JEJAK ASA (Selesai)✅

By nisajihad_

2.9K 277 141

Setiap insan pernah berbuat kesalahan, pernah menyelem sampai ke dasar hanya untuk mengukir kenangan lama, la... More

Menyimpan Jejak
1. Pemecah Hening
2. Sebelum Fajar
3. Memori Susu Kotak
4. Penculik Hati
5. Kopi Gula
6. Foto Lama
7. Getar Masa Lalu
8. Lekuk Memori
9. Nostalgia
10. Manggala
11. Kecurigaan
12. Sepotong Cokelat Kenangan
13. Tentang Dia dan Kisahnya.
14. Ruang Sendiri
15. Perih
16. Sketsa Lama
18. Kepercayaan
19. Lukis Sabit Sebelum Pudar
20. Pigura
21. Kedai Keju
22. Dari Galuh untuk Gala
23 Menyusun Rencana
24. Kita Buka Lembaran Baru
25. Giliran Kita
26. Mulai Dari Awal
27. Duka Yang Sama
28. Kita Masih Bersama
29. Mimpi sebelum Usai
30. Relakan Berpisah
31. Jumpa Pertama dan Terakhir.

17. Sepotong Cokelat

53 7 0
By nisajihad_

Seperti hari sebelumnya, drama kecil yang akan membuat Ibnu harus mengusap dada setiap kali berbicara dengan Galuh. Anak itu seakan bisa membaca pikiran semua orang, padahal tahu semua yang diucapkannya hanya kebetulan.

Sejak bangun tidur, Galuh hanya diam bahkan saat di meja makan pun anak itu hanya menatap sarapannya tanpa di sentuh. Hal yang sangat menyebalkan untuk Ibnu, jika sesuatu sedang mengganggu pikiran anak kecil yang kini terus menundukkan kepalanya.

"Gal, ada apa?" Secepat kilat suara Ibnu berhasil membuat anak itu mendongak dengan tatap yang sama.

"Aku kangen Papa, Om. Papa kapan pulang?" Pertanyaan yang sama sudah berulang kali Ibnu dengar, ia juga sudah lelah menjawab sebenarnya. Hanya saja, apa yang dirasakan Ibnu saat ini jelas berbeda. Ada ragu yang begitu besar ketika Galuh bertanya dengan nada yang sangat pelan bahkan terdengar begitu lirih. Ibnu tidak ingin mengatakan hal yang akan membuat Galuh terluka, terlebih mendengar kabar Fariz yang akan melakukan operasi hari ini.

Yang Ibnu dengar dari Elga saat wanita itu menelponnya sangatlah mengejutkan. Ada banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum ada jawaban yang pasti.

"Infeksi lambung? Bukannya cuma maag aja, kan? Kak El pasti lagi bercanda, nih."

"Ibnu, kamu harus tahu ini, hari itu, sepotong cokelat. Di hari yang sama, Restu kabarin Kakak kalau Fariz ada di klinik."

"Waktu kita di taman?"

"Iya. Waktu kamu sama Nanda ngajak Kakak ke taman."

"Hubungannya sama klinik, apa?"

"Kamu cukup datang ke rumah sakit, jangan kasih tahu Galuh, kamu tahu Galuh paling nggak bisa dengar kabar buruk soal Papanya, tolong buat kali ini, datang."

Tepatnya Ibnu lupa jam berapa Elga menelpon. Yang Ibnu ingat saat ia sedang merapikan perlengkapan sekolah Galuh kemudian membuat sarapan dan setelahnya, pergi. Sementara Irgi dibiarkan tinggal di rumah mengurus hal-hal kecil yang cowok itu bisa.

"Om, Papa aku sakit apa sih? Kenapa lama-lama di rumah sakitnya? Kan, kalau ketemu Om dokter pasti Papa bosen. Papa,kan, nggak suka Om dokter. Kata Papa, Om dokter kalau marah sukanya suntik-suntik, emang, iya?"

Perlahan Ibnu meletakkan telapak tangannya di wajah mungil Galuh yang tampak penasaran dengan apa yang diucapkannya baru saja. Ibnu mengulas sedikit senyum, agar percaya, padahal Ibnu jauh lebih khawatir.

"Gini, ya Gal, Om dokter enggak se-galak yang kamu pikir. Enggak se-marah yang kamu lihat, dan nggak se-menyeramkan apa yang kamu khawatirkan. Om dokter itu baik, kalau nggak ada Om dokter, nanti yang sembuhin luka semua orang siapa? Masih ingat kata Bunda?"

Galuh menganggyk, mendengar ucapan Ibnu yang pernah ia dengar dari Elga sebelumnya. Ia juga ingat bagaimana Elga menyampaikannya dengan sabar meski saat itu, Galuh masih belum paham karena usianya masih begitu muda untuk menangkap ucapan orang dewasa. Baginya, sembuh hanya Tuhan yang mampu melakukannya. Dokter sebagai perantaranya.

"Kata Bunda, kita harus berdoa sama Tuhan, supaya orang yang kita sayang selalu diberi keselamatan. Kalau ada yang sakit, didoain supaya sembuh," ucapnya. Benar-benar pelan dan nyaris tak terdengar.

"Nah, sekarang kita bisa kirim doa buat Papa, supaya Papa cepat pulih. Biar Om dokter yang periksa Papa bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, ngerti,kan, maksud Om?"  Galuh kembali mengangguk. Ia pun memeluknya dengan tiba-tiba.

Untung saja sudah sampai di parkiran sekolah, berdiam cukup lama di dalam mobil membuat Ibnu hampir melupakan kalau waktu bel masuk sekolah tinggal beberapa menit lagi.

Perlahan peluk hangat itu mengendur, membiarkan jejak air mata melekat di kemeja biru yang Ibnu kenalan.

"Udah, jangan sedih. Senyum, terus masuk ke kelas. Hari ini Om yang tungguin kamu sampai pulang sekolah. Dan kamu, jangan lupa bekal makan siangnya dihabisin. Kalau mau cari, nanti Om ada di lapangan basket, oke?" Kata-kata Ibnu memang terdengar menyebalkan. Namun, di balik itu semua ada banyak hal yang Ibnu pikirkan. Mengusap jejak air mata yang mulai mengering di wajah Galuh merupakan hal yang paling tak bisa Ibnu lakukan sebenarnya. Ia tak suka melihat keponakannya sedih, ia selalu merasa kalau adiknya tidak pernah pergi ke mana-ma.

"Ok! Makasih, ya Om. Hari ini, aku seneng," katanya. Ibnu sangat ingin melihat Galuh tersenyum, tapi tidak dengan hari ini. Senyum yang Galuh perlihatkan padanya sangarnya menyedihkan. Ia hanya mampu mengusap kepala keponakannya untuk memberi semangat.

"Semangat sekolahnya!" kata Ibnu. Setelah ia turun lebih dulu barulah membukakan pintu mobil untuk Galuh yang sudah kembali tersenyum.

"Aku masuk dulu, ya Om. Daaa...!"

Ibnu tetap sosok yang sama, meski keadaannya sudah berbeda. Ia tetap orang yang sama, yang mencintai luka. Bukan karena ia terobsesi dengan duka, hanya saja, harapan yang dirasa akan bahagia justru sebaliknya. Ia hanya berdamai dengan luka masa lalunya, itu pun hanya sebentar.  Karena jejaknya kembali bukan lagi mengukir.

💫💫

Sebelum kisahnya berakhir, Ibnu dan Galuh pernah bercerita sedikit tentang masa depan yang mungkin tak semuanya akan berakhir bahagia. Atau mungkin, tidak semanis cokelat, atau seindah bunga mawar yang baru saja mekar di taman.

Ia hanya bercerita tentang kenangan lama yang menjadikannya sebuah rindu. Kisah yang begitu kaku bila diingat. Katanya tentang Fariz. Nyatanya, mereka memang berusaha untuk memberikan bahagia dan duka dalam waktu yang berdekatan.

"Kalau Kakak cantik itu dikasih cokelat, dia mau nggak, ya?" tanyanya begitu penasaran. Ibnu menoleh, merasa heran bahkan bingung mendengar ucapan Galuh yang tampak serius. Padahal, saat itu mereka hanya berjalan-jalan di taman tak sengaja bertemu lalu mengobrol sebentar. Itu pun tidak membawa apa-apa untuk diberikan, walau tak berniat untuk berjumpa.

"Lo mau godain? Gila! Adek gue udah gede." Suara Ibnu terlalu ramai, nyaris membuat keributan. Alhasil satu gigitan semut menjadi jejak di lengannya. Ibnu meringis, katanya kalau Galuh sudah mencubit panasnya sampai ke hati, lebay memang, namun selalu berhasil membuat adiknya kembali mengulas senyum.

"Jangan keras-keras! Lo mah bikin malu!"

"Ya, maaf. Lagian Lo nggak kasih kode mau ketemu orang di taman, sih, kan, nggak ada persiapan."

Ibnu itu tahu kapan adiknya akan tersenyum dan kapan adiknya akan terluka. Namun, kala itu yang Ibnu lihat bukan keduanya. Ibnu seperti mendapat pesan yang begitu samar, seolah pesan itu harus sampai ke tangan yang tepat.

"Kamu di sini?"

Ibnu tidak mengerti cara kerja semesta yang begitu baik padanya. Belakangan sudah tiga kali Ibnu bertemu dengan Nirmala. Guru cantik kesayangan keponakannya  itu.

Ibnu pun menggeser tubuhnya sedikit agar gadis yang berdiri di sebelahnya ikut duduk bersama.  Pandangan Ibnu kembali pada langit biru yang saat ini terlihat sangat cerah, matanya menyipit karena terik matahari yang terlalu menghalangi.

Embus angin pagi membuat rambut Ibnu yang mulai panjang terbawa oleh angin.

"Aku sedang membayangkan sesuatu di sini," katanya seraya menoleh ke arah Nirmala yang kini tengah menatapnya tanpa sadar. Pandang mereka bertemu, kemudian keduanya sama-sama memalingkan wajah karena malu. 

"Maaf." Ibnu terkekeh, saat tau kalau Nirmala diam-diam mencuri pandang.

"Aku terlahir tampan, wajar jika aku dipandang terus. Bye the way. Sejak hari itu, keponakanku sangat antusias padamu," kata Ibnu. Pelan tapi berhasil membuat Nirmala tersenyum.

"Apakah seorang yang terlahir tampan akan selalu percaya diri sepertimu? Dan apa yang kamu bilang... 'aku?', kamu tidak salah? Bahkan kita baru beberapa kali bertemu."

Sebenarnya Ibnu ingin mengatakan sesuatu pada Nirmala. Hanya saja akan ada gangguan teknis yang berakhir pengaduan atau ancaman dan sejenisnya.

"Apa salahnya? Sesekali jadi orang. Toh nggak dipungut biaya, kan?"

"Aku baru sadar kelakuan aneh Manggala tertular dari siapa... Ah, iya, aku harus pergi sekarang. Kalau begitu, permisi."

Ibnu menoleh cepat, ia pun bangkit setelah Nirmala berpamitan usai  mengejeknya. Tanpa ia sadari kalau Nirmala sedang menyembunyikan rasa senangnya di balik senyum yang terhalang oleh rambut panjangnya saat angin berembus ke arah mereka.

"Cantik." gumam yang tanpa sadar keluar begitu saja dari mulutnya. Apa benar Ibnu jatuh cinta lagi?

💫💫

Ibnu memenuhi janjinya hari ini, meski ia harus berdebat dengan Elga beberapa jam lalu. Ia tak akan mengecewakan siapa pun untuk hari yang baik. Ia telah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Ia tahu tak ada yang lebih berhak atas segalanya kecuali Tuhan. Ibnu hanya memberi persetujuan atas tindakan medis yang saat ini tengah berusaha menyelamatkan Fariz. Meski sebenarnya Ibnu sangat takut, tapi ia sadar kalau masih ada orang lain yang kini harus ia lindungi.

Usai berdiam diri di taman sekolah Galuh, ia pun kembali berkeliling menyisir lingkungan sekolah yang cukup luas dengan fasilitas yang memadai. Ia juga memilih kantin sebagai pemberhentian terakhir karena jam pelajaran sudah berakhir dan berganti bel istirahat yang berbunyi.

Sebelumnya Ibnu telah mengatakan pada Galuh akan menunggu anak itu di kantin ketika jam istirahat tiba. Namun,  sudah hampir dua puluh menit Ibnu menunggu Galuh belum juga muncul. Ia pun bangkit dari tempatnya, berniat untuk menyusul  tapi tiba-tiba saja ada seseorang yang menggenggam tangan dengan begitu manis. Ibnu menunduk, melihat siapa yang berada di sebelahnya.

"Maaf, ya, Om, aku lama. Aku habis di panggil sama Bu guru cantik," katanya. Ibnu pun berjongkok mensejajarkan tubuhnya agar Galuh nyaman ketika berbicara dengannya.

"Nggak apa-qpa. Sekarang kamu makan bekal makan siangnya dulu, bentar lagi, kan, masuk kelas," ucap Ibnu. Galuh mengangguk, ia juga sangat lapar. Setelahnya mereka pun kembali ke tempat duduk seraya mengobrol kecil layaknya seorang teman.

"Gimana, enak nggak?" tanya Ibnu  ketika Galuh baru saja menyuapkan makan siangnya ke dalam mulut.

Galuh hanya mengangguk, kemudian memberi acungan jempol yang menandakan kalau makanan yang dimakannya begitu enak. Padahal Ibnu hanya menyiapkan roti isi keju yang ditabur mesis di atasnya.

"Kayak yang dibuat Bunda. Enak! Om nyontek, ya?" Ibnu terkekeh, ia pun mencubit pipi gembul keponakannya sebelum menjawab.

"Nyontek dari mana, kan, setiap hari bekalnya cuma mau dibuatin roti isi keju. Omong-omong, emang nggak bosen?" Galuh menggeleng cepat setelah Ibnu bertanya.

"Nggak. Ini enak, Om harus coba. Kata Bunda makan keju itu baik," katanya. Setelah menghabiskan dua roti isi yang kini tak tersisa sedikit pun.

"Dasar maniak keju. Kalau kejunya habis gimana? Papa bisa bangkrut lho," ledek Ibnu. Galuh mencoba untuk berpikir dengan gayanya yang sangat menyebalkan. Telunjuk yang diletakan di dagu dengan mata yang tertutup persis seperti Fariz.

"Kan, ada Om. Om aja yang beli, kalau uang Papa habis." Ibnu menunduk menyesali ucapannya. Ia lupa kalau Galuh hanya tubuhnya saja yang anak-anak. Tapi pikirannya sulit untuk ditebak.

Idenya sungguh luar biasa. Siapa yang akan menduga kalau jawabannya akan  mengingatkannya pada adiknya dulu. Sekali lagi, Ibnu hanya bisa berharap, kalau suatu kebetulan bukan sekadar datang lalu pergi. Setidaknya bisa menetap untuk waktu yang lama. Bukan lagi dengan sepotong cokelat di kala sore tiba.

"Makasih sarannya. Ya udah sekarang  masuk kelas sana, nanti Om tunggu di mobil, ya? Kalau kotak makannya biar Om yang bawa, belajarnya yang semangat!" ucapan Ibnu selalu berhasil membuat Galuh tersenyum lebar. Ia tahu kalau Galuh akan tetap sama. Meski yang ada di hadapannya saat ini bukan orang yang sama dengan segala lukanya.

"Makasih Om, bye..." Kata-kata yang mampu membuat Ibnu khawatir setiap saat.

Apakah ucapan selamat tinggalnya kali ini akan jauh lebih baik dari sebelumnya? Jika, iya, mungkin hanya sentar.

"Tolong datang ke rumah sakit."

Hallo, aku kembali, ada yang merindukan Manggala? Cek di sini. Oke, segini dulu, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Salam manis dari Manggala 😊

Siapa tau kangen Manggala bonus pict Manggala 😊

Kira-kira mirip Om Ibnu atau Om Galuh? Atau Papa Fariz?

Publish, 7 Desember 2021

Continue Reading

You'll Also Like

6.8K 163 18
Tentang kisah cinta pelajar Putih-Biru. "Witing tresno jalaran seko kulino." Kisah dua remaja saling mencintai dan sama-sama ingin memiliki. "You ha...
11K 1.1K 22
"Kegelapan tanpa setitik cahaya." *** Murni karangan Iez sendiri, and ini bukan cerita BL. udah jelas lho ya bukan BL. Start: 17 Januari 2024 Finish...
1.9M 92.3K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2M 9.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...