Royaltionship [✓]

De cindereyna

235K 52.7K 17.9K

Bukan sekedar cinta segitiga biasa, ini adalah kisah cinta segitiga orang kaya. ㅡcindereyna, 2O2O Mais

Prolog
Teaser
1. Suatu hari di lab biologi
2. Stalking
3. Dewi Kimia dan Pangeran Remedial
4. Duh, What?
5. Dibalik sebuah kesalah pahaman.
6. cafè
7. Einstein pasti bingung
8. Fireworks
9. Tentang keluarga Wang
10. We are friend, but i see u as a man.
11. Deals
12. Cruise trip plan
13. Hari dimana aku ingin mengakhiri hidup.
14. Setelah minum, kita jadi lebih akrab.
15. Panic attack
16. Pengakuan
17. Rich People Problem
18. This kind of family
19. Makan pinggiran ala sultan
20. Runaway
21. Br(ok)en
22. Hari Kelam
23. Dad and Son
24. How rich people solves their problems
25. Special Guest
26. Black Suit
27. Sadar diri
28. Ssst! mom is mad, come on follow dad!
29. How rich people enjoy their holidays
30. The Story about Young Lady and an Ordinary Boy
31. The Ending Story About Young Lady and An Ordinary Boy
32. Sehari lagi
33. Chenchen mengkhawatirkan
34. Manusia manusia
35. Christmas eve
36. Yang Tidak Terduga
37. let's get it done
38. A lot of things happened
39. Our Journey
40. it's begin
41. I Fancy You
42. Keluarga Besar
43. Malam kelam
45. Royal-Relationship, Royaltionship.

44. 幸福 (Happiness)

2.1K 692 216
De cindereyna

Tempat pelarian Shasha malam itu adalah kostan Eric. Shasha dengan kaki lecet dan muka memerah serta kantong mata bengkak ngungsi ke rumah Eric. Memgganggu jam tidur Eric. Tapi, Eric nggak pernah keberatan dengan itu semua.

Eric jelas khawatir, tapi dia nggak tanya karena takutnya ganggu privasi Shasha. Eh, malah Shashanya sendiri langsung cerita.

Sama seperti Shasha, Eric juga kaget banget. Dia nggak nyangka kalau Shasha mengalami hal seperti itu di hari lamarannya. Di depan semua para tamu undangan.

Karena tau Shasha lagi nggak bisa hidup tenang dan mungkin aja mentalnya bermasalah, Eric nawarin Shasha untuk pergi ke rumahnya sementara. Rumahnya yang di Semarang. Dan Shasha langsung mengangguk setuju.

Memang itu yang Shasha mau. Pergi jauh sampai nggak bisa dicari, tapi di lain sisi dia juga butuh seseorang untuk menemaninya. Shasha tau Shasha nggak banyak bisa melakukan apa-apa sendirian. Apalagi kali ini dia cuman pergi dengan gaun tunangan, sepatu hak tinggi, mahkota berlian dan HP. Nggak ada sepeserpun uang walau apa yang dia pakai dari atas kepala sampai ujung kaki nilainya fantastis.

Beruntung banget pokoknya Shasha kenal sama cowok baik dan sopan bernama Eric. Meskipun posisinya saat itu Eric asistennya Shasha di kantor, dia nggak memikirkan takut nggak dibayar atau apapun itu. Yang penting Shasha aman dan tenang aja dulu.

Besok paginya, dengan pakaian seadanya yang Eric punya, Shasha dan Eric pergi ke terminal pagi-pagi buta. Ini bener-bener kali pertama Shasha naik bis. Dan yah... bisa dibayangkan nggak nyaman.

Shasha nggak nyaman liat suasana dalam bis yang kayak gitu, belum lagi kursinya kelihatan berdebu banget.

"Atau mau naik pesawat?" Tawar Eric setelah memperhatikan ekspresi nggak senang Shasha.

Sebenernya, bukan karena bis Shasha memasang wajah nggak senangnya itu.

Shasha biasanya nggak kayak begini, tapi entah kenapa mulai pagi ini dia takut ngeliat orang. Dia panik sampai sesak napas rasanya.

Tapi cewek itu menggelengkan kepalanya. Nggak mau lebih merepotkan Eric.

"Tenang, nggak perlu takut apa-apa, kok. Semuanya bakalan baik-baik aja." Eric melepas topinya dan memakaikan benda berwarna putih yang dia beli di pasar malam pas dia masih sekolah dulu ke kepala Shasha. Meskipun udah lama banget, tapi warna dan modelnya masih bagus. Eric memang tau gimana cara merawat dan menghargai barang.

Shasha membenarkan topi yang barusan di pakaikan sama Eric sambil nunduk.

Intinya, setelah kejadian malam itu, berhadapan dengan banyak orang membuat Shasha panik tanpa sebab. Dia bisa aja mendadak sesak napas karena ketakutan yang muncul secara tiba-tiba dan sangat intens.

Dia merasa dia pembohong.

Dia merasa dia manusia yang lebih nggak tau diri dibanding Papa kandungnya (Yang ternyata sebenarnya bukan Papa kandungnya.)

💎

Eric dan Shasha akhirnya masuk semarang setelah menempuh perjalanan sekitar hampir tujuh jam. Ini hitungannya lumayan cepat karena Eric pilih bus yang bagus dan lewat tol. Memang sih, biasanya bisa selisih lima puluh ribu lebih mahal. Tapi nggak apa-apa, yang penting perjalanan ini nggak berat dan menyebalkan untuk Shasha.

"Hei, udah sampai." Eric menggoyangkan tubuh Shasha pelan. Cewek itu ngeriyip sambil ngucek matanya pakai tangan.

"Udah sampai?"

Eric ngangguk. "Ayok, udah kopernya biar aku yang bawain."

Mereka berdua turun dari bus. Suasana yang ada di sekitar Shasha terasa asing. Entah karena cara berpakaian orang-orangnya atau karena bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi.

"Mau ke toilet dulu nggak, Sha? Eh, aku gapapa kan manggil kamu informal gini? Kita nggak di tempat kerja, juga... kita pernah temenan sebelumnya... jadi... aku rasa..."

"Iya. Nggak apa-apa. Panggil nama aja." Shasha memotong ucapan Eric.

"Jadi mau ke kamar mandi dulu atau langsung pulang?"

"Langsung aja. Tapi, Ibu kamu nggak marah, kan?"

Eric geleng dengan mantap. "Mungkin malah kamu yang nggak nyaman. Rumah aku kecil, jelek, penerangannya juga nggak seterang di rumah kamu. Tetangga aku ada yang masih pakai kayu masaknya, asepnya mungkin bakalan ganggu. Terus juga, rumah aku deket pesantren. Di belakang pesantren malah, jadi kamu kayaknya bakalan keganggu denger suara adzan lima kali sehari dan dengerin suara orang ngaji atau orang ceramah. Kamu mungkin makin nggak nyaman."

"Aku nggak apa-apa kok. Lagi pula aku udah biasa denger adzan dan orang ngaji meskipun nggak setiap hari banget. Tapi hal yang kayak gitu nggak akan bikin aku terganggu." Entah sejak kapan Shasha jadi aku-kamuan juga sama Eric. Eric sih... orangnya sopan banget. Shasha kan jadi nggak enak mau bicara dengan bahasa santai.

Mereka melanjutkan perjalanan. Karena kebiasaan di Jakarta, Eric jadi punya aplikasi ojek online, padahal kalau disini dia nggak pakai begituan.  Warga kampungnya baik dan suka tolong menolong, jadi telfon seseorang dari kampungnya aja pasti ada yang bermurah hati menjemput dia di terminal.

Eric tinggal di bagian desa. Kalau apa-apa ngandelin ojek online atau sekedar pesen makanan online, ongkirnya bakal mahal banget. Bisa sampai 50 ribu kalau makanan itu dari pusat kota.

Tapi kali ini nggak apa-apa. Mereka naik taxi online untuk menuju ke rumah Eric. Perjalanan ini cukup lama. Padahal nggak macet, tapi ya gimana kalau rumahnya di daerah pedesaan?

Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah kecil cat hijau pupus. Separuh dindingnya di keramik pakai keramik warna cream. Terasnya sempit, di depan teras itu ada beberapa bunga seperti bunga bugenvil warna merah dan tanaman bambu air. Halaman rumah Eric masih tanah berpasir, belum di semen. Hal itu membuat debu debu halus dari pasir mengotori sepatu hak tinggi Shasha. Shasha paling risih dengan debu, rasanya sebel banget. Cuman ya mau gimana lagi...

Eric mengambil kunci yang ada di bawah keset. Jam segini Ibunya masih di pasar buat jual ubi. Keluarga mereka punya warisan sawah dari Kakeknya Eric. Meskipun nggak luas, tapi sawah itu cukup untuk menghidupi keluarga Eric. Lumayan buat tambahan penghasilan.

"Masuk, Sha."

Setelah pintu terbuka, Shasha sibuk ngeliatin rumah Eric. Rumahnya beneran kecil banget. Bahkan kamar mandi di rumah Shasha sama ruang tamu Eric aja masih lebih luas kamar mandi Shasha.

Di ruang tamu juga sofanya masih pakai sofa jaman lawas. Pigora foto yang dipajang di dinding biasa aja. Nggak ada ukiran emas atau setidaknya ukiran biasa. Ini pigora bener-bener polos. Kayak buatan sendiri terus di cat sendiri melihat detilnya yang nggak rapi sama sekali itu.

Berpindah ruangan, kini Shasha masuk ruang keluarga rumah Eric. Disana ada sofa lagi. Kali ini sofanya lebih bagus daripada sofa di ruang tamu. Ada bantal disana, tapi bantalnya keliatan tipis banget. Jelas ini bukan bantal bulu angsa kayak punyanya di rumah.

Shasha melihat ke arah bufet, disana ada TV tabung warna silver. Ukurannya kecil banget. Shasha nggak tau ini TV masih berfungsi atau enggak karena beneran udah ketinggalan jaman banget. Dia nggak tau kalau ada yang masih pakai TV kayak gini di dunia ini.

"Ini kamar aku. Sepreinya baru diganti seminggu yang lalu kata Ibu, tapi aku gantiin lagi sebentar lagi supaya kamu tidurnya nyaman."

"Nggak usah."

"Hm?"

"Kamu selama ini kan pergi jauh, sepreinya pasti masih bersih."

"Biasanya adek aku tiduran disini tapi, Sha."

"Udah gapapa. Ga usah diganti. Jangan spesialin aku karena aku cuman numpang. Aku nggak kasih kamu keuntungan. Bahkan buat bayar biaya nginep di rumah kamu aja aku nggak bisa."

"Hish, kenapa sih begitu? Di desa aku semuanya masih tolong menolong. Kalau ada genteng bocor, bilang ke tetangga pasti di bantu. Kalau ada pipa rusak, bilang tetangga pasti di bantu. Kita nggak butuh uang di tempat ini karena kita semua selalu saling bantu."

Shasha tertegun. Ternyata tempat seperti itu masih ada ya di dunia ini? Tempat dimana kebaikan yang paling utama. Kebaikan murni dari dalam hati. Bukan baik karena tau kalau akan dikasih uang yang banyak.

Shasha pikir Eric hidup menderita karena tinggal di desa sekecil ini dengan rumah yang nggak lebih besar dari kamar mandi rumahnya. Tapi kayaknya Shasha salah, mungkin diantara Shasha dan Eric, yang lebih bahagia menjalani hidupnya adalah Eric.



Sorenya, Ibu dan adek Eric pulang. Mereka jelas aja kaget setengah mati melihat ada cewek yang sepertinya berbeda ras dengan mereka dan memiliki wajah seperti nona muda besar yang tinggal di kerajaan, ada di dalam rumahnya.

Cewek itu pakai kaos Eric yang kebesaran banget di tubuhnya. Pakai celana training Eric juga. Dia berpenampilan polos karena nggak bawa satu alat make up pun.

"Sopo iki, Le?"

"Bos aku, Buk."

"Lho nyapo iso tekan kene, Mas? Iku klambine sampean kan?"

Eric meminta persetujuan Shasha untuk menceritakan semuanya. Shasha ngangguk walau dia takut banget. Dia takut Ibunya Eric akan memandang dia sebagai pembohong juga. Tapi ternyata enggak, Ibunya Eric malah kasihan dan membiarkan Shasha tinggal di rumahnya semaunya.

"Nduk, kamu ini berarti bukan muslim, ya?" Ibu Eric bertanya dengan logat jawanya yang kental. Aksen itu agak kaku untuk digunakan berbicara menggunakan bahasa indonesia seperti ini.

"Bukan, Bu."

Ibu Eric menghela napas. "Cah ayu, lingkungan rumah kita ini di daerah yang agama islamnya agak kuat. Memang masih agak kuno dan banyak larangan. Tapi kami begini supaya nggak kehilangan jati dirine awake dewe. Sebagai orang jawa dan sebagai orang islam. Kalau tetangga tau kamu disini dan bukan orang muslim, mereka mungkin agak sensitif sama kamu. Jadi, kamu keberatan ndak kalau pakai hijab kemana-mana selama ada disini? Gereja agak jauh. Tapi Ibu suruh Eric anter nanti kalu kamu ingin berdoa."

"Pakai hijab, Bu? Tapi aku nggak punya. Dan nggak bisa."

"Hla... tenang saja toh... Ibu ada solusinya."

"Rikaa, sini nduk. Bawakno jilbab mu nggo mbak Shasha."

"Inggih, Buk."

Erika dan Ibunya memasangkan Hijab ke kepala Shasha.

Eric yang baru dari kamar mandi langsung lemes soalnya Shasha udah kayak bidadari surga.

Belum lagi baju warna kemerahan milik Erika dan Rok hitam yang ukurannya pas dipakai Shasha.

"Shasha jangan dibolehin keluar, ya Bu, Erika. Poknya dia ojok disuruh-suruh."

'Enak aja cowok lain bisa menikmati pemandangan ini.' Eric nggak rela. Pokoknya dia mau di dunia ini cuman dia aja yang memandang wajah Shasha dengan hijab yang terpasang di kepalanya.

"Le, mbesok anterno Shasha ke gereja, ya."

Eric merasa tertampar.

"Nggih, Buk."

"Yaudah, udah mulai malam. Kamu mending cepat istirahat aja ya nduk. MasyaAllah, udah cantik, orang kota, kaya raya tapi kalau ada masalah larinya masih ke Tuhan. Ibu salut ada orang seperti kamu. Soalnya Ibu denger pergaulan di kota itu udah rusak. Kamu dididik dengan baik di keluarga kamu. Itu artinya, kamu disayangi, kamu diinginkan terlepas kamu anak kandung mereka atau bukan. Besok bangun pagi, kamu berdoa ke Tuhan mu dan tanyakan, harus berbuat apa. Sudah ya nduk, ibu ke pesantren dulu. Udah jam malamnya santri pondok ngaji kitab."

"Makasih ya, Bu. Ibu hati-hati di jalan."

"Iya, cah ayu. Assalamualaikum. Ibu ke pondok dulu."

"Wa'alaikumussalam, Buk." Eric yang menjawab.


💎




Untuk sesaat hidup Shasha mulai tenang. Dia udah mulai kehilangan rasa takutnya dan mental healthnya hampir stabil lagi.

Kira-kira Shasha di tempat ini udah dua minggu. Nggak ada yang bisa menghubunginya karena dia ganti nomor. Nomor biasa yang nggak tersambung Internet karena disini susah sinyal dan beli paket data harus jalan agak jauh. Tapi karena penasaran dengan keadaan keluarganya di luar sana, Shasha memutuskan untuk mencoba mengganti nomornya ke nomor lama.

Begitu HP nyala ada banyak banget pemberitahuan masuk. Muali dari nomor Soojin, Wooseok, Ah Ma, Gafian dan tentu saja Chenle.

Chat masuk pun juga nggak terhitung jumlahnya.

Shasha naro hpnya yang masih terus bergetar karena notif masuk bertubi-tubi. Followersnya juga pada nyariin karena lama banget Shasha nggak bikin story. Mereka tentu saja khawatir.

Belum juga serangan notif itu reda, ada getaran lain yang lebih panjang. Itu adalah panggilan. Dari Chenle.

Shasha bingung harus mengangkat atau enggak. Akhirnya dia diemin panggilan itu sampai mati sendiri.

Nggak lama setelah itu, mungkin nggak ada lima menit, ada pesan masuk dari Chenle.

Eric mengetuk pintu kamar Shasha, rencananya mau memberikan Shasha sepiring ubi manis yang baru saja di rebus sama Ibunya.

Melihat Shasha memasang raut sedih membuat Eric bertanya-tanya.

"Kangen rumah, ya?" Tebak cowok itu.

Shasha menunjukkan chat masuk dari Chenle. Eric membacanya dengan seksama.

"Balas, gih."

"Balas apa tapinya?"

"Bales, 'iya, jemput aja.'"

"Hah?"

"Mereka semua khawatir. Mereka semua lebih dari rumah buat kamu. Lebih dari sekedar tempat pulang atau tempat beristirahat. Bukannya udah dijelasin kalau suasana disana nggak baik? Kamu anak adopsi kan? Mau sampai kapan ngerepotin mereka dengan berulah? Kamu udah terlanjur masuk keluarga itu. Udah terlanjur hidup sebagai putri di kerajaan mereka. Mereka milih kamu bukan tanpa alasan, dan kamu harus tanggung jawab kan atas kehidupan yang udah kamu jalani? Sekarang kamu balik, lanjutin hidup kamu sebagai seorang putri kerajaan tanpa lupa siapa diri kamu sebenarnya. Kamu selalu bisa membalas kebaikan orang tua kamu dengan membantu anak anak dari panti asuhan lain. Lakukan hal yang seharusnya kamu lakukan sebagai Shasha. Sebagai anak dari keluarga kaya, sebagai bos aku dan sebagai anak menantu keluarga Zhong."

"Kamu emang udah di takdirkan lahir seperti itu. Lahir dan besar di keluarga seperti itu. Jangan anggap jadi orang biasa aja itu mudah. Walau aku tau jadi kamu juga pasti banyak mengalami kesusahan, tapi percaya sama aku. Ada jutaan manusia yang iri dengan kehidupan kamu. Kamu nggak bohong, kamu nggak mencuri hidup siapapun. Kamu memang ditakdirkan menjadi seperti ini. Jadi, Bu Shasha, udah waktunya anda pulang dan lanjutkan pekerjaan."

Continue lendo

Você também vai gostar

149K 15.2K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
422K 4.4K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
69K 7.1K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
228K 34.3K 62
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...