LOVEBIRD

Από zahirra

1.6M 74.9K 2.2K

Apa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan d... Περισσότερα

LOVEBIRD
Lovebird 1
Lovebird 2
Lovebird 3
Lovebird 4
Lovebird 5
Lovebird 6
Lovebird 7
Lovebird 8
Lovebird 9
Lovebird 10
Lovebird 11
Lovebird 12
Lovebird 13
Lovebird 14
Lovebird 15
Lovebird 16
Lovebird 17
Lovebird 18
Lovebird 19
Lovebird 20
Lovebird 21
Lovebird 22
Lovebird 23
Lovebird 25
Lovebird 26 (re-post)
Lovebird 27
EPILOG

Lovebird 24

53.4K 2.7K 195
Από zahirra

Terkadang kita butuh orang lain untuk tau kesalahan kita. Keep comment ya.......

Melati POV

BAGUS! Nino benar-benar menikahiku sekarang. Dan dia menikahiku secara paksa dengan cara menculikku, dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Dia bahkan tidak mempedulikan pakaian yang aku kenakan sekarang ini. Oh, betapa malunya aku di hari yang menurut orang hari paling bersejarah seumur hidup, aku justru harus menanggung malu yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan di sisa hidupku.

Aku masih memakai pakaian yang sama dengan pakaian yang tadi pagi aku kenakan. Skinny jeans di padu dengan kemeja berwarna putih yang sudah tampak kusut karena insiden penculikan tadi dan flatshoes yang sudah puluhan kali aku pakai berbanding terbalik dengan Nino, Nino tampak gagah dan memukau dengan setelan jas armaninya. Tampan, satu kata yang paling pantas untuk menggambarkan keadaan Nino saat ini.

Sebetulnya aku benar-benar marah dan ingin menumpahkan semua kemarahanku terhadap laki-laki yang sekarang ini sedang berdiri di sampingku dan dengan senyumannya yang menurut orang sedap di pandang, dia menerima ucapan selamat dari seluruh tamu yang hadir yaitu keluarga besar kami berdua.

Sesekali dia melirikku dan menatap wajahku yang selalu memasang wajah datar, bukan apa-apa aku masih shock dan marah dengan perlakuannya tapi aku tidak bisa berbuat banyak selain hanya berdiri di sampingnya dan menerima pelukannya di  pinggangku, dia memeluk pinggangku possesif dan memberikan senyuman mengancam, mau tidak mau akan tersenyum pura-pura bahagia walaupun dipaksakan.

Ibu dan Bapak menghampiri kami berdua dan mereka memelukku dengan erat sambil menangis bahagia, akhirnya bisa melihat aku menikah -- walaupun bukan penikahan impian-- tapi setidaknya Ibu dan Bapak bisa melihat aku mampu mengatasi traumaku tentang pernikahan. Bapak melepaskan pelukannya dan beralih memeluk Nino, dia memberikan wejangan-wejangan yang cukup panjang membuat Nino beberapa kali menganggukan kepalanya. Intinya Bapak menginginkan menantu yang baik dan bisa di percaya untuk putri angkatnya yaitu aku. Begitupun dengan Ibu, Ibu memeluk Nino dan berpesan supaya Nino bisa menjagaku dengan baik. Terlalu berlebihan memang tapi itulah orang tua. Mereka selalu ketakutan dengan apa yang akan menimpa putra-putrinya di masa depan. Ibu dan Bapak sepertinya sudah lupa kalau aku Melati, putrinya yang kuat dan tegar. Aku sudah cukup banyak merasakan kehilangan di sepanjang hidupku, jadi kalau suatu saat aku kehilangan Nino, aku rasa aku mampu mengatasinya.

Mama Nino yang selalu tidak pernah ramah terhadapku belakangan ini, kini berbanding terbalik dengan sikapnya dua minggu yang lalu, dia memelukku dan menciumiku, dia tersenyum lalu kembali memelukku dan melontarkan kata maaf berkali-kali. Aku balas memeluknya dan memaafkan semuanya, aku juga meminta maaf karena telah membencinya.

Semuanya berjalan lancar seperti yang seharusnya.

Catering dari dapur Ibu Susanti mamanya Dina berpindah ke Kantor Urusan Agama, kami mengadakan pesta kecil-kecilan di sini dengan mengundang seluruh staff yang bekerja di KUA. Termasuk dua orang berbadan besar yang tadi sempat menculikku. Aku masih dendam dengan perlakuan mereka, aku ingin menghukumnya tapi dengan cara seperti apa? aku berpikir dan berpikir akhirnya sebuah ide muncul. Dengan cepat ku utarakan keinginanku dan Nino mengangguk mengerti meski pada awalnya dia tertawa tapi dia menuruti keinginanku sebagai penebus kesalahan katanya. Jadilah dua orang berbadan besar tersebut menjadi wedding singers dadakan dengan suara yang tidak enak di dengar. Semua orang protes, tapi aku menikmatinya, ini tidak seberapa dengan penderitaan yang aku alami.

Suasananya cukup ramai dan kekeluargaan, dimana satu sama lain saling bertukar cerita dan tertawa bahagia.

Nino POV

Aku pikir Melati akan memaafkanku setelah tadi di pesta pernikahan dia selalu tersenyum dan tampak bahagia bisa menikah denganku. Tapi aku salah telah menganggapnya demikian. Melati sama sekali tidak bisa melupakan kejadian penculikan itu, dan perang di mulai ketika pintu kamar kami di tutup.

Tanpa menoleh ke arahku Melati langsung masuk ke kamar mandi, aku tersenyum senang, memaklumi. Melati pasti butuh kesiapan mental menghadapi malam pertamanya, dia perlu mandi dan bersih-bersih sebelum akhirnya kita akan melakukan......... Senyumku semakin mengembang ketika membayangkan Melati keluar dari kamar mandi dengan menggunakan pakaian yang telah aku persiapkan sebelumnya. Pakaian tidur yang cukup.....Sudahlah tidak perlu aku ceritakan lagi, Aku sedikit panik dengan pemikiranku ini.

Supaya tidak terlalu gugup aku coba berbaring di atas tempat tidur tentu saja setelah membuka jas dan dasi yang cukup mengganggu.  Ku sandarkan punggungku di dashboard dan melipat kedua tanganku di belakang kepala. "Hai" Aku berpura-pura menyapanya. Tidak enak, Melati pasti akan menganggapku aneh.

Maka ku ubah posisi tidurku, dengan masih menempelkan punggung di dashboard aku pura-pura membaca dan menumpangkan kaki satu sama lain. Ini malam pertama kenapa aku malah membaca buku yang tebalnya empat ribu halaman. Aneh.

Ku ubah posisi dengan tidur menyamping, menopang kepalaku dan menghadap ke arah pintu walk in closet dimana Melati akan keluar. "Hai." Aku pura-pura menyapanya lagi, canggung dan aneh.

Aku berbaring terlentang dan pura-pura tertidur, aku telungkup dan pura-pura mendengkur, aku...... aku tidak tahu harus dengan posisi bagaimana menyambut Melati, akhirnya aku putuskan duduk di tepi ranjang dan menunggu Melati keluar dari kamar mandi, ku buka kancing bagian atas kemejaku dan ku lipat lengannya sampai sebatas siku. Tapi Melati belum juga keluar. Ku tunggu-ku tunggu-ku tunggu dan ku tunggu.

Dua jam sudah aku menunggu Melati dengan sabar, tapi tidak ada tanda-tanda kalau Melati akan keluar dari kamar mandi. Melati butuh persiapan mungkin, tapi kenapa harus sampai dua jam? Ku beranikan diri melangkah ke kamar mandi dan menatap pintu yang  masih tertutup rapat, tidak terdengar suara apapun, logikanya orang yang sedang mandi itu terdengar suara air di buka dari krannya. Penasaran, ku dekatkan telinga ke daun pintu, masih tetap sama --sepi--. Mungkin Melati tertidur. APA TERTIDUR? yang benar saja Melati tertidur di dalam kamar mandi. Ku beranikan diri mengetuk pintu dan memanggil namanya. "Mel." Tidak ada sahutan, mungkin benar Melati tertidur atau mungkin suaraku terlalu kecil untuk memanggilnya.

"Mel, ini aku Mel. Kamu ngapain di dalam? kenapa lama sekali?" Kembali ku tempelkan telinga di daun pintu. Aku tidak mendengar Melati menyahut.

"Mel, Melati." Sedikit keras ku ketuk pintu, supaya Melati bisa mendengar. Nihil di dalam masih tetap sepi. Jangan-jangan Melati pingsan di dalam.

Ku gedor pintu dengan keras, berharap Melati membukakan pintu untukku. "Melati, buka pintunya Mel."

"Mel, kamu baik-baik saja kan di dalam."

"Mel tolong buka pintunya." Ku pegang knop pintu dan berusaha mendorongnya. Pintu tetap tertutup rapat tidak bergeming.

Aku berteriak dan menggedor pintu dengan keras. "MEL, KAMU BAIK-BAIK SAJA KAN DI DALAM?" Aku mulai terserang panik.

"MEL, MELATI" Hening sesaat sebelum akhirnya aku mendengar suara kunci di putar dan pintu kamar mandi terbuka dengan sempurna.

"Kamu kenapa?" Tanyanya tanpa dosa sambil mengikat bathrobenya dan menatap wajah tampanku yang mulai pucat dengan butiran keringat dingin memenuhi dahiku. Hah, jadi Melati tidak sadar kalau dia sudah membuat aku panik setengah mati.

"Ka-kamu, aku pikir terjadi sesuatu di dalam sana." Aku mengusap keringat di dahiku.

"Oh, itu. Aku ketiduran sebentar. Cape." Jawabnya tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Sebentar itu tidak sampai dua jam Melati!" Aku gemas dengan ulahnya, Melati sengaja membuat aku naik darah.

Melati terdiam dia tidak jadi melangkahkan kakinya. "Dan bagaimana denganku ketika kamu sengaja menyuruh dua orang berbadan besar itu menculikku. Aku tidak kalah paniknya sama seperti kamu sekarang ini. Tidak-tidak, aku malah lebih panik lagi."

"Jadi ceritanya kamu balas dendam."

"Bisa di bilang begitu, Tapi tunggu, ini baru permulaan." Ucapnya sambil berlalu meninggalkan aku yang menganga tidak percaya.

"Mel, maafkan aku. Aku salah. Aku minta maaf. Aku sudah berpuluh-puluh kali minta maaf. Masa kamu belum memaafkannya juga?" Oh, bagaimana nasib malam pertama kami?

"Sudahlah, aku mau lihat Tydes dulu sebentar."

"Ibu Ismi malam ini menginap di sini, dia yang akan menjaga Tydes untuk kita." Melati berhenti dan berbalik menatapku.

"Baguslah kalau begitu, tolong ambilkan semua pakaianku di apartement. Tadi Ibu bilang sudah mengepak semuanya. Aku cape mau istirahat."

"Hah." Ku lihat Melati naik keatas tempat tidur dan menarik selimut, menutupi seluruh badannya.

***

Hampir semalaman Nino tidak dapat menutup matanya dengan benar, dia gelisah dan tidak bisa tidur, sudah beberapa kali membolak-balikan badannya tapi tetap saja matanya tidak mau terpejam, akhirnya Nino berdiri dan pindah ke sofa dengan tujuan siapa tahu dia bisa memejamkan matanya satu-dua jam.

Di sofa Nino malah semakin gelisah, sudah puluhan posisi dia lakukan dari mulai duduk, terlentang, telungkup, sampai dengan mencari sudut-sudut sofa yang paling nyaman untuk sekadar merebahkan kepalanya.

Hasilnya nol besar. Nino masih tidak dapat memejamkan matanya, dia mengerang frustasi, duduk dan menegakkan punggungnya menatap Melati penuh damba. Malam pertamanya hancur berkeping-keping, padahal sudah jelas sekarang ini Nino adalah suami sah wanita yang sedang tertidur di tempat tidur miliknya.

"Kamu benar-benar keterlaluan Mel, kamu menyiksaku." Nino kembali berbaring diatas sofa dan menatap langit-langit kamar, berharap kantuk segera datang menyerangnya, dia tidak ingin berfantasi yang aneh-aneh tentang Melati.

Bukannya makin terpejam Nino malah tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Akhirnya dia bangun dan kembali pindah ke tempat tidur, menarik selimut dan berbaring menyamping menatap punggung dan rambut Melati yang tergerai di atas bantal. Sesekali tangan Nino menyentuh rambut indah istrinya, dia mengusap dan memainkannya dengan lembut penuh perasaan, sampai matanya benar-benar berat dan tidak berapa lama, tertidur pulas.

***

Melati sebetulnya tahu apa yang di lakukan Nino hampir semalaman, Nino gelisah dan tidak bisa tidur. Melati jadi menyesal telah menghukum Nino dengan mengacuhkannya, harusnya dia tidak boleh bersikap egois seperti ini, tapi salah siapa? Nino yang memulai duluan, Nino yang secara tidak langsung membuat Melati membalas semua perlakuannya.

Melati menyesap susu vanila hangatnya, dia duduk seorang diri di meja makan. Hari memang masih terlalu pagi untuk memulai sarapan, dia menikmati paginya yang sepi, tidak ada seorangpun di sekitarnya, tidak Nino tidak juga Fio. Orang tua dan adik Nino juga sudah pulang dari kemarin sore.

Tenang dan damai, itu yang di rasakan Melati sekarang ini, seperti di apartementnya dulu. Dan Melati tidak akan pernah merasakan kedamaian itu lagi kalau tinggal di rumah ini kecuali di pagi buta seperti ini, di mana semua orang masih bergulung dengan selimutnya.

Kedamaian yang di rasakan Melati tidak berlangsung lama karena menit berikutnya Pak Halim kepala asisten rumah tangga keluar dari kamarnya di ikuti beberapa orang pembantu yang langsung mengerjakan pekerjaannya atas perintah Pak Halim.

"Lho, Bu Dokter. Saya kira siapa. Apa Ibu selalu bangun sepagi ini Bu? Barang kali mau di buatkan sesuatu untuk di makan?" Pak Halim begitu kaget ketika melihat Melati duduk seorang diri dengan hanya di terangi lampu di ruang makan.

"Tidak perlu Pak, saya hanya ingin menikmati pagi sebelum semuanya terbagun." Melati memberikan senyuman ramahnya.

"Kalau begitu saya tinggal. Kalau Ibu perlu sesuatu jangan sungkan panggil saya." Pak Halim begitu baik, tidak heran Nino begitu mempercayainya untuk mengurus keperluan rumah ini. Batin Melati.

"Terima kasih banyak Pak."

"Sama-sama Bu, permisi." Pak Halim berbalik dan hendak melangkahkan kakinya.

"Emm, Pak Halim." Panggilan Melati yang langsung menghentikan langkah Pak Halim.

"Iya Bu, ada yang bisa saya bantu."

"Eemm.....Biasanya Nino sarapan apa?" Pertanyaan Melati membuat Pak Halim tersenyum. Sudah dari dua belas tahun yang lalu ketika dirinya mengabdikan hidup untuk keluarga ini. Dia ingin melihat Tuannya di layani seorang istri di meja makan dan sekarang keinginannya terwujud.

"Bapak tidak pernah rewel, apapun yang tersedia di meja makan dia pasti memakannya."

"Baiklah, sarapan apa yang akan di buat pagi ini?" Melati bertanya dan menimang-nimang, apa sebaiknya dia sendiri yang membuat sarapan untuk suaminya. Meskipun tidak bisa masak tapi kalau hanya roti panggang dan segelas susu dia bisa melakukannya. Apa salahnya dia yang menyiapkan sarapan pagi suaminya.

"Bagaimana kalau kita buat tramezzino." Tawar Pak Halim dan Melati mengkerutkan dahinya tidak mengerti dengan istilah yang di sebutkan Pak Halim barusan.

"Apa itu Pak?" Berharap makanan itu tidak terlalu susah membuatnya.

"Semacam sandwich."

"Bilang aja sandwich, susah amat."

"Ya tapi ini beda Bu, tramezzino itu roti yang di potong segitiga dan isinya ikan tuna, buah zaitun, tomat kalau suka ditambah bumbu lainnya seperti......."

"Ribet sekali sih Pak, udah kita bikin roti panggang selai cokelat saja, lebih gampang." Pak Halim tersenyum dan menganggukan kepalanya.

"Semua terserah Ibu, bukankah Ibu yang akan membuat sarapan untuk keluarga Ibu." Melati sedikit merona, 'Keluarga' tidak terlintas sedikitpun di dalam pikirannya untuk memiliki keluarga.

"Pak Halim benar. Jadi tolong izinkan saya untuk membuat dapur berantakan." Melati menjentikkan jari tangannya, berdiri dan melangkahkan kakinya menuju dapur. Pak Halim hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dia meninggalkan Melati.

Tidak sampai satu jam, dapur sudah benar-benar hancur. roti yang gosong berserakan di atas meja, selai cokelat tumpah dan hanya di lap dengan tissue yang juga berserakan di lantai dapur.

Melati tidak patah arang, ini roti yang kesembilan yang dia buat, berharap tidak gosong seperti sebelumnya. Melati mulai mengatur waktu pemanggangan dan diam menunggu di depan toaster. Setelah mendengar bunyi bip Melati langsung mengangkat rotinya yang ternyata masih saja gosong.

"Ternyata membuat roti panggangpun tidak gampang." Keluhnya.

"Ini roti yang kesepuluh dan harus berhasil." Melati mengolesinya dengan mentega karena selai cokelat sudah habis dan sebagian tumpah.

Di masukkannya roti yang ke sepuluh ke dalam toaster dan mulai mengatur waktunya kali ini  lima menit. Bipp.....Melati langsung mengangkat rotinya, dia tersenyum puas setidaknya satu roti berhasil di selamatkan meski terlalu matang dan terlalu coklat, sedikit agak keras memang, tapi cukup layak untuk di makan. Di hirupnya aroma roti di dalam piring dan berjalan menuju meja makan. Roti panggang pertama untuk Nino.

Di lihatnya Fio sedang duduk manis di meja makan dengan memakai seragam sekolahnya, Melati lupa kalau hari ini Fio harus sekolah.

"Sarapan untuk Fio Tante?" Fio senang ketika melihat Melati membawakan roti untuk sarapannya.

"Enak saja ini untuk Daddy kamu. Kalau kamu mau kamu bisa bikin sendiri." Melati langsung sewot.

Fio kecewa "Kenapa Tante hanya bikin satu? Fio juga perlu tenaga untuk pergi kesekolah."

"Kalau perlu tenaga bikin sendiri" Melati menatap roti panggang buatannya dengan kagum, suatu prestasi untuk dirinya yang tidak bisa memasak.

"Heh, apa susahnya sih bikin roti panggang." Fio berdiri dan meninggalkan Melati menuju dapur, dia sempat menjerit dan memanggil nama Melati. "TANTE!!" Teriaknya.

"IYA, TADI TINAH UDAH TANTE SURUH MEMBERSIHKANNYA." Melati balas berteriak menjawab teriakan Fio.

"TANTE KETERLALUAN! APA SIH YANG TANTE BUAT SAMPAI BERANTAKAN BEGINI!"

"ROTI PANGGANG SAYANG."

"Dan Tante hanya bikin satu!" Dengan kesal Fio keluar dari dapur berkecak pinggang menatap Melati yang anteng menatap roti panggang buatannya.

"Ini yang terselamatkan Fio, selebihnya harus masuk tong sampah." Fio menghentakkan kakinya dan kembali masuk ke dapur.

Beberapa menit kemudian Fio datang dengan roti panggang di tangannya dan segelas susu di tangannya yang lain. Dia duduk di samping Melati, membandingkan roti panggang buatannya dan buatan Melati. Kemudian Fio terpingkal-pingkal tertawa.

"Yang benar saja, masa roti seperti ini untuk Daddy."

"Kalau begitu kita tukar. Ini untuk kamu dan ini untuk Daddy kamu." Melati tersenyum licik sambil menukar piring Fio dengan piringnya. Roti panggang buatan Fio memang sangat menggiurkan, selain warnanya yang kuning keemasan, rotinya juga tampak renyah dan enak. Berbanding terbalik dengan roti miliknya, sangat coklat dan mendekati gosong meski tidak gosong.

"Tidak bisa ini roti Fio yang bikin." Fio kembali menukar piring Melati.

"Kamu kok, tega sih Fio. Masa untuk Daddy kamu rotinya seperti ini."

"Tante panggang aja lagi rotinya gampangkan." Fio malah memberi Melati solusi bukan menukar piringnya.

"Ini udah roti kesepuluh yang Tante panggang Fio."

"Apa, kesepuluh?" Fio kembali tertawa melihat Melati frustasi dengan hasil karyanya.

Tanpa di duga Nino sudah berdiri di belakang Melati, dan mengecup puncak kepalanya. Melati sempat menegang dan gelagapan, dia menatap Nino yang sudah rapi dengan setelan jas kerjanya. Nino tersenyum dan tampak baik-baik saja, sama sekali tidak terlihat kalau dia kurang tidur.

"Kenapa?" Tanyanya ketika mata mereka bertemu dan saling mengunci. Melati hanya menggeleng lemah.

"Ehm, baiklah. Apa yang kalian perdebatkan? sepertinya seru sekali" Beberapa kali Nino membetulkan dasinya yang kurang nyaman.

"Ini Daddy Tante Mel....huph...." Melati membekap mulut Fio dan dan melotot kearahnya.

"Jangan katakan apapun." Bisiknya dan Fio mengangguk mengerti.

Nino, tersenyum, dia duduk dan menatap piring roti panggang sambil mengancingkan lengan kemejanya.

"Sarapan pagi, Buatan Tante Mel, untuk Daddy." Fio menggeser piringnya lebih ke depan Nino.

"Terima kasih, tapi kok beda sama yang ada di piring kamu."

"Buatnya dengan cinta Daddy. Udah di makan aja jangan banyak tanya." Fio mulai mengunyah roti miliknya.

Merasa tidak enak hati Melati menatap Nino gusar, dia menggigit-gigit bibir bawahnya. Seharusnya tadi itu Melati membiarkan Pak Halim yang membuat sarapan pagi untuk Nino, bukan roti hancur buatannya.

"Sebentar aku bikin minum dulu. Susu atau teh?" Tanya Melati buru-buru. Memalukan, membuat sarapan pertama untuk suaminya, roti yang tidak layak di makan.

"Sudah duduk aja, Pak Halim yang bikin." Dengan malas Melati kembali menghempaskan tubuhnya, menatap Nino yang mulai menguyah roti panggang buatannya.

"Panggang 216 detik atau 3,6 menit." Bisik Fio tepat di telinga Melati. "Dan ketebalan menteganya kira-kira 14 mili. Tante bisa mengira-ngiranya." Melati, menegakkan duduknya dan menatap Fio. Dia tersenyum kemudian berdiri.

"Akan aku lakukan. Nino kamu jangan pergi dulu."

***

---curcol---

Jujur, aku rada malas lanjutin nih cerita. Bukan apa-apa, setelah ada pesan masuk lewat Inbox yang ngakunya readers. Tidak perlu aku sebutkan namanya disini, dia pasti tau pesan ini di tunjukan untuk siapa.

Siapapun kamu yang ngeinbox dan membeberkan sederet kesalahan yang aku buat di dalam tulisanku tanpa memberitahu kesalahannya dimana. Aku langsung down dan malas buat lanjutinnya.

Harusnya sebagai readers yang baik dan paling mengerti tentang penggunaan EYD (ngakunya), dia bisa membantu dan memberitahu cara penggunaan EYD yang baik dan benar itu seperti apa supaya aku yang lemah ini bisa belajar dan kedepannya mungkin tulisanku akan lebih baik lagi.

Kalau perlu, dia bisa langsung comment dan memberitahukan aku kesalahannya dimana lewat cerita aku. Bukankah dengan begitu aku bisa langsung memperbaikinya ---Jangan asal nyablak dan berkoar-koar bahwa dia paling pintar dan paling tau---

Jadi kalau memang gak suka cerita aku. Ya, gak usah di baca. Cari cerita lain banyak kok yang lebih bagus dan lebih sempurna dari cerita ini.

Saran dan kritik aku terima, tapi dengan bahasa yang sopan.

Aku post cerita ini juga tanggung udah di buat.

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

444K 18K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
6.6K 375 18
Alvaro, aku tidak ingin kehilanganmu tapi aku juga tidak bisa menipumu. Ini bukan hanya tentang kita hari ini tapi juga nanti. Aku percaya kamu orang...
188K 11.4K 59
Marsita Aysha Yusuf Wanita berusia 22 Tahun, bertubuh gemuk, dengan penampilan biasa, memiliki kepintaran standar, belum memiliki pengalaman pacaran...
65.5K 2.8K 23
Mengikhlaskan seorang suami untuk selingkuhannya, tentu saja sangat sulit untuk dilakukan semua wanita, tak terkecuali Sinta. Namun saat ia sadar kek...