Exist Season2

By VULNERABOY

6.1K 21 57

6K Makasih banyak buat yang udah baca walaupun sampe sini doang nih←. Revisi Penulisan lebih nyaman di mata. ... More

EPS 1: Care attention
Episode 2: The truth is out
Episode 3 : Ride
Episode 4: Memburuk
Episode 5: Drama!
Episode 6: The Night to forget
Episode 7: Space
Episode 9 : Rekor baru
Episode 10: Terikat
Episode 11: Terlepas
Episode 12: play date
Episode 13: Do what you have to do

Episode 8: Ada apa sih?!

1 1 0
By VULNERABOY

Astrid membangunkanku.

Dia sudah siap bahkan Astrid pakai topi dan dengan rambutnya yang dikuncir ponytail keluar dari topi. Kalau dia sudah dikuncir ponytail begitu orang yang tidak tahu akan mengira kita kembar. Tapi tidak dengan tinggi badanku.

Tak usah bicarakan soal tinggi badan. Aku insecure.

"Bangunlah, Cepat bersiap-siap, Hardy dan Aaron sebentar lagi mereka datang,"

"Kenapa buru-buru sih," Aku mengucek mataku.

"Ralin cepatlah, Rencananya berubah,"

"Diundur?" Aku masih belum sepenuhnya bangun, Jadi Aku melantur mendegar hal itu.

"Ayo bangun dan bersiaplah dulu, Nanti Aku beritahu."

Aku hanya cuci muka dan sikat gigi, maksudku pulang dari sana juga Aku akan mandi lagi kan. Aku bertaruh.

"Ralin Apa yang kau lakukan?" Astrid kesal karena Aku lama sekali.

Aku melantur.

"Aku ingin cuci muka tapi malah pergi ke bawah shower, Bisakah Kau bawakan Aku handuk. Strid!" Aku berteriak-teriak.

"Haduh ada-ada saja," Astrid geram.

"Ih salahmu menyuruhku buru-buru," Astrid berikan Aku handuk, dan terpaksa Aku mandi.

Saat kami siap pergi.

Papah curiga.

"Kalian mau kemana?"

"Lari pagi hanya keliling komplek pena hijau kok Om," Astrid yang jawab pertanyaan itu.

"Jangan lama-lama, Sampai Jam sepuluh... Atau pulanglah sebelum makan siang."

"Iya Papah," Aku benarkan posisi sling bag-ku.

"Lari pagi kok memakai tas?" Papah makin curiga.

"Uang untuk beli minum juga tempat simpan ponsel di dalamnya jadi kita perlu bawa tas." Astrid lebih pintar kalau soal mencari jawaban untuk berbohong.

"Baiklah, Papah percaya. Awas lho ya kalau bohong."

Kami berhasil pergi dengan alasan itu. Aku dan Astrid Jalan sampai ujung blok rumah kami. Di sana BMW putih milik Aaron sudah menunggu, Itu rencana yang berubah. Aaron menunggunya di sini.

"Astrid kita duduk di belakang!"

Entah kenapa mendadak kesal melihat Hardy.... Habis Dia menatapku jahil penuh maksud. Maksud Dia apa coba.

"Tapi Aku ingin bersama Aaron,"

"Aku malu duduk dengan Hardy," Aku beralasan.

Pintu mobilnya terbuka, Aaron sedikit tak sabar juga Excited.

"Kenapa lama sekali Strid?" kata Aaron.

"Nih Ralin pakai melantur segala, Cuci muka malah mandi."

"Masuklah," Ajak Aaron.

Hardy keluar berikan kursinya untuk Astrid dan bukakan pintu untuku.

Aku jalan menunduk dan cepat masuk ke mobil, kuharap Aaron cepat jalankan mobilnya.

Hardy masuk. Astrid dan Aaron mereka mengobrol mana mungkin Aku ganggu mereka. Atau katakan cepat jalankan mobilnya dong. Atau apa pun itu terkesan tidak sopan.

Akhirnya mobilnya jalan.

"Kenapa menunduk terus sih?"

"Ih betulkan tali sepatu kok!" Aku bohong.

Hardy tertawa puas.

"Talinya tidak terlihat ya?" Dia masih menertawakanku.

"Ih!" Aku amat sangat malu, Bohongku sangat ketahuan, Sepatu lari yang kupakai tanpa tali dong.

Aku cubit perut Hardy. Seperti di motor waktu itu.

"Ralin," Hardy tertawa geli sebelum berubah sakit lalu dia cengkram tanganku.

"Hardy sakit!" Aku membentaknya.

"Kau dulu yang mencubitku. Digenggam doang sakit."

"Aku kan perempuan!"

"Maaf," Dia lakukan gerakan gelitik di perutku.

Dia kira Aku tak berani balas?

Ayo kalau Hardy menantangku berkelahi. Aku jambak dia. Tampar pipi dia, Apapun itu biar dia berhenti mengeletik.

Malah mobil yang berhenti.

"Kalian berdua kenapa?" Tanya Aaron heran.

"Tak ada apa-apa" Aku melihat keluar jendela. Hardy sisir rambutnya dengan tangan. Kami bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

"Kalian berkelahi?" Tanya Astrid.

"Mana ada!" Aku menyilangkan tangan, Masih melihat keluar jendela. Aku tahu Hardy masih sisir rambut dia dengan tangan selepas Aku acak-acak tadi.

Saat mobilnya jalan. Aku mulai lagi. Mengacak-acak rambutnya.

"Ralin stop!" Hardy tertawa Aku yakin dia tertawa yang tutupi kesal. Kami berdua saling gelitik satu sama lain.

Sampai mobil berhenti lagi.

"Guys.... Can you stop?" Aaron mulai kesal.

"Lebih baik pakai sabuk pengaman, Bercanda seperti itu... Aku tahu menurut kalian menyenangkan. Tapi Aku sedang menyetir dan berbicara dengan Astrid."

"Maaf-maaf, Aku dan Ralin naik Bohay saja kalau begitu." Hardy minta maaf.

"Siapa Bohay?"

"Motorku yang berwarna kuning, Dia kuberi nama Bohay." Hardy serius katakan itu.

Buatku tertawa puas dan tak tahan jadi keluar dari mobil lebih dulu dari Hardy.

"Kalian serius naik motor?" kata Aaron.

"Ya, Kita bertemu di sana nanti." Hardy gandeng tanganku tanpa izin.

"Apanya yang lucu sih?!" Hardy heran.

"Tidak ada," Aku masih tertawa. Menurutku Bohay itu terdengar lucu.

"Bohay tertawakan Bohay." kata Hardy bergumam.

"Apa Kau bilang?!"

"Tidak ada, Aku tak bilang apa-apa."

"Aku Bohay?!"
"Kau samakan Aku dengan motor?"

"Mana ada. Ayo jalan," Hardy ajak Aku ke Rumahnya. Ini pertama kalinya Aku ke Rumahnya, Meski hanya menunggu di gerbang. Tunggu Hardy keluarkan motor.

Hardy sudah keluar dengan motor sport kuning miliknya. Dia berhenti dihadapanku. Dia tiba-tiba memakaikanku helm. Bahkan bantu kencangkan penguncinya juga.

Saat bersama Elang dulu. Elang hanya bantu kecangkan penguncinya. Aku cukup gerogi saat hal itu terjadi.

"Ayo naik."

"Sebentar." Karena Aku butuh waktu untuk naik ke motornya Hardy.

Hardy pelan melajukan motornya. Kami bisa mengobrol tanpa perlu berteriak-teriak.

”Apa kabar?" kata Hardy.

"Ih apanya yang apa kabar!"

"Kabarmu. Kita kan sudah beberapa hari tak bertemu."

"Tiga—empat hari kupikir tak perlu tanya apa kabar. Berlebihan ih!"

"Ralin Ayolah jawab saja. Apa kabar?"

"Ih kok memaksa!"

"Ya agar Aku ditanya balik sih." kata Hardy ke-pede-an.

"Ada ya orang sepertimu, Baiklah kabarku baik. Bagaimana kabarmu. Tak usah dijawab ya. Aku tak peduli."

"Judes amat sih."
"Mau lihat lukanya tidak?"

"Luka apa?"

"Yang di foto."

"Tidak perlu. Lewat foto juga sudah cukup. Aku sebenarnya ingin menyarakanmu untuk lapor polisi."

"Ralin kalau Aku mau. Sudah kulakukan sejak dulu, Tapi Aku tak mau." Benar juga sih yang Hardy bilang.

"Kenapa?"
"Maksudku... Apa kau diancam Om Hendra?"

"Ada hal yang jauh lebih penting daripada balas perlakuan Om Hendra."

"Maksudmu?"

"Jaga kebahagiaan Mamah dung." kata Hardy santai.

"Huh?" Apa hubungannya coba, Hardy disiksa dan jaga kebahagiaan Tante Citra. Aku masih belum mengerti.

"Simpel kok. Aku belum tentu bisa buat Mamah bahagia, Maksudku... Ayolah Om Hendra itu kebahagiaannya. Biar Mamah ada teman."

Kan bisa cari papah baru yang lain. Maksudku baiklah. Tak bisa dilawan kalau Hardy memangnya punya alasan tersendiri.

Karena tak mau Tante Citra sendirian. Mulia entah ironi, Usahaku gagal bantu Hardy keluar dari Om Hendra yang toxic ke Hardy.

"Sudah... Jangan dibahas." kata Hardy menenangkan.

Hardy benar. Kadang hal yang Aku tak mengerti lebih baik jangan dibahas. Tapi kadang hal yang tak Aku tak mengerti perlu dibahas.

Seperti kenapa juga tiba-tiba ponselku bunyi. Bagaimana kalau ini dari Papah kan.

"Hardy berhenti." Dia lakukan apa yang Aku minta.

Ternyata Astrid yang menghubungiku.

"Astrid?"

"Ralin... Aaron berkelahi.
Dia bantu Kean yang dipukuli Atan dan teman-temannya di taman." Astrid panik.

"Dan Satpam kompleknya tak ada. Ini sangat aneh. Aku sudah coba ke pos satpam."

"Ih Aku tak tahu harus apa... Strid." Aku super bingung, karena Astrid tak pernah menelponku sepanik ini.

"OMG, Berikan saja ponselmu ke Hardy, Cepat!"

"Nih Astrid perlu bicara." Aku berikan ke Hardy seperti yang Astrid minta.

Wajah berubah Hardy serius.

Hardy hanya bilang iya-iya saja. Suruh Aku pegangan kuat-kuat lalu kita ke taman komplek Pena hijau dengan kecepatan tinggi.

Berhenti diparkiran. Hardy lari tak jelas dan Aku ditinggal.

Ada mobil BMW milik Aaron dan Alphard putih milik Atan.

"Hardy Kau kenapa?" Kenapa Aku ditinggal.

"Tunggu di mobil Aaron. Cepat!" Hardy sempat berhenti untuk katakan itu.

Apaan coba. Ada apa sih. Astrid keluar dari mobil Aaron. Matanya terus melihat ke arah tadi Hardy berlari.

Mereka semua kenapa?

Seseorang bisakah jelaskan padaku dulu.

"Astrid bisa jelaskan tidak, Ada apa?"

"Aaron tiba-tiba terima telepon lalu dia menepi kemari lalu tinggalkan Aku. Dia ingin bantu Kean."

"Aaron suruh Aku tunggu di mobil, Apa lebih baik kita ke sana. Sekarang."

"Ih kenapa tak daritadi?"

"Aku menunggumu datang. Aku takut kalau perempuan sendirian. Sekarang takutku berkurang."

Aku lihat Atan saling pukul dengan Hardy.

Irwan berkelahi dengan Aaron. Karta meletakan Kean ke tanah. Dan bantu pukuli Aaron.

Terlalu banyak hal yang terjadi. Intinya mereka berkelahi. Aku lihat Atan diduduki Hardy. Tangan Atan bergerak mengambil batu bata.

"Hardy!"

Atan ayunkan batu bata itu.

Lagi-lagi Aku lihat kekerasan dihadapanku. Waktu itu Miguel yang di Ruang loker kelas sepuluh dulu.

Aku gemetaran rahangku tak mau diam seperti saat Kalian kedinginan yang coba kalian tahan.

Astrid juga diam saja, Aku mengerti sekarang kenapa di film-film orang yang menonton perkelahian seperti orang bodoh membeku. Karena mereka gemetaran.

Aku lihat Atan singkirkan Hardy yang jadi tidak sadar.

Atan bangkit juga membatu bagai patung setelah pukul Hardy dengan batu-bata.

Kean dititah Aaron kemari. Sementara Irwan dan Karta seperti jatuh entah dijatuhkan ke tanah, mereka berdua lari ke parkiran, lewati Aku dengan Astrid.

Kami juga masih diam saja.

Aku ketakutan. Maksudku sebenarnya ada apa sih.

"Kenapa kalian ke sini?!" kata Aaron.

"Aku kan suruh kalian menunggu di mobil!" Aaron seperti kecewa kami datang.

Astrid bantu mentitah Kean dengan wajah yang berdarah-berdarah sulit dijelaskan, Bahkan Aku takut untuk menjelaskannya ke kalian.

"Ralin Ayo ke mobil!"

"Tapi bagaimana dengan Hardy." Aku khawatir Hardy masih tiduran di tanah.

"Aku yakin Hardy baik-baik saja." kata Aaron.

"Mana ada!"
"Terus kenapa Hardy masih diam saja di bawah sana."

"Ralin jangan ke sana!" Astrid menggeretku.

"Iya-iya, kalian duluan ikatan tali sepatuku lepas."

"Yang benar saja masa lepas?!"
"Bukannya Kau memakai sepatu lari yang tanpa tali?!"

"Selip. Sepatunya selip terinjak kakiku sendiri." Aku pura-pura masukan jari ke belakang sepatu, Seolah benaran terinjak.

Aku bohong. Karena sepatuku baik-baik saja.

Aku tak menyusul mereka. Justru rekam Atan dengan ponselku. Biar Selma tahu apa yang Atan lakukan.

Atan lempar batu-bata itu jauh-jauh. Dia juga masih membeku. Mungkin merasa bersalah buat Hardy sampai tak sadarkan diri.

Itu yang terekam.

Atan menghampiriku saat tahu ia direkam.

"Hapus tidak!"

Hardy mulai bergerak dari tiduran yang diam saja.

"Atan Aku cewek." Atan coba rebut ponselku.

"Tak peduli, Berikan ponselmu sini!" Atan ambil paksa ponselku. Bahkan Dia menabrak tubuhku tak peduli setelahnya.

"Atan ponselku!" Aku berusaha mengejarnya.

Hardy menyebut namaku.

Dan itu buat Atan lolos, lagipula Hardy lebih penting daripada ponselku. Atan mana mungkin tak kembalikan ponselku nanti. Toh Aku tahu siapa yang mengambil ponselku jika tak kembali.

"Sebenarnya ada apa Har. Jelaskan dong." Aku bantu Hardy bangkit, Entah Hardy bisa bangkit sendiri.

"Aku juga tidak tahu. Astrid tadi bilang Aaron berkelahi.... Membantu Kean." Hardy tak sengaja sentuh luka di kepala sampingnya.

"Awh. Pencundang kan mereka, giliran seimbang mereka kabur."

"Mereka kabur karena melihatku dan Astrid kok."

"Ini ada apa sih Hardy jelaskan dong."

Hardy mengecak.

"Ralin Aku tidak tahu. Ayo ikut antar Kean ke rumah sakit."

"Ih tidak mau. Lebih baik Aku di rumah, Antar Aku pulang saja dulu."

"Ayo tapi sampai ujung blok saja ya."

"Aku mengerti kok." lagi-lagi Aku dan Hardy harus berpisah.

Kami kembali ke parkiran. Mobil Aaron tidak ada. Mobil yang disebelahnya juga.

Hardy turunkanku di ujung blok.

"Diam di rumah. Jangan kemana-mana. Nanti Aku coba ambil ponselmu balik."

"Atan yang mengambilnya."

"Aku lihat kok. Kumohon. Diam di rumah jangan kemana-mana."

"Kenapa?"

"Atan bicara sesuatu tentangmu sebelum Dia memukulku dengan batu-bata."

"Apa yang Atan bilang?"

"Dia kan anak aneh. Jadi suka bicara yang aneh-aneh."

"Atan bilang 'Aku tahu Kau Akan datang membantu temanmu.' Atan juga bilang... Kau bekerja sama dengan Selma kan."

"Maksudnya?" Aku pura-pura tidak tahu. Soal Aku kerja sama dengan Selma.

"Atan kan anak aneh. Yang penting Kau tak bekerja sama dengan Selma bukan?"

"Iya Aku tak tahu apa-apa. Sana pergi ke Rumah sakit, Temani Kean kan."

"Kok mengusir begitu sih."
"Kau marah. Kenapa?"
"Karena kita baru bertemu sebentar tapi Aku sudah pergi lagi, Iya?"

"Mana ada, Cepat Hardy lukamu juga sekalian diobati."

"Dikasih obat merah juga sembuh."

"Tak peduli. Sudah sana pergi."

"Iya-iya Aku pergi, Kumohon Kau di rumah saja ya."

"Hardy....!" Aku merengek handle stang motornya. Sebelum dia pergi. Aku tak mau ditinggalkan pesan yang mengantung-gantung.

"Apalagi. Kau kan tak kerja sama ya sudah. Kau tak dalam masalah."

Mungkin Aku harus mengaku dulu.

"Masalahnya Aku kerja sama dengan Selma. Iya Aku kerja sama, memangnya Atan bilang apa?"

Hardy menghela napas.

Hardy tak menjawabku. Dia seperti kehabisan kata-kata entah berpikir keras. Seperti menatapku malang.

"Apapun yang terjadi diam di Rumahmu, kumohon. Jangan kemana-mana." kata Hardy serius.

"Ih Baiklah kalau Kau tak mau bilang. Aku akan cari tahu sendiri."

"Jangan konyol." Hardy mengecak lagi.

Bahkan dia memutar kunci motornya kesal sampai mesinnya berhenti.

Hardy silangkan tangannya dan bungkukan badannya ke tangki motornya. Seolah Dia ingin bisikan sesuatu.

"Ralin.... Kau tahu cerita Atan pernah culik Diana tidak?"

Aku tahu dari Selma. Makanya Aku mengangguk.

"Kau lihat Kean berdarah-darah di taman tidak?" Kata Hardy merunut ulang.

"Iya. Kenapa?"

"Lihat kepalaku berdarah kan?" kata Hardy berikan satu contoh lagi.

"Iya kenapa. Kenapa coba beritahu dong?"

"Atan itu berbahaya. Hentikan kerja sama bodohmu dengan Selma itu. Apa untungnya buatmu." Hardy serius.

"Tapi Selma butuh bantuanku. Dia mau hentikan hubungannya dengan Atan."

"Ralin. Apa untungnya buatmu?”

"Aku pernah ada di posisi Selma. Butuh bantuan tapi terlambat untuk cari bantuan. Aku rasakan yang Selma rasakan."

"Buktinya Kau sendiri boleh bantu teman. Kean yang dipukuli, Kenapa juga Aaron dan Kau malah ikut berkelahi dengan Atan." Aku benar dong.

"Astrid menelponku.... Aaron berkelahi, Aku kan temannya. Masa temanmu dalam bahaya Kau tak mau membantu."

"Ih justru itu... Selma juga temanku yang dalam bahaya. Aku tak masalah dong bantu Selma sepertimu bantu Aaron dan Kean yang berkelahi dengan Atan."

Hardy menggelengkan kepala.

"Kau menang debat." Hardy menyerah. Dia nyalakan mesin motornya lagi.

"Hardy tunggu." Apa Hardy marah karena Aku menang debat.

"Sudahlah Selma kan temanmu. Kau benar... Selma temanmu yang butuhkan bantuan. Maksudku hati-hati Atan itu berbahaya. Bisa jadi Selma juga berbahaya buatmu."

"Baiklah Aku akan diam di rumah."

"Terserah Kau saja." Hardy pergi.

"Hardy!" Aku teriakan namanya tapi langsung tutup mulutku lagi.

Aku lupa Aku sudah di blok Rumahku, bahaya kan.... kalau Papah sampai dengar.

Apa coba yang Hardy lakukan. Tadi Dia menyuruhku di Rumah. Lalu katakan 'Terserah Kau saja.' Buatku bingung.

Seperti yang Hardy bilang Aku akan diam di Rumah. Entah kenapa jadi berpikiran lebih baik di rumah.

"Lho sudah pulang?"
"Kok lari-lari tak berkeringat."

"Tidak jadi. Astrid malah pergi dengan Aaron." kataku kesal.

Perkataanku buat Papah dan Mamah saling berbisik.

Aku ke kamarku. Payah, begini sama saja seperti Aku sendiri dulu. Membosankan. Kenapa juga tadi Aku tak ikut Hardy saja.

Kenapa Aku minta pulang sih. Menyesalkan... Aku sekarang.

Aku putuskan lebih baik tidur lagi. Menyedihkan. Mungkin sekitar lewat jam makan siang Astrid datang bangunkan Aku lagi untuk kedua kalinya di hari ini.

"Nih Ponselmu."

"Bagaimana keadaan Si Kean itu."

"Apa Kau sudah tahu masalah mereka berkelahi, Sekarang?" Aku masih penasaran.

"Omg mana Aku tahu. laki-laki seperti bocah tahu tidak kalau mereka berkelahi itu. Jadi Aku tak peduli kenapa mereka berkelahi."

"Aku ingin pulang lalu mandi. Habis itu Aaron menjemputku lagi untuk nonton film." Astrid berubah excited lagi.

"Ih sudahlah sana pulang, Pamernya sudah cukup buatku iri kok." Aku iri. Astrid seperti bisa bertemu dengan Aaron kapan saja.

"Kau kenapa?"

"Hardy mana?" Aku balas pertanyaan dengan pertanyaan.

"Dia masih di rumah sakit. Telepon saja."

Telepon. Aku malu. Pesan text kan juga bisa dan yang kupilih cara itu.

Hardy bilang dia sedang di mini market. Setelah itu dia tak membalas pesanku.

Aku putuskan untuk makan siang. Makanku sambil mainan ponsel jadi baru selesai sekitar 1 jam kemudian.

Sudah banyak pesan masuk yang belum dibaca dari Selma. Aku periksa media sosialku tadi.

Isi pesan dari Selma hanya Ralin. Ralin lagi. Lalu Ralin kumohon balas. Kau tidak aktif. Dan yang terakhir telepon Aku.

Aku makin percaya kata Aaron. Kalau Selma ini berlebihan.

Kenapa juga Aku yang harus telepon Dia. Aku juga jadi percaya kata Hardy. Bagaimana kalau Selma bahaya juga buatku.

Aku makan siang di kamar. Bibi datang   untuk ambil piring kotorku.

"Non Ralin masih marah soal malam itu."

"Bi Inah. Ralin tahu kok... Ralin yang salah, Makasih Bi Inah atas perhatian Bibi ke Ralin. Papah bilang Bibi bukan mengadu. Tapi mencegah sebelum hal buruk terjadi ke Ralin."

"Non Ralin cukup bijak ternyata. Bi Inah juga mau cuci baju, Ada lagi yang mau dicuci Non?"

"Gak kok Bi. Hanya yang di keranjang itu."

Itu bukan kata-kata bijakku. Itu kata-kata Papah. Papah bilang Bi Inah itu peduli bukannya pengadu. Daripada hal buruk terjadi padaku kan.

Aku masih marah entah iri dengan Astrid.

Kali ini Aku marah. pada siapa pun Aku tak tahu. Kesal karena baru bertemu Hardy barang sebentar. Kenapa juga mereka berkelahi coba.

Tak bisa apa laki-laki jangan selesaikan masalah dengan berkelahi.

Selma kirimi Aku pesan lagi, Dia bagikan lokasi. Lokasi entah apa ini.

Selma menyuruhku ke situ. Uang ojol nanti dia berani ganti 5 kali lipat. Bukan soal uang. Bagaimana kalau ini jebakan dan ini bukan Selma.

[Coba kirim pesan suara, Siapa tahu kan... Kau bukan Selma]

Aku balas begitu. Selma balas dengan pesan suara. Suaranya berbisik.

"Ralin cepat, Aku butuh bantuanmu, Subana yang beritahu alamat gudang ini. Aku tak berani beraksi sendirian. Beritahu Aku jika kau sampai." pesan suaranya berhenti.

Aku hanya balas iya. Saat itu juga Aku pesan ojol dan pergi ke alamat itu.

Bahkan Bapak ojolnya heran kenapa Aku ke tempat seperti ini.

"Yaudah Bapak tunggu di sini, Kalau Aku belum juga kembali. Bapak tolong masuk ke dalam ya."

"Waduh Saya bukan body-guard kak. Ada orderan masuk juga, tuh" Bapak itu menujukan layarnya takut.

Jujur hanya 2-3 kendaran yang lewat jalan ini, Itu terbilang sepi.

Aku tidak mengerti ini tempat apa. Jadi Aku beritahu Selma kalau Aku sudah sampai.

Dan hal yang paling buruk pun terjadi. Selma tak balas pesanku.

Tapi Aku dengar suara mirip Selma beteriak-teriak dari dalam. Jadi Aku masuk.

Bagaimana kalau hal buruk terjadi pada Selma. Dan Aku akan jadi saksi jika Selma kenapa-kenapa.

Karena Bapak ojol itu antar Aku ke sini. Maksudku jika Aku celaka. Bapak ojol itu sisa saksinya, Dia yang turunkan Aku terakhir ke sini.

Aku berani. Jika Aku kenapa-kenapa. Aku pergi sudah tinggalkan petunjuk, Bahkan kirim pesan lokasi ini ke Hardy jauh sebelum ojol itu datang menjemputku.

Selma masih beteriak-teriak entah berdebat. Buatku beranikan diri buka gerbang gudang ini. Tak dikunci.

Dan ada dua om-om yang mengeretku.
Belum apa-apa Aku ssudah ketahuan. Maaf Aku kan tak ahli dalam hal menyusup.

Aku digeret ke sumber suara Selma beteriak-teriak entah berdebat tadi.

"Satu lagi Bos. Ada penyusup." Mereka mendorongku.

Atan pucat, Super pucat.

Tatapannya seperti bingung kenapa ada Aku di sini. Aku bantu Selma lepas selotip besar dari mulut Shinta. Sementara Selma lepaskan tali temalinya.

"Kamu tak bisa mengelak lagi Atan."
"Aku lihat sendiri. Kamu sekap seseorang.... Ini kriminal. Penculikan."

"Sel Aku bisa jelaskan." Atan gemetaran.

"Apalagi. Rumormu Muka dua itu terbukti, Kamu bilang kamu tak bisa lihat kalau tanpa kacamata. Itu Apa. Buktinya kamu bisa melihatku dengan jelas."

"Sel Ayo kita pergi dari sini." Ajakku Shinta juga sudah bebas.

"Sebentar Ralin Aku belum selesai." Selma berjalan mendekat ke Atan.

"Aku bisa jelaskan Sel. Kean itu harus Aku beri pelajaran. Dia perusak hubungan kita." Jelas Atan.

"Halah Kau hanya balas dendam. Soal berkelahi yang di depan ruang teater itu. Aku tahu kok." Shinta katakan apa yang Dia tahu.

"Lihat Dia. Coba menghasutmu kan, Itu sangat membuktikan bahwa Shinta ini perusak hubungan orang, Sel." Atan licik coba pengaruhi Selma.

Selma menampar Atan amat sangat keras. Di pipi.

"Atan Kamu banci!"

Atan ingin menangis entah marah.

Kami bertiga lari ke pintu keluar.

"Tahan mereka bodoh!" Teriak Atan.

Dan pintunya terhalang Om-Om suruhan Atan.

"Atan. Suruh mereka menyingkir, Tidak!" Selma mengancam Atan.

"Tidak Akan. Maafkan Aku dulu Sel. Lalu beri Aku kesempatan lagi. Setelah itu kalian bisa pergi."

"Ih Hardy akan datang kok."

"Aku sudah kirimi dia pesan agar Dia menjemputku ke lokasi ini. Aku tidak bodoh ya!" Aku sudah siapkan rencana cadangan jika tempat ini jebakan.

Atan tertawa.

"Hardy. Aku pergi ke tempat ini. Jika Aku hilang datanglah ke sini. Ralin.... Ralin.... Aku lebih pintar. Lihat dirimu. Nih ponselnya Hardy Aku kembalikan."

"Ada padamu?" Aku terima ponsel Hardy. Ini benaran ponsel Hardy.

Aku jadi gemetaran. Benar apa yang Hardy bilang Atan itu berbahaya. Aku gemetaran. Gemetaran yang gugup bahkan lebih buruk dari di taman itu.

Aku ingin menangis. Tak ada harapan lagi untuk Kita bisa keluar dari tempat ini.

"Shinta. Bagaimana kalau Kau hubungi Kean?"

"Ponselku dirusak Atan." Shinta tunjukan layar ponsel Dia yang super retak. Masih menyala tapi hanya putih seluruh layar.

"Atan Aku tak peduli. Pokoknya suruh mereka menyingkir!" teriak Shinta.

Shinta berlari ke pintu itu. Mereka dorong Shinta cukup keras. Berapa banyak bayaran mereka sampai rela berbuat kejam ke gadis SMA.

Aku dan Selma bantu Shinta bangkit selepas didorong tadi. Kejutan mengejutkan. Pintu itu didobrak dari luar.

Hardy. Han juga Aaron, Juga Subana yang membawa kayu.

Aaron berikan kunci mobil padaku.

Kami gunakan kesempatan itu untuk keluar saat itu juga. Kami berlari ke mobil sambil dilindungi mereka berempat.

Om-om melawan Anak SMA. Jika Anak SMA yang menang itu hanya dalam film. Aku panik saat mereka belum juga kembali.

"Aku tak bisa menyetir, diantara kalian berdua siapa yang bisa...?"

"Ralin, Cepat berikan kuncinya!" Shinta gemas merebut kunci mobil dari tanganku yang kebanyakan berpikir sebelum bertindak.

Shinta masuk lebih dulu, lalu Selma juga Aku yang menyusul.

Kami bertiga duduk di depan. Aku berbagi seat dengan Selma, karena kita berdua imut.

"Kenapa mereka belum keluar juga." kataku.

"Tunggu sebentar. Mungkin sebentar lagi mereka akan keluar, Kalau belum juga. Tak apa kan kalau kita pulang lebih dulu." Shinta sudah siap tangannya di kemudi.

Dan tangan yang lain di persneling. Bahkan kakinya juga seperti tak sabar injak gas.

Kuharap mereka keluar dari tempat itu baik-baik saja.

Exist season 2

Bersambung...

I'm vulneraboy untill next time :3























Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 122K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

783K 38K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.1M 261K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
402K 4.9K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+