πŸ”… Stealth πŸ”… 》KookMin

By lusiaby

508K 49.2K 59K

. "Dengar, manis, apapun yang telah memasuki kapal ini, akan selalu menjadi milikku." ... More

πŸ”… Prolog πŸ”…
πŸ”… Chapter 1 πŸ”…
πŸ”… Chapter 2 πŸ”…
πŸ”… Chapter 3 πŸ”…
πŸ”… Chapter 4 πŸ”…
πŸ”… Chapter 5 πŸ”…
πŸ”… Chapter 6 πŸ”…
πŸ”… Chapter 7 πŸ”…
πŸ”… Chapter 8 πŸ”…
πŸ”… Chapter 9 πŸ”…
πŸ”… Chapter 10 πŸ”…
πŸ”… Chapter 11 πŸ”…
πŸ”… Chapter 12 πŸ”…
πŸ”… Chapter 13 πŸ”…
πŸ”… Chapter 14 πŸ”…
πŸ”… Chapter 16 πŸ”…
πŸ”… Chapter 17 πŸ”…
πŸ”… Chapter 18 πŸ”…
πŸ”… Chapter 19 πŸ”…
πŸ”… Chapter 20 πŸ”…
πŸ”… Chapter 21 πŸ”…
πŸ”… Chapter 22 πŸ”…
πŸ”… Chapter 23 πŸ”…
πŸ”… Chapter 24 πŸ”…
πŸ”… Chapter 25 πŸ”…
πŸ”… Chapter 26 πŸ”…
πŸ”… Chapter 27 πŸ”…
πŸ”… Chapter 28 πŸ”…
πŸ”… Chapter 29 πŸ”…
πŸ”… Chapter 30 πŸ”…
πŸ”… Chapter 31 πŸ”…
πŸ”… Chapter 32 πŸ”…
πŸ”… Chapter 33 πŸ”…
πŸ”… Chapter 34 πŸ”…
πŸ”… Chapter 35 πŸ”…
πŸ”… Chapter 36 πŸ”…
πŸ”… Chapter 37 πŸ”…
πŸ”… Chapter 38 πŸ”…
πŸ”… Chapter 39 πŸ”…
πŸ”… Chapter 40 πŸ”…
πŸ”… Chapter 41 πŸ”…
πŸ”… Chapter 42 πŸ”…
πŸ”… Chapter 43 πŸ”…
πŸ”… Chapter 44 πŸ”…
πŸ”… Chapter 45 πŸ”…
πŸ”… Chapter 46 πŸ”…
πŸ”… Chapter 47 πŸ”…
πŸ”… Chapter 48 πŸ”…
πŸ”… Chapter 49 πŸ”…
πŸ”… Chapter 50 πŸ”…
πŸ”… Epilog πŸ”…

πŸ”… Chapter 15 πŸ”…

9K 932 490
By lusiaby

Brak!

        Gulungan ombak menghantam dinding kapal, menghasilkan bunyi dentum yang cukup keras untuk mengusik bunga tidur.

        "Ayaah?!" Jimin sang pengarung mimpi, terlonjak dari baringannya. Bibirnya terbuka dengan napas tersengal. Titik-titik keringat bersarang di keningnya. Tampaknya ia baru saja mendapat mimpi buruk.

        "Haah ... Haaah ...." Deru napas lolos dari ranum Jimin. Terengah karena mimpinya terasa nyata seperti sebuah cubitan. Kepalanya menunduk pada selimut hitam di pangkuan. Masih mencoba mengumpulkan nyawa seutuhnya.

Brak!

        Sulur-sulur liuk air kembali menghantam kapal. Suaranya sangat nyaring dari balik pintu balkon. Seakan menarik Jimin untuk segera menyadari dimana gerangan dirinya terbaring.

        Dan itu berhasil ....

        Begitu menyadari juntaian selimut hitam yang dikenalnya, Jimin sontak mengangkat kepalanya. Menoleh gusar ke kanan dan kiri, menatap horror pada setiap sudut kabin. Sapphirenya membelalak sempurna pada ruangan yang tidak seharusnya ia singgahi malam lalu.

        "Ke-kenapa aku bisa a-ada di sini?!" Karena seingatnya, ia masih menggenggam jemari Taehyung sebelum jatuh terlelap.

        Ah, Ya! Taehyung!!

        Terhenyak oleh nama sahabat, Jimin bergerak menyibak selimut. Menurunkan kedua kakinya pada lantai kayu yang dingin. Ia menghiraukan kedua kaki telanjangnya diserbu tusukan suhu rendah di pagi hari. Menjejak mantap dan berlari menuju pintu kabin.

Cklak! Cklak!

        Tangan Jimin menekan kenop pintu berkali-kali. Mendorong, menarik dan memaksa agar pintu terbuka. "Ugh! Bajingan itu mengunci pintunya!" Dan Jimin berakhir dengan teriakkan frustasi.

Dugh!

        Kakinya menendang pintu yang tidak bersalah. Memelototi benda keras berwarna cokelat. Seakan-akan pintu kabin adalah musuh terbesarnya. Jimin marah, teramat marah. Ia khawatir dengan keadaan Taehyung, ingin rasanya segera melihat kondisi terkini sahabatnya. Tetapi nahas, ia justru terkurung di dalam kabin.

        "Apa yang diinginkan laki-laki brengsek itu?!" Jimin memaki keras. Membayangkan wajah Jungkook berada di hadapannya, lengkap dengan senyum arogan yang rasa-rasanya ingin Jimin pukul. "Lihat saja, aku akan meninju-"

        "Kau akan meninju pria brengsek ini?"

        "Aaaaaa?!" Jimin tersentak tiba-tiba. Sebuah suara baritone mengejutkannya dari balik punggungg. Jimin kontan membalik tubuhnya, dan sepertinya itu keputusan yang buruk, karena pemilik kabin ternyata sedang duduk santai di balik meja kerjanya.

        Pasti kepanikan membuat Jimin tidak menyadari ada kehadiran lainnya yang sudah bercokol sedari sebelum mata membuka.

        Napas Jimin tertahan. Jungkook menatap tajam pada dirinya. Mengunci mata birunya dan membakar melalui manik keemasan. Memicu tegangnya pundak dengan kepala yang terpecah akan dua bisikan. Satu bisikan penyesalan karena telah mencaci Jungkook dan satu bisikan lagi mendukung perbuatannya.

        Apakah Jungkook akan marah mendengar Jimin mengumpatinya dari belakang?

        Sedangkan yang sedang diperangi batin sibuk mengamati gerak-gerik Jimin. Buku setebal enam ratus lima puluh halaman sudah terabaikan di atas meja. Terbuka dengan deret huruf yang tidak lagi menarik bagi sang kapten kapal, karena sosok termanis bertingkah konyol di seberang.

Pluk!

        Jungkook menutup bukunya, mengakhiri sesi membaca dalam keheningan. Netranya tidak melepaskan Jimin sedikit pun, bermaksud memahat kaki Jimin agar tidak bisa melarikan diri darinya. Ia menghembuskan napas dengan tenang, lalu bangkit dari dudukannya. Mencetak langkah pasti untuk menghampiri bangsawan manis tawanannya.

        Hmm ... sepertinya tawanan bukan lagi kata yang cocok, karena Jimin sudah mengucap sumpah untuk menjadi milik Jungkook. Jadi, apakah kata miliknya, sudah cocok?

        "M-mau apa kau?!" Jimin bergerak gusar. Jungkook berjalan mendekatinya dengan langkah perlahan dan terkesan menakutkan. Meletukkan alas kaki hingga bunyi letuk - tap-tap-tap – bisa menguasai seluruh isi ruangan yang senyap.

        Tumit kaki Jimin bergeser ke belakang, memundurkan tubuhnya sejauh mungkin dari jangkauan Jungkook. Bergerak panik sampai punggungnya terjebak oleh pintu kabin. Apa ia harus menyesal karena telah mengumpati Jungkook dari belakang? Karena laki-laki yang diumpati terlihat berbahaya saat ini.

        "Ja-jangan mendekat!"

        Akan tetapi, Jungkook tidak mendengarkan. Ia terus mengikis jarak seraya mengancam lewat dua jelaganya. Letuk kakinya mensenyarkan degub jantung untuk semakin menjadi di dada Jimin. Sapphire biru yang semula menatap nyalang mulai meredup karena didera ketakutan. Was-was dengan segala tebakan praduga dari tindakan yang akan Jungkook lakukan.

        Jimin terus merekatkan punggungnya pada pintu. Terus menekan, tidak perduli bahwa benda yang ditekannya tidak bisa membuatnya lolos dari Jungkook. Dadanya menjerit sesak karena hidung tidak mencoba mengambil napas. Bagaimana tidak susah? Hidung bangir Jimin memang tengah kesusahan hanya sekedar untuk menarik oksigen.

        Jungkook benar-benar menakutkan.

        Hingga ketakutan Jimin bertemu puncaknya. Jungkook sudah berdiri tepat di hadapannya, membuat sulur tajam dari manik emas untuk semakin nyata menusuk sapphire biru. Ujung jemari kaki Jimin yang telanjang bersemuka dengan ujung sepatu Jungkook. Hanya tiga puluh senti jarak yang memisahkan, tetapi Jimin rasanya ingin pingsan.

Srak!

        Jungkook meraih kepalan tangan Jimin. Menarik paksa dan mengarahkannya pada tulang pipinya sendiri.
       
        "Pukul aku." Ia mengeratkan jarinya di kepalan tangan Jimin. Perbedaan ukuran nyaris menenggelamkan seluruh tangan Jimin ke dalam telapak Jungkook. "Pukul seperti apa yang ingin kau lakukan."

        Alis mata Jimin menukik dalam. Ia tahu Jungkook hanya ingin mengejekknya. Jelas Jimin tidak bisa memukul Jungkook, karena taruhannya adalah keselamatan Taehyung. Tidak, Jimin tidak mau terjebak dalam tipu muslihat Jungkook.

        "Lepaskan!!" Maka. Jimin menyentak kuat tangannya. Getaran mata beberapa saat yang lalu sudah lenyap dan tergantikan dengan tatapan sengit. "Ugh! Lepaskan, aku!!" Ia menggeliatkan tangannya, namun Jungkook semakin mengetatkan cengkeramannya.

        Tangan kiri Jimin terangkat untuk membantu melepaskan gerat jari Jungkook pada tangan kanannya, tetapi sebelum tujuannya terlaksana-

Chup!

        Bibir Jungkook mendarat lebih cepat di buku-buku jemari Jimin.

        "Ah?!" Jimin terkesiap seketika. Kelopak matanya membelalak lebar-lebar. Dua kali lipat terkejut dengan perbuatan Jungkook barusan. Bahkan bibir Jungkook masih bertengger dengan santai meskipun mengetahui sang pemilik jemari lentik menunjukkan teror di kedua maniknya.

        "A-apa kau sudah gila?!" Jimin menyentak tangannya keras, kali ini lebih kuat hingga bisa terjauhkan dari bibir lancang Jungkook. Meskipun tangannya tidak berhasil terlepas, tetapi setidaknya tidak tersentuh dengan begitu kurang ajarnya oleh labium tipis milik kapten perompak.

        Bibir datar segaris kini terangkat membentuk seringai di ujungnya. "Hari masih terlalu pagi untuk mengamuk, manis."

        Kening Jimin berkerut tidak terima, ia kembali menarik-narik tangannya. "Le-lepaskan!" Suaranya hampir tercekat, ada sedikit getaran yang menghambat kotak suaranya. Tidak tahu juga apakah itu dikarenakan rasa takutnya yang masih membumbung ataukah kecupan tak berizin dari Jungkook?

        Tangan kiri Jimin kembali terangkat, dan kali ini berhasil untuk membantu tangan kanannya melepaskan diri. Kuku-kukunya menancap di kulit lainnya, menekan dan menggores sebisa mungkin agar tangan yang membelenggu bisa melepaskan. Anehnya Jungkook sama sekali tidak merasa terganggu, malahan merasa terhibur dengan usaha sia-sia dari Jimin.

        "Jungkook, Ugh!" Jemari kaki Jimin berjinjit tanpa sadar karena Jungkook mengangkat sedikit demi sedikit tangan Jimin. Mengangkat hingga sebatas pelipisnya, sehingga Jimin perlu tenaga ekstra untuk melepaskan tangannya sekaligus menekan pijakannya agar tidak tergeser seinci pun.

        "A-apa masalahmu?!" Jimin berteriak marah, ia tidak paham kenapa Jungkook mencari permasalahan dengannya sepagi ini. "Jungkook, lepaskan! Ini sakit!!" Tangan Jimin mulai memerah akibat rematan Jungkook yang dibarengi dengan kerasnya kepalan tangan Jimin yang berusaha melepaskan diri.

        Jungkook tetap diam, menelisik dan merekam baik-baik setiap perubahan raut wajah Jimin. Hitung-hitung ia memberikan hukuman kecil karena tangan Jimin berani menyentuh laki-laki lain kemarin.

        Jika kalian berpikir Jungkook sudah tidak waras ... Ya, mungkin itu ada benarnya. Karena ia sendiri sering kali kehilangan kewarasan jika Jimin berhubungan dengan laki-laki lain. Rasanya seperti ada panas di rongga dadanya mengetahui sumber Remedynya disentuh orang lain.

        Keterdiaman Jungkook memicu kekesalan mencapai ubun-ubun, dan mendorong lutut Jimin agar terangkat cepat untuk memberikan ganjaran pada selangkangan Jungkook.

Dugh!

        "Awh?!"

        Sayangnya itu bukan dari bibir sang kapten bajak laut, melainkan dari mulut pemuda Oswald. Ia lagi-lagi kalah cepat dengan gerakan Jungkook. Lutut Jimin belum sempat memberi hantaman, tetapi Jungkook mendadak melepaskan tangan Jimin hingga ia harus terhuyung tanpa persiapan. Kontan punggung Jimin membentur kecil pada pintu kabin.

        "Tshhh ...." Esahan lolos dari celah mulut Jimin. Memang punggungnya tidak beradu terlalu keras, tetapi jantungnya berdegub kencang karena terkejut saat tiba-tiba dilepaskan seperti itu. "Jungkook, kau benar-benar brengs-"

        Satu lengan panjang terulur, menekuk, lantas mendaratkan sisi samping lengan dari ujung  siku hingga sepanjang hasta pada permukaan pintu. Memilih jarak terdekat dengan puncak kepala Jimin, sampai nyaris menyentuh surai lembut di bawahnya. Menambah satu jarak pada kaki kiri dan total menjebak Jimin dalam kungkungan.

        Jungkook merunduk. "Aku memang harus benar-benar mengajari mulutmu cara berbicara dengan manis." Ujung hidungnya hanya berjarak lima senti dari hidung bangir Jimin. Keduanya menghembus dan merasakan hangat dari napas masing-masing.

        Ada sesak di dada Jimin, tipisnya jarak antara dirinya dan Jungkook membuatnya harus membatasi masuknya oksigen. Jika ia mengambil napas penuh, maka hal mengerikan akan terjadi, seperti tidak sengaja 'bersinggungan' dengan bibir Kapten Hawkins Jack.

        "Me-menyingkir!" Kedua telapak Jimin mendorong dada Jungkook.

        "Itu sangat berbanding terbalik dengan kau yang nyaman di pelukanku." Dengusan meluncur dari Jungkook, ia memang berniat mengusili Jimin sedari tadi.

        Mata Jimin langsung memicing. Ia menelan ludahnya bulat-bulat karena merasa terhantam oleh kejadian kemarin. Kejadian dimana ia sangat bodoh bisa jatuh ke dalam rengkuhan Jungkook. Menangis dan membiarkan serangan panik menderanya hingga membuat kehilangan akal. Terisak sampai tangan besar Jungkook menjadi penenang yang berhasil meredakan gemetar ketakutannya.

        "A-aku bilang, menyingkir!" Jimin mengalihkan topik pembahasan. Karena kepalang malu sangat tidak sesuai jika terselip di antara perselisihannya dengan Jungkook.

        Tangan Jimin mendorong-dorong dada Jungkook, mengerahkan kekuatan besar untuk menggeser tubuh kokoh yang memblokir kebebasannya. Hingga tak lama ia tercenung merasakan tekstur kulit yang langsung menyapa telapaknya.

        "E-eh?" Maka, secepat mungkin ia tarik kedua tangannya dan mengurungkan niat untuk mendorong kembali.

        Ternyata tiga kancing teratas baju Jungkook tidak mengait, jadilah Jimin tidak sengaja menyentuh selapang keras dari otot dada. Menceloskan hatinya karena tidak rela tangannya ternodai oleh kerasnya bidang dada di seberang. Rasanya seperti menyentuh batu yang berkulit, benar-benar lipatan otot yang keras.

        "E-ehem!" Jimin terbatuk canggung, selain malu karena dingatkan kebodohannya tempo hari, ia merasa segan setelah menyentuh kulit hangat dari dada Jungkook. Membuatnya terdiam pasrah dan menyerah untuk melawan. Cemas jika melakukan kecerobohan berikutnya.

        Jimin menatap tepat pada sinar netra emas. Mencoba abai pada jarak yang sudah tidak bereksistensi. "Jungkook, aku tidak mengerti apa masalahmu. Aku minta kau menyingkir sekarang, karena aku harus melihat kondisi Taehyung."

        Mendengar birai merah muda mengucap nama pria lain sontak melenyapkan setitik canda di mata Jungkook. Merambatkan perasaan tidak suka, hingga garis rahang mengeras dengan katupan gerusan geligi.

        "Atas dasar ijin siapa kau bisa menemuinya?"

        Geraman yang tersirat menyentak Jimin. Sorot mata Jungkook menjadi tajam dengan air muka kelewat datar. Ia menghimpit Jimin saat tidak kunjung mendengar jawaban. "Katakan, atas ijin siapa?"

         Jimin merasakan ruangan menjadi mencekam kembali. Rambut kulitnya meremang karena bersitatap dengan gelapnya mata Jungkook. Lehernya ngilu karena ia memaksa mendongak untuk mempertahankan keberanian menatap Jungkook. "I-ijinmu ...."

        Ujung bibir Jungkook tersungging tinggi, "Dan apakah aku mengijinkamu?"

        Isi kepala Jimin mendadak kosong. Penuturan Jungkook membuatnya dilanda gelombang pening. Jujur, ia sudah dalam keadaan putus asa ingin melihat keadaan Taehyung, tetapi sekarang Jungkook berniat mempermainkan rasa takutnya kembali.

        Bagaimana jika ia tidak memperoleh izin? Bagaimana jika ia tidak bisa menjaga Taehyung? Bagaimana jika sesuatu terjadi saat Taehyung bangun? Dan ... dan ... Ba-bagaimana jika Taehyung tidak berhasil selamat pasca penanganan yang diberikan Yoongi?

        Itu semua adalah barisan kegelisahannya yang tengah dipermainkan dalam sebuah keegoisan pemuda lainnya.

        "Gi-give and take," Ucap Jimin terbata. Ia tidak mampu melawan jika itu sudah menyangkut sahabatnya. Mungkin menyerah untuk sementara waktu adalah pilihan yang lebih aman. "A-apa yang kau inginkan, a-agar aku bisa memperoleh i-ijinmu?"

        Alis kanan Jungkook terangkat, seringaiannya semakin meninggi. Merasa sedikit bangga karena berhasil menguasai si Manis perlahan-lahan. "You learn fast."

        Usai mendapatkan apa yang dinginkannya, yaitu kepasrahan Jimin, Jungkook menegapkan tubuhnya. Membebaskan Jimin dari jerat sesak yang diperbuatnya. Jungkook melangkah mundur dan membentangkan satu meter jarak. Bersendekap tangan dan menelisik Jimin yang masih bersandar di pinu kabin.

        Pemuda yang malang, tubuhnya tidak sanggup berdiri karena melemas usai hati lembutnya dipermainkan.

        "Isi perutmu." Jungkook menunjuk semangkuk makanan di meja nakas dengan dagunya. "Lalu bersihkan tubuhmu."

        Mata Jimin memandang penuh sangsi kepada Jungkook. Laki-laki itu memerintahnya seperti anak kecil.  "Kau bukan ayahku."

        "Tentu, karena ayahmu tidak akan memandikanmu." Jungkook memasang ekspresi mengejek dengan dagu yang terangkat arogan. "Jadi, apakah aku perlu memandikanmu dan mulut pemarahmu?"

        Jimin menahan umpatannya di ujung lidah. Jungkook dan kalimatnya tidak pernah gagal membuat Jimin meradang. Jika begini terus Jimin ingin rasanya mencaci Jungkook, tetapi sayangnya ia harus mengontrol diri sampai ia bisa bertemu dengan Taehyung.

        "Simpan niat baikmu itu, sampai ke tanah kuburanmu." Jimin mendesis di bawah napasnya, lalu menarik diri dari sandaran pada permukaan pintu. Berjalan tertatih melewati Jungkook untuk melaksanakan perintah sang kapten kapal.

        Menimbulkan kekehan kecil di bibir lainnya. Jimin sangat rapuh namun ia tidak mudah ditaklukan layaknya batu karang, dan itu sangat menantang bagi Jungkook.

🔅🔅🔅🔅🔅🔅🔅

        Usai membenahi diri dan kembali memaksa menelan makanan. Jimin akhirnya sudah bersiap menemui Taehyung. Ia merapikan penampilannya di depan cermin. Menyugar surai hitam yang terjatuh dengan lembut di kening kepalanya.

        Jimin terdiam memandang pantulan dirinya. Bibirnya masih berwarna merah muda, tetapi merah mudanya tidak bersinar seperti hari-hari kemarin. Kedua kelopak matanya sembab dengan setitik merah bekas isak tangis selama beberapa jam tempo hari.

        Ia menatap kedua bola mata birunya. Mengerjap pelan, lantas berpaling dari bayangannya sendiri. Napas berat terhembus dari celah bibir, bertujuan mengurangi sesak yang membelenggu. Namun semakin ia mencoba mengurangi, semakin kuat himpitan beban di dadanya.

        "Kenapa semua ini bisa terjadi kepadaku?"

        Dari semua orang, kenapa dirinya? Kenapa ia harus terperosok dalam kegelapan yang ditawarkan lautan.

        Jimin kembali mematut sapphirenya. Biru yang menjadi duplikat warna samudra, biru yang terlihat indah di permukaan, namun memiliki bayangan gelap di dasarnya.

        "Apakah aku memang harus menyerah?"

        Bala bantuan yang dikirimkan bersama Oscar dan Taehyung telah karam sia-sia. Oscar sendiri telah mengorbankan nyawa dengan begitu pedih. Dan Taehyung? Sahabatnya kini harus melalui derita yang panjang. Sementara di setiap detiknya, Jimin semakin jauh dari kota kelahirannya.

        Mustahil untuk kembali memupuk harapan saat ini. Ia takut bermimpi untuk bisa kembali pulang. Karena di setiap mimpi yang mengandung asa pasti ada batu sandungan yang teramat besar. Mengait kaki Jimin untuk tersandung dan terguling semakin jauh dari kata harapan.

        Jimin tidak menyangka, bahwa lautan yang ia damba atas keindahannya kini menumbuhkan kebencian di hati Jimin. Lautan yang membuat Jimin dengki pada sifat kebebasan bahar biru, seolah mendukung untuk membawa Jimin berlayar jauh dari tempat tinggalnya.

        "Ibu ... Apakah Jimin ... A-apakah Jimin harus menyerah?" Genangan air mata memupuk, dan Jimin memejamkan kelopak matanya erat-erat. Mengingat ibunya membuat sesak menjadi dua kali lipat.

        Sumpah yang diucapkannya perlahan merantai di dinding hatinya. Sumpah yang menjadi beban moral seumur hidup akan terus menuntut Jimin untuk dipenuhi. Ia sudah mengucap sumpah, dan sebuah sumpah bukanlah permainan yang bisa diputar ulang dan dimulai dari awal.

        Sumpah adalah kalimat sakral lebih tinggi dari kata 'janji'', memuat kesungguhan hati yang disaksikan Tuhan di atas langit.

        "Ayah, maafkan Jimin ...." Tangannya meremat ujung kain bajunya, ia menggigit bawah bibir untuk menahan linangan air mata. "Ka-karena Jimin, tidak akan ke-kembali." Suaranya melirih, berharap bisikannya tersampaikan untuk sang ayahanda. "Ma-maaf ... hiks ... Maafkan Jimin karena tidak mengucapkan selamat ti-tinggal dengan benar."

        Sudah. Detik ini, Jimin memutuskan untuk menyerah. Ia akan membiarkan dirinya dibawa kemana pun bersama kapal Hawkins Jack.

        Ia tidak sanggup jika harus melihat nyawa-nyawa dikorbankan dengan begitu mudah. Ia tidak mau ada penderitaan lagi dari orang-orang terdekatnya. Prajurit-prajurit Britania, Oscar, dan Taehyung sudah menunjukkan akibat dari sebuah harapan untuk terbebas.

        Jimin tidak mau berharap lagi, karena satu harapan akan ada napas kehidupan yang dipaksa untuk berhenti.

        Kelopak mata mengedip-ngedip cepat, menelan kembali air mata supaya tidak membasahi pipi. Jemari Jimin menghapus dua linangan yang sempat mengalir di pipinya. Ia menarik napas sebanyak-banyaknya, napas yang tidak bisa menyudahi kesesakkan paru-parunya.

        "Aku harus melihat keadaan Taehyung." Ucapnya pada diri sendiri. Kemudian tubuhnya berbalik, mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kabin. Ia tidak sadar bahwa kabin sedari tadi sangat sunyi. Bahkan angin laut bisa terdengar jelas semilirnya.

        Mata Jimin bergerak ke kanan dan ke kiri, mengerjap bingung. "Dimana dia?" Mencari-cari keberadaan pemilik kabin. Pintu tertutup dan Jimin memerlukan kunci untuk bisa membukanya.

        Atau ... jangan bilang Jungkook menguncinya di dalam kabin dan tidak mengizinkannya pergi?

        "Ta-tapi, dia sudah berjanji ...." Kening Jimin mengernyit, ia menjadi takut jika Jungkook hanya mempermainkannya. Apa Jungkook lagi-lagi memberikannya harapan palsu?

        "Ti-tidak, tidak mungkin." Jimin menggeleng, Jungkook memang terkadang suka menjebak melalui kalimatnya, tetapi dia tidak pernah berbohong perihal apa yang sudah dikatakannya. Yah, meskipun semua kalimatnya berkonotasi menakutkan.

        Jimin berjalan cepat mendekati pintu kabin setelah tidak merasakan kehadiran afeksi lain. Sudah dipastikan bahwa Jungkook meninggalkannya seorang diri. Jimin mengamati kenop pintu, berpikir panjang apa yang akan terjadi jika ia menekan kenop pintu. Entah pintu memang terkunci atau tidak.

        Akan tetapi, bukan itu yang menjadi masalah. Pokok pergulatan batinnya adalah, apakah jika pintu terbuka dan Jimin keluar dari kabin tidak akan terjadi sesuatu? Maksudnya apakah Jungkook memang mengizinkannya untuk keluar dari kabin?

        Tunggu. Tunggu dulu ... Mengapa ia seperti seorang istri yang perlu izin suami untuk bisa keluar? Mengapa ia berpikr keras mengenai izin Jungkook? Toh jika memang pintu terbuka, itu artinya Jungkook mempersilahkannya untuk keluar ... Lalu kenapa ia merasa harus mendengarkan kalimat persetujuan langsung dari mulut Jungkook?

       "Ugh! Masa bodoh! Aku tidak perduli!" Jimin menggeleng cepat-cepat, merutuk pada isi kepalanya yang melantur.

Cklek!

        Dan ternyata pintu memang tidak terkunci. Menimbulkan keterkejutan ganda di benak si Manis. Jadi ... Jungkook memang tidak berbohong untuk mengizinkannya bertemu dengan Taehyung.

        Tak mau berlama-lama memikirkan laki-laki kejam berstatus kapten bajak laut, Jimin segera membuka lebar pintu kabin. Kulitnya merinding menerima sapuan angin laut serta merta. Tak hanya benda hawa biru, Jimin juga menerima tatapan menelisik dari awak kapal yang sedang berada di atas geladak.

        Mereka berkedip bingung dan juga heran melihat pemuda yang menangis histeris tempo hari muncul dari ambang pintu kabin kapten tanpa pemilik kabin. Jika itu yang tengah dirasakan para awak kapal, maka berbeda dengan apa yang dirasakan Jimin. Ia malah berpikir awak kapal melihatnya dengan tatapan mengolok dan ketidaksukaan.

        Padahal itu memang wajah mereka yang tercetak keras karena hidup seperti melawan batu karang setiap harinya. Mungkin kernyitan dahi mereka sangat tidak ramah bagi Jimin yang tidak biasa menerima sikap kasar selama kehidupan darah birunya. Jadilah tatapan-tatapan itu seperti menghakimi dan membuatnya mengingat kejadian kemarin.

        Kejadian saat para awak kapal bersorak-sorai untuk melemparkan Oscar dan Taehyung ke tengah laut, dan juga kejadian menyakitkan bagi Jimin saat dipaksa mengucap sumpah. Setiap pasang mata, yang  berjumlah ratusan, menjadi saksi bahwa Jimin telah mengikat janji dengan iblis lautan.

       "Jimin!! Jimin!!" Tiba-tiba dari kejauhan terdengar panggilan dari suara familiar. Sangat dikenal baik karena nada yang tersirat begitu lugu dan riang.

        Jimin menoleh ke sumber suara dan kedua alisnya langsung terangkat ketika mendapati siapa gerangan yang berlari dengan menimbulkan guncangan kecil di atas geladak kapal. "Ogra?" Dan seekor burung bertengker di pundaknya.

        "Jimin! Jimin!! Ogra merindukan, Jimin!!" Ogra menghentikan laju kakinya. Ia menarik tangan Jimin dan membungkusnya ke dalam dua tangan besarnya. "Jimin, Jimin ... kapten tidak membolehkan Ogra menemui Jimin ... Ogra, Ogra takut, Jimin marah kepada Ogra ...." Sepasang alisnya melengkung ke bawah dengan bibir yang juga melengkung.

        "Ke-kenapa aku harus marah?" Jimin menjadi bingung, karena ia baru saja bertemu dengan Ogra hari ini, jadi kenapa ia akan marah kepada pemuda bertubuh raksasa itu?

        Ogra menunduk dalam, ia menghindari mata Jimin. Takut jika sewaktu-waktu sapphire biru memelototinya seperti tempo hari. "Eeermmmm .... i-itu ... itu ...." Kedua tangannya melepaskan tangan Jimin, berganti saling mempertemukan ujung jari telunjuk kanan dan kirinya. Menusuk-nusuk satu sama lain sambil melirik-lirik takut kepada Jimin.

        "Ke-kemarin ... Ogra ha-harus ... eeerm ... me-membantu kapten dan teman-teman Ogra ..." Bibirnya mencebik sedih. "Ja-jadi ... Ogra, Ogra me-membantu mengalahkan teman-teman Jimin."

        Aaah ... sekarang Jimin paham. Ogra meminta maaf karena telah berpartisipasi dalam aksi pelenyapan prajurit-prajurit Britania lusa lalu.

        "Ji-jimin ... jangan memarahi Ogra, ya?" Bibirnya memohon, tetapi matanya tidak berani menatap.

        Sedangkan yang diminta terdiam mengunci bibir. Sapphire biru menyendu setelah mendengar pengakuan kejahatan, tetapi dengan sirat keluguan. Bola mata bulat besar memancar polos, melirik takut-takut kepadanya. Ogra seperti bocah kecil yang ketahuan menumpahkan segelas susu, tidak sengaja, tetapi menangis paling keras.

        "Ogra-"

        "Huaaaa ... ma-maafkan Ogra, Jimin ...." Tiba-tiba tangis Ogra pecah tanpa peringatan. "Ji-jimin boleh me-memarahi Ogra ... ta-tapi, jangan jauhi Ogra ... Huaaaa ... Jimin te-teman Ogra ...."

       Jika seperti ini apakah Jimin harus memaafkan atau harus melontarkan amarah?

        Ogra jelas-jelas mengakui kesalahannya yang telah turut andil dalam penenggelaman kapal-kapal Britania. Meskipun Ogra memiliki sifat istimewa, tetapi ia masih pria dewasa bertubuh gempal yang sanggup melemparkan lima orang sekaligus. Membayangkan Ogra bisa berubah menjadi mengerikan membuat Jimin diketuk rasa sedih.

        Ogra menangis layaknya anak kecil tanpa dosa, tetapi itu tidak menghapus kenyataan bahwa Ogra telah membantu melenyapkan banyak nyawa. Dan nyawa yang direnggut adalah nyawa dari orang-orang berkebangsaan sama dengan Jimin. Orang-orang yang datang dengan maksud baik untuk menyelamatkan Jimin.

        Jadi sekarang katakan, apa yang harus Jimin putuskan? Memaafkan perbuatan Ogra atau berpaling dan membangun tembok kokoh dan menjauhi Ogra?

        Apa yang harus Jimin lakukan? Memaki Ogra atau melupakan apa yang terjadi?

        Katakan ....

        Karena Jimin tidak tahu harus berbuat apa ....

        Hatinya dihujam sekali lagi. Perih karena orang yang paling tidak ingin Jimin ketahui terlibat dalam peperangan tempo hari, justru meraung keras dengan meminta pengampunan.

        "Aku tidak tahu, Ogra." Jimin memalingkan wajahnya. Suaranya lirih sarat akan kesedihan. "Aku tidak tahu ...."

        Kalimat Jimin menyentak lawan bicaranya. Mata bulat besar membelalak karena Jimin tidak memarahinya. Bukan, bukan karena Ogra senang tidak dimarahi, tetapi Ogra malah sedih Jimin membalasnya dengan kesenduan. Jika bisa memilih, lebih baik Ogra dimarahi ketimbang didiamkan seperti ini.

        "Jimin ...."

        "Berikan aku waktu." Jimin menghela berat. "Biarkan aku berpikir untuk sementara waktu."

        "Jimin-"

        "Untuk sementara waktu, aku mohon jangan dekati aku." Sekelebat air mata memenuhi netra biru. Sisi dalam dirinya berteriak tidak bermaksud mengatakannya, tetapi sisi lainnya juga membutuhkan ruang pribadi untuk berpikir.

        Bahu Ogra merosot, wajahnya menunduk dalam. "Jimin ... tidak mau berteman dengan Ogra lagi, ya?" Cicitnya.

        Kelopak mata Jimin terpejam, Ogra memang istimewa. Ia tidak dapat menangkap maksud orang dewasa secara gamblang. "Aku tidak ingin menyakitimu. Jadi aku minta agar kau menjauhiku." Karena Jimin takut amarah dan kekecewaan akan menyakiti hati yang lain.

        Setelahnya, menit berlalu tanpa jawaban atau sanggahan dari Ogra. Pemuda gempal itu terus menunduk. Mungkinkah ia menangkap maksud dari kalimat Jimin?

        Jimin pun memutuskan untuk menyudahi perbincangan yang tidak jelas ujungnya itu. Ia kembali melangkah untuk segera mencapai tujuan, yaitu kabin Yoongi. Ketika langkah Jimin tepat bersebelahan dengan Ogra, tangan besar Ogra terentang tiba-tiba. Memblokir jalan Jimin,

        Jimin tercenung beberapa saat, sampai ia menengadah ke samping untuk menatap Ogra. Anehnya Ogra masih menundukkan kepala, hanya saja tangannya terentang untuk mempersilahkan burung macaw di pundaknya berjalan menyusuri lengannya. Berjalan perlahan untuk berpindah tenggeran pada pundak si Manis Oswald.

        "Di-dia merindukan Jimin, juga." Tangan Ogra bergerak turun setelah macaw merah nyaman di bahu sempit Jimin. "Ogra ... Ogra ... pergi, ya Jimin ... " Lalu ia meninggalkan Jimin dengan kepala yang masih menunduk sedih.

        Dan Jimin tidak berniat untuk mencegah. Ia termenung di tempatnya berdiri. Merasakan paruh bengkok mematuk lembut helai rambutnya. Itu adalah macaw merah yang ia selamatkan dan menyusulnya sampai di atas kapal Hawkins Jack. Jemari Jimin terangkat, memberiksan elusan pada kepala macaw.

        "Ternyata kau masih berada di sini." Jari telunjuk yang mengusak bulu merah dipatuk pelan. Sepertinya Macaw merah itu tengah menunjukkan rasa sayangnya kepada Jimin. "Aku akan menjagamu mulai sekarang."

Kwak! Kwak!

        Macaw itu berkicau nyaring, selayaknya memahami kalimat Jimin dan senang karena menemukan rumah baru.

        Jimin kembali merajut langkah, mengabaikan tatapan heran dari para awak kapal. Pasti mereka sudah menyaksikan apa yang terjadi di antara Ogra dan Jimin.

        Tak terkecuali kapten mereka yang sedang berdiri di balik kemudi. Menatap semua pancaran sedih dari pemilik sapphire biru.

🔅🔅🔅🔅🔅🔅🔅

        "Ji-jimin ...Jimin ...."

        Yoongi menghentikan jarinya yang sedang menulis pada sebuah kertas. Matanya terangkat pada onggokan di atas kasurnya. Seorang pemuda yang sudah ia berikan penanganan medis semalam, bergerak acak di bawah selimut. Keningnya berkerut dengan beberapa titik-titik keringat bersarang di dahi.

        "Jimin ...."

        Yoongi tahu, bahwa pasien tak diundangnya tengah mengigaukan nama tahanan manis milik sang kapten Hakwins Jack.

        Yoongi meletakkan pena quillnya di samping kertas. Mengabaikan sejenak deretan kata yang hendak ia tuangkan di atas lembar putih. Ia sedang membuat catatan medis beberapa awak kapal dan juga mendata keperluan obat-obatan yang perlu di dapatkan saat berlabuh pada daratan.

        Tubuhnya bangkit dari kursi, bergerak sesuai insting seorang dokter sebagaimana mestinya. Pasiennya sepertinya menunjukkan suatu repson dan ia harus mengetahui perkembangan yang terjadi. Kakinya melangkah ke samping ranjang, tepat di sebelah Taehyung yang terbaring.

        Ranjang besar yang cukup menampung dua orang total diinvasi Taehyung. Sebenarnya tidak semua wilayah, tetapi hanya satu sisi, sedangkan sisi lainya ....

        Kosong. Bahkan tidak ada kerut yang tercipta.

        Semalam Yoongi tidur di sofa kabinnya, bergelut dengan sempitnya kursi dan kapuk yang tidak seempuk ranjang. Alhasil, Yoongi sedikit menggerutu sejak pagi. Ia tidak mendapatkan tidur yang cukup karena tempat tidurnya yang tidak nyaman, juga ... karena Taehyung sejak semalam meracau dalam tidurnya.

         Suhu tubuh Taehyung meningkat, dan Yoongi harus mengorbankan jam tidurnya agar kenaikan suhu tubuh Taehyung tidak melebihi batas hingga menyebabkan efek lain, seperti kejang. Semalam suntuk Yoongi terjaga sampai terkantuk-kantuk beberapa kali. Kantung matanya menghitam tipis dan kepalanya sedikit berdenyut.

        "Jimin ...."

        Lagi. Taehyung memanggil nama sang sahabat. Tidak tahu skenario apa yang tengah bermain di dalam mimpi Taehyung sampai ia mengigau gelisah memanggil Jimin.

        Yoongi meletakkan tangannya di kening Taehyung, berdiam sejenak untuk mengukur suhu yang tercetak. Masih terasa hangat, te tapi setidaknya tidak separah malam lalu. Jarinya turun menuju kelopak mata Taehyung, membukanya perlahan untuk mengintip respon pupil mata.

        Helaaan napas Yoongi lakukan, apakah pasiennya ini akan memburuk jika sedang merindukan seseorang? Karena sepertinya Taehyung tidak mau berusaha untuk pulih. Seharusnya pasca bedah kecil yang dilakukan Yoongi dan pemberian obat yang dilakukannya, Taehyung sudah bisa tersadar saat ini. Tetapi, sepertinya pemuda aristocrat itu segan membuka mata.

        "Kenapa kau tidak mau membuka matamu?" Yoongi berujar lirih, lebih tepatnya untuk dirinya sendiri. Seraya memutar akal, usaha apa yang harus ia lakukan setelah ini. Diam dan menunggu tidak akan menyelesaikan apa pun.

        Mata Yoongi bergulir ke seluruh kulit Taehyung, meneliti luka-luka yang berhasil ia jahit. Benang masih tertutup rapat dan tidak ada cairan infeksi yang keluar. Yah, setidaknya tidak akan menambah pekerjaan rumah bagi Yoongi. Lalu ia beranjak dari posisi, berniat menyiapkan racikan obat lainnya.

Grab!

        Namun langkahnya terhenti oleh sebuah geratan lemah di pergelangan tangan. Menjengitkan pundak Yoongi pada telapak yang hangat oleh demam. Yoongi menoleh, menunduk pada pelaku yang mencegah lajunya.

        Dan ketika mata Yoongi menatap, ia tertegun dengan mata hijau emerald yang membalasnya sayu. Emerald sayu  dengan binar hijau suramnya. Taehyung membuka matanya menelisik Yoongi dalam pandangan kabur. Manik hijau menghipnotis Yoongi untuk berhenti melakukan apa yang sudah tersusun di dalam kepalanya.

        Menyihir agar Yoongi tidak berpaling ...

        "Jimin ...."

        Celah bibir menghembuskan nama pemuda lain.

        Dan itu telak menyadarkan Yoongi pada sebuah kenyataan. Satu fakta yang menyebutkan bahwa Taehyung mengira dirinya adalah pemuda manis lainnya.

        Tangan Yoongi segera menggeliat, rasanya aneh digenggam seperti itu. "Haisshh! Kau ini kuat juga, ya!" Ia menarik-narik tangannya. Untuk ukuran orang yang setengah sadar, Taehyung tergolong kuat.

        Akan tetapi, sebanyak apa pun Yoongi meronta, Taehyung tidak melepaskannya.

         "Huft ...." Akhirnya Yoongi memutuskan menyerah, wajahnya menjadi datar dan berpindah menatap Taehyung kembali. "Apa yang kau butuhkan? Dan tolong lepaskan ini." Yoongi mengangkat sedikit tangannya, bermaksud menunjukkan tangannya yang masih dilingkari jemari Taehyung.

        Permintaan Yoongi tidak digubris. Taehyung malah terdiam memandang Yoongi lekat-lekat.

        "Aku sibuk, jadi cepat katakan apa yang kau butuhkan?" Yoongi berkata malas. "Aku akan membuat obatmu-"

Sruk!

        Tubuh Yoongi mendadak limbung. Terhuyung dan terjerembab menuju kasur. Menimpa tubuh besar pemuda bangsawan lainnya dengan suara debam yang nyaring. Baru saja, Taehyung menarik tangan Yoongi tanpa peringatan. Menarik keras hingga tubuh sang dokter kapal tidak memiliki persiapan untuk melawan.

        Tak sampai di situ, lengan Taehyung melingkar lancang di tubuh kecil Yoongi. "Jimin? Ka-kau baik-baik saja?"

        Mata Yoongi membelalak dua kali lipat. Taehyung benar-benar mengira dirinya adalah Jimin. "H-hey?! Apa yang kau lakukan?!" Ia menggeliat di antara lengan Taehyung, sedikit membatasi gerakannya karena ia tidak mau menyenggol jahitan luka di tubuh Taehyung. "Haishh!! Kau sudah gila, ya?!"

        Rengkuhan Taehyung mengerat. Ia memeluk Yoongi hingga target salah sasaran sesak dibuatnya. "Jimin, me-mereka tidak melukaimu, kan?

        "Aku bukan Jimin!!" Yoongi berteriak keras, tepat di depan wajah Taehyung. Kedua tangannya merayap ke masing-masing sisi tubuh Taehyung, menapak di atas permukaan kasur lalu mendorong tubuhnya agar terangkat.

        "Ck! Berhenti mengigau dan singkirkan tanganmu!!" Tubuh Yoongi sudah terangkat, lengannya menegap lurus dan menekan kasurnya, terlihat seperti mengukung Taehyung di tengah lengan.

        "Jimin ...."

        Yoongi memejamkan matanya, membuang napasnya dengan kasar. Tangan Taehyung tidak bepindah dari pinggangnya. "Sudah kubilang aku bukan-"

Cklek!

        Pintu kabin terbuka, dan satu presensi muncul di ambang pintu. Satu sosok sebenarnya yang dicari Taehyung. Sapphire biru spontan membola melihat pemandangan mengejutkan di atas kasur.

        "Yo-yoongi?"

        "U-ugh?! Jimin?!!" Yoongi berubah panik, dua kali lipat panik. Ia langsung menyentak lengan Taehyung dan memindahkannya jauh-jauh dari tubuhnya. Yoongi melompat dari kasur sambil menudingkan telunjuk ke arah Taehyung. "Dia sudah gila! Serius aku tidak melakukan apa pun!"

        Jimin yang tiba-tiba menerima sebuah pembelaan mengerjap bingung. Baru saja ia melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan bisa terjadi begitu saja. Saking terkejutnya, Jimin tidak berani memasuki kabin Yoongi lebih jauh.

        "Di-dia sedang setengah sadar, bahkan mengira diriku adalah orang lain." Yoongi menurunkan tudingannya dari Taehyung, lalu cepat-cepat memberikan sebuah pembelaan agar nama baiknya tidak tercoreng oleh sebuah kesalah pahaman.

        Usai mendengar penuturan Yoongi, pandangan Jimin berpindah ke arah Taehyung. Jimin mengangguk mengerti dan menerima alasan Yoongi dengan mudah. "A-apa Taehyung sudah sadar?"

        Yoongi menghembuskan napas kedongkolan hatinya. "Ya. Cukup sadar untuk menjadi tidak waras." Nadanya ketus seperti biasa. Sedikit memicing pada tubuh yang tergolek di atas kasurnya.

        "Maafkan Taehyung, Yoongi. Dia memang akan mengigau saat demam." Jimin memberanikan diri memasuki kabin. Memberikan keterangan tambahan mengenai kebiasaan Taehyung sedari kecil. Jimin teramat hafal bagaimana sahabat seperpopokannya itu saat sedang sakit. Taehyung akan meracau tidak jelas dan melakukan hal-hal yang tidak jelas juga.

        "Hmm." Sahut Yoongi singkat. Sepertinya dia masih kesal. Ia mendecak lidah lalu berlalu dari sisi tempat tidur.

        Jimin  menarik sebuah kursi, lalu menggesernya tepat di samping Taehyung. Ia segera duduk, lantas mengamati kondisi Taehyung. "Yoongi, bagaimana dengan keadaan Taehyung?"

        Pertanyaan Jimin tidak langsung dijawab. Pemuda dengan gelar dokter kapal berjalan menuju meja kerjanya kembali, menghempaskan bokongnya ke kursi dan membereskan kertas-kertas arsip catatan medisnya. "Dia masih demam, tapi tidak separah kemarin." Jawabnya.

        Jimin berganti fokus pada Yoongi sepenuhnya, tangan kirinya mengusap surai cokelat auburn milik Taehyung. "Apa ada yang bisa aku lakukan?"

        Gerakan tangan Yoongi terhenti, kelereng matanya menerawang jauh. "Uuhmm ... Mungkin kau bisa membersihkan tubuhnya dengan air hangat." Pundaknya terangkat acuh, lalu kembali menyimpan lembar-lembar kertas catatannya. Ia sudah tidak berminat melanjutkan pekerjaannya.

        Kaki Yoongi melangkah menuju salah satu ruang di dalam kabinnya, di antara kedua lengannya terdapat kotak berisi kertas-kertas arsip obat-obatan. Ia akan menyimpannya sampai mendapatkan niat melanjutkan catatannya kembali.

      Sebelum masuk ke dalam ruangan lebih jauh, Yoongi melongok dari ambang pintu untuk melanjutkan kalimatnya. "Kau bisa meminta Seokjin untuk memasak air hangat. Aku akan membuat obat yang baru."

        Kepala Jimin mengangguk mengerti. Ia memberikan usapan terakhir di surai Taehyung, lantas segera bangkit berdiri dari kursi dan menyusul Yoongi menuju ruangan kabin.

        "Eh? Eh?! Apa yang kau lakukan di sini?!" Yoongi mendelik kaget. Pasalnya ruangan yang ia pijaki adalah salah satu ruangan rahasia miliknya. Kebetulan saja ia sedang membukanya di hadapan Jimin. Disebut rahasia karena terdapat dokumen-dokumen penting mengenai catatan kesehatan awak kapal.

        Jimin menghiraukan protesan Yoongi, ia langsung menggapai kedua tangan putih milik dokter kapal. "Terimakasih, Yoongi." Ucapnya tanpa ragu. Kedua sapphirenya menatap penuh binar pada Yoongi. "Terimakasih, karena sudah menyelamatkan Taehyung." Benar-benar merasa bersyukur Yoongi ingin menolongnya dan Taehyung.

        Yoongi termangu seketika, tidak menduga akan mendapat ucapan terimakasih yang sangat tulus. Selama hidup di kapal, tidak ada yang memberikannya ucapan setulus Jimin. Mungkin awak-awak kapal akan tetap mengucapkan terimakasih kepadanya, tetapi cara berterimakasih mereka sangat khas mencerminkan bajak laut.

        Seperti menepuk punggung Yoongi keras-keras, ataupun membuat candaan garing untuk menghibur Yoongi.

        Hmmmm -__________-

        Yoongi terbatuk canggung. Bibirnya terbuka dan menutup, bingung ingin menanggapi seperti apa. Jimin menatap layaknya ia seorang penyelamat dari kebatilan. "Hmmmm." Jadilah yang terhasil adalah dehaman panjang. "I-itu memang pekerjaan seorang dokter."

        Jimin masih memasang senyuman tulusnya dan itu membuat Yoongi jadi salah tingkah. "Su-sudah sana! Taehyung akan mengigau lagi jika kau tidak berada di sampingnya."

        Kepala Jimin mengangguk cepat-cepat. Ia langsung keluar dari ruangan arsip milik Yoongi, lantas bergegas menuju galley. Jimin akan meminta sebaskom air panas untuk membersihkan tubuh Taehyung.

🔅🔅🔅🔅🔅🔅🔅

        "Holly Briney deep!!" Yoongi memekik kaget setelah membuka pintu. Ia tergemap melihat kapten kapalnya berdiri tepat di seberang pintu dengan air muka datar. "Dang it, Caspian! Apa kau tidak ingin mencoba menjadi siluman lautan saja?!" Karena kaptennya itu sering kali muncul tanpa diundang.

         "Dia ada di dalam?" Tembak Jungkook tanpa basa-basi, ia mengabaikan Yoongi yang masih meredakan keterkejutan.

        Sekarang air muka Yoongi yang menjadi datar. Sudah mulai paham kemana arah pertanyaan Jungkook. Pasti tidak jauh dari perihal Jimin.

        "Iya, Jimin ada di dalam."

        Kata terakhir yang terucap langsung melecutkan langkah Jungkook, ia bergerak hendak menerobos pintu kabin di belakang punggung Yoongi. Namun saat kakinya akan melewati tubuh Yoongi, satu tangan sang dokter kapal mencekalnya terlebih dahulu.

        "Tidak, Jungkook." Yoongi mematri netra emas Jungkook. "Biarkan Jimin bersama dengan orang terdekatnya. Jangan menekannya lebih jauh lagi." Kalimat Yoongi terkesan memperingatkan kapten kapal. Menghalangi apa pun itu yang hendak dilakukan Jungkook.

        "Aku memiliki urusan dengannya." Jungkook menarik lengannya dari genggaman Yoongi. Menjejak sekali lagi untuk memasuki kabin.

        Yoongi bergeser, kini tubuhnya tepat menghadang tubuh menjulang Jungkook. "Urusanmu bisa menunggu. Biarkan Jimin bernapas sejenak."

        Alis Jungkook langsung menukik tidak suka, Yoongi berusaha mencegahnya menemui Jimin. Dan Jungkook paling tidak suka jika ada awak kapalnya yang membantah. Tetapi, berhubung Yoongi adalah salah satu orang yang dihormatinya, maka ia memilih tidak berkomentar dan mencoba menerobos kembali.

        "Dia akan semakin membencimu, jika kau seperti ini." Yoongi berujar cepat, dan sukses menghentikan niat Jungkook seutuhnya.

        Mendengar kata 'membenci' yang berujuk dari Jimin seketika menggelapkan pikiran Jungkook. Ia memang tidak suka jika Jimin menjulukinya 'jahat' atau sampai berkata 'membencinya'. Karena mendengar dari labium ranum dengan esahan lugu bisa telak mencubit hatinya.

        Ketika Jimin mengatakannya dengan linangan air mata, itu seperti mengingatkan Jungkook pada masa kecilnya yang mengutuk dunia atas perpisahan menyakitkan antara dirinya dan ibunya. Betapa hati kanak-kanaknya merasa dunia tidak adil yang tega melimpahkan semua kemalangan. Jungkook sering berkata bahwa dunia itu jahat, dan ia membenci pada sang Pencipta.

         Jungkook tahu seberapa dalam makna kata 'benci', maka ia selalu sangsi jika Jimin berkata bahwa ia membenci Jungkook.

        Pintu kabin terbuka sedikit karena Yoongi belum menutupnya sempurna setelah dikejutkan Jungkook. Menciptakan celah kecil untuk mempertontonkan apa yang sedang terjadi di dalam kabin. Dan sepertinya apa yang terjadi menyulut kobaran api lainnya.

        Jimin sedang membersihkan tubuh Taehyung. Tidak seluruhnya, hanya beberapa bagian yang dipenuhi darah kering. Jemari lentik mencelupkan kain linen ke dalam baskom air hangat, memeras, kemudian kembali mengusap. Tangan Jimin mengusap lembut lengan Taehyung, menyibak kain baju hati-hati, dan mengusap seperti buaian.

        Setiap jengkal kulit tidak terlewatkan. Bahkan Jimin memberikan perhatian khusus untuk membersihkan wajah Taehyung dari bekas-bekas keringat. Ia menyugar helai rambut Taehyung, menyisir rapi dengan usakan lembut agar Taehyung merasa nyaman.

        Dan itu semua membuat sebuah rahang mengeras dan decakan kesal terhasil seiring tajamnya jelaga emas. Seakan menabuh genderang perang lainnya.

        Namun hal yang mungkin di prasangka buruk tidak terjadi, Jungkook membuang napasnya kasar lalu membalik tubuhnya. Pergi menuju wilayah kapal lainnya untuk melampiaskan kemarahannya.

        "Ck, ck, ck ... Dia akan belajar memahaminya sendiri." Yoongi menggeleng-geleng. Mungkin sedikit mengolok Jungkook dengan kata 'bodoh', karena tidak bisa mengenali apa yang dirasakan hatinya sendiri.

🔅🔅🔅🔅🔅🔅🔅

        Ruang terbuka dengan bentuk persegi empat yang berukuran tujuh kali tujuh meter, digunakan sebagai tempat pertemuan penting. Jajaran pemegang rute kapal berdiri melingkari meja berbentuk oval. Ditemani cahaya dari lentera lilin, mereka menatap intens pada lembaran besar di atas meja.

        Langit menggelap, tetapi tidak dengan tajamnya pemikiran mereka. Memutar-mutar isi kepala untuk terus mengeluarkan argumentasi. Diskusi sudah berjalan selama dua jam, tetapi kesimpulan selalu tersendat ketika mencapai klimaksnya.

        Sementara lembaran besar dengan ukuran satu kali satu meter teronggok sedari tadi menunggu keputusan. Lembaran yang berisi gambar peta dunia berserta pola rute yang sudah dilewati tiga kapal Hawkins Jack.

        Lora mengambil pena quill hitamnya, lalu menunjuk satu titik yang berada di perairan Atlantik. "Here." Telunjuknya menuding. "We can use this route" Sambungnya.

        Kapten kapal beserta empat orang lainnya mendengarkan seksama, mengikuti alur gerakan jari Lora yang menunjuk setiap titik-titik potensial. Titik yang akan digunakan sebagai rute baru pelayaran kapal.

        Iya, mereka memang sedang membuat rute baru, karena sepertinya rute lama tidak bisa digunakan.

        Ada beberapa alasan mereka mengubah rute ....

        Yang pertama karena kapal kedua 'Rackham' sedang dalam kondisi kurang maksimal. Rackham harus segera dilabuhkan pada daratan untuk diperbaiki ulang. Kedua, jejak mereka sepertinya sudah terendus kapal-kapal angkatan laut Britania. Pertempuran tempo hari pasti menimbulkan keributan pada kementrian Britania. Dan yang ketiga, mereka harus mempersingkat waktu agar segera sampai pada perairan Karibia. Karena banyak urusan yang harus diselesaikan di sana.

        "Tapi, ini rute paling berbahaya." Namjoon menimpali dari sisi meja kiri. Lengannya bertengger di pinggang Seokjin.

        Ah ya! Mengapa Seokjin bisa mengikuti diskusi penting ini? Karena selain bertugas menjadi koki kapal, Seokjin juga bertugas menentukan arah pada peta-peta yang digambar Lora. Singkatnya Lora dan Seokjin adalah patner dalam menyusun peta-peta dunia untuk pelayaran Hawkins Jack.

        Hoseok mengangguk setuju. Wajahnya pucat pasih setelah mendengar Lora menunjuk rute yang berbahaya. "Kau tahu mitos tentang kraken dan Leviathan di sana? Bagaimana jika mereka muncul dan memangsa kita? Hiiii~" Ia merinding membayangkannya. Maklum saja Hoseok adalah pencinta cerita mitos dan hantu lautan, tetapi dia akan lari terbirit-birit jika bertemu satu dari mereka.

        Decakan keras tercetak dari sisi kanan meja. Pelakunya adalah Yoongi, ia memutar kedua bola matanya jengah. "Itu hanya mitos, bodoh!"

        "Yoongi, aku serius! Awas ya, kalau kau dimakan kraken, aku akan senang hati membuat cerita legenda kalau 'dokter kapal dimakan gurita raksasa.'!" Tutur Hoseok dengan mengangkat kedua tangan yang membentuk gestur tanda petik.

        Yoongi melengos dan mencibir dalam diam. Tidak mau berperang lidah dengan Hoseok lagi, karena pasti dia akan berakhir dengan ketakutan saat Hoseok mengganggunya dengan cerita-ceita hantu lautan. Itu benar, meskipun Yoongi keliatan ketus dan garang, jika ia disuguhi cerita urband legend, pasti Yoongi akan terjaga semalaman karena terngiang-ngiang.

        "Tapi, ini tetap rute yang berbahaya" Namjoon melanjutkan sanggahannya sebelum terpotong oleh Hoseok. "Mungkin kita akan sering menemui badai cumulonimbus ataupun pusaran air yang lebih mengerikan."

        "Ataupun lubang hitam yang siap menyerap kapal kita ke palung dasar lautan, Capt." Seokjin menyambung pendapat kekasihnya. Tentu ia tahu seluk beluk setiap titik lautan, karena ia sendiri yang menggambar peta-peta itu. Dengan menggali informasi dari beberapa sumber buku dan juga keterangan para pelaut-pelaut yang berpengalaman.

        Sang kapten menyunggingkan senyum khas arogannya. "Kata Bahaya sudah menjadi nama tengah kita." Ia menatap satu persatu awak kapalnya. "So don't be such a crybaby."

        "Ugh! C'mon, Capt! Jangan bertingkah menjadi seperti Poseidon lagi." Namjoon bersungut dari seberang, benar-benar sebal jika kapten kapal memilih rute yang berbahaya.

        Lora berdecak, ia menggigit-gigit dinding rongga mulutnya. Alisnya berkerut tanda sedang berpikir dalam. "Baiklah. Rackham juga tidak bisa berlayar pada rute normal ataupun rute ini." Telunjuknya kembali menuding pada lembar peta, kali ini titik yang baru. "Rute ini akan memotong waktu lima hari lebih cepat. Bagaimanapun kita harus segera berlabuh untuk memperbaiki Rackham."

        "Yah, kita juga harus menghilangkan jejak. Aku yakin akan ada semakin banyak angkatan laut yang memburu kita." Yoongi menambahkan pendapatnya.

        Namjoon menepuk kedua tangannya satu kali. "Alright! Aku setuju. Setidaknya rute ini lebih baik dari rute sebelumnya."

        "Jadi, bagaimana, Capt?" Hoseok beralih kepada Jungkook. Persetujuan final akan selalu berada di tangan kapten kapal.

        Jungkook mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja. Matanya menukik tajam pada titik-titik potensial di atas peta. Semua rute yang dipaparkan memiliki kelebihan dan kekurang masing-masing. Jadi ia perlu berpikir matang untuk memutuskan arah pelayaran.

        "Baik, kita pilih rute timur." Putusnya.

        "Fiuhhh~ Such a long discussion." Lora bersiul lega. Akhirnya pembahasan rumit sudah terselesaikan.

        Jungkook mengangguk kepada awak kapalnya. "Kita sudahi pertemuan ini. Kalian kembalilah ke kabin." Perintahnya agar mereka semua kembali ke kabin masing-masing.

        "Ayeaye, Capt!" Mereka membubarkan diri secepat kilat, sudah merindukan kasur empuk.

        Sebenarnya tidak semua, karena Jungkook masih berada di dalam ruangan bersama Lora yang sedang membereskan gulungan-gulangan peta. Jungkook menarik sebuah kursi, lalu mendudukan dirinya untuk bersendekap di sisi meja. Rautnya masih keras seperti ada beban pikiran lainnya yang mengganjal.

        Lora melirik sekilas, tangan-tangannya sibuk menggulung kertas. "Kau sedang ada masalah dengan bangsawan manismu itu, Capt?" Celetuknya asal. Tidak asal juga, karena Lora dan seluruh awak kapal tidak buta untuk melihat apa yang terjadi di antara Jungkook dan Jimin.

        Jungkook tidak menjawab, dan Lora juga tidak mempermasalahkannya. Sudah biasa dengan tabiat dingin seperti es kutub utara milik kaptennya. "Okey, I'm done. Goodnight, Capt!" Semua kertas berisi gambar peta dunia sudah tergulung rapi, jadi Lora segera berpamitan kepada Jungkook.

        "Lora." Tetapi, Jungkook tiba-tiba memanggil wanita itu dan mencegah untuk melanjutkan perjalanan.

        Ketika Lora membalik tubuhnya, ia disuguhi dengan kilatan di kedua manik emas Jungkook. Kilatan yang memilik satu arti ....

        "You free tonight?" Seloroh Jungkook tanpa pikir panjang.

        Lora ternanap, kedua alisnya terangkat heran. "Uuurm ... Tiba-tiba?" Karena sejujurnya ia juga bingung dengan pertanyaan kaptennya. Biasanya Jungkook akan bertanya seperti itu jika pria itu ingin ditemani menghabiskan malam hingga fajar menyingsing.

        "I'm stressed out." Jungkook menjawab dengan teramat jelas. Ia sedang penat dan membutuhkan hiburan. Mungkin ia akan melalui malam yang panas bersama Lora. Karena Jungkook adalah pria dewasa yang matang, maka ia juga membutuhkan pelampiasan.

        "Sure. Kabinku akan selalu terbuka." Lora memanggutkan kepalanya. Merasa tidak keberatan dengan permintaan kaptennya.

        "No. I don't want in your cabin." Jungkook melepas lipatan lengannya di dada, lantas berdiri dan melangkah mendekati Lora. "I want it here."

        Wanita di seberang terlonjak. Tidak biasanya kapten kapal meminta hal diluar kebiasaan. Jungkook akan selalu melakukan persenggamaan di dalam kabin. Jauh dari ruang terbuka dan jauh dari jangkauan banyak mata.

        "Uuuh ... public sex?! Okey ... Kedengarannya sangat seksi."

        Jungkook mengambil langkah lebar, hingga ia sudah berada di hadapan Lora hanya dalam lima detik. Tangan besarnya terangkat dan mendarat di leher jenjang Lora. Merambat ke belakang tengkuk dan tidak mau membuang-buang waktu. Jungkook merunduk untuk mengulum labium merah menggoda di depan mata.

Srak!

        Ketika dua jengkal akan terkikis, Jungkook tiba-tiba menghentikan gerakannya. Bukan karena ia merasa tidak bernafsu lagi.

        Akan tetapi, ada satu afeksi tak diundang yang datang di waktu yang salah.

        Jimin.

        Terpatung tak jauh dari ambang pintu, kedua tangannya memegang baskom bekas air hangat. Ia berniat mengembalikan wadah itu pada Galley, namun sayangnya matanya menyaksikan sesuatu yang tidak terduga.

        Alis Lora berkerut, karena ia tidak merasa bibir Jungkook menyentuh miliknya. Ia menatap mata Jungkook, dan manik emas itu tengah terfokus pada sesuatu di balik punggungnya. Maka, Lora berinisiatif menengok dan langsung terperanjat pada siapa sosok di balik sana.

        "Uuuuhmmm ... ups?! Aku akan pergi ...." Lora tergesa mengambil beberapa gulungan kertas yang sempat terjatuh dan langsung pergi meninggalkan Jungkook. Ia juga melewati Jimin yang masih membeku di tempat.

        "Selamat bersenang-senang, Capt!" Lora berkomentar sarkastik, menyindir Jungkook yang mungkin akan melalui pertikaian lebih rumit.

       Lalu hening ....

        Jungkook dan Jimin. Keduanya mengunci bibir masing-masing. Menatap satu sama lain dalam kesenyapan. Menit berlalu dan mereka masih saling membungkam. Entah mengapa ada perasaan canggung merambah di antara mereka. Pun jika dipikir-pikir itu adalah privasi Jungkook, dan memang seharusnya Jimin tidak melihatnya.

        Sampai pada akhirnya Jimin tersadar pada kenyataan, dan memutuskan kembali melangkah menuju Galley. Ruangan yang dilewatinya memang sangat dekat dengan dapur kapal, jadi ia tidak sengaja bisa memergoki Jungkook bersama Lora.

        Wadah bekas air diletakkan di samping tungku. Jimin beralih pada ember berisi air, ia membungkuk untuk mencuci tangannya. Matanya menatap kosong pada dinding, melamunkan suatu hal. Bayangan Jungkook yang hampir mencium Lora terbesit di pikirannya.

        "Ck! Kenapa aku harus memikirkannya?" Jimin menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran tidak jelas.

        Setelah merasa tangannya bersih, Jimin kembali menegap dan memutar tubuhnya.

        "Astaga?!" Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati Jungkook berada di balik meja pantry. Berdiri dengan tangan bersendekap seperti biasa. Matanya menohok lamat-lamat pada Jimin.

        "Kembali ke kabin." Perintah Jungkook dengan nada terlampau dingin.

        Jimin terperangah dengan sikap Jungkook. Seolah-olah Jimin telah melakukan sebuah kesalahan. Apakah karena ia menggagalkan kegiatan Jungkook bersama Lora, sehingga Jungkook bersikap dingin seperti ini? Maksudnya, Jungkook memang selalu bersikap dingin dan otoriter, tetapi kali ini seperti ada latar belakang kemarahan.

        "Tapi, aku harus menemani Taehyung." Jimin menjelaskan isi pikirannya. Tidak perduli pada sebab kemarahan Jungkook, ia harus berada di samping sahabatnya.

        "Aku tidak suka mengulang kalimatku."

        Lagi-lagi Jimin menyebut nama laki-laki lain. Semakin membakar api bagi Jungkook sejak kejadian siang tadi. Jimin sudah cukup lama, lebih dari cukup memanjakan si Taehyung-Taehyung itu, jadi sekarang saatnya membatasi kedekatan mereka.

        "Dia sedang demam-"

        "Dan apakah aku peduli?"

        Jimin terperangah dengan kalimat Jungkook. Saat ini ia sangat khawatir mengenai keselamatan Taehyung, dan Jungkook berkomentar tanpa mempedulikan perasaan Jimin.

        "Mungkin kau memang tidak peduli, tetapi aku sangat peduli dengan orang yang kusayangi. Seperti kau yang sangat peduli dengan awak kapalmu, begitu pula perasaanku." Jimin menohok Jungkook dengan deret kalimatnya. Mungkin karena ia sudah diterjang kesedihan bertubi sejak pagi, jadilah Jimin sangat sensitif.

        Mata Jimin digenangi selapis air mata. Ia benar-benar sensitif hari ini. Padahal jika Jungkook berkomentar pedas, Jimin selalu bisa membalasnya dengan sengit. "Aku mohon, agar kau bisa memahami perasaanku."

        Hati Jimin memanglah lembut, ia tidak terbiasa menerima perbuatan kasar. Meminta untuk seorang bajak laut agar memahami kesedihannya adalah hal yang mustahil.

        Jimin berjalan mendekati Jungkook. "A-aku meminta izin untuk tidak kembali ke kabin, aku ingin menemani Taehyung." Lalu ia nekat pergi begitu saja tanpa mendengarkan jawaban Jungkook.

        Menyisahkan kesunyian bagi Jungkook untuk merenung.

        Sejujurnya kedua hati tengah merasakan ada yang tidak beres. Senyar asing yang membuat gejolak emosi tidak menentu. Jungkook yang menyaksikan kedekatan Jimin dan Taehyung, serta Jimin yang mengira Jungkook memiliki suatu hubungan dengan Lora.

        Mereka kesal dan marah pada sesuatu yang memang seharusnya tidak mereka campuri.

        Menimbulkan suatu ketakutan pada apa yang mereka tolak ....

        Yaitu sebuah ikatan.

🔅 To be Continued 🔅

Glossary:
☆ Istilah yang sering digunakan oleh bajak laut:
Briney deep: nama lain atau slank dari Lautan.

Quill: Pena yang terbuat dari bulu burung (seperti angsa, Quail, merpati, gagak, dll). Penggunaannya dengan melubangi pangkal ujung bulu, lalu dicelupkan ke tinta.

Kraken: adalah makhluk monster laut dari mitos legenda yang menghuni perairan Atlantik. Kraken sering direpresentasikan dalam bentuk gurita raksasa yang sering menyerang kapal pelaut dengan tentakel-tentakelnya. Kraken dipercaya akan memakan kapal beserta awak kapalnya.

Leviathan: adalah makhluk mitologi lainnya yang dipercaya menghuni palung samudra. Leviathan sering direpresentasilan dalam bentuk paus, buaya, dan yang paling sering ular naga dengan ribuan gigi tajam.

---

Galley: sebutan dapur di dalam kapal (Pict on Previous Chapter - Chapter 3).

---

AN:

On the way to uwu? 🤔

Hmmm ... apa air mata lagi? 🤔

See youu at the next chapter 👋

💜💜💜💜💜💜💜

28 Mei 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

769K 66.9K 35
Rate: M Genre(s): Boyslove / Romance / Mpreg/ Angst with happy ending / Hurt / Comfort / Smut Warning(s): AU, Uterus transplantation, Nothing is tru...
HWIMANG By Na-

Fanfiction

20.5K 2.9K 28
Hanya drama tentang perjuangan, proses, fase belajar hidup, cinta dan pengakuan satu exsistensi bernama Hwimang sebagai penghubung Jung Hoseok dan ke...
337K 28.9K 17
"Liat aja Jim, gue bikin lo belok sebelok-beloknya." -Taehyung Adi Pratama, terganteng sejagat. "Gue straight pokoknya." -Jimin Athayya, straight (ka...
6.3K 626 18
" Three lives, we still meet again " " But, in every meeting we have, someone will die, between us there is no good ending. It's you or me that's the...