Move On

Door afterbrokenn

26.1K 3.3K 1.3K

[SELESAI] Cinta itu mudah, yang memperumit adalah pikiran kita sendiri. Meer

Mereka Berdua
00. Prolog
01. Senyuman
02. Hujan Dan Malam
03. Kejadian Rabu
04. Tentang Cinta
05. Siapa?
06. Kesekian Kali
07. Perlindungan
08. Berharap
09. Bahagia?
10. Pertarungan Atap
11. Kertas Hitam
12. Lagu Kita
13. Suka?
14. Mimpi Buruk
15. Selamat
16. Sandaran
17. Berjarak
18. Rasa Bersalah
19. Pertemuan
20. Susu Kotak
21. Kebenaran
22. Kembali
23. Lekas Pulih
25. Epilog
MINI EXTRA; Puing Lain
EXTRA CHAPTER; Buah Cinta

24. Lembar Baru

503 54 28
Door afterbrokenn

Hari ini rencananya Lia dan Yana akan mengunjungi rumah Rachel. Setelah 3 hari jadwal kegiatan mereka bertabrakan, akhirnya ada waktu luang juga yang mereka punya.

Rachel bilang bahwa dia sudah menyiapkan banyak camilan dan membersihkan ruang karaoke pribadinya yang nanti akan digunakan bersama. Gadis itu terlihat sangat antusias. Dia bahkan tidak kehilangan senyumnya sejak 3 hari lalu.

Lia menatap pantulan dirinya didepan cermin berbentuk persegi panjang yang ada di kamar. Seperti biasanya, penampilan Lia selalu sederhana namun terkesan elegan karena dia yang memakainya.

Dress merah muda selutut, yang di bagian pinggang dihiasi semacam kulit yang melilit hingga menampilkan bentuk yang sempurna. Slingbag berwarna hitam kecil yang senada dengan flatshoes yang dia pakai. Tidak lupa, polesan makeup tipis di wajahnya, bahkan sekarang dia seperti tidak memakai polesan apapun. Karena kecantikan Lia alami.

"Ada kak Nares tuh dibawah, nungguin dari tadi," Yuna menyembulkan kepala dibalik pintu kamar.

Menyadari tampilan kakaknya yang rapih, Yuna memilih untuk masuk.

"Mau kemana? Date ya?" Tanya Yuna.

Lia menoleh sembari tersenyum, "Mau main ke rumahnya Rachel, nih!"

"Udah baikan? Kapan?" Yuna sedikit kaget, pasalnya Lia belum cerita apa-apa padanya belakangan ini.

Lia memang sempat menceritakan sedikit masalahnya pada Yuna, beruntung adiknya sedang dalam mode dewasa, jadi ia memberikan solusi yang dapat Lia pahami dengan baik.

"Udah, beberapa hari lalu. Kamu mau di bawain apa nanti? Biar kakak beli."

Tawaran Lia sudah pasti sangat menggiurkan bagi si gadis Shin, "Terang bulan aja rasa coklat kacang. Yuna dari semalem pengen beli itu soalnya tapi Andi nggak peka."

Jemari Lia sontak menyentil pelan dahi adiknya, "Jangan kebiasaan ngerepotin orang ah, apalagi Andi masih ditanggung orang tuanya dalam artian belum bisa menghasilkan uang sendiri."

Yuna merotasikan bola mata, "Andi kadang suka bawain makanan, kan, kesini? Tabungan Andi juga banyak, hasil dari olimpiade-olimpiadenya."

"Tapi tetep aja, terang bulan murah kok. Kecuali kalau kalian lagi jalan berdua, itu lain cerita."

"Iya deh, kak, Yuna ngerti."

"Omong-omong si Nares beneran udah lama nunggu? Perasaan dia baru lima menit lalu bilang mau berangkat," Lia membereskan beberapa barang-barang yang berserakan di kasur.

"Engga, barusan nyampe, Yuna ngomong gitu biar kakak gercep aja sih hehe."

"Kebiasaan kamu, Yun."

Tidak berselang lama, Lia turun kebawah. Disusul oleh Yuna dibelakangnya. Sebenarnya Yuna hanya ingin menggoda Lia saja, sekaligus ingin sedikit menyaksikan bagaimana cara mereka berinteraksi.

"Kamu beneran gak papa kan anter aku?" Tanya Lia begitu dia sudah melihat Nares yang terduduk di sofa.

Nares langsung memusatkan perhatian penuh pada Lia, sempat terpesona sebentar sebelum Yuna tertangkap menertawainya, "Gak papa, Lia. Lagian aku gabut di rumah, sekalian nanti mau nongkrong bareng yang lain."

Lia mengangguk, mengerti yang dimaksud Nares adalah Jafran, Haikal dan Reza.

Bicara tentang Reza, pemuda itu masih mau berkomunikasi dengan Lia walau tidak sesering dulu. Reza juga tahu batasan, apalagi Nares sekarang menggunakan panggilan aku-kamu untuk Lia, menegaskan kedekatan mereka.

Sementara Nares dan Lia memilih untuk tidak berpacaran, hanya sebatas menyatakan perasaan. Nares takut kejadian yang lalu terulang kembali. Lia pun sama, dia masih belum siap menjalin hubungan.

Kalau kata Nares, sih, dia ingin langsung meminta Lia pada kedua orang tuanya langsung. Disaksikan dan direstui oleh keluarganya sendiri. Tetapi nanti, saat dia sudah berhasil menggapai cita-cita dan punya masadepan yang matang.

"Yaudah deh, ayo."

"Pergi dulu, Yun," Nares tersenyum singkat pada Yuna dan dibalas hal yang sama pula oleh si empu.

"Tumben bawa mobil, Na?" Lia membuka topik obrolan selepas keduanya sudah masuk kedalam mobil.

Nares menoleh sebentar, "Iya. Kamu tadi kan bilang mau make dress, jadi aku bawa mobil aja. Ntar kalau motor, ribet. Aku gak suka. Pinggang kamu kebentuk gini aja aku gak suka."

Lia menunduk, "Yang liat nanti cuman Rachel sama Yana doang, kok."

"Bokapnya Rachel?" Nares menaikkan sebelah alis.

"Kata Rachel rumah dia sepi, orang tuanya lagi pergi keluar kota."

"Ohh, baguslah kalau gitu," Nares mengangguk-angguk, lega.

Pemuda itu sengaja memutar lagu dengan volume sedang agar suasana tidak berubah canggung. Dia memilih lagu kesukaan Lia, Price Tag oleh Jessi J.

"Na, aku mau nanya," Ujar Lia tiba-tiba.

"Hm? Apa itu?"

"Kita ini sebenarnya apa, sih? Maksudku, hubungan kita sekarang. Biar aku ngerti, dan menghargai kamu."

"Loh Lia, bukannya kamu sendiri yang bilang gak siap jalin hubungan ya? Aku ikutin gimana mau kamu aja. Lagian juga, kita udah bahas ini kan? Kamu berubah pikiran?" Nares mencuri pandang ke arah Lia dari spion tengah.

Gadis disamping menggeleng sekali, "Aku tau kita udah bahas ini, cuman rasanya aneh aja gitu bersikap seolah-olah ada sesuatu yang jelas diantara kita. Aku sering mikir kalau mau ngeluarin kata-kata sama kamu, takutnya berlebihan. Nanti jadi aneh sendiri."

"Anggap aja kita pacaran. Kamu bisa bilang apapun ke aku, tapi jangan menyinggung hal pribadi. Itu 'kan yang kamu mau?"

Lia diam agak lama, kemudian mengangguk dan tersenyum simpul, "Iya, Na. Maaf soal tadi, aku sedikit khawatir tentang kita."

Mengerutkan kening, Nares terkekeh pelan, "Ngapain minta maaf, sih? Aku malah seneng kamu nanya kayak gitu. Artinya, kamu anggap kita penting."

Perjalanan tidak membutuhkan waktu lama, kini mobil Nares sudah berhenti tepat didepan pagar rumah Rachel.

"Aku gak singgah ya, mau langsung pergi. Nanti kalau kamu udah pengen pulang, hubungin aja biar kujemput," Ujar Nares pada Lia yang tengah menyandang slingbag hitamnya.

Lia tersenyum lagi, "Makasih, hati-hati dijalan jangan ngebut."

Nares balas senyum, menurunkan kaca mobil seraya melambaikan tangan seiring Lia yang berjalan menjauh. Gadis tersebut hanya tertawa meresponnya, Nares tampak seperti sedang mengantar anak ke taman kanak-kanak saja.

"Cie yang baru dianter gebetan!" Yana dan Rachel berseru menggoda. Rupanya mereka berdua sedari tadi mengintip dibalik jendela.

Lia jadi salah tingkah, "Apaan sih."

"Hahaha gue seneng banget liat lo kayak gini. Lebih fresh gak sih, Yan?" Rachel menyenggol lengan Yana.

Yana mengangguk setuju, "Bener banget!"

"Kalian mau sampai kapan goda aku terus? Nanti lama-lama aku pulang, nih," Lia bersiap akan keluar dari pintu rumah, namun Rachel gesit menahan tangannya.

"Eh, jangan dong! Udah yuk ke lantai atas, gue udah siapin semuanya."

Mereka menaiki setiap anak tangga, dan akhirnya sampai di lantai atas. Lia terperangah, sedangkan Yana biasa saja karena dia sudah lebih dulu melihatnya tadi, bahkan membantu Rachel sedikit mendekor ruang karaoke.

"Kamu sendiri yang hias?" Tanya Lia, meletakkan slingbag hitamnya di sofa.

"Iya, tapi dibantu Yana dikit," Jawab Rachel jujur.

Lia tersenyum, "Kalian niat banget tau, padahal kita cuman bertiga doang."

"Udah lama nggak ngumpul, sih, jadi rindu berat," Celetuk Yana.

Lia dan Rachel terbahak.

"Kita mau nyanyi lagu apa nih biar gue atur," Kata Rachel.

"Terserah sih, gue ngikut," Gadis bermata kucing yang tengah melahap kue ringan itu mengendikkan bahu.

"Baru-baru ini aku keracunan k-pop gegara Yana, jadi suka lagu Love Is-nya Itzy," Ujar Lia, spontan Yana bersorak heboh.

"BENER ANJIR LAGUNYA KANE BANGET!"

Rachel mengangguk-angguk, "Gue baru denger sekali sih, rekomendasi Yana, kita putar lagu itu aja ya."

Kemudian, suara mereka bertiga diiringi irama musik mengisi ruang persegi empat tersebut.

Jika ada kalimat yang menggambarkan perasaan Rachel sekarang, dia lebih dari sekedar bahagia. Hatinya menghangat, seperti puing-puing yang hancur kembali tersusun. Perasaan lega juga dia rasa, lantaran sudah berdamai dengan masalalu bersama Nares. Mereka berdua bahkan tidak canggung lagi untuk bercanda ria. Karena bagaimanapun juga, sudah tak ada rasa yang tersisa.

Yana, pujaan hati Jafran itu juga ikut merasakan kebahagiaan. Dia seperti lepas beban. Kalau diingat bagaimana posisi Yana sewaktu masalah lalu, dia sangat tertekan. Ingin mendamaikan, tapi takut semakin renggang. Beruntunglah ia, karena Reza bersedia membantu. Tapi bukan hanya semata-mata membantu persahabatan mereka kembali, Reza pun membantu Lia membuka hati lagi.

Sedangkan Lia, dia awalnya sedikit merasa kaku untuk seperti dulu. Namun berkat Yana dan Rachel yang selalu meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, Lia berhasil dibuat melepas tawa tanpa ragu. Ia menyuruh Rachel agar tidak terus meminta maaf, lantaran menyadari bahwa dirinya juga salah, ia salah sempat membuat hubungan mereka bertiga kian memburuk.

Begitulah mereka sekarang, pondasinya lebih kuat, karena saling menguatkan. Layak disebut keluarga walau tanpa ikatan darah, mengingat bagaimana setia dan kompaknya tiga gadis itu.

Usai puas bernyanyi, Rachel segera mengeluarkan camilan-camilan dari lemari pendingin. Yana berbinar-binar, Rachel sungguh pengertian.

"Semalem pulang sekolah gue sengaja borong banyak di supermarket, dompet gue yang awalnya tipis jadi makin tipis."

"Anjir! Ini mah namanya mukbang makanan kesukaan Yana!" Yana histeris mendapati banyak produk jajan favorit yang Rachel beli.

Rachel sontak menoyor dahinya, "Makan mulu lo! Awas Jafran pangling ke cewe lain."

"Jangan nakut-nakutin dong, setan! Lagian Jafran sendiri yang nyuruh gue makan banyak biar berisi."

"Iyalah, nanti kalau udah berisi baru dia tinggalin," Rachel tertawa lepas, Lia pun juga.

"Yaudahlah hari ini makan banyak aja, besok olahraga," Lia menengahi.

"Gue bercanda kali, Yan, kusam amat tuh muka," Rachel melempar kripik kentang pedas ke punggung Yana.

Yana menoleh, berdecih pelan, "Jafran tuh sekarang bucin mampus ke gue. Liat muka aib gue aja dia masih terpesona," Katanya lalu melahap camilan lain.

"Bagus kalau gitu," Ujar Lia, mengangguk-angguk.

"Eh, Yan, omong-omong lo sama Jafran sekarang udah sampai mana?" Tanya Rachel, membuka sesi ghibah.

Mendadak wajah si empu memerah, "Sebenarnya kita udah pacaran, dari dua hari lalu."

Sontak alis Rachel menukik, "Wah parah lo! Gak cerita-cerita ke kita."

Beda dengan Rachel yang sangat kesal, Lia malah tertawa. Dia terlihat benar-benar menikmati waktu mereka, terbukti dari gelak tawanya.

"Jafran bilang buat nggak usah cerita dulu ke siapa-siapa, dia menghargai kalian yang baru baikan."

"Si Jafran diam-diam make terowongan bawah tanah ya," Lia bergurau.

"Lo beneran nerima Jafran, Yan? Udah sembuh hati lo?" Tanya Rachel kemudian.

Yana tersenyum manis, "Udah, kok. Liat segimana kerasnya Jafran berusaha, gue lama-lama luluh juga. Dia kali ini serius sama gue, dan gue nggak ada alasan lagi buat nolak. Gue rasa... Jafran tuh udah paling pas lah jadi pacar."

"Ohh, jadi pacar aja nih?" Lia menahan tawa seraya menaikkan sebelah alisnya.

Yana cemberut, "Maksudnya kan pacaran dulu. Nanti kalau jodoh pasti satu kursi kok di pelaminan."

Rachel tertawa singkat, "Anjir udah mikirin nikah aja lo! Tugas tuh pikirin, segudang."

Lia dengan cepat menoleh ke arah Rachel, "Eh tapi Nares bilang dia gak mau pacarin aku, dia mau langsung lamar aja katanya."

Giliran Yana yang tertawa, "Nares tuh kebiasaan halu, Li."

"Dia juga pernah bilang ke gue gak mau deket-deket Minju lagi yang udah jelas obsesi sama dia, tapi gue rasa itu cuman halu," Rachel menyahut.

"Loh, halu gimana? Dia bahkan udah nanya ke ayahnya, dan ayahnya Nares bilang setuju-setuju aja asalkan udah mantap."

Ruang karoeke mendadak sunyi lantaran Yana dan Rachel sama-sama terdiam membisu. Kini menyadari, bahwa hubungan Nares dan Lia ternyata lebih serius daripada yang mereka duga.

***

"Jadi tadi lo anter Lia dulu ke rumahnya Rachel?" Tanya Haikal pada Nares yang asik menyesap kopinya.

Nares mengangguk sekali, "Iyalah, sekalian caper dikit ke Yuna biar dikasih lampu ijo."

"Yuna siapa? Gue baru denger," Tanya Haikal lagi. Dia bersiap marah jika saja Yuna adalah perempuan lain yang akan Nares incar.

"Yuna adeknya Lia," Reza menyela.

"Ohh, kirain."

"Udah sejauh mana hubungan kalian?" Kali ini Reza bertanya santai, padahal hatinya sedikit sesak.

"Kita milih buat gak pacaran dulu, soalnya punya alasan masing-masing. Tapi gue udah berencana ngelamar Lia suatu saat nanti, dan udah bilang ke Ayah juga, gue disuruh nabung," Jawab Nares lancar.

Reza seketika bernapas berat, lalu tersenyum kecil, "Semoga terwujud, ya."

"Gue mau ngasih tau sesuatu," Jafran berdehem agak kuat, berhasil mengambil alih atensi sebagian yang lain, "Gue sama Yana udah pacaran. Dari dua hari lalu. Maaf baru bilang sekarang, kita gak enak aja gitu karna kalian kan masih dalam tahap emm," Dia jadi bingung sendiri memilih kalimat yang tepat, takut ada yang tersinggung.

"Santai aja, bro, gue ngertiin lo kok. Btw semoga langgeng sama mbak jago," Haikal menaik-turunkan kedua alisnya, usil sekali.

Jafran terkekeh, "Thanks. Lo sama Somi juga baik-baik ya."

"Aman itu," Ujar Haikal.

"Dua bulan lagi udah Ujian Kelulusan," Reza mendadak berkata demikian, membuat yang lain sontak menghela nafas panjang. Berbeda dengan Nares yang malah senang.

"Kalian rencana nya kuliah nanti mau ambil apa?" Nares bertanya. Dia suka sekali berbicara perihal masadepan.

"Gue sih abis lulusan langsung ngelanjutin perusahaan Papa di Kalimantan," Jawab Jafran. Papanya memang seorang CEO perusahaan ternama, cabangnya ada dimana-mana. Dan rencana, Jafran akan memegang salah satu perusahaan di Kalimantan.

"Gue pengennya ambil tehnik mesin di UI," Haikal menjawab tanpa ragu, seperti sudah dia pikirkan matang-matang dari jauh hari.

"Kalau lo, Za?"

"Belum tau, ada dua pilihan. Hukum atau Akuntansi. Tapi kayaknya hukum."

"Lo masih mau kedokteran kan, Res?" Tebak Jafran tepat sasaran.

Nares mengangguk, "Iya, soalnya gue pengen banget nolong orang-orang. Kayaknya seru."

"Tapi kedokteran nggak mudah lho, sepupu gue aja kadang nggak dapet jam tidur yang bagus," Celetuk Jafran.

Reza menyela lagi, "Semua juga nggak mudah, Jaf. Asalkan kita ikhlas dan berkeinginan punya masadepan yang cerah, semua bakal terlewati."

Haikal, Nares dan Jafran mengangguk setuju.

"Za, anyway lo gak papa kan gue sama Lia?" Nares tiba-tiba bertanya sensitif, membuat Jafran dan Haikal ketar-ketir sendiri dan seketika ingin menceburkan diri kedalam laut.

Reza melirik sekilas, kemudian tersenyum miring, "Kalau gue kenapa-napa pasti Lia masih sama gue sekarang ini."

"Syukurlah."

"Res," Reza menegur serius.

"Apa?"

"Jangan tanya-tanya tentang Lia lagi sama gue, ya. Gue gak mau nyesel sama keputusan yang gue buat sendiri. Dan... gue juga udah gak mau tau apa-apa soal Lia. Seperti yang lo tau, empat hari lalu gue resmi ngehapus Lia, sebelum lo sama dia baikan lagi. Gak lupa kan?" Pemuda berkacamata itu menaikkan kedua alis tinggi-tinggi, dia makin lama makin kesal dengan orang-orang yang selalu menanyai perihal Lia.

Nares terdiam, lalu mengangguk pelan, "Iya. Maaf. Gue cuman khawatir sama lo."

"Baru sekarang khawatirnya?"

"Sejak lo deket sama Lia gue udah khawatir, sih," Jawab Nares jujur.

Reza terbahak, "Gue dari awal niatnya mau buat Lia berpaling dari lo karena lo jahat sama dia, Res. Tapi pas sama gue, yang dibahas tuh lo mulu. Hati sama telinga gue panas banget dengernya. Gue bisa jatuh sakit sih kayaknya kalo gak ngalah hari itu."

Haikal dari bawah meja dengan sengaja menyenggol kaki jenjang milik Jafran, kemudian bergumam pelan, "Kalau ada adegan baku hantam lo nahan Nares, gue nahan Reza ya."

Jafran mengangguk mantap, "Iya."

Rupanya, pembicaraan mengenai Lia berhenti sampai disitu saja. Tidak ada adegan kekerasan yang sempat diwaspadai oleh Haikal tadi. Reza benar-benar niat mengikhlaskan Lia. Walaupun tanpa dia tahu, Reza masih mempunyai sedikit rasa yang ada untuk gadis tersebut.

***

"Gimana tadi?" Nares langsung tersenyum begitu Lia memasuki mobil dan mengisi tempat disampingnya.

Lia menoleh sesaat sebelum memperbaiki posisi duduk, "Seru banget tau, rahang aku sakit juga karna banyak ketawa."

"Kalau gitu aku seneng dengernya," Nares mulai melajukan mobil membelah jalanan kota.

"Oh iya, Na, kamu jangan terlalu serius ya soal lamar aku. Lebih baik kamu serius ngejar cita-cita dulu," Ucap Lia.

Nares tertawa kecil, "Aku gak serius-serius banget, Li, kamu gak lupa kan Tuhan itu maha membolak-balikkan hati? Kalau suatu saat hati kita udah nggak sewarna lagi, ya mau di buat apa? Nikah gak ada gunanya untuk orang yang sama sekali nggak ngerasain cinta. Makanya, nanti kalau misal kita jauh, jaga pandangan. Jangan lirik-lirik yang lain. Aku punyamu. Itu artinya kamu harus balik ke aku."

Kalimat terakhir si pemuda entah mengapa mampu memunculkan rona merah di pipi Lia, "I-iya."

"Aku awalnya iseng nanya soal lamaran ke Ayah, tapi Ayah anggap serius. Pas kamu udah pulang, Ayah ngajak ngobrol berdua. Ayah bilang, dia seratus persen setuju kalau nanti kita saling mengikat," Nares lagi-lagi membuat Lia tak bisa tenang di tempatnya.

Lia membuang muka ke arah jendela, sedangkan jemarinya saling beradu gugup, "Aku kangen Bunda kamu..."

"Bunda tadi juga titip salam buat kamu, Li, kangen katanya."

Sial, Lia rasanya ingin turun sekarang dari mobil. Tubuhnya sudah panas-dingin.

Nares yang peka dengan gerak-gerik Lia, segera berujar, "Lia, aku memang nggak serius-serius banget, tapi aku udah ada rencana kecil untuk kita di masadepan. Bantu aku mewujudkannya, boleh?"

Lia tidak menjawab karena menurutnya pertanyaan yang Nares ajukan terlalu retoris.

Ia hanya tersenyum simpul, senyum yang dapat meyakinkan si pemuda bahwa Lia juga mau bersamanya hingga hari tua.

Mereka memang masih remaja, tapi siapa sangka kalau masadepan sudah didepan mata. Ini bukan waktunya mengeluh, tapi waktunya untuk menyusun satu persatu rencana di hari nanti.

__________

Mingdep udah ending neh, kira kira happy or sad ya??

Atau ada plotwist maybe?👀

Kalian tim happy ending atau sad?

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

3.1K 492 23
Seandainya Alara diberi pilihan walau pilihannya antara mati tragis atau hidup tragis. Alara akan dengan yakin memilih mati dengan tragis. Biarlah, s...
201K 9.9K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
69.4K 9.8K 36
NCT DOYOUNG SEMESTA Langit, kalau aku mencintaimu itu artinya aku sudah paham konsekuensi tentang rasamu kepadaku. Aku juga sudah sia...
15.5K 2.7K 22
Nis.ka.la (Adj) tidak berwujud; abstrak "Bersama, kita adalah sepasang percakapan tak berujung."