Trust

By trissella

98.1K 10.1K 557

Gue gak pernah minta sebuah cinta yang sempurna. Gue cuma mau bahagia dengan cinta yang ada. Semua orang tahu... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Epilog
Ja Altea

Part 5

4.8K 477 14
By trissella

a/n makasih buat reader tersayang yang mau repot-repotbaca cerita ini. Thanks to @nisafitri_11 yang pertama kali ngevote.As a writer, saya gak maksa kalian buat ninggalin jejak di comment ataupun vote. Karena cuma dengan nambahnya jumlah pembaca di cerita ini, rasanya bahagia banget. :")

Happy reading to you all

*****



Hari ke-430 semenjak peristiwa di bawah hujan itu berlalu. Dan selama itu pula Reno memandangi gadis itu secara diam-diam. Memandangi senyumnya, tawa lepasnya, mata sendunya, atau bahkan punggungnya.

"Bego lo, Ren. Kenapa gak lo deketin aja sih. Betah banget lo liatin tuh cewek. Sampai kapan lo mau sok-sokan jadi secret admirer kayak begini he? Gak habis pikir gue."

Reno hanya memandang datar ke arah sahabatnya yang sepertinya sudah kehabisan kata karena tingkah Reno yang mulai mendekati garis batas untuk dikatakan gila.

Reno mendengus kasar. "Gue juga gak tau Ian, Sampai kapan gue bakal kayak gini. Begini aja udah cukup buat gue."

"Terserah lo deh, Ren. Apa sih yang bikin lo seolah-olah jadi pecundang begini? Bukan lobanget, Man."

Reno mengedikkan bahu, tak menjawab pertanyaan Adrian yang sudah kesekian kalinya ia dengar dengan kata-kata yang sama persis. Matanya terus memandang ke arah tiga meja di depannya. Cewek kuncir kuda itu sedari tadi hanya mengaduk-aduk jus alpukat di hadapannya dengan pandangan kosong. Akhir-akhir ini Reno jarang melihat senyuman yang membuat ia terpikat pada Aruna persis seperti pertama kali mereka bertemu.

"Lo beneran gak mau ambil langkah lebih jauh dari ini, Ren?" Adrian kini mengikuti arah pandangan Reno yang sedaritadi tertuju pada Aruna. Reno hanya mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyannya.

"Habis ini pensi akhir tahun, Ren. Osis mau pilih panitia dari tiga orang perwakilan tiap kelas," lanjutnya. Mendengar pernyataan Adrian, Reno menaikkan sebelah alisnya.

"Lo mau ikut gak? Kalo lo mau, gue bisa pastiin kalo Aruna juga bakal ikut di kepanitiaan itu." Adrian menyunggingkan senyum jahilnya ke arah Reno.

"Apa kata lo aja." Reno menepuk pelan bahu Adrian. Ia kemudian meninggalkan kantin dan bergegas menuju kelas dengan senyuman tipis di bibirnya.

" Usul yang bagus ," batin Reno.

*****

Suasana kelas 10-3 terlihat cukup riuh dan gaduh, meski hampir semua murid sibuk mencatat tulisan yang disalin oleh sekretaris kelas di papan tulis. Bu Rumi, guru Biologi kelas itu sedang berhalangan hadir. Seharusnya ini bisa menjadi jam kosong yang menyenangkan kalau saja beliau tidak meninggalkan catatan yang harus ia sampaikan hari ini ke dalam dua whiteboard yang sekarang sudah hampir penuh.

"Ger...." Aruna memanggil sahabat sekaligus teman sebangkunya. Jemarinya sibuk bergerak di atas buku bersampul merah marun yang terbuka lebar. Menampilkan tulisan-tulisannya yang berjajar rapi. Yang dipanggil hanya diam tak bergeming.

"Gerry ih." Aruna menyikut lengan cowok yang sedari tadi hanya menelungkupkan kepala di antara kedua lengannya itu sekali lagi

Gerry hanya menjawabnya dengan gumaman

"Ih lo tidur mulu sih, Ger. Nyatet kek. Males banget lo. Molor mulu. Ini masih jam berapa coba."

" Lemme sleep for a minute, Baby. " terdengar suara serak Gerry, menandakan bahwa ia benar-benar ngantuk saat ini.

Aruna mendengus. Kebiasaan banget si Gerry kalau semalaman nonton pertandingan bola, pasti sepagian di kelas dia akan tidur dengan pulasnya. Beruntung bangku Aruna dan Gerry berada di pojok kelas dan tepat di depan bangku mereka, ada Bobi yang bertubuh besar, sehingga membuat Gerry merasa aman karena tubuh kurusnya tertutupi oleh badan besar Bobi.

"Kutu lo. Kapan sih lo mau nyatet sendiri."

Bugh.

Merasa kesal, Aruna memukul punggung Gerry dengan keras. Berharap menimbulkan rasa panas yang menjalar di punggung Gerry.

Sontak Gerry menegakkan kepalanya. Ia meringis kesakitan, merasakan punggungnya yang berdenyut tepat di bekas cap tangan Aruna.

"Astaga Runa! Asli lo jahat banget Runa. Itu tangan lo kecil tapi kenapa bisa mantep banget sih mukulnya."

"Lagi lo gitu banget sama gue. Itu di papan tulis banyak banget, Gerry. Lo nyatet kek, sebagian. Bagi dua sama gue. Lo malah tiduran." Aruna mengomel panjang lebar di tengah kegiatan mencatatnya

"Runa, lo tau kan tulisan gue gimana bentuknya. Udah kayak tulisan dokter. Ntar kalo gue belajar, yang gue lihat tulisan macem sandi rumput, trus gue males baca, trus kalo ujian nilai gue jeblok, trus...."

"Trus lo gak rangking lagi. Makanya lo milih buat copy catetan gue yang notabene lebih rapi daripada catetan punya lo biar lo semangat belajar. Iya Ger, iya gue ngerti." Aruna memutar bola matanya. Mengucapkan alasan yang sering Gerry kemukakan hingga Aruna bisa menghapal di luar kepalanya.

Gerry menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Salah tingkah karena sahabatnya selalu memahaminya, sampai hapal dengan kebiasaannya.

"Gue traktir bakso sama jus mangga di kantin deh ntar."

"Mureh Ger, mureh. Tongpes banget sih lo. Bisanya traktir begituan doang. Hampir setahun ini gue bersedia lo repotin cuma gara-gara catetan begini."

Gerry terkekeh. Ia tau Aruna hanya bercanda. Meski gak disogok pula, Gerry tahu kalau Aruna akan tetap meminjamkan buku catatannya. Meski Aruna ngomel-ngomel memprotes kebiasaan Gerry yang selalu malas menyalin catatan dari guru, tapi Aruna akan selalu bersedia meminjamkan catatannya untuk dipelajari Gerry setiap harinya.

*****

"Ren, gimana penawaran gue kemarin?" Adrian menggerakkan alisnya naik turun. Saat ini, ia dan Reno sedang berada di koridor lantai dua, di depan kelas mereka. Bukan, mereka bukan sedang membolos. Tapi memang mereka baru saja selesai pengambilan nilai rutin pelajaran olahraga yang memang rutin dilakukan tiap dua minggu sekali. Beruntung, murid laki-laki mendapat giliran pertama untuk pengambilan nilai, jadi mereka bisa meninggalkan lapangan lebih cepat.

"Penawaran?" Reno mengernyitkan dahinya, tak mengerti arah pembicaraan Adrian.

"Pensi, Reno." Adrian memutar bola matanya. "Gue berniat bantu lo buat deketin kalian berdua. Cuma langkah awal. Selanjutnya sih, terserah Anda."

"Mmhm."

"So?"

"Emang ada pilihan buat gue nolak?"

"So, I'll take it as yes?"

Reno menjawabnya dengan anggukan kecil.

"Good choice." Adrian menepuk bahu Reno. Merasa senang karena Reno mulai berani mengambil langkah. "Gerakan lo udah terlalu lambat, Ren. Saingan lo udah makin banyak. Tuh liat." Adrian menunjuk ke arah lapangan dengan dagunya, dimana ada seorang siswi yang sedang bergerombol dengan beberapa siswa, fokus dengan kanvasnya meski sesekali mereka terlihat tertawa lepas, menertawakan sketsa gambar teman lainnya.

Reno menghela napas panjang. Merasa paham kemana arah pembicaraan Adrian. Di bawah, di pinggir lapangan, mereka mendapati kelas Aruna sedang melangsungkan pelajaran kesenian, terlihat dari banyaknya kanvas yang berdiri tegak di sisi-sisi lapangan. Sepertinya mereka memiliki tugas untuk melukis dengan segala objek yang ada di sekitar sekolah.

Adrian benar, keberadaan Aruna memang menjadi magnet bagi banyak murid laki-laki di sekolah ini. Sering sekali Reno mendapati Aruna yang dikerumuni banyak siswa, dengan dia satu-satunya siswi di tengah mereka. Bahkan selama ini, Reno tak pernah melihat Aruna memiliki teman dekat cewek yang mendampinginya kemana-mana.

"Gue kayak lagi nontonin seorang putri yang selalu didampingi prajurit-prajuritnya, Ian." Reno menggumam pelan. Matanya menatap lurus ke arah Aruna yang sedang tertawa-tawa di bawah sana.

*****

"Jadi, sekarang juga untuk Fariz Fabastian, Gerrald Farand, dan Aruna Calantha silahkan menuju ke ruang OSIS. Tiga orang ini yang menjadi perwakilan dari kelas 10-3 sebagai panitia. Di sana akan ada pengarahan pertama dari anggota humas OSIS yang lain. Kami harap kerja keras dari kalian untuk kelangsungan acara tahunan di Garuda." Perempuan berambut sebahu dengan warna hitam legam itu menyunggingkan senyum ramah di akhir pengumuman yang sedang ia sampaikan di depan kelas Aruna.

Aruna menghela napas panjang saat mendengar namanya disebut tadi. Sebenarnya ia bukan tipe orang yang senang bergelut di kepanitiaan macam itu. Tapi ya, apa boleh buat. Namanya sudah sah menjadi panitia. Lagipula, masih ada seorang Gerrald Farand, teman sebangkunya yang akan menemaninya nanti.

Anggota OSIS yang Aruna ketahui bernama Gita itu, sekarang sedang berbincang dengan Bu Wuri, guru Kimia kelas Aruna yang baru saja memasuki kelas. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Jelas saja ia tak mendengar, meja guru ada jauh di depan, dan bangku Aruna berada di pojok belakang.

"Oke, untuk Fariz, Gerry, dan Aruna, kalian boleh keluar sekarang." Bu Wuri bertitah sesaat setelah Gita keluar dari ruangan.

Ketiga murid tersebut berjalan keluar ruangan setelah mengucapkan terimakasih kepada guru mereka.

"Ah, seneng banget gue bisa keluar kelas. Gue terbebas dari PR yang harus dikumpulin hari ini." Gerry meletakkan lengannya di bahu Aruna, kemudian terkikik geli. "Beruntung banget gue, Runa."

"Wah parah lo, Ger. Untung dapet panggilan dari OSIS. Coba kalo gak, bisa dapet hukuman suruh nyampulin buku-buku di perpus lo." Fariz menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dih," Cibir Aruna. "Lo begadang lagi ya?"

"Beruntung banget kan gue?" Gerry menaik turunkan alisnya. Pamer keberuntungannya kali ini pada Fariz, si ketua kelas 10-3.

"Nggak, Runa. Gue baru inget pas malem kalo ada PR Kimia, dan gue juga baru sadar kalo ternyata buku PR gue ketinggalan di loker. Gak mungkin kan, gue ngerjain PR gue di buku lain. Lo tau sendiri, tabiat Bu Wuri gimana. PR ya di buku PR, catatan ya di buku catatan. Tugas ya di buku tugas. Udah kayak anak SD aja kita."

"Malaikat aja kali yang khilaf, ngasih keberuntungan hari ini buat lo," Sindir Aruna.

Fariz terkikik geli mendengar sindiran Aruna untuk teman sebangku sekaligus pengawal setianya itu, mengingat Gerry yang selalu ada dimanapun Aruna berada, ya kecuali saat di kamar mandi sih ya.

Gerry mencebikkan bibirnya lucu. "Lo gitu banget sih, Baby ."

Ya, begitulah Aruna. Kadang bisa judes, kadang bisa sarkastis, kadang bisa menjadi hangat saat berada di sekitar orang yang memahaminya, atau bahkan bisa menjadi Aruna dengan gabungan ketiga sifatnya yang sudah sangat Gerry pahami.

Setelah berjalan di sepanjang koridor kelas 10 yang memang letaknya di lantai satu, Aruna bersama Gerry dan Fariz memasuki ruang sekretariat OSIS. Luas ruangan sekre OSIS sedikit lebih besar dari ruangan kelas di Garuda. Ruangan ini terletak di pojok koridor bagian belakang sekolah, saling berjajar dengan ruangan sekretariat klub yang lain.

Aruna mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Sudah ada beberapa murid kelas 10 dan 11 beserta anggota OSIS yang lain ada di ruangan tersebut. Jika ada tiga orang perwakilan dari tiap kelas, berarti seharusnya ada 57 orang total perwakilan, tidak termasuk dengan anggota OSIS. Berdasarkan informasi Fariz saat berjalan menuju sekre OSIS tadi, panitia acara tahunan akan terdiri dari kelas 10 dan 11, karena kelas 12 sudah resmi nonaktif dengan kegiatan semacam ini. Sedangkan anggota OSIS yang lain, akan berkedudukan sebagai steering commitee pada kepanitiaan.

Di sudut ruangan, Aruna mendapati dua cowok yang ia kenal. Yang berdiri di sebelah kanan, terlihat ramah dengan seringaian jahilnya yang sering muncul di bibirnya yang akan berlubang saat ia menarik sudut-sudut bibir tersebut. Matanya hitam legam. Posturnya tinggi, sangat ideal saat disandingkan dengan posisinya sebagai pemain inti tim basket. Sedangkan yang berada di sisi satunya, tepat di sebelah kiri, yang ia kenal sebagai salah satu anggota humas OSIS. Aruna tahu, kedua cowok itu adalah sepasang sahabat yang sepertinya saling mengenal dengan baik. Mungkin bisa dibilang sebagai bromance ? Mengingat keduanya yang terlihat saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Salah satu dari mereka kemudian melambaikan tangan ke arah Aruna. Aruna membalas dengan melambaikan tangannya balik. Menyunggingkan senyum lebarnya. Mengucapkan 'hai' tanpa suara. Sudut bibirnya tertarik ke atas dengan lebar.

"Hai, Aruna," sapa cowok itu setelah berada di hadapan Aruna, dengan senyuman lebarnya.

"Hai, my saviour ." Aruna terkikik geli saat menyadari panggilan tersebut spontan keluar dari mulutnya.

Reno mengerjapkan matanya beberapa kali. " Saviour, huh? Sounds good. " Drum di dalam dadanya mulai bergemuruh perlahan.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

43.8M 1.3M 37
"You are mine," He murmured across my skin. He inhaled my scent deeply and kissed the mark he gave me. I shuddered as he lightly nipped it. "Danny, y...
55.1M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...
908K 80.9K 38
๐™๐™ช๐™ฃ๐™š ๐™ ๐™ฎ๐™– ๐™ ๐™–๐™ง ๐™™๐™–๐™ก๐™– , ๐™ˆ๐™–๐™ง ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ข๐™ž๐™ฉ ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ƒ๐™ค ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž...... โ™ก ๐™๐™€๐™๐™„ ๐˜ฟ๐™€๐™€๐™’๐˜ผ๐™‰๐™„ โ™ก Shashwat Rajva...
28.9M 916K 49
[BOOK ONE] [Completed] [Voted #1 Best Action Story in the 2019 Fiction Awards] Liam Luciano is one of the most feared men in all the world. At the yo...