SUN AND MOON || HAECHAN

Per nanamonochan

12.4K 1.6K 2.1K

❝Bulan memantulkan cahaya matahari untuk bersinar di malam hari. Seperti kau dan aku. Aku matahari dan kau bu... Més

TRAILER
PROLOG
01: Kejutan untuk Heejoo
02: Haruskah aku mengakhirinya?
03: Day and Night
04: Sepatu dari Ayah
05: Who are you?
06: Pesan dan Harapan
07: D-Day
08: Kau harus tetap hidup!
09: Ingatan yang kembali
10: Reason of life
11: Rooftop Fight
12: Berbeda
13: Lockscreen
14: Ini Caraku
15: Aku punya misi! Aku bukan benalu!
17: Murid Baru
18: Puzzle Piece
19: Menunggu
20: Tokoh utama yang menyedihkan
21: Who's the killer?
22: Malam yang panjang
23: Pertanda baik?
24: Ketika kupikir semuanya akan berakhir

16: Tunggu aku pulang

238 55 62
Per nanamonochan

Bel pertanda jam sekolah telah usai berbunyi 10 menit yang lalu dan dengan cepat membuat seluruh isi kelas kosong tak berpenghuni. Namun tidak untuk kelas 2-3 yang masih menyisakan sosok gadis yang tengah duduk termenung di bangku belakang. Jika dilihat dari rupanya dan juga name tag yang terpasang di seragam, gadis itu memanglah Moon Heejoo. Namun percayalah, raga itu hanyalah cangkang bagi jiwa Haechan yang masih berdiam di dalam sana.


Sorot matanya nan sendu ia arahkan keluar jendela, memperhatikan langkah-langkah kecil sekumpulan orang-orang yang mulai meninggalkan pekarangan sekolah. Haechan iri melihat mereka semua yang memiliki tujuan untuk kembali. Ya, rumah. Berbeda dengan Haechan yang tidak memiliki tempat untuk pulang.

Rumah? Tentu ada dan Haechan juga sudah menemukan keluarganya. Namun jika untuk pulang rasanya sangat tidak mungkin. Semuanya sudah tak sama lagi seperti dulu. Mereka sudah tidak bisa lagi melihat kehadiran Haechan. Jadi tidak ada gunanya bagi Haechan untuk kembali. Jika dipaksakan untuk kembali, Haechan hanya akan merasakan sakit yang berkali-kali lipat. Rasa sakit karena tidak bisa meraih keluarga kecilnya. Rasa sakit karena melihat keluarganya yang menangis karena dirinya. Dan juga kenyataan yang harus ia terima begitu terasa menyakitkan.

Kemarin, saat secara tak sengaja takdir membawa Haechan dan mempertemukannya kembali dengan keluarganya, pada saat itu pula Tuhan seakan memberitahu Haechan mengenai kondisinya. Saat itu Haechan menemukan selembar dokumen yang tergeletak di atas meja belajar di kamarnya. Secara bersamaan, Haechan seolah mendapatkan kabar baik dan buruk melalui dokumen tersebut. Kabar baiknya adalah Haechan bisa tahu bahwa raganya memang masih berada di dunia ini. Namun kabar buruknya, raga itu sudah tak berdaya lagi dan tengah tertidur lelap tinggal menunggu waktu untuk segera menghentikannya. Ya, dokumen yang Haechan temukan itu merupakan surat izin pencabutan alat penunjang hidup pada pasien mati otak atas nama Lee Haechan. Ya, dirinya.

Kini, hidup Haechan hanya bergantung pada alat-alat medis tersebut. Jika alat-alat tersebut dicabut, maka pada detik itu juga waktunya di dunia ini berakhir. Tapi untungnya, di dalam surat tersebut Haechan belum menemukan tandatangan bunda. Itu artinya bunda belum menyetujui keputusan tersebut dan bunda belum siap untuk kehilangan Haechan sepenuhnya. Haechan harap begitu dan Haechan sungguh sangat berharap jika bunda percaya bahwa dirinya masih hidup.

"Bunda..."

"Tunggu Haechan pulang ya..."

Meskipun Haechan tahu hal tersebut sangatlah mustahil untuk terjadi, namun tidak ada salahnya untuk berharap, ‘kan?

Detik berikutnya, Haechan segera bangkit dari bangkunya seraya menyampirkan tas di sisi bahu kanannya. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum kembali membawa langkahnya meninggalkan ruang kelas yang kosong. Setelah keluar dari kelas, Haechan tidak langsung pulang ke rumah si pemilik raga yang ditempatinya. Rasanya akan terasa canggung jika kembali sendiri ke tempat yang bukan rumahnya. Tapi bukan berarti Haechan akan membawa kabur raga ini. Tidak. Justru itu, setelah dari kelas ini Haechan akan menemui seseorang yang biasanya sering nongkrong di gedung olahraga setelah jam sekolah usai. Park Jisung, pemuda itulah yang Haechan maksud. Siapa tahu Jisung mengetahui cara yang mudah bagi arwah untuk keluar dari raga manusia.

Setibanya di gedung olahraga, tepatnya di area kolam renang tempat dimana biasanya Jisung berlatih, Haechan sama sekali tidak menemukan pemuda itu. Kosong, tidak ada orang sama sekali. Tak mau ambil pusing, Haechan pun memilih untuk mencari Jisung di area lapangan basket. Sebab sepengetahuan dan sepengalaman Haechan selama menjadi arwah, jika Jisung tidak ada di kolam renang, maka pemuda itu pasti berada di lapangan basket bersama temannya yang bernama Chenle.

Dan benar saja, ketika Haechan membuka pintu masuk lapangan basket secara lebar-lebar, Haechan segera menemukan eksistensi Chenle yang tengah melempar bola basket ke dalam ring yang berjarak sekitar dua meter dari tempat pemuda itu berdiri. Hasilnya, bola basket tersebut meleset setelah memantul di bagian pinggir ring. Sontak membuat Haechan menyuarakan kekecewaannya.

"Ah, sayang sekali…"

Chenle yang tengah menggaruk-garuk kepalanya karena kesal shooting yang ia lakukan gagal, segera menoleh ketika mendengar suara seorang gadis dari arah pintu masuk. Suaranya terdengar menggema di dalam lapangan tersebut, hingga bahkan membuat Jisung yang tengah berbaring di pinggir lapangan seketika bangun.

"Hei, anak muda! Bukan seperti itu caranya." Haechan kembali bersuara seraya membawa langkahnya menuju bola basket yang perlahan berhenti memantul. Alih-alih menemui Jisung seperti rencana awalnya, Haechan malah lebih tertarik dengan bola basket yang kini sudah berada di tangannya. Cukup lama Haechan menatap bola basket tersebut, seolah bola tersebut merupakan temannya yang sudah lama tidak bertemu.

Sementara itu, Chenle yang berada tak jauh di samping gadis itu yang kini tengah melakukan dribbling, hanya bisa memberikan tatapan bingung. Semakin Chenle mengamati wajahnya yang terlihat tidak asing, rasanya Chenle pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi dimana?

"Dia siapa?" tanya Chenle yang kini mengarahkan atensinya pada Jisung yang juga terlihat kebingungan di pinggir lapangan. Dan dengan cepat Jisung mengedikkan bahunya pertanda bahwa ia juga tidak tahu.

Chenle menghela napasnya dan kemudian kembali mengarahkan atensinya pada gadis itu yang ternyata sudah berlari mendekati ring sembari melakukan dribbling. Hingga detik berikutnya, yang mengejutkan Chenle adalah gadis itu terlihat seperti seseorang yang pro ketika melompat sembari melempar bola basket ke dalam ring.

"Woah! Keren!"

Chenle tampak terkagum-kagum melihat penampilan gadis itu yang entah kenapa kini malah terlihat mempesona di matanya. Kedua mata Chenle bahkan tidak berkedip ketika gadis itu kembali melangkah mendekat ke arahnya sembari tersenyum cerah.

"Sepertinya kau harus banyak berlatih lagi," ucap gadis itu sembari menyerahkan kembali bola basket tersebut pada Chenle.

Dengan jarak yang cukup dekat, lama Chenle mengamati wajah gadis itu hingga akhirnya Chenle ingat dengan gadis yang ia dan Jisung selamatkan saat berada di kolam renang. Ya, gadis itu adalah Moon Heejoo. Hanya saja gadis itu terlihat berbeda dari yang terakhir kali Chenle lihat. Mungkin itulah sebabnya Chenle tidak langsung ingat ketika bertemu lagi dengan gadis itu di sini.

"Kau..."

"Aku ada urusan dulu sama Jisung. Bye!" ucap Haechan yang kemudian pergi setelah menepuk pelan bahu Chenle. Meninggalkan Chenle yang semakin bingung dengan perasaannya. Ah, tidak mungkin 'kan Chenle menyukai gadis itu? Seketika Chenle tergelak dengan pikirannya sendiri dan berakhir melanjutkan permainan basketnya sendiri.

“Oi! Park Jisung!" panggil Haechan yang seketika membuat Jisung mengerutkan dahinya.

"Maaf, siapa ya?"

"Ini aku. Lee Haechan. Kau tidak ingat?"

"HAH?!"

"Iya. Kau tidak ingat?"

"LEE HAECHAN?" tanya Jisung sekali lagi. Saking tak percayanya dengan apa yang dilihatnya sekarang ini, Jisung sampai lupa untuk mengontrol suaranya. Chenle yang tengah sibuk dengan permainan solonya seketika berhenti dan menoleh.

“Oi! Jangan keras-keras. Nanti kedengeran sama yang lain gimana?" bisik Haechan yang segera menghampiri Jisung dan ikut duduk di samping pemuda itu. Tak lupa Haechan juga memberikan isyarat pada Chenle agar melanjutkan kembali permainannya. Sebab pemuda itu tampaknya tertarik dengan nama yang tak sengaja ia dengar.

Sedangkan Jisung, pemuda itu segera memberi jarak karena gadis itu duduk terlalu dekat dengannya. Detik berikutnya, Jisung mengamati lamat-lamat gadis yang ada di hadapannya itu.. Moon Hee Joo. Begitulah nama yang tercetak di seragam gadis itu. Namun gadis itu malah menyebutkan nama lain.

"Tunggu sebentar..." gumam Jisung yang masih fokus mengamati wajah gadis itu.

Sama seperti Chenle sebelumnya, Jisung juga tak menyadari jika gadis ini adalah gadis yang pernah mereka selamatkan sebelumnya. Sekarang Jisung mengerti kenapa hal itu bisa terjadi, penyebabnya adalah jiwa yang ada di dalam raga itu bukanlah yang sebenarnya. Tapi, bagaimana bisa?

"Lee Haechan? Sungguh?" tanya Jisung lagi dan Haechan segera menganggukkan kepalanya berulangkali.

Masih dengan tatapan tak percaya, Jisung menatapi Heejoo hingga membuat Haechan—si jiwa yang berada dalam raga itu risih.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Jangan bilang kau terpesona dengan paras Heejoo."

Mendengar itu, Jisung seketika merotasikan bola matanya kesal. "Tentu saja tidak! Aku hanya merasa kasihan dengan gadis ini karena raganya dirasuki jiwa aneh sepertimu," ucap Jisung terdengar meremehkan yang jelas saja memancing kekesalan Haechan. Hanya saja Haechan tidak ingin meluapkannya, sebab Haechan sendiri datang menemui Jisung karena ingin meminta bantuan pemuda itu. Walau sebenarnya Haechan ingin sekali menempeleng kepala Jisung, karena makin lama cara bicara pemuda itu terdengar tidak sopan padanya.

"Asal kau tahu saja yaaa, Heejoo pernah mengizinkanku masuk ke raganya," ucap Haechan menyombongkan diri yang tentu saja membuat Jisung terkejut untuk kesekian kalinya.

"Apa?"

Haechan menganggukkan kepalanya, meyakinkan Jisung bahwa yang ia katakan itu adalah sebuah kebenaran.

"Jadi Heejoo bisa melihatmu?"

Sekali lagi, Haechan mengangguk dengan bangga.

"Waahh." Untuk kesekian kalinya Jisung dibuat tak percaya dengan apa yang ia dengar hari ini. Mulai dari Haechan yang datang dengan sosok gadis yang membuatnya tak bisa berkata-kata dan juga fakta mengejutkan mengenai Moon Heejoo. Ya, gadis itu ternyata sama dengan Jisung. Dan jujur saja Jisung merasa senang karena menemukan orang yang seperti dirinya.

"Tapi..."

Haechan kembali bersuara, membuat Jisung kembali mengarahkan atensinya pada sosok di sampingnya itu.

"Mengapa sulit sekali untuk keluar dari raga ini? Padahal jika itu kau, aku akan dengan mudah keluar, seolah-olah aku ditendang keluar dari ragamu itu. Tapi Heejoo tidak..."

"Tentu saja kau merasa ditendang. Siapa yang sudi jika raganya dimasuki tanpa izin. Andai saja ada hukum yang mengatur hal seperti ini, kau pasti sudah berada di penjara sekarang."

"Kau makin lama makin menyebalkan ya," ucap Haechan sembari menatap kesal. Sungguh, Haechan ingin sekali menempeleng kepala Jisung. Bolehkah?

"Apa kali ini Heejoo membiarkanmu masuk?"

Haechan menggeleng, "Aku masuk tanpa sepengetahuannya."

"Tak heran, itu sudah menjadi kebiasaanmu."

"Kau pandai sekali membuatku terdengar buruk ya," Haechan kesal. Sepertinya sebelum menemui Jisung, Haechan harus menyiapkan mental dan juga stok kesabaran yang banyak.

"Bukankah kenyataannya seperti itu? Kau masuk tanpa seizinku! Ketika kau keluar, perutku tiba-tiba saja terasa penuh. Ah, menyebalkan. Aku jadi tidak bisa makan makanan yang aku mau. Karenamu juga aku sering kebingungan dengan orang-orang di sekitarku."

"Apa sekarang kau sedang mengeluh padaku?"

“Iya!"

Kenapa jadi seperti ini...

Haechan menggaruk-garuk kepalanya bingung. Tujuannya kemari untuk meminta bantuan Jisung, bukan untuk mendengar keluhan pemuda itu. Walau sebenarnya Haechan sendiri tidak bisa mengelak karena semua itu memang ulahnya. Tapi mau bagaimana lagi, ketika Haechan berada dalam raga Jisung, Chenle selalu mengajaknya makan daging dan Chenle tidak pernah marah kalau dirinya makan banyak. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa Haechan menyukai manusia yang bernama Zhong Chenle. Terimakasih atas makanan lezatnya, Chenle. Lantas membuat Haechan tersenyum membayangkan nikmatnya menyantap hidangan daging sapi Korea yang terakhir kali ia makan bersama Chenle.

"Ini kenapa lagi senyum-senyum sendiri..." Jisung merotasikan bola matanya kesal, tampaknya Haechan tidak mempedulikan dirinya yang sedang mengeluarkan keluh kesahnya.

Sementara itu, Chenle yang sejak tadi bermain sendiri, agaknya sudah mulai bosan dengan permainan solonya. Pemuda itu melakukan dribbling berulangkali tanpa berniat melemparkan bola basket tersebut ke arah ring. Hingga akhirnya ia menoleh ke arah Jisung yang duduk bersebelahan dengan Heejoo.

"Oi! Park Jisung! Tangkap!" teriak Chenle yang langsung melempar bola basketnya ke arah Jisung.

Alih-alih menangkap bola dengan benar, Jisung malah menghindar. Alhasil, bola basket tersebut mengenai wajah Heejoo yang pada saat itu juga refleks menoleh ketika mendengar suara Chenle yang menggelegar.

"SEONBAENIM!" Kepanikan langsung menyerang Chenle dan membuat pemuda itu berlari menghampiri Heejoo yang kini perlahan tumbang.

"Oi! Park Jisung! Kenapa kau tidak menangkap bolanya dengan benar?"

"Mana kutahu! Kau mendadak begitu ya aku menghindarlah!"

Chenle mengacak-acak rambutnya kesal. Lantas segera mengecek keadaan Heejoo. "Seonbaenim... apa kau baik-baik saja?"

"Sudah jelas dia terkena lemparan bolamu, apa menurutmu dia baik-baik saja?"

Chenle yang mendengar itu lantas segera memberikan tatapan sinisnya pada Jisung. "Kau diam saja!"

"Aku hanya memberikan pendapatku."

"Daripada memberikan pendapat, lebih baik kau membantuku membangunkan gadis ini."

"Lebih baik langsung kau gendong saja dan bawa saja ke klinik"

Di tengah perdebatan Jisung dan Chenle, Heejoo yang tadinya pingsan kini perlahan membuka matanya. Masih terasa pusing, namun ia usahakan untuk segera bangun sembari meringis kesakitan. Hal itu justru menarik atensi dua pemuda yang tadinya tengah berdebat dan kini kembali fokus pada Heejoo.

"Kau sudah bangun?"

"Aku dimana? Kenapa aku ada di sini? Kalian siapa?"

"Kau tidak ingat?"

Bukannya menjawab pertanyaan yang Chenle ajukan, Heejoo hanya terdiam memandangi wajah pemuda itu dengan bingung. Melihat Heejoo yang kebingungan dan tak tahu apa-apa membuat Chenle seketika menjerit. “Jisung, bagaimana ini? Dia tidak ingat dirinya ada dimana. Dia tidak tahu kita ini siapa? Sepertinya ini gara-gara bola yang kulempar. Bagaimana ini Jisung, Heejoo sudah kehilangan ingatannya," panik Chenle dihadapan Jisung.

Jisung tampak pasrah ketika Chenle yang panik meraih kedua sisi lengannya dan mengguncang tubuhnya. Sementara itu, sepasang matanya kini menangkap sosok yang tak asing tengah berdiri di samping Heejoo. Sosok yang tak asing itu adalah Lee Haechan. Pantas saja sikap gadis itu berbeda dan terlihat kebingungan dengan sekitarnya. Sama seperti yang Jisung alami selama ini.

"Zhong Chenle! Lain kali yang benar lempar bolanya! Sakit tahu!" teriak Haechan kesal. Namun kekesalannya itu sia-sia, karena sudah pasti tidak akan bisa didengar Chenle.

Heejoo yang masih terdiam, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Namun tetap saja Heejoo tidak menemukan akar permasalahannya. Mengapa dirinya bisa berada di sini? Apa yang terjadi pada dua pemuda yang ada dihadapannya ini? Dan mengapa Haechan juga ada di sini?

Oh, tunggu sebentar. Heejoo merasakan sesuatu yang aneh baru saja keluar dari lubang hidungnya.

"Uh? Hidungku kenapa berdarah?"

Pertanyaan itu sontak membuat Chenle semakin panik.

"Seonbaenim... maafkan aku..."


***


Dari sudut kamar yang minim pencahayaan, Haechan memperhatikan Heejoo yang tengah duduk bersila di atas tempat tidur sembari membersihkan lubang hidungnya yang terus-terusan mengeluarkan darah. Berulangkali gadis itu mengambil beberapa lembar tisu untuk menahan agar darah tak lagi keluar. Seperti itu terus selama hampir 30 menit. Padahal sebelumnya Haechan sudah menyarankan agar Heejoo pergi ke rumah sakit untuk diobati, namun saran Haechan hanya dianggap angin lalu. Tidak hanya itu, Haechan merasa Heejoo seolah-olah sudah memasang tembok pembatas dengan dirinya. Bahkan sekarang saja suasana dalam ruangan ini sangatlah terasa canggung.

Setelah kejadian di lapangan basket itu, Heejoo yang terlihat kebingungan untuk beberapa saat segera bangkit setelah menyadari eksistensi Haechan di sampingnya. Gadis itu sepertinya mulai memahami situasi yang ada di sekitarnya dan sudah pasti keberadaannya di tempat tersebut ada kaitannya dengan Haechan. Sempat beberapa detik manik keduanya saling bertemu, namun Heejoo dengan cepat mengalihkan pandangannya.

Haechan merasa kalau kehadirannya seolah-olah tak terlihat atau mungkin tak dianggap lagi oleh gadis itu. Bahkan ketika Haechan mengikuti Heejoo sampai ke dalam rumahnya itu sembari menceritakan apa yang sebenarnya terjadi secara detail, Heejoo sama sekali tak bereaksi atau mengatakan sepatah katapun.

Di tengah kepalanya yang memikirkan berbagai macam kemungkinan yang membuatnya bingung, Haechan lantas mengarahkan atensinya pada jendela kamar Heejoo yang dibiarkan terbuka. Langit jingga sudah berganti dengan langit malam yang gelap. Angin yang berhembus mulai terasa dingin. Haechan kembali mengarahkan atensinya pada Heejoo, gadis itu hanya mengenakan kaos putih berlengan pendek dan celana pendek selutut. Berpikir bahwa Heejoo mungkin bisa saja sakit karena angin malam yang dingin, Haechan lantas membawa langkahnya menuju jendela kamar yang berada di dekat meja belajar. Berniat menutupnya untuk Heejoo.

Setelah menutup jendela, Haechan terdiam untuk beberapa detik. Haechan baru sadar kalau ada sesuatu yang semestinya tidak bisa ia lakukan. Benar, bukankah seharusnya Haechan tidak bisa melakukan sesuatu seperti tadi. Ya, menutup jendela. Bukankah seharusnya tidak bisa? Dalam diamnya, Haechan terkagum-kagum karena ternyata kemampuan menyentuh benda di sekitarnya masih ada dalam dirinya. Haechan pikir kemampuan seperti itu hanya sesuatu yang kebetulan dan hanya bisa dilakukan sekali saja seperti saat ia menarik Heejoo dari lubang kematiannya.

"Lee Haechan..."

Haechan mengangkat sebelah alisnya, apakah barusan Heejoo memanggilnya? Haechan tidak salah dengar, 'kan?

"Aku pernah bilang 'kan kalau kau tidak perlu lagi mencampuri kehidupanku..."

Mendengar itu, Haechan perlahan menundukkan wajahnya. Apakah malam ini akan ada perdebatan lagi seperti sebelumnya? Sungguh, Haechan tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi. Haechan tidak ingin hubungannya dengan Heejoo memburuk.

"Apa kau tahu mengapa aku bersikeras mengatakan hal itu padamu?"

Hening. Tak ada balasan dari Haechan.

"Itu karena aku khawatir padamu."

Haechan sontak mengangkat wajahnya bersama sepasang matanya yang menatap Heejoo tak percaya. "Khawatir? Padaku?"

Heejoo mengangguk. "Aku berterimakasih karena kau peduli dan mau membantuku. Tapi, Haechan... Kau juga punya kehidupan. Tidakkah kau ingin kembali ke tubuhmu? Aku khawatir jika kau terlalu sibuk mengurusiku, kau melupakan kehidupanmu sendiri."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Sudah tak ada harapan lagi untukku."

"Ada!" ucap Heejoo dengan penuh penegasan.

"Kau bilang dalam surat itu belum ada tanda tangan persetujuan dari bundamu 'kan? Itu artinya bundamu percaya bahwa kau akan kembali. Dia menunggumu Haechan."

Heejoo sudah tahu mengenai apa yang terjadi dengan Haechan dan juga surat izin pencabutan alat penunjang hidup yang Haechan ceritakan. Ya, Haechan menceritakan semuanya pada Heejoo saat dalam perjalanan pulang dari toko roti yang tak sengaja mereka datangi hari itu.

"Tapi kemungkinan untuk bisa kembali itu sangat kecil, Heejoo." Haechan tertunduk setelah mengutarakan kalimatnya, arwah itu bahkan terlihat hampir menangis sekarang.

"Sekuat apapun aku mencoba, sekuat apapun aku meraih tangan mereka, aku tidak bisa," sambungnya dengan suara yang kini terdengar serak.

Dari posisi Heejoo sekarang, ia bisa melihat bahu Haechan yang tampak bergetar. Haechan menangis namun berusaha sekuat mungkin menahan isak tangisnya. Heejoo tak bisa berkata banyak setelah melihat Haechan dalam kondisi seperti ini. Bohong jika Heejoo mengatakan kalau dirinya tahu dan merasakan apa yang Haechan rasakan, padahal Heejoo belum pernah berada di posisi Haechan. Hanya saja melihat Haechan seperti ini, membuat Heejoo sedih. Jika Heejoo yang berada di posisi seperti itu, maka Haechan akan selalu siap sedia membantu Heejoo bahkan tak akan menyerah kalaupun Heejoo melarangnya. Tapi sekarang, ketika Haechan berada dalam kesulitan seperti ini Heejoo tak tahu apa yang harus ia lakukan dan hanya bisa memandangi punggung yang tampak rapuh itu.

"Maafkan aku, Haechan..."


*****





"Aku punya rumah untuk pulang. Aku punya keluarga yang menungguku kembali. Namun aku tak bisa meraih mereka."

Continua llegint

You'll Also Like

413K 33.3K 64
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
201K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
591K 59.3K 46
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
81.9K 10.7K 116
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜