Why Should Be Me [ Tamat ]

By _Artsj_

4.7K 2.2K 2.8K

> Follow dulu yah, karena sewaktu-waktu cerita ini akan di privat< Di benci oleh orang tua sendiri! Di bully... More

Prolog
*Cast*
Miris
Surat Ancaman
Menolak
Kaki Lembek
Berusaha
Bersabar
Dia peduli
Hari Ulang Tahun
Thanks Om Google
Lagi
Dia hebat
Mama
Dia datang
Glen
Taruhan
Takut
Berubah
Anggap Aja Orang Gila
Ajaib
Alasan
Mereka khawatir
Bolos
Dandelion
Hancur
Malu
Hampir Diculik
Mendaki
Menghilang
Kebetulan
Dia Selalu Baik
Gengsi
Benci
Menyebalkan
Belajar Renang
Tertembak
Dua Malaikat
praktik
Bodoh
Tidak Adil
Melemah
Kebenaran
Saudara
Kecewa
Film Action
Kejadian Sebenarnya
Salam Perpisahan
Selamat Tinggal
Surat
END
Bonus part

Aku Tidak Tahu

34 10 0
By _Artsj_

Ting tong!

Suara Bel di rumah itu berbunyi, membuat pemilik rumah itu keluar untuk membukakan pintu. Di rumahnya, orang-orang pada sibuk jadi dialah yang membukakan pintu untuk sang tamu.

"Iya. Siapa yah?" tanya Glen

"Saya kakeknya Belva." Jawab Rafi

"Oh, Kakeknya Belva. Silakan masuk Kek!" ucap Glen membuka pintunya lebar-lebar.

"Terima kasih."

"Kakek duduk dulu, biar saya panggilkan Belva," kata Glen lalu pergi.

Rafi duduk dengan sangat sopan sambil menunggu Glen. Sangat bosan menunggu, hingga dia harus mengalihkan rasa bosannya itu dengan melihat-lihat foto keluarga pemilik rumah itu.

Deg

Betapa kagetnya Rafi saat melihat foto pasangan yang terpajang di atas rak itu.

Bagaimana bisa? Batinnya

"KAKEK!" teriak Belva lalu berlari ke arahnya.

Rafi menoleh ke arah sumber suara itu. Dan matanya langsung tertujuh pada Isabel. Isabel yang melihatnya juga tidak kalah kagetnya. Waktu seakan berhenti dan tubuh mereka mematung.

"Kakek dateng jemput Belva yah?" tanya Belva

"Kakek" Panggil Belva membuyarkan Rafi yang masih belum berkedip.

"Iya. Kenapa?" tanya Rafi tersadar akan cucunya.

"Kakek terpesona yah, sama kecantikan Mama Isabel" goda Belva

Mama? Ulang Rafi dalam hatinya.

"Nggak jelas lo" ucap Glen

"Aku nggak ngomong yah sama kamu" kesal Belva.

Belva dan Glen beradu mulut di depan Isabel dan Rafi. Suara mereka begitu mendominasi ruangan itu, namun Isabel dan Rafi tidak menghiraukannya. Pertanyaan dan pertanyaan bermunculan di benak mereka masing-masing.

Om Rafi kakeknya Belva? Bagaimana mungkin? Tanya Isabel di dalam hatinya

Sejak kapan mereka dekat dan saling mengenal? Batin Rafi

"Aku benar kan kek" kata Belva meminta persetujuan namun tidak di hiraukan lagi.

Rafi tersadar. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada cucunya itu.

"Saya akan membawa Belva pulang. Sekali lagi terimah kasih telah merawat dan mengobati cucu saya" ucap Rafi

"Tapi Kek, kami lagi buat kue. Kakek tunggu bentar aja, sebentar lagi mateng tuh" kata Glen

"Bener tuh Kek. Masa Belva nggak--"

"Maaf tapi kami buru-buru. Kami pamit" ucap Rafi lalu membawa Belva pergi.

"Aku pulang Glen, Mah. Dah!"

Ucap Belva sedikit berteriak karena seperti di seret oleh kakeknya.

"Kenapa kakeknya Belva buru-buru?" tanya Glen sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Lain halnya dengan Isabel. Dia masih berdiri kaku karena masih kaget dengan kejadian barusan.

"Mama kenapa?" tanya Glen melihat Mamanya yang berdiri seperti orang kaget.

"Tidak papa" jawab Isabel lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

"Aneh" ucap Glen

Kenapa harus cucu mereka? Batin Isabel


******

Di dalam mobil, Belva duduk di samping kakeknya. Dia sangat gelisah karena kakeknya terlalu cepat menjemputnya, dan sekarang dia tidak bisa mencicipi buatan kue Isabel. Dan sebenarnya kegelisaannya didominasi karena rasa takut akan bertemu Papanya.

"Kakek" panggil Belva

"Kenapa?"

"Belva takut pulang ke rumah" jawabnya sambil memilin jari-jarinya.

"Kakek sudah membicarakan hal itu pada Papamu. Kakek menyuruh mereka untuk tidak melakukan hal sekejam itu lagi pada cucu kakek" kata Rafi sambil mengelus rambut Belva.

"Benar"

"Iya. Cucu kakek ini tidak percaya, yah" ucap Rafi

"Tidak hanya saja--"

"Lupakan kejadian kemarin. Oh iya bagaimana dengan lukamu?" tanya Rafi

Bagaimana bisa kejadian seperti kemarin dilupakan. Batin Belva

"Sudah membaik, kan cuma tergores" lanjutnya menjawab.

"Belva. Boleh kakek tanya" kata Rafi

"Tentu. Memang kakek mau tanya apa?" balas Belva bertanya.

"Sejak kapan kamu kenal dengan wanita itu?" tanya Rafi

"Mama Isabel?"

"Iya"

"Itu Glen yang kenalin. Waktu itu keadaan Mama Isabel miris banget kek, kesehatan mentalnya buruk selama beberapa tahun. Itu karena seseorang menculik putrinyayang baru lahir dan membunuhnya. Hah!  Kejam banget sih Kek. Nih yah, kalau seandainya Belva ketemu dengan orang yang udah bunuh anaknya mama Isabel, Belva bakal marahin orang itu dan kalau bisa, Belva bakal tabok kepalanya" kata Belva kesal.

"Secara yah kek, mereka itu kejam banget.  mereka nggak takut dosa apa?" lanjutnya

Rafi yang mendengar itu hanya diam saja menyimak perkataan Belva.

Bagaimana jika kamu mengetahui semuanya, Nak? Batin Rafi menghela nafasnya.

"Oh iya, Kek. Kakek kenal sama Mama Isabel?" tanya Belva

"Iya" jawab Rafi

"Oh yah. Kapan dan di mana?" tanya Belva antusias.

"Udah lama Kakek kenal dengan keluarga mereka?" jawabnya lagi.

"Trus kenapa kalian jarang bertemu. Trus kenapa kakek tadi buru-buru pergi? Kan Belva pengen makan kue buatan Mama isabel" tanya Belva bertubi-tubi.

"Kamu tidak akan mengerti Belva" jawab Rafi sambil menatap layar handphonenya yang menyala.

"Kenapa?" tanya Belva lagi namun dihiraukan kakeknya.

*****

Setelah beberapa lama perjalanan, Akhirnya mereka sampai di rumah, Belva melihat rumah besar itu dengan lama. Dia sangat ragu untuk memasuki rumah itu kembali. Kejadian kemarin benar-benar membuatnya sangat takut melihat Papanya yang begitu menakutkan.

"Belva, ayo masuk!" suruh kakeknya.

Belva menelan air liurnya lalu mengikuti kakeknya dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, Belva melihat Papanya sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Semakin mendekati Papanya dia semakin takut hingga mencengkram kuat jas kakeknya.

Raymon yang meihat Belva di belakang kakeknya tidak menghiraukannya. Tapi saat mereka melewatinya, Raymon langsung melototi Belva dengan tajam seakan mengancamnya. Sontak Belva langsung berlari menaiki tangga tanpa pamit pada kakeknya. Saat sampai di kamar, Belva langsung menutup pintu kamarnya.

Tok! Tok! Tok!

Belva langsung membulatkan matanya. Takut jika itu adalah Papanya.

"Siapa?" cicit Belva

"Salsa" sahut.Salsa dari luar.

Belva menghela nafasnya karena merasa aman.

Clek!

Belva membuka pintu dan mempersilahkan Salsa masuk.
Sebelum masuk, Salsa melihat sekitarnya dulu. Setelah memastikan tidak ada orang lain, dia kemudian masuk lalu mengunci kamar Belva.

"Kenapa?" tanya Belva heran karena Salsa mengunci kamar.

"Tidak apa. Ayo duduk!" jawab Salsa lalu duduk di kasur.

"Gimana luka tembak kamu?" tanyanya

"Udah baikan" jawab Belva

"Gue minta maaf, yah. Karena nggak bisa berbuat banyak kemarin, " ucap Salsa tulus.

"Nggak usah minta maaf, Sal. Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu, karena kamu udah nolongin aku kemarin. Seandainya kamu tidak menghalangi Papa, mungkin aku udah nggak ada sekarang" kata Belva

"Hah! Jangan ngomong kayak gitu. Trus lo tinggal di rumah Glen, gimana ceritanya?" tanya Salsa

"Dia nolongin aku kemarin"

Salsa mengangkuk. "Bagus kalau gitu. Oh iya. Ini obat buat nyembuhin luka lo," lalu meletakkan obat itu di meja.

"Makasih Sal."

"Hmm"

"Belva. Sebenarnya kedatangan gue kesini, karena mau ngomongin sesuatu" Salsa terus terang.

"Apa?"

"Gue suka Mikeil" jawab Salsa

Deg

Tidak tau harus mengatakan apa sekarang, Belva benar-benar tidak bisa mengeluarkan kata-kata.

"Kenapa harus lo yang dekat sama Mikeil? padahal gue duluan yang kenal Mikeil dari pada lo" kata Salsa

"Aku nggak tau, Sal"

"Jahuin Mikeil buat gue yah" minta Salsa dengan serius.

"Aku nggak bisa jahuin dia,  Sal. Dia yang deket terus sama aku" balas Belva

"Lo suka sama Mikeil?" tanya Salsa

Deg

Aku tidak tahu. Batinnya

"Ck, kayaknya iya. Kenapa sih harus lo? Lo tahu, gue tuh sayang sama lo. Tapi gue juga benci lo karena lo lebih disayang kakek dan sekarang lo dekat sama Mikeil. Gue benci kenyataan itu!" kata Salsa meneteskan air matanya.

"Maaf, Sal. Tapi sebaiknya jangan suka cowok kayak Mikeil" ucap Belva juga ikut menangis.

"Kenapa? Karena lo mau jadiin dia milik lo. Iya kan?!" bentak Salsa

"Nggak Sal, bukan itu maksud aku," sarkas Belva

"Trus apa? Jangan buat gue pusing. Please! Jahuin dia buat gue. Hiks ... Gue benar-benar suka sama dia dari dulu. Tapi kenapa lo hancurin perasaan gue" Salsa menutup wajahnya menagis.

Belva memeluk Salsa. "Aku benar-benar minta maaf. Tapi Mikeil tidak sebaik apa yang dilihat. Sebaiknya lupain perasaan itu, Sal."

"Nggak. Semua orang juga tau, Belv. Kalau Mikeil itu, walaupun dingin tapi hatinya baik," ucap Salsa pelan.

Belva menggeleng. "Kamu salah, nyatanya nggak gitu. Percaya sama aku." Lalu menangkup wajah Salsa.

"Gue nggak percaya sama lo! Gue benci sama lo!" bentak Salsa menghempaskan tangan Belva lalu berlari ke luar.

Belva tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Salsa. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, pasti Salsa juga tidak akan percaya padanya.

Kamu nggak boleh suka sama Mikeil, Salsa. Kamu nggak tahu kalau dia itu laki-laki brengsek. Batin Belva

"Aku nggak mau kalau nanti kamu di campakkan cuman karena taruhan" lanjutnya

"Kamu nggak tahu, kalau sebenarnya Mikeil cuman macarin cewe karena dasar taruhan, bukan cinta."

Ucapnya mengingat Mikeil mendekatinya karena hal yang sama.

Belva melihat ke arah kaktus pemberian Isabel dengan sendu. Lalu melihat langit di luar sana yang gelap tanpa bintang.

"Apa yang harus ku lakukan," ucapnya mengeluarkan suara tangisnya.

****

Pagi hari, suara kicauan burung terdengar begitu indah. Angin sopoi-sopoi membuat pohon menari seakan menyambut hari yang indah. Udaranya yang sejuk membuat siapapun akan merasa tenang menghirupnya.

Di kamar, Belva menggeliat lalu membuka matanya karena suara notifikasi handphonenya. Dia lalu duduk kemudian mengambil handphonnya di atas nakas.

Belva menghela. Nafasnya saat melihat notifikasi itu berasal dari grup angkatan. Dia tidak membukanya, karena menurutnya grup itu berisi orang-orang yang suka menggunjing. Dia sudah bisa menebak apa yang mereka gunjingkan itu. Tiba-tiba Belva mengingat kejadian semalam. Mengingat Salsa, Belva tidak tau akan bersikap seperti apa padanya nanti.

Tidak mau terlalu memikirkan hal itu, dia kemudian beranjak dari tempat tidurnya lalu merapikannya setelah itu, dia pergi membersihkan dirinya lalu bersiap-siap berangkat sekolah. Dia lalu turun ke lantai satu. Dan saat menuruni tangga pijakan terakhir, Belva tiba-tiba dipanggil oleh Bi Hesti.

"Maaf, Non Belva di panggil Tuan besar ke ruang kerjanya" kata Bi Hesti. Membuat Belva takut.

Belva takut dan mulai gelisah. Dia tidak tahu akan mendapatkan perlakuan apa di dalam ruangan itu jika masuk. Tapi jika tidak menuruti perintah Papanya, bisa-bisa urusannya tambah rumit nanti.

"Makasih, Bi" ucapnya lalu pergi ke ruang kerja Ayahnya.

Belva memaksakan senyumnya. Dia berusaha berpikiran positif. mungkin saja Papanya memanggilnya karena ingin meminta maaf. Dia lalu mengetuk pintu lalu membukanya.

"Papa panggil, Belva" ucapnya  tersenyum walau hatinya sangat takut.

Raymon berbalik kemudian mendekatinya dengan tatapan menghunus bagaikan panah.

Plak.

Belva memegang pipinya yang panas dan sangat perih di tambah lagi sudut bibirnya berdarah karena tamparan ayahnya.

"Kenapa, Salsa menagis semalam?" tanya Raymon tapi Belva diam menunduk memegangi pipinya.

"Jawab!" bentak Raymon membuat Belva tersentak.

"Belva nggak ngapain-ngapain Salsa, Pah" geleng Belva dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kamu pikir saya nggak lihat, Salsa keluar dari kamar kamu sambil menagis siaalan!" marahnya sambil melototi Belva.

"Belva benar-benar nggak ngapain-ngapain Salsa, Pah" jawab Belva yang mulai menangis.

"Jangan bohong kamu. Dasar anak sialan! Tidak berguna!" ucap Raymon mendorong kepala Belva dan membuat Belva terjatuh.

"Belva jujur, Pah" kata Belva terus menangis.

"Kamu tidak bisa bohong, saya lihat sendiri dengan kedua mata saya bahwa Salsa keluar dari kamar kamu sambil menangis, sialan!" kata Raymon berjongkok sambil menarik dagu Belva dengan kasar agar melihatnya.

"Belva jujur, Pah" cicit Belva

"Dengar saya tidak suka ... jika anak saya menangis, apalagi orang yang membuatnya menangis adalah KAU ANAK SIALAN!" teriak Raymon menggema lalu menampar Belva.

Belva yang terduduk di lantai tertohok mendengarkan perkataan ayahnya barusan. 'Anak saya' kata itu terus terulang di kepala Belva.

"Aku juga anak Papa" kata Belva pelan sambil menangis.

"Ck,  anak saya cuman satu. Dan saya tidak pernah mengharapkan anak seperti kamu lahir di dunia ini!"

"Hiks ... Maaf, Pah"

"Ck, saya sangat bosan mendengar kata maaf dari mulutmu itu. Saya sudah bilang kata maafmu tidak akan mengubah segalanya."

Raymon lalu menarik paksa Belva agar berdiri dengan sangat kasar. Dia lalu mencekik leher Belva dengan sangat kuat hingga Belva kesulitan bernafas. Belva melihat mata Ayahnya benar-benar penuh dengan dendam dan kebencian yang mendalam padanya.

"Mati kau sialan!" ucap Raymon menekan kata-katanya.

Brakk!

Pintu dibuka secara paksa!

"Raymon apa yang kau lakukan?"

Kata Rafi saat masuk ke ruangan itu. Dia lalu melepaskan tangan Raymon dari leher Belva dengan kasar.

Setelah cekikkannya lepas, Belva langsung menghirup oksigen dengan sangat rakus untuk mengisi paru-parunya yang tadinya kosong.

"Kenapa kau sangat kasar pada anak-anak?" tanya Rafi sangat marah.

"Ini bukan urusan Papa, jadi jangan ikut campur!" jawab Raymon dengan suara sedikit meninggi.

"Saya akan ikut campur, karena Belva adalah cucu saya."

"Ck, cucu."

Belva yang sudah baikan kini tidak mau mendengarkan perdebatan mereka. Dia memilih untuk keluar dari ruangan itu dengan menutup kedua telinganya. Dia tidak ingin mendengarkan kelanjutan perkataan itu, karena dia tidak tahan akan kata-kata menyakitkan yang selalu Ayahnya keluarkan untuknya.

Itu sangat menyakitkan!






Jangan lupa vote guys

Continue Reading

You'll Also Like

16.9K 5.6K 30
[REVISI] #644 in chicklit (27-05-17) Azelyn, aku tau kenangan kita tak seberapa, tetapi menurutku semua kenangan kita adalah kenangan terbaik selama...
1M 64.4K 62
Dipersatukan dalam permainan dengan pemain yang sudah jelas memiliki sifat saling bertolak belakang. Si dingin yang hampir tak bisa dibedakan dengan...
4.9M 510K 75
Dimulai dari rasa penasaran Alora dengan teman kelasnya yang sangat misterius, semua orang menyukai cowok itu termasuk cewek-cewek di kampus, tapi ti...
By asya

Poetry

1.2K 51 9
Hanya untaian kata yang tertuang dari isi hati. Dibalik sunyi malam, pikirku penuh Olehmu.