuh saja aku!"

Sepatah kata melesat ringan dari mulut Jeffrey. Seakan paham benar bahwa manusia yang hampir tak pernah bersentuhan dengan dosa pembunuh dan juga darah terbunuh tak akan mampu menancapkan pisau itu. Jeffrey bisa melihat tangan Mingyu gemetar hebat.

Bona menggeleng kuat di sudut sana. "Mingyu! Jangan!"

Mingyu sempat menoleh, mendapati wajah sang kakak terbasuh air mata.

"Mingyu! Kumohon!" Bona merengek pelan manakala Mingyu tetap meniti selangkah demi selangkah menuju Jeffrey yang bersandar lemah di badan kabinet.

Pisau ditarik ke belakang, Mingyu menata deru napas dan menghunus Jeffrey dengan sorot yang luar biasa tak terbaca. Mata Jeffrey melebar seketika Mingyu berjongkok di hadapannya. Ini tak seperti Pemuda Kim yang Jeffrey kenali setahun belakangan.

Jeffrey seperti melihat representasi dirinya dikala hendak membunuh, dan merasakan bagaimana menjadi calon korban yang dipeluk ketakutan tak berkesudahan di menit-menit terakhir sebelum merelakan nyawanya direnggut.

Cengkraman tangan Mingyu semakin mantap pada gagang pisau. Bona sudah berkali-kali menasbihkan kata 'jangan'. Namun, tak satupun mampu menyeret Mingyu kembali pada kesadaran. Mingyu berada di masa ketika kepala beserta hati yang sedemikian rupa berantakan sehabis insiden Rose pingsan dalam pelukannya beberapa waktu silam.

Rose yang kala itu tak sadarkan diri dibawa Mingyu dalam gendongan dua lengan masuk ke dalam mobil lalu diarak menuju klinik terdekat. Dalam kondisi kelimpungan luar biasa, Mingyu mengamati beberapa perawat bergegas memasangkan selang infus, disusul seorang seorang dokter yang segera memberikan penanganan.

Sepuluh menit berselang, duduk Mingyu di hadapan wanita setengah baya yang baru saja menunjukkan selembar kertas hasil pemeriksaan dibubuhi satu gambar hitam putih samar-samar. Sama sekali tak bisa Mingyu pahami sebelum wanita itu menjelaskan.

"Gejala kehamilan di minggu ketiga memang begitu. Kondisi fisik yang menurun, mudah lelah, dan morning sickness. Untuk menghindari kejadian serupa terjadi lagi, maka ibu hamil harus benar-benar memperhatikan aktivitasnya. Terlalu lelah atau terlalu stress bisa berakibat fatal. Oleh karena itu beritahukan pada Pimpinan Jung agar menjaga istrinya baik-baik."

Sepasang alis Mingyu bertaut erat. Kerutan muncul serta merta di dahinya bersama setengah mulut yang terbuka tetapi tak ada satu patah kata pun yang terlontar. Tepukan pelan dilabuhkan oleh sang dokter yang kini tersenyum seraya berujar,

"Selamat, Pimpinan Jung akan segera menjadi seorang ayah. Nyonya Rosé mengandung janin berusia tiga minggu."

Tepat setelah runtaian kalimat itu menerkam pendengaran, dunia seorang Kim Mingyu diluluhlatakkan. Sebongkah hati yang tabah menjelma kepingan yang lantas berguguran selayak daun kering diterpa angin musim gugur dan terombang-ambing tanpa kejelasan arah. Dan kini, mereka bermuara pada keberingasan tanpa pencegah.

Bayangan akan malam-malam di mana Jeffrey meniduri Rosé tak elak menjajah akal sehat Mingyu hingga pria itu menjadi sebegini gila.

Napas diraup Mingyu teramat rakus, Ia telah lebih dari siaga menikam Jeffrey dengan pisau dalam genggaman.

Jeffrey sudah berserah, barangkali, usianya telah cukup sampai di sini. Ia yang berada dalam puncak ketakutan tercekat hebat.

Satu menit berjalan, napas Jeffrey diputus pada sekon terakhir.

Ujung pisau dihujamkan. Tepat pada hitungan ke enam puluh.

Selanjutnya, yang tersisa hanya senyap—dipecah oleh gaung teriakan nyaring Kim Bona yang pada waktu itu menemui puncak kepanikan.

[]

[SILHOUTTE: After A Minute]

***

halo semuanya, selamat tahun baru. harapannya, semoga kalian berbahagia selalu, dan SILHOUTTE segera usai :v

jujur saja, setelah chapter ini, kalian akan menemukan banyak sekali konflik yang mungkin akan membuat kalian berpikir itu lebai dan drama banget :')

semoga kalian tetap bertahan hingga kita sama-sama menemui penghujung cerita ini

barangkali, itu saja dari saya yang sudah lama tidak menyapa. sampai jumpa di chapter berikutnya.

***

Continua a leggere

Ti piacerà anche

61K 8.5K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
122K 10K 65
[SEVENTEEN TWICE STORY] "Ketika rasa itu datang dan bermuara." Ini kisah tiga belas pria yang dipertemukan dengan sembilan gadis. Takdir membuat mere...
14.4K 1.3K 10
Kehidupan para penyihir Daeho after ending Alchemy of Souls 2 : Light and Shadow Cast : Jang Uk - Cho Yeong/Naksu/Jin Buyeon Park Danggu - Jin Cho...
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...