ALVIVA (END)

By Kagaminetiv

1M 81.9K 23.1K

Sebuah perjodohan yang membuat Alvian dan Adiva harus terikat hubungan pernikahan tidak berjalan mulus. Fakta... More

Prolog 🌷
1. Undangan Pernikahan dari Pacar 🌷
2. Arabelle Pulang 🌷
3. Manusia Bertopeng Dua + Cast 🌷
4. Masa Lalu 🌷
5. Di rumah Alvian 🌷
6. Diari Vivian 🌷
7. Tandai Adiva 🌷
8. Keributan dan Pembelaan 🌷
9. Leo Samudera Oktofernandus 🌷
10. Isi Diari Vivian 🌷
Visual + Latar Belakang Tokoh 🌷
11. Pemakaman + Kuis ber-uang 🌷
12. Balikan? 🌷
13. Ketakutan 🌷
14. Dalang Kejahatan 🌷
16. Cie ... Nyariin 🌷
17. Kartu Kuning 🌷
18. Adu basket 🌷
19. Kecewa 🌷
20. Razia 🌷
21. Curahan Hati 🌷
22. Hukuman 🌷
23. Amnesia? 🌷
24. Ancaman? 🌷
25. Pindah? 🌷
26. Ambang Penyesalan 🌷
27. Penyesalan 🌷
28. Kritis 🌷
29. Harapan Hidup? 🌷
30. Hamil? 🌷
31. Penyakit 🌷
32. Adiva Menghilang! 🌷
33. Kerusakan Mental 🌷
Haiii
34. Kehilangan Masa Depan 🌷
35. Titik Terang 🌷
36. Mencari Bukti 🌷
37. Bersemi 🌷
38. Sebuah Janji & Pesta Ultah 🌷
39. Hari Donor 🌷
40. Keberadaan Dira 🌷
41. Boleh Peluk Aku?🌷
42. Cerai? 🌹
43. Epilog
Pecinta Mistery/Thriller Merapat!
Info Terbit
Open PO

15. Psikolog 🌷

20.5K 1.8K 530
By Kagaminetiv

Aku sedikit ganti alur, ya.
Jadi sebelumnya Adiva benar2 lupa sama 'kejadian itu', sekarang aku ubah jadi Adiva masih ingat sama 'kejadian itu'.

🌷🌷🌷

"Seperti flu yang akan datang lagi. Penyakit mental juga sama - ALVIVA"

🌷🌷🌷

Tubuh yang lelah mengantar Adiva terlelap dalam tidurnya seusai menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Butuh waktu sekitar 10 menit, tidur membawanya ke alam mimpi. Mimpi buruk yang begitu mengerikan.

"Neng geulis, cantik-cantik kok tidur di kolong jembatan?"

"MINGGIR LO PADA!"

"Sini biar abang temenin. Haha! Buka bajumu!"

"JA-JANGAN!!!!"

"ARGH!!!!

Adiva segera bangkit duduk, menyeka keringat dingin yang bercucur. Bulu kuduk Adiva berdiri. Me-mengapa mimpi buruk itu kembali menyapa?

Dengan tangan gemetar, buru-buru Adiva meraih obat penenang di atas nakas dan meneguknya.

Setelah merasa agak tenang, Adiva meraih ponsel dan menghubungi dokter Clarie untuk konsultasi.

Tok tok tok.

Suara pintu terdengar. Adiva membuka pintu dengan kondisi wajah yang terlihat pucat.

"Umm ...." Arabelle menggigit bawah bibir. "Gue mau kasih minum."

Adiva menoleh ke isi gelas yang disodorkan kemudian berpindah ke orang pemegang gelas. Adiva dibuat kaget melihat Arabelle bersikap seperti itu. "I-ini?"

"Tenang. Gak ada racunnya," balas Arabelle cepat.

"Bukan takut ada racun, tapi aku kaget lihat kamu di sini dan kasih aku minum."

Pasalnya sejak awal, Arabelle hanya bersikap dingin terhadap Adiva. Mana pernah Arabelle mengetuk kamarnya juga memberi Adiva minum.

"Yah-umm ... gue mau perhatian sama lo. Um ... gue boleh masuk ke dalam gak?"

"Boleh." Adiva mundur dan membiarkan Arabelle masuk.

Arabelle menaruh gelas yang berisi teh hangat di atas meja kemudian berjalan mengelilingi kamar kecil milik Adiva.

Tangan Arabelle menyapu setumpuk buku di rak kemudian pandangannya beralih ke sekitar. Sebuah boneka menarik perhatiannya.

"Pftt! Ini boneka mirip banget sama muka lo!" Arabelle terkekeh.

"Hei!" Adiva merebut boneka kesayangannya. "Namanya juga teman di rumah. Pasti mirip, Bel."

Hati Arabelle sedikit tertusuk duri rasanya. "Te-teman? Kenapa lo ngomong begitu?"

Adiva menghela dan duduk di pinggiran kasur. Cewek itu mengusap bonekanya. "Iya. Aku gak tau harus ngomong sama siapa di rumah selain Secret sama boneka ini."

Arabelle merasa semakin bersalah. Keberadaan Adiva di rumah ini memang sering dianggap 'lebih'. Tak jarang Adiva diacuhkan oleh Arabelle dan juga Dira.

"Satu-satunya manusia yang bisa aku ajak ngomong di rumah ini, sering dinas. Papa gak bisa temenin aku," lanjut Adiva seolah memberi sindiran kecil untuk Arabelle.

"Div, maaf," ucap Arabelle tulus. Gue gagal jadi kakak tiri lo.

Adiva menatap Arabelle kebingungan. "Kenapa minta maaf?"

Arabelle menggeleng cepat agar air matanya tidak menetes. Ia kasihan sama Adiva yang merasa kesepian di rumah ini, dan juga harus kehilangan mahkota sejak dini karena ulah ibunya. "Lo tunggu gue bentar."

Arabelle keluar kamar dan kembali dengan sebuah boneka di tangan. "Nih, buat lo. Dari Alvi buat gue, sih, tapi gue gak suka jir." Arabelle melempar boneka ke arah Adiva.

Adiva spontan terkekeh. Boneka ini mukanya mirip sama muka Alvian yang sombong.

"Napa lo ketawa?"

Adiva menunjuk boneka itu ke Arabelle. "Mirip Alvi gak, sih?"

"Jir. Lo ngomong gitu, gue jadi ngerasa mirip," jawab Arabelle tertegun.

Kedua orang itu spontan ketawa geli barengan kemudian berhenti dan saling menatap.

"Ekhem. Kayaknya kita gak pernah ngomongin cowok bareng," ucap Arabelle memecahkan keheningan.

"Sekali-kali kalau kita akur ... rasanya juga adem," gumam Arabelle kecil membuat Adiva nyaris tidak kedengaran.

"Hah?" tanya Adiva yang kini lagi beresin isi tasnya setelah mendapat balasan dari dokter Clarie.

"Lupakan. Lo mau pergi?"

"Iya. Aku mau ke psikolog."

Psikolog? Arabelle mencelos. "Bukannya udah lama lo gak ke sana?"

"Aku mau check up sekalian konsultasi hal lain," jawab Adiva meraih baju di dalam lemari pakaian.

"Lo pergi sendiri?"

"Iya. Dulu papa sering temenin, tapi setelah sibuk, aku sendirian."

Arabelle menelan ludah kasar, semakin kasihan sama Adiva. "Lo gak takut sendirian?"

Adiva memberhentikan aktivitas sejenak, menatap kosong udara kemudian bergumam lirih, "takut ... aku takut tiba-tiba jadi gila di jalan, dan dibawa ke rumah sakit jiwa."

Adiva kemudian menarik senyuman dan menatap Arabelle. "Tapi, kamu gak perlu khawatir. Kondisiku udah jauh lebih baik sekarang. Lagian aku udah terbiasa sendirian ...."

Terbiasa sendiri ketika kamu ketawa dengan Alvian. Terbiasa sendiri ketika kamu dimanja tante Dira. Terbiasa sendiri ketika papa meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk menemanimu nonton bola, Belle, lanjutnya dalam hati.

"Um ... maaf gak pernah temenin lo." Arabelle menggaruk kepala dengan sedikit rasa bersalahnya. "Ini udah sore, lo mau pergi pakai apa?"

"Biasanya aku naik busway."

"Lo balik nanti juga udah malem. Gak minta Alvian aja nganterin?"

Adiva menggeleng. "Alvian gak pernah mau anterin."

"Aduh. Gimana, sih, dia?" Arabelle mengeluarkan ponsel dari saku celana dan segera telepon Alvian.

"Eh-jangan." Adiva berusaha mencegah Arabelle, tapi telepon sudah terlanjur tersambung.

"Bisa tolong anterin Diva gak? Hah? Gak mau? Kok, gitu? Gak mau tau. Lo harus mau! Iya, sekarang Al. Ok. Makasih." Arabelle memutuskan sambungan telepon dan menatap Adiva. "Alvian mau datang jemput."

"Tapi, awalnya dia gak mau ...."

"Yang penting dia mau. Udah lo ganti baju sana," ucap Arabelle lalu meninggalkan kamar.

Adiva menerbitkan senyuman tipis. Secuil kebahagiaan ia dapati dari Arabelle hari ini. "Makasih, Bel," gumamnya kecil.

Dengan hati lega, Adiva pun berganti pakaian. Selang beberapa saat, motor Alvian sudah bertengger di bawah. Buru-buru Adiva turun.

Seperti biasa, Adiva harus dicaci-maki dulu sebelum naik ke atas motor.

"Lo gak ada hari gak ngerepotin gue, sumpah!" sembur Alvian sembari melempar helm jelek milik Adiva--helm yang kacanya sudah rusak.

"Dari rumah, Al?"

"Senang lo lihat gue bela-belain keluar dari rumah demi antar jemput lo? Lo seharusnya sadar diri. Kalau bukan karena Belle minta, gue gak akan ke sini!"

"Maaf ... ngerepotin." Adiva selesai memasang helm di kepala. Cewek itu naik ke atas motor Alvian.

Belum juga Adiva duduk rapi, Alvian sudah melesat motornya seperti kerasukan setan.

🌷🌷🌷

Praktek Psikolog Clarie Jean Alexander

Alvian mendongak, melihat lokasi yang kini mereka pijak. Seulas senyuman miring terbit di wajah Alvian untuk mengejek Adiva. "Psikolog? Sakit jiwa lo!"

Adiva hanya menarik senyuman paksa. "Emang aku sakit jiwa, Al."

"Mampus. Siapa suruh lo gak nolongin Vivian pas dia mau bunuh diri. Tekanan batin, kan, lo?" tanya Alvian sinis.

"Iya," jawab Adiva singkat. Sebenarnya yang harus tekanan batin itu Alvian. Andai kalau Alvian tahu, dirinya penyebab Vivian ingin bunuh diri.

"Ya udah. Gue doain lo gak akan sembuh selamanya. Gue mau batin lo tersiksa atas kematian Vivian," putus Alvian tega.

Adiva hanya menarik senyuman paksa pura-pura tidak mendengar ucapan jahat dari Alvian. "Al, kamu balik dulu aja gapapa. Takutnya lama."

"Lo usir? Gue maunya tunggu di luar gimana?"

"Makasih, Al. Tungguin, ya, kalau gitu." Adiva menaruh helm di atas kaca spion motor milik Alvian, lalu cewek itu masuk ke dalam klinik.

Seorang asisten mempersilakan Adiva masuk ke dalam ruangan, tempat konsultasi. Dan, Adiva dihadapkan dengan seorang dokter cantik bernama Clarie.

"Kenapa kamu tiba-tiba menjadwalkan konsul sama saya? Perasaan, obatmu masih cukup sampai bulan depan," ucap dokter Clarie sembari memeriksa riwayat konsultasi Adiva.

"Maaf. Aku enggak tau harus cerita ke siapa lagi, Dok," balas Adiva menatap sendu dokter Clarie di hadapannya. "Banyak hal mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Aku harus gimana, Dok? Apa aku bisa jadi gila? Apa a--"

"Sstt ... sebelum cerita, tarik napas yang dalam dulu." Nada lembut dari Clarie selalu berhasil membuat Adiva tenang.

Asisten pun masuk ke dalam ruangan, menaruh segelas teh hangat di atas meja.

"Kamu minum dulu, Adiva," ucap dokter Clarie mempersilakan.

Adiva buru-buru meneguk teh hangat itu supaya tenang.

"Baik. Sekarang apa kendalamu? Pelan-pelan kamu ceritakan," ucap dokter Clarie menatap Adiva intens.

Adiva menarik napas panjang untuk bercerita. "Dokter masih ingat kalau aku punya trauma atas kematian Vivian?"

Dokter Clarie tentu ingat. Semua permasalahan Adiva, dokter Clarie paham karena Adiva ke kliniknya dua tahun yang lalu.

Dokter Clarie tahu jika Adiva sakit-sakitan dari lahir, Adiva pernah ditiduri dua lelaki dan juga Adiva melihat Vivian bunuh diri di hadapannya.

Memang, pasien model Adiva termasuk kasus yang sangat berat. Terkadang dokter Clarie merasa hatinya pilu jika harus berhadapan dengan Adiva--seorang anak remaja malang yang punya sejuta masalah berat.

"Dok?"

"Oh, maaf saya melamun. Ayo, lanjutkan. Saya masih ingat soal Vivian," jawab dokter Clarie yang wajahnya sangat rupawan menurut Adiva. Wanita berusia sekitar 40 tahunan itu memiliki pahatan wajah yang keturunan dari Indonesia Amerika.

"Aku rasa traumaku yang disebut apa itu Pepe--"

"PDST. Post-Traumatic Stress Disorder atau gangguan stress paska trauma," bantu dokter Clarie. "Penyakit yang terpicu karena trauma baik mengalami atau menyaksikan sebuah peristiwa secara langsung."

"Ah, iya. Nah, kupikir aku udah sembuh, karena aku merasa lega banget setelah tau penyebab Vivian bunuh diri. Tadi pagi bahkan aku berani ke pemakamannya."

Mendengar ucapan Adiva, dokter Clarie merasa senang. "Selamat kalau begitu."

Adiva menggeleng cepat. "Tapi, aku punya kendala lagi, Dok."

"Kendala apa?" tanya dokter Clarie dengan sabar mendengar cerita Adiva. Memang, sih, itu juga merupakan tugasnya sebagai seorang psikolog.

"Hari ini aku ketemu sama Rean."

Dokter Clarie menangkap raut wajah cemas dari muka Adiva. Buru-buru dokter Clarie bangkit dan mengisi kembali gelas kosong tadi dengan teh hangat.

"Rean itu mantanku. Dulu dia baik banget. Dia sering temenin aku ke rumah sakit untuk berobat, tapi sebulan lalu dia berubah. Dia jadi laki-laki yang menjijikkan. Dia selalu menuntut kami harus kontakan secara fisik."

Dokter Clarie menyodorkan minum untuk Adiva kemudian menghela. "Mungkin bukan dia berubah, tapi memang sifat aslinya seperti itu, Div. Makanya, saya sering bilang hati-hati sama orang lain. Kamu harus waspada. Terutama sama orang yang baru kenal enggak lama."

Adiva menyeruput teh hangat. "Ma-af."

"Enggak perlu minta maaf. Ayo, lanjut ceritamu, saya selalu siap mendengarnya," kata dokter Clarie dengan tempo bicara yang pelan.

Adiva menaruh gelas di atas meja. Mulai membayangkan kejadian di parkiran sembari cerita. "Ta-tadi kami ketemu. Dia ajak aku ke parkiran. Ham-hampir aku di--"

"Sudah. Saya tau ke mana arah pembicaraannya. Tidak perlu dilanjut," potong dokter Clarie melihat Adiva mulai cemas dan berkeringat dingin.

"Tingkahnya membuat mimpi burukku kembali, Dok. Tentang di bawah kolong jembatan itu."

Dokter Clarie menghela.

Pikiran dokter Clarie terbang kedua tahun yang lalu di kala Adiva datang ke klinik psikolog ini dengan kondisi luka sayatan di sekujur pergelangan tangan.

Awalnya dokter Clarie pikir Adiva menderita self harm. Namun, setelah dianalisa dan mendengar Adiva cerita, dokter Clarie memberi kesimpulan. Adiva terkena penyakit mental, namanya PDST.

Dua alasan utama yang dokter Clarie analisa sebagai penyebab Adiva mengidap penyakit mental itu.

Pertama, trauma akan sex abuse yang disebabkan pelecehan yang Adiva alami.

Kedua, trauma yang disebabkan atas kematian Vivian. Hal itu nyaris membuat Adiva gila.

Karena tidak bisa terlepas dari bayang-bayang masa lalu, cewek itu terus melampiaskan emosinya dengan cara melukai diri sendiri. Entah menyilet pergelangan tangan, membenturkan kepala ke tembok, atau menggigit tangan sendiri.

Jika dalam dunia psikologi, pelampiasan itu bernama self harm.

"A-aku takut self harm-ku kambuh, Dok."

"Jangan sampai kepikiran seperti itu. Bukankah sudah lama kamu enggak melakukannya?" tanya dokter Clarie membuat Adiva mengangguk.

"Masih ingat sama saran saya? Jauhkan benda-benda tajam dari tempat yang mudah kamu jangkau. Perbanyak aktivitas, ibadah dan dengar musik yang relax. Sering-sering rendam air hangat. Cintai dirimu sendiri. Kamu gak mau, kan, tanganmu yang cantik ada bekas luka sayatan?"

🌷🌷🌷

"Makasih, Dok. Sekarang aku merasa lebih tenang."

Dokter Clarie tersenyum sembari mengusap rambut Adiva. "Jangan sungkan chat saya kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu."

Adiva menerbitkan senyuman. "Tentu, Dok. Pamit dulu."

Dokter Clarie mengangguk setuju. Adiva meninggalkan ruangan.

Baru saja Dokter Clarie hendak duduk di sofa untuk istirahat, seseorang yang dari tadi di balkon masuk ke dalam ruangan.

"Kaget. Kamu sejak kapan ada di balkon?" tanya dokter Clarie melihat anak angkatnya tengah melepas earpods.

"Dari tadi, Mom," jawab Leo datar kemudian menoleh sekilas ke arah pintu. "Tadi itu teman sekolahku, Mom?"

Dokter Clarie manggut-manggut dengan raut wajah sedih. "Kasihan dia. Baru keluar dari trauma kematian, sekarang trauma yang di kolong jembatan muncul lagi."

"Heem."

"Kalau ada kesempatan, lebih banyak ajak dia bicara, ya? Ajak dia ikut aktivitas. Pokoknya bikin dia sibuk. Bantu dia keluar dari masalahnya."

Leo mengangguk. "Padahal dua hari yang lalu, aku pikir dia udah sembuh total. Ternyata salah."

Dokter Clarie menggeleng. "Seperti flu yang akan datang lagi. Penyakit mental juga sama. Mungkin hari ini dia kelihatan baik-baik aja, tapi besok penyakit itu bisa datang lagi jika ia mengalami kejadian yang mirip."

🌷🌷🌷🌷🌷

Yoo. Sedikit gambaran untuk penyakit Adiva. Jadi selain punya penyakit fisik, dia juga mengalami penyakit PDST paska kejadian di part 4.

BTW. Makasih udah baca cerita ini.
Bantu promosi ke tiktok kalau berkenan, ya.

Ada yang mau diomongkan ke mereka di part ini?
Adiva

Alvian

Arabelle

Leo

Dokter Clarie

Next part 300 komentar lagi 😁

Spam nextnya di sini.

Continue Reading

You'll Also Like

93.5K 6.1K 53
Natarisha Khumaira, gadis yang sering disapa Icha ini harus melewati masa SMA-nya dengan satu kelas bersama Agnan. Tetangga sekaligus teman kecilnya...
656K 40.8K 75
Sequel of DEVAMEL Singkat saja, ini sebuah kesedihan yang tertunda. Kisah tentang seorang Dhea Tarasya Leander, gadis cantik, imut dan juga pintar. T...
3.9K 361 55
πŸ’œLavenderWriters Project Season 05. ||Kelompok 03|| #Tema; Kenangan Cinta Pertama. β€’Β°Ketua : Patimah. Β°β€’Wakil Ketua : Azza. β€’ β€’ β€’ Mengertikah dirimu...
921K 66.8K 62
"Galaksi, ayo kita jatuh cinta lagi?" "Pergi Na, lo itu cuma benalu di hubungan gue sama Mona!" "Gala, aku sakit." ●β–ͺοΈŽβ—β–ͺοΈŽβ— "Gal, Ini Nana-nya Gala. K...