Chasing Antagonist | ChenJi

By TETEHnya_chenji

792K 102K 115K

Zhong Chenle, pemuda manis penyandang gelar gelandangan baru. Entah sial atau mujur, ia dipertemukan dengan s... More

Let's Start
Playing With Fire Pt.1
Playing With Fire Pt.2
Playing With Fire End
Interlude
Annoying Tricks Pt.1
Annoying Tricks Pt.2
Annoying Tricks Pt.3
Annoying Tricks Pt.4
Annoying Tricks End
Interlude Pt.2
Ageless Toxic Pt.1
Ageless Toxic Pt.2
Ageless Toxic Pt.3
Ageless Toxic Pt.4
Ageless Toxic End
Interlude pt.3
Bloody Pearl Pt.1
Bloody Pearl Pt.2
Bloody Pearl Pt.3
Bloody Pearl Pt.4
Bloody Pearl Pt.5
Bloody Pearl Pt.6
Bloody Pearl Pt.7
Bloody Pearl Pt.8
Bloody Pearl Pt.9
Bloody Pearl Pt.10
Bloody Pearl End
Interlude Pt.4
Under The Veil Pt.1
Under The Veil Pt.2
Under The Veil Pt.3
Under The Veil Pt.4
Under The Veil Pt.5
Under The Veil Pt.6

Under The Veil Pt.7

24.3K 2.3K 4K
By TETEHnya_chenji

Muuaacchh 😚

Akuuuu kembaliii yeaayy

Aloooo sayang"kuh 😍 kangen ☹

Sebelum lanjut, baca ulang dulu gih kalau lupa ehehe

Jadiiii kenapa aku muncul didepan nih, aku mau bahas 2 masalah penting. Yg pertama boleh skip, yg kedua gabole 😠

PERTAMA!!!

Huweeeeeee chasing antagonist dilamar penerbit!!! 😭😭😭

Yg mutualan twitter sama aku pasti udah tau duluan 😭😭😭 Kalau ga ada masalah dan semuanya lancar jaya. Paling cepet open po awal tahun 2022 nanti ehehehe🙃

Mau ikut po nda? 🥺

Dah atuh kalau dikata lebay, tapi ini aku serius kaget bin ga nyangka bin terharu bin gado" karena pertama kali ditawarin buat dijadiin buku 😭😭😭😭😭 huweeeee mamaaaaa

Terus yg KEDUA!!!

Aku mau memperjelas penokohan disini karena aku liat" banyak yg salah tangkep.

Gini, Jisung itu punya 3 nama ya. Liu Xing Xing = Cina, Park Jisung=Korea dan Shinobu Arata = Jepang.

Untuk nama jepang, Shinobu itu nama keluarga trus Arata nama dia. Makanya Mark namanya Shinobu Akira karena dia kakak kandungnya Jisung.

Aku juga belum ada ngasih tau nama kakeknya jisung, aku baru kasih tau nama kakeknya Chenle. Masih inget?

Trus untuk Chenle, diawal sebelum part under the veil dia emang ngaku marganya Park. Dan aku udah kasih tau kenapa namanya jdi Park Chenle 😭 tapi banyak yg entah lupa/gabaca bagian itu😭😭😭

Coba yg inget, sebutin kenapa diawal Chenle ngaku Park Chenle???

Buat Kun, aku juga udah kasih tau kalo dia kakak kandungnya Chenle 😭 cuma aku belum kasih tau marganya karena nanti ada anunya yg kalau dikasih tau jdi sepoiler 🙈

Terus apalagi ya 🤔

Ah! Aku bacain komen kan, paling mendominasi itu kata "capek" sama emot "😭" wkwkwk

Tenang, aku aja suka frustasi liat kelakuan mereka disini kok 😭😭😭

Udaahhh

Etapiiii barangkali ada yg mau nanya sesuanu??? Yuk yuk... tapi gabole nanya sepoiler yaaa

Terakhir!!! Buat besok semangaaattt 🔥🔥 entah itu yg sekolah, yg ada ujian, yg kerja, jangan lupa makan dan bahagiaaa yaa 😚❤

Happy reading

🐹❤🐬

With cinta TETEHnya_chenji







.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.








"Oh, halo anak-anak."

"Jhonny hyung?!"

"Ei... ei... ei... Johnny not Jhonny." Sambung si pria Chicago sembari menunjuk bordiran nama yang melekat di seragamnya.

"Bagaimana hyung bisa tahu kalau aku salah kata?" bingung Jeno, jujurly gendang telinganya tak menangkap perbedaan bunyi apapun.

"Oh... remedy boy," jangan baca kalimat ini dengan nada biasa.

Mari olah napas sejenak.

Tarik.

Hembuskan.

Tarik.

Hembuskan.

Tarik.

Tahan.

Tahan.

Tahan.

Tolong ditahan, jangan dilepaskan lewat jalur bawah, terutama pintu belakang. Dimohon dengan sangat, terima kasih.

Ulangi.

"Oh... remedy boy." Johnny tengah memposisikan diri sebagai salah seorang aktor opera, simfoni Für Elise sudah di angan, menyajikan getar suara bak cassanova abad pertengahan.

Kalau lagaknya kian berlanjut bagai pangeran yang siap berdansa dengan para gadis, maka Chittaphon Leechaiyapornkul -selaku istri sah Seo Young Ho-sudah siap unjuk gigi pukulan terbaik.

Johnny itu kalau sudah bermain peran, siapa saja bisa dicium cuma-cuma.

Namun sisi baiknya, radius tiga puluh kilometer bukan halangan untuknya mengerti kecemburuan sang pasangan. Ten harus bersyukur karena sang suami diberkahi kepekaan diatas rata-rata. Tidak seperti si 'itu' yang kadar pekanya bahkan mampu membuat orang biasa berubah jadi Mike Tyson merangkap Tarzan dalam sekejab.

Pekanya orang 'itu' benar-benar membuat gemas ingin meninju sekalian memaki. Padahal, kode yang diberikan sudah cukup hardcore.

Genre apalagi yang harus Jisung coba? Pop romantis tidak mempan, terpental jauh ke luar ekspektasi.

Apa mungkin Jisung harus mencoba genre cuma kamu sayangku di dunia ini, cuma kamu cintaku di dunia ini? Tanpa kamu sunyi kurasa dunia ini, tanpa kamu hampa kurasa dunia ini?

Apa mungkin si 'itu' hanya bersandiwara tidak mengerti atau memang sungguh bod--ayo lanjutkan soal Johnny, si 'itu' sepertinya mulai sadar kalau tengah dijadikan objek pergunjingan.

"Tentu aku tahu kalau bahasa Inggrismu patut diragukan," nada si pria Chicago kembali biasa, gagal lah keinginan Ten untuk mencetak rekor baru pukulan Muay Thai. "lagipula, posisi itu penting. Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaan huruf o dan h ketika mereka salah penempatan?" tidak sedramatis tadi, tapi cukup mengusik lubang telinga.

"Harus begitu?" bingung Jeno lagi.

"Cobalah hargai hal-hal sepele, sesuatu yang besar selalu bermuara dari tingkat terkecil," nasihat Johnny. Sekarang ia tengah menghayati bijaknya sang filsuf Yunani, Aristoteles.

"Hanya karena mereka huruf, bukan berarti kau boleh tidak peduli. Coba bayangkan huruf tadi dirimu dengan Renjun atau Jaemin, terima kalau sampai salah posisi?" lanjut pria jangkung itu menggebu.

"Tidak masalah sih." Jeno kurang mengerti konteksnya, tapi ia selalu rela menerima apapun selama hal tersebut berhubungan dengan kedua istrinya, selama mampu membuat keduanya bahagia.

Bukan jawaban semacam itu yang Johnny inginkan. "Boy! Pertahankan jiwa dominanmu!"

"Mau bagaimana lagi, kadang ada saatnya aku lelah dan membiarkan mereka berdua bermain diatas."

Jeno tidak sedang membongkar aktivitas rumah tangganya kok, serius. "Harusnya dulu aku membangun hunian satu lantai saja. Mereka itu tega, aku lelah pulang bekerja justru ditinggal bermain video game ke lantai dua."

"Jadi, kau tidak suka melihat kami bermain game?" Jaemin menyahut, senyum manis aura gelap. Bagus, Jeno baru saja menggali kuburannya sendiri.

"Tidak suka melihat kami santai bersama?" Renjun pun serupa ekspresinya.

"Tidak suka melihat kami senang?" satu pertanyaan, satu langkah maju untuk Jaemin beserta Renjun.

"Tidak suka melihat kami melepas penat dengan bermain game?" satu pertanyaan, satu langkah mundur untuk Jeno.

"Menyesal membangun rumah lantai dua untuk kami?" si pemuda Na kian lebar senyumnya.

"Bukan begitu--" Jeno hampir sampai ke dinding terdekat.

"Menyesal menyediakan fasilitas hiburan untuk kami?" si pemuda Huang kian nampak urat marahnya.

Mayday! Mayday! 911! 119! Boom boom bay! Aksi pengeroyokan akan segera terjadi, Lee Jeno butuh bantuan segera!

"FOKUS!!!"

Bala bantuan tiba, Haechan pelakunya. Desibelnya melejit, melambung jauh hingga oktaf tertinggi yang mampu diraih.

Dibelakangnya ada dua pemuda pengabdi teknologi, sebut saja Jung Sungchan serta Park Minhyung sudah ancang-ancang menutup telinga.

Haechan ini sedari awal sudah merasa aneh pada Na Jaemin, belum lagi tingkah Park Jisung yang terkesan seolah terus membela dan membenarkan.

Belum ada jawaban pasti, namun datang lagi oknum lainnya. Apa yang mengharuskan Johnny datang ke tempat ini? Lalu apa maksud Jaemin menunjuknya? Haechan tengah pening, pertikaian rumah tangga tidak semudah itu membuatnya teralih.

Lee Haechan, tipikal manusia yang fokus pada satu target. Walau nampak konyol dan urakan, ia termasuk pemerhati yang mumpuni. Masalah sosial politik adalah yang paling ia soroti.

Namun, yang paling membuatnya kesal adalah pengalihan isu politik yang begitu manjur efektivitasnya. Ia cukup menyayangkan bahwa manusia sekarang lebih mudah terdistraksi oleh isu asrama selebriti atau tingkah nyeleneh para content creator ketimbang memperjuangkan keadilan atas ulah negatif para pemimpin yang rasa-rasanya lebih pantas diberi perhatian lebih.

Dunia sekarang makin lucu, yang merugikan orang banyak malah dinormalisasi sedangkan yang hanya merugikan diri si pelaku justru dicaci-maki.

Ugh... sepertinya Haechan terlalu berani untuk menyentuh titik sensitif. Bahaya sekali, ia masih ingin makan ramen andalan yang selalu lewat pukul empat sore didepan apartemennya.

"Bisa jelaskan alasanmu meminta Jaemin untuk melakukan ini semua?" Johnny ditatap intens, Haechan menuntut kejelasan.

"Kalau kau juga berpikir bahwa aku lah yang membunuh Byun Baekhyun, maka nol besar untukmu." Perhatian Jaemin kini tertuju pada si beruang Lee.

"Aku tidak berpikir begitu," bantah Haechan. "aku justru berpikir kau lah si pencuri permata!"

Sungchan serta Mark, selaku pemandu sorak, kompak mengangguk. Setuju tentang tuduhan yang diarahkan pada si pemuda Na.

"Aku sudah kaya," Jaemin tidak terima label pencuri yang di alamatkan padanya. "dan juga sudah kukatakan bahwa Johnny hyung yang memintaku melakukan ini semua."

"Kalian bersekongkol?!" tuding Haechan lagi.

"Calm down, my boy." Johnny menepuk punggung si pemuda beruang kesayangannya ini. "memang tidak ada salahnya berasumsi, tapi alangkah baiknya mendengar penjelasan dahulu."

"Benar," Ten yang sedari tadi diam pun buka suara. "kalau ulah tupai ice age bisa memecah-belah benua, maka kalian bisa terpecah-belah karena saling curiga."

"Loh?" Daehwi yang sejak tadi sibuk sendiri juga tergelitik untuk berkomentar. "bukannya benua terpisah akibat adanya pergerakan saling menjauh atau divergen oleh lempeng tektonik di kerak bumi?"

"Salah! Benua itu terbelah karena tupai ice age menarik kacang dari permukaan es!" Ten tetap bersikukuh.

"Mana buktinya?" todong Daehwi.

"Lihat ini," Ten mengeluarkan ponselnya, kemudian memainkan film animasi besutan blue sky studios. Lelaki Thailand itu berjalan ke arah Daehwi, menariknya untuk duduk bersama di kursi teras.

"Sebentar." Daehwi menahan pergerakan Ten, ia berbalik pada sang kembaran yang masih khidmat mengarungi alam bawah sadarnya.

Buk!

Ia melayangkan injakan terakhir untuk Felix.

Sedari tadi pemuda itu memang pingsan, namun badannya terus menggeliat. Daehwi hanya berusaha membangunkan, walau tidak kunjung berhasil.

Seandainya sang adik tahu bahwa Felix tengah senang luar biasa karena bermimpi video tikotoko-nya viral menembus fyp.

"Itu tadi, iklan?" Mark mengernyit.

Johnny menepuk kening. "Lupakan saja. Ten memang begitu, hanya percaya pada apa yang ingin dia percaya."

"Jadi?" batas sabar Renjun hampir habis, Jeno mulai kesal, Haechan sudah siap berteriak, sementara Jaemin sudah tidur dengan nyaman.

"Begini," Johnny mendudukkan dirinya, bersila sembari membiarkan Jaemin bersandar. "akhir-akhir ini Ten selalu mengeluh bahwa Byun Baekhyun berubah."

Jeno yang paling dulu menyahut. "Mungkin dia sudah lelah menjadi manusia dan ingin jadi ironmen--akh!!!"

Renjun mendelik setelah melayangkan jentikan maut. "Lanjutkan hyung, jangan hiraukan orang bodoh ini."

"Ten juga semakin khawatir karena sejak sebulan lalu Baekhyun seakan menutup diri."

"Menutup diri?" sahut Sungchan.

"Mereka itu rekan arisan, sudah seperti sahabat. Maka tidak mengherankan jika Ten menyadari ada sesuatu yang tidak beres."

"Byun Baekhyun tidak pernah menceritakan alasannya?" tanya Haechan kemudian.

"Pernah, katanya dia sudah lelah berperan sebagai istri penurut."

Lima pemuda didepan Johnny mulai sibuk dengan pemikiran masing-masing. Namun, satu kesimpulan tetap sama ujungnya. Tidak pernah tersiar kabar bahwa Park Chanyeol adalah sosok suami pemaksa, ia justru dikenal sebagai sosok yang begitu menuruti keinginan sang istri.

"Kalau pun memang benar Chanyeol sejatinya hanya penipu ulung, lalu apakah pencurian ini benar disengaja Byun Baekhyun agar pihak polisi tahu pribadi sebenarnya sang kepala kepolisian?" Haechan sersuara lagi.

Johnny angkat bahu. "Bisa jadi, tapi rasanya terlalu gegabah menganggap Park Chanyeol sebagai antagonisnya ketika belum ada bukti apapun."

"Lalu saat mengetahui bahwa Jaemin bekerja sebagai dokter pribadi keluarga ini, aku meminta bantuannya." Lanjut si pria Chicago.

"Berarti Jaemin memang pencuri permatanya?" entah sudah kali ke berapa Jeno bingung begini.

"Ck!" sang empunya nama bangun. "sudah kukatakan bukan aku! Aku hanya membantu!"

"Membantu mencuri permatanya?"

"Bukan, bodoh! Tidak ada pencuri, Byun Baekhyun hanya mengada-ada!"

"Hah?"

"Sudah... sudah." Johnny buru-buru menengahi sebelum pasangan suami-istri itu semakin cekcok. "awalnya aku hanya meminta Jaemin untuk menyelidiki apakah memang ada hal tidak beres yang terjadi pada Byun Baekhyun. Namun, tugas awal itu berubah haluan ketika Jaemin tahu bahwa Byun Baekhyun tengah mengatur siasat pencurian."

"Berarti sejak awal kau tahu kalau kasus ini hanya rekayasa?!" emosi Renjun dan Haechan berbarengan.

"Kalian hanya bertanya mengapa aku bisa pingsan, mengapa Byun Baekhyun bisa mati, mengapa sidik jariku ada disana. Kalian 'kan tidak bertanya kalau aku tahu pencurian permata ini sungguhan atau tidak."

"Na Jaemin!!!"

"Tunggu dulu, aku belum selesai." Tahan Jaemin sebelum dua pemuda marah itu menerkamnya. "petunjuk yang kalian pecahkan memang sesuai dengan apa yang pertama kali Byun Baekhyun tulis, tapi aku membuat maknanya menjadi ambigu."

"Ambigu?" Ini suara Jeno. Ia, Sungchan serta Mark memasang tubuh untuk melindungi Na Jaemin dari amukan massa.

"Ya," Johnny yang menjawab. "ada dua tempat dengan ciri serupa, ada tindak kriminal sungguhan dibalik kebohongan ini."

"Kejahatan apa? Bagaimana kalian bisa mengetahuinya?" Sungchan yang bertanya, ia juga ingin dialog.

"Penyekapan dan penyiksaan. Aku melakukan penyelidikan sendiri lalu seperti cerita klise detektif, si penjahat pasti punya ruang bawah tanah atau tempat tersembunyi untuk melancarkan aksinya. Aku menemukannya kemudian melapor pada Johnny hyung." Jawab si pemuda Na.

"Sebagai pelengkap, aku merekomendasikan kalian bertiga pada Park Chanyeol ketika laporan pencurian permata Byun Baekhyun sudah masuk kepolisian." Sambung Johnny.

"Tunggu," Renjun merasa ada sesuatu yang janggal. "kau dokter, kan? Sejak kapan kau mengerti soal penyelidikan selain tubuh manusia?"

"Hanya insting." Balas Jaemin sembari tersenyum. Ia tidak begitu baik untuk memuji 'sang bos' yang telah mengajarkan segala taktik untuk membongkar-bangkir kehidupan seseorang.

















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.


















"Bagaimana?"

"Tremornya sudah hilang, tapi kesadarannya juga terbawa pergi." Chenle menatap iba, tak terbayang dalam benaknya bahwa kedua kakak-beradik ini akan bernasib malang.

Seandainya mereka tidak segera ditemukan, sudah dipastikan ajal yang dulu menjemput.

"Kau masih yakin kalau Baekhyun terlibat?" lagi-lagi Jisung bertanya. Ia sudah tahu kalau Shotaro hanya menyebutkan kata Bae, bukan Baekhyun secara keseluruhan.

"Jangan tanyakan hal yang kau sendiri mengerti jawabannya."

"Menguji, apa salahnya?"

"Cukup Tuhan saja yang menguji hidupku."

"Aku juga bentuk ujian dari-Nya karena ujian untuk manusia berasal dari manusia lainnya."

Si manis menatapnya sebentar, "manusia memang menyebalkan, julukan makhluk paling sempurna tidak cocok untuk mereka."

"Mereka? Kau bukan manusia?"

"Kebetulan sekali, aku selalu menyesal terlahir sebagai bagian dari manusia."

"Bersyukurlah, karena dengan menjadi manusia kau bisa bertemu denganku."

Karena diabaikan, akhirnya si jangkung bertanya lagi. "Sebenarnya apa yang tengah kau lakukan?"

Chenle tengah mencorat-coret sebuah buku, ia menemukan sebuah pena kecil di kantong belakangnya. "Aku sedang mengingat-ingat semua petunjuk."

Pemuda manis itu merasa ada sesuatu yang terlewat, terlebih setelah Mark melapor bahwa Haechan menemukan permata yang katanya dicuri.

"Petunjuk pertama, dicelah keabadian sang warna bangsawan." Mulainya serius, "warna bangsawan ini sudah pasti ungu, sedang celah keabadian adalah salah satu bagian berlubang pohon wisteria. Namun, celah yang dimaksud ternyata merujuk pada celah tempat tidur bermotif wisteria ungu."

"Jisung!"

"Hm?"

"Tolong katakan pada yang diluar untuk memeriksa pohon wisteria ungu disamping garasi." Pinta si manis, mereka juga telah mendengar pengakuan Jaemin.

"Sudah kulakukan sejak tadi." Jisung menyahut sembari menekan perintah mic off untuk alat komunikasinya.

"Jisung?"

"Ya?"

"Soal petunjuk kedua. Kalau memang yang dimaksud Baekhyun adalah permata dibalik foto pernikahan yang Haechan temukan, maka tempat Yuta dan Shotaro disekap ini merupakan petunjuk dari Jaemin."

"Lalu?" Jisung masih setia berdiri, sedang sang rekan sudah duduk bersila dengan manis.

"Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Lalu kenapa dia menyeret namaku?"

"Entahlah, memang sulit menebak orang bergolongan darah AB."

"Omong-omong," Jisung berucap lagi saat pandangannya menemukan sesuatu. "kau takut atau kedinginan?"

"Tidak keduanya." Bohong Chenle. Bukan takut yang jadi musuhnya sekarang, tapi dinginnya suhu ruang bawah tanah semacam ini.

"Yakin?"

Pemuda manis itu balas mengangguk.

"Tubuhmu berkata sebaliknya, aku tahu kau kedinginan."

"Sok tahu."

"Aku memang tahu."

"Eoh? Kukira kau baru saja mengaku manusia."

Jisung mengendik tak acuh, menatap tertarik objek mungil didepannya. "Kalau kau tidak suka jadi manusia, maka aku juga tidak."

"Jisung!" Chenle tersentak saat pemuda tinggi itu tiba-tiba duduk dibelakangnya.

"Ya, sayangku?"

"Kau ketempelan sesuatu, kan?!"

Tempat dingin, sunyi dan temaram semacam ini benar-benar cocok sebagai panggung para makhluk tak kasat mata.

"Biarkan aku menghangatkanmu, manis." Jisung tidak bercanda, ia mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu keatas pangkuannya lalu memberi back hug erat.

Mama!!! Anakmu dipeluk jurig!!! Chenle tidak siap kalau tiba-tiba didepannya muncul pula Park Jisung yang lain. Ia tidak mengizinkan adegan toilet pom bensin tempo hari terulang lagi.

"Ka-kau masih Park Jisung, kan?"

"Masih."

"Ba-bagaimana rasanya mati?"

"Bodoh, sudah kukatakan ini aku."

"Siapa nama ayahmu?"

"Park Jimin."

"Nama ibumu?"

"Park Chaeyoung."

"Nama kakakmu?"

"Park Minhyung."

"Nama pembantumu?"

"Park Chenle."

Lulus.

"Sialan!" Chenle harus memberi perhitungan.

"Tolong, sebentar saja begini." Bisik si pemuda Park ketika tubuh kecil dalam pelukannya itu berontak.

"Lepas!"

"Aku melakukannya untukmu juga. Ada simbiosis mutualisme disini, tidak akan ada yang rugi."

"Ini namanya parasitisme, hanya kau yang untung."

"Walaupun hanya aku yang diuntungkan, setidaknya kau tidak dirugikan. Komensalisme untuk kita berdua."

Mereka malah saling adu perihal hubungan sesama makhluk hidup. Karena ketiga penjelasannya benar, maka nilai seratus untuk keduanya. Hore... silahkan tepuk tangan.

"Kau bisa mimisan kalau terlalu dingin, kan?"

"Tahu dari mana?"

"Catatan kesehatanmu."

"Hey, Tuan Park. Sudah sejauh mana kau menggali soal informasiku?!"

"Tidak banyak." Hanya hampir segalanya.

"Ini sih namanya kau yang kedinginan, bukan aku!" sambar si manis ketika jemarinya bersentuhan dengan jemari dingin Jisung yang melingkar diperutnya.

"Jangan tidur." Peringat Chenle begitu dahi yang lebih muda jatuh ke pundaknya. Rasanya geli, berat juga.

"Ya! Jangan meludah padaku!" si manis kembali berteriak karena bertambah rasa basah diatas bahunya.

Pemuda manis itu pun menggerak-gerakkan bahunya, berharap sang rekan terganggu. "Kepalamu berat, cepat menyingkir!"

"Maaf."

"Kalau merasa bersalah ya pergi sana!"

"Maaf."

Tunggu. Ada nada serak yang berhasil telinga Chenle tangkap. Dia menangis?

"Maafkan aku."

Serius, ini sudah kali kedua ia menemukan sisi Park Jisung yang begitu mengenaskan.

Chenle penasaran, hal semenyedihkan apa yang mampu membuat laki-laki seteguh karang itu menangis?

"Hey, ada apa? Ceritakan padaku." Pemuda manis itu hendak berbalik, namun tangan besar Jisung menahannya agar tetap diam.

"Jangan menoleh, jangan lihat diriku yang begini. Aku mohon."

"Baiklah." Chenle akan tahu diri kali ini.

Maka berlalu lah detik demi detik dalam keheningan yang begitu mencekat.

"Bisa katakan padaku apa yang bisa membuatmu lebih baik?" pemuda cerewet ini tentu tak tenang kalau hanya berdiam diri.

"Sudah kudapatkan."

Chenle jadi bingung sendiri. Kenapa sih orang sedih itu selalu tidak jelas kalimatnya?

"Boleh aku bercerita?" Jisung bersuara tanpa berniat melepaskan dekapannya.

"Tentu, selalu ada aku untuk jadi pendengar terbaikmu." Baiklah, mari hadirkan sisi Zhong Chenle yang dewasa.

"Tapi, jika tidak kugenggam erat begini kau akan pergi."

"Aku tidak akan pergi, biar pergi sekali pun padamu juga kembalinya." Chenle tidak mengerti mengapa, namun otak dan hatinya terus memaksa untuk menyuarakan kalimat tersebut.

"Jangan ingkari janjimu." Mohon Jisung. Aku tidak siap dan tidak akan pernah siap ditinggal olehmu.

"Ya... ya... mulai lah bercerita." Ternyata Chenle lebih suka Park Jisung menyebalkan ketimbang Park Jisung yang begini. Menghibur orang yang tiba-tiba sedih tidak jelas itu susah-susah gampang.

"Hahaha..." pemuda jangkung itu tertawa dulu sebelum memulai, "aku benar-benar lemah soal posisi begini, ada kenangan lucu yang membayangi."

Si manis tidak akan bertanya, biarlah sang rekan bercerita dengan nyaman.

"Posisi ini mengingatkanku pada seorang ibu."

"Ibumu?" baru sepersekian detik, sudah berubah saja pendirian pemuda Zhong ini.

"Dia bukan ibuku, tapi berkatku dia bisa menjadi sesosok ibu."

Oh... ibu angkatnya, pikir Chenle.

"Dia benar-benar sosok ibu yang begitu manis. Saat putera kecilnya tengah menangis, dia akan memeluknya dari belakang seperti ini." Jisung mereka-ulang kejadian beberapa tahun silam.

"Lucunya, bukan kalimat penenang atau janji manis yang dia bisikkan untuk sang putera. Dia justru ikut menangis, mereka menangis bersama sembari terus berpelukan."

"Orang mungkin beranggapan dia belum pantas menjadi ibu, masih terlalu kekanakan. Tapi, begitulah cara terbaik yang dia punya."

"Lalu, bagian yang paling kusuka adalah ketika sang ayah pulang. Mata bengkak istri dan anaknya sungguh jadi penyambut yang luar biasa. Dia ingin tertawa sendiri karena keduanya lucu, tapi dia lebih suka membuat keduanya tertawa bersama."

"Tidak sulit juga membuat keduanya kembali ceria, sang ayah hanya perlu memberi sekotak cheesecake dan hotpot pedas untuk sang istri. Sedang sang putera hanya ingin sekotak besar jelly bentuk dinosaurus."

"Sepertinya mereka gambaran keluarga yang menyenangkan." Komentar Chenle.

"Ya, memang sangat menyenangkan."

Sangat menyenangkan andai ia tak dikelilingi orang-orang yang begitu berengsek.

















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.


















"Sudah lebih baik?"

"Apa yang kau lihat?" ketus Jisung.

"Sudah menyebalkan, berarti sudah baikan." Simpul Chenle.

"Oh iya satu lagi," pemuda manis itu tersenyum, "aku suka melucu, tapi aku tidak akan pernah menjadikan kesedihan seseorang sebagai sumber lelucon. Karena itu, jangan ragu datang padaku jika kau butuh bahu untuk bersandar."

"Terima kasih."

Cup

Jisung beri bonus ciuman dikening.

"Ya!" dan Chenle tentu saja wajib mengamuk, "aku bilang bahu! Bukan kening, bodoh!" sudah kurang ajar, berarti sudah benar-benar baik.

"Cepat kemari." Panggil si jangkung, ia mendekat ke bagian rak-rak berisi kertas yang mulai termakan usia. "disini tempatmu." Untuk kali kedua, si manis berhasil ia dudukkan dipangkuannya.

"Aku mau kesana!" Chenle mencoba berdiri, tapi Jisung lebih kuat menahan ujung kemejanya. "Eck! A-aku tercekik, bodoh!"

"Makanya diam saja disini, dingin."

"Aku tidak!"

"Bohong! Lihat jari-jarimu bergetar."

"Aku sedang latihan tari kecak Bali, tahu!"

Tuk!

Jisung menyundulkan ujung buku ke kepala besar Chenle.

"Ya! Cacacacaca ca! Ca! Ca!" Pemuda manis itu benar-benar memperagakan tari yang ia sebutkan. Telapak tangannya menepuk-nepuk wajah Jisung dalam tempo cepat yang lama-kelamaan sakit juga. Inilah bentuk pembalasan untuk sakit di kepalanya.

Maka tanpa berkata apapun, si pemuda Park segera mengunci kedua lengan Chenle kemudian menggigit lehernya.

"PARK JISUNG!!! KAU MEMBUATNYA MERAH!!!"

Rumah siput dalam telinga Jisung mengibarkan bendera putih, menyerah. Bergetar sebentar kemudian tenang.

"Otakku." Pemuda jangkung itu memegangi sisi kepalanya, "rasanya seperti ada gempa didalam."

"Aku tuli!" lanjutnya dramatis saat tak mendengar suara sendiri.

"Kanibal! Pemakan orang! Siluman!" Chenle kesal, lehernya sakit. Hardikannya terus berlanjut, walau bokongnya tak juga berpindah dari paha sang rekan.

"Maaf," Jisung mengelus bagian yang tadi ia gigit. Karena kulit Chenle sangat putih, merahnya sudah menyebar kemana-mana.

"Maaf, aku refleks mengigit karena kau tidak mau berhenti." Memang Jihamster.

Bukankah adegan ini agak sedikit menyeramkan? Seekor hamster menggigiti lumba-lumba.

"Sudah," Jisung menghentikan jemari si manis yang terus menggosok lehernya. "jadinya semakin merah kalau kau begitukan."

"Ini perih, bodoh! Kalau sampai leherku putus, kau yang pertama ku han--ku teror!"

Srek

Jisung merobek sebungkus permen rasa coklat kacang ekstra karamel.

"Makan," ia menyuapkannya ke mulut Chenle. "lo rese kalo lagi laper." Lanjutnya.

"Cih! Sogokannya tidak modal."

"Tapi, kau suka 'kan?"

"Lebih enak yang dino."

"Masih habis, ganti yang ini dulu."

"Hm." Chenle mulai sibuk menguyah. Perlu cukup tenaga untuk melumatkan kacang dan karamelnya.

"Padahal tujuan kita kesini hanya untuk menyelidiki kasus pencurian dan penyuapan." Jisung tidak memprediksi bahwa ada penyekapan, penyiksaan dan pembunuhan yang terselubung dibaliknya.

"Ini undangan pernikahan, kan?" Tangan Chenle beralih, menarik selembar kertas terjepit yang lumayan tebal.

"Aku heran mengapa potret merpati selalu digunakan sebagai pelengkapnya." Lanjut pemuda manis itu.

"Tentu saja karena merpati melambangkan kesetiaan abadi." Jawab Jisung.

"Kenapa bukan pari?"

"Memang kenapa harus pari?" bingung yang lebih jangkung.

"Aku tanya, apa yang paling penting dalam sebuah hubungan?"

"Kesetiaan."

"Benar, tapi bukan yang paling benar."

"Kurasa itu yang utama, untuk apa berpasangan kalau tidak setia?" Jisung tidak boleh kalah kalau soal prinsip.

"Untuk apa setia kalau tidak mau berkorban?" Chenle memutar-balik pertanyaan.

"Berkorban?"

"Pengorbanan itu yang paling utama dalam sebuah hubungan. Percuma saling cinta, percuma saling setia kalau tidak ada yang rela mengorbankan ego."

Oh... Jisung terima yang satu ini.

"Ketika dua orang saling mencintai, kemudian tidak ada yang mau mengalah. Menurutmu apa yang akan terjadi?" nada Chenle sudah macam guru taman kanak-kanak untuk Jisung.

"Pertengkaran?"

"Ya, pertengkaran yang berujung perpisahan."

"Lalu bagaimana jika kau mencintai seseorang tetapi orang itu tidak mau berkorban, apa kau rela mengalah walau sebenarnya sangat menyakitkan?"

"Kalau ditelaah lewat jendela rasional, aku akan pergi untuk mencari orang baru. Hati boleh saja cinta, namun otak tetap harus bisa berpikir."

Setidaknya Jisung bersyukur bahwa Chenlenya yang sekarang sudah lebih matang dari segi pemikiran.

"Tapi, sayangnya aku selalu jadi pihak irasional ketika bersentuhan dengan cinta hehe..."

Jisung gagal lega, ternyata tidak berubah. Memanipulasi prinsip memang tak semudah memanipulasi ingatan.

"Lalu apa hubungannya semua perdebatan prinsip ini dengan pari?"

"Menurutku pari ini perlambangan rela berkorban." Sambung si manis.

"Bagaimana bisa?"

"Yah... kan setiap tertangkap manusia, pari selalu mengorbankan diri agar buri tidak tertangkap."

Sungguh celaka. Jisung lupa sifat Chenle yang satu ini.

"Kalau dipikir-pikir, buaya juga bisa sih. Tapi paaya mesti tersinggung karena justru dilindungi betina." Pemuda manis itu masih lanjut.

Sementara Chenle mengutarakan pemikirannya, Jisung sibuk meratap dalam hati. Ia tidak akan lupa bagaimana animasi ikan pari sungguh-sungguh ada di undangan pernikahan mereka.

Awalnya Chenle bahkan berniat untuk mengedit wajah mereka ke animasi tersebut. Beruntungnya, tidak sampai kejadian.

Pun jika benar, tidak masalah juga. Selama sang pujaan hati senang, Jisung rela menanggung malu.

"Byun Baekhyun sangat menyukai ungu rupanya." Kalau Haechan sulit didistraksi, maka Chenle kebalikannya. Jisung harus memanfaatkan undangan sewarna lilac kumal digenggamannya.

"Bicara soal ungu, aku teringat sesuatu." Imbuh si manis.

Bukan pikiran melantur lainnya, kan?

"Kau ingat cincin yang Baekhyun pakai?"

"Batu amethyst ungu."

"Sepengetahuanku, batu ini dipercaya sebagai penawar racun."

Sebentar, beri Park Jisung waktu untuk menyambung kemungkinan.

"Oh!" Jisung juga sudah mendengar pendapat Johnny tentang Baekhyun yang ingin bunuh diri setelah membongkar identitas Chanyeol. "kalau Baekhyun serius ingin bunuh diri, harusnya dia tidak memakai batu amethyst ini."

"Dari tampilan rumah ini saja kita bisa tahu kalau dia bukan tipe manusia pengikut perkembangan teknologi. Maka seharusnya hal-hal berbau takhayul semacam itu sangat ia yakini."

"Dia memang tidak serius ingin bunuh diri, kan?" Chenle tertawa mengejek.

Sebuah kesalahan besar ketika tidak curiga soal Jisung maupun Chenle yang tidak meminta Jaemin yang notabene-nya dokter untuk memeriksa kondisi Byun Baekhyun.

Byun Baekhyun tidak mati.

Napas pria Byun itu memang terhenti atau sengaja dihentikan, tapi denyut nadinya tetap normal walau agak sulit dideteksi.

Buih di mulut serta tubuh kejang-kejang pasti ada maksudnya. Baekhyun sudah totalitas, sayang sekali kalau tidak mereka bantu.

Mengapa?

Karena Baekhyun ingin dianggap mati, sudah dipastikan ada sesuatu yang ingin diperbuatnya.

Lalu mengapa Chenle maupun Jisung mengikuti alur permainannya?

Seseorang akan merasa aman ketika statusnya dibuat mati. Tidak akan ada yang manaruh curiga padanya sehingga pergerakan yang ia lakukab akan kurang berhati-hati. Ditambah pula pemeran utama kita tentunya penasaran soal adegan berikutnya.

Terlebih sedari awal Chenle sudah menaruh curiga. Sungguh, orang tolol mana yang mengoleksi permata tapi tidak memasang pengaman yang mumpuni?

"Lihat ini!" pemuda manis itu berseru. Kembali soal undangan, telunjuknya menunjuk dua nama dideretan ke tujuh daftar turut mengundang dari kedua mempelai.

Moon Junghyuk dan Na Hyemi.

"Pasti ada fakta yang belum terungkap dari hubungan keempat orang ini dengan Kim Seokjin." Jisung sangat yakin soal asumsinya.

Kalau dibuat daftar terkaan, ada kemungkinan Byun Baekhyun sengaja memanfaatkan Kim Seokjin--yang memang punya dendam--untuk menghabisi nyawa keluara Moon Junghyuk. Kecelakaan yang katanya terjadi karena faktor alam pastinya termasuk rencana sempurna.

Tapi, apa benar demikian?

Jika benar, maka apa alasan Byun Baekhyun melakukannya. Jika salah, maka bagaimana rangkaian kejadian yang sebenarnya?

Sungguh, dihadapannya tengah tersaji kasus yang masih segar. Namun, kasus di masa lalu terlalu menarik untuk dibiarkan tenggelam begitu saja.

"Apa menurutmu Park Chanyeol mengetahui sesuatu? Atau bisa jadi Kim Seokjin kuncinya? Keterlibatannya memang sudah direncanakan atau murni kelalaian protokol kerja semata?" Chenle berucap lalu berdiri dari acara duduknya.

"Kalau soal itu," yang lebih tinggi tersenyum remeh, "mari kita tanya langsung."

Moncong senapan menodong tengkuk Chenle, bilah dingin katana mengancam batang leher Jisung. "Wah... kita dalam bahaya."













tbc

Continue Reading

You'll Also Like

219K 33.2K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
289K 22.4K 103
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
73.2K 6.9K 30
Marsha Ravena baru saja diterima di salah satu perusahaan ternama, ia jelas sangat senang karena memang dari dulu itulah yang ia inginkan. tetapi kes...
126K 1K 6
isinya jimin dan kelakuan gilanya