anw, cerita ini Ilma ikutkan buat KSW readlist 2021 ya.
Bagi Uchiha Sarada, si penulis handal, pergi jauh dari Tokyo itu keharusan.
Gara-gara crush, ralat, mantan gebetannya itu membuatnya patah hati dengan mengata-ngatainya, Sarada memutuskan berlibur ke Okinawa untuk terapi kesembuhan hatinya.
Tapi bagaimana kalau Okinawa justru sumber masalahnya?
"Apa-apaan?! Aku enggak pernah menandatangani perjanjian buat menikah sama Namikaze Boruto! Aku aja enggak kenal!"
"Tapi, Miss, di sini ada tanda tangan Miss, lengkap dengan nama terang."
"Loh, aku enggak ngerti apa-apa."
"Tapi--"
Eksekutif muda bermata biru cerah itu muncul, menepuk bahu sekretaris laki-lakinya bingung.
"Ada apa, Denki? Kenapa ribut-ribut begini?"
"Bos, ini 'kan Nyonya Hinata minta Anda nikah. Terus tuh saya cari lowongan kerja buat jadi istri kontrak Anda sampe perusahaan jatuh ke tangan Bos semua." Denki menghadap bosnya takut-takut.
Sarada memandang kedua pria di hadapannya bingung. Duh, apa-apaan situasi ini?!
"Iya, terus?" Eksekutif muda tadi sabar mendengarkan sekretarisnya.
"Bos, Bos inget Uchiha Sarada, 'kan? Penulis yang mau nyaleg itu, loh, Bos. Dia udah tanda-tangan kontrak pernikahan sama Bos juga. Masa sekarang dia ngelak dia enggak pernah tanda tangan, Bos?" Denki mendengkus kesal, melirik perempuan di sampingnya yang menatapnya tajam.
"Heh, tapi aku beneran enggak pernah tandatangan, tau! Kenal aja enggak, gimana mau tanda tangan?!" debat Sarada gemas.
Niat hati ingin berlibur, eh malah kena masalah baru. Enggak masuk akal, lagi.
"Mungkin kamu salah orang, Denki. Ada banyak orang yang mirip-mirip." Si Bos itu menatap Sarada lamat-lamat, lalu menggelengkan kepalanya. Sebetulnya ia belum pernah bertemu gadis ini, cuma melihat resume dan hasil wawancara Denki dari layar laptop saja.
"Bos, tapi saya ada bukti. Nih, liat, kalo enggak percaya. Ini dia, 'kan, Bos?" Denki merogoh kantong, mengambil ponselnya. Menunjukkan foto gadis berkacamata yang menandatangani kertas perjanjian.
Eksekutif muda bermata biru itu membelalak, membandingkan foto yang ada di ponsel Denki dengan wajah serta postur Sarada.
"Loh, ini kamu, 'kan?" Si eksekutif muda itu mengambil ponsel Denki, menyodorkan foto pada Sarada yang kini refleks melotot sampai bola matanya hampir copot.
"HAH?! Gila, ini bukan aku. Serius! Bukan aku, ini orang lain yang nyamar jadi aku! Gila aja, kali. Aku aja enggak pernah ketemu kamu sebelumnya." Sarada menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Eksekutif muda itu mendengkus.
"Nama kamu Uchiha Sarada, 'kan?" tanyanya baik-baik. Sarada yang masih dalam fase keterkejutannya mengangguk.
"Iya."
"Kamu penulis novel Behind The Universe, 'kan?" tanya si eksekutif muda itu lagi. Sarada lagi-lagi mengangguk.
"Iya. E-eh, kok kamu bisa tau?! Haah!" Sarada mendengkus, menarik napas dalam-dalam. Mendadak dadanya terasa begitu sesak. Hell, ini tidak masuk akal!
"Kamu lulusan Universitas Harvard jurusan kedokteran, 'kan? Terus kamu berencana mau mencalonkan diri sebagai anggota parlemen tahun depan, betul?" Eksekutif muda bermata biru itu mencoba memvalidasi resume Uchiha Sarada yang ia terima kemarin.
Sarada menganggukkan kepalanya, matanya melotot kesal. "Iya--Hah?! Kok bisa tau? Kamu salah satu pembaca novelku, ya?!" cecar Sarada, masih tak percaya dengan apa yang ia alami sekarang.
"Serius kamu enggak pernah kenal saya?" Si eksekutif muda itu memicingkan mata birunya yang menawan. Sarada berniat menggeleng, namun sesaat kemudian matanya membulat sempurna menyadari siapa yang ada di hadapannya.
"Namikaze Boruto? Pangeran Pengusaha Tokyo?!" Sarada ceroboh berucap, menelan ludahnya tak percaya. Boruto, nama eksekutif muda bermata biru itu menggelengkan kepalanya pelan.
"Sejak kapan kita pernah mengenal?" Sarada kembali mengernyit, membuat Boruto gemas bukan main. Sang eksekutif muda itu mendesis pelan.
"Heh, Nona Uchiha. Kemarin kamu tandatangan perjanjian nikah kontrak sama saya. Kamu juga bilang, pernikahan ini bagus buat karir politik kamu. Saya emang belum pernah ketemu kamu, tapi kita komunikasi lewat Denki, sekretaris saya." Boruto menarik napas dalam-dalam, berusaha mati-matian menahan emosinya agar tak meledak begitu saja.
"Ada bukti kamu tandatangan, jadi enggak usah mengelak dan sok enggak tau apa-apa. Besok ibu saya meminta kamu datang ke rumah, jadi saya harap kamu bisa bersikap kooperatif sama perjanjian kontrak kita." Boruto menatap Sarada gemas. Yang ditatap malah mengerjapkan matanya bingung.
"Hah?! Becanda ya, kamu? Please, deh. Eksekutif muda kok pranknya enggak kreatif amat. Kamera mana kamera? Pusing aku lama-lama," keluh Sarada kesal. Boruto mendecakkan lidah, sengaja mengabaikan kalimat gadis di hadapannya.
"Satu lagi, panggil saya Boruto. Kemungkinan besar beberapa minggu lagi kita menikah, jadi dimohon kerjasamanya." Boruto memberikan ponsel tadi pada sang sekretaris.
Sarada cengo di tempat, jiwanya mendadak hilang entah ke mana. Matanya menatap bingung Boruto yang kini pergi begitu saja dari hadapannya.
"Gila, ini bener-bener enggak masuk akal."
"Jangan-jangan, yang ditemui Boruto itu dopplegangerku? Jadi teori dunia paralel itu bukan hipotesis lagi?" Sarada membulatkan mata begitu menyadari hal yang begitu krusial. Tangannya merogoh saku, mengambil ponsel.
"Oke, aku dapet bahan buat nulis novel lagi.--Hah?! Enggak, enggak. Ini enggak mungkin! Aku bahkan enggak pernah kenalan sama Boruto sebelumnya."
Sarada menggeleng-gelengkan kepala, peduli setan dengan orang-orang lewat yang menatapnya dengan tatapan sinis. Gadis itu merapikan kaos rajut merahnya, mendengkus sebal menyadari apa yang terjadi.
"Ini bukan ide gila, 'kan, Al?" Sarah Brighton tertawa geli sambil meminum tehnya. Shania yang masih berumur tiga tahun itu merangkak, memeluk tubuh sang ibu. Tangannya menggapai-gapai, ingin meraih gelas teh yang dipegang ibunya.
"Tidak, tidak. Ini bukan ide gila, Sayang."
"Aah, aku jadi tidak sabar menantikan kehidupan mereka setelah pernikahan!" Sarah tertawa geli, menaruh gelas tehnya di meja. Tangannya beralih pada tubuh Shania, ia memangku anaknya itu di paha.
"Mungkin Sarada akan bingung karena ia merasa tidak pernah bertemu dengan Boruto, Sarah. Apa yang akan kau lakukan untuk itu?" Albert menatap obsidian istrinya yang mendadak membulat.
"E-eh, kau benar. Itu belum kupikirkan!" Sarah mendengkus geli, menyamankan posisi Shania di pangkuannya. Albert hanya mengembuskan napas pasrah.
"Kamu sendiri yang bilang, jangan suka mengacak-acak hidup orang lain, Sarah."
"Yang kali ini cuma iseng, Al. Serius, deh! Cuma iseng." Sarah meringis, membuat Albert hanya menggeleng-gelengkan kepala pasrah.
"Mari kita pikirkan besok caranya. Sudah, ayo tidur. Shania pasti juga sudah mengantuk. Benar, 'kan, anak Ayah?"
to be continued
21 Mei 2021, cakep ya tanggalnya haha
hobinya bikin cerita baru pdhl cerita lama belum selesai, gomennasai yaa semua, hihi. ini tuh kayak short story tp engga short, cerita keisengan Sarah Brighton di dimensi lain, wakakka.
hope you like it, borusara disini bener bener org baru kenal wakaka, sebatas saling tau aja dulunya.
sebenernya w ada clue, seluruh ceritaku di tahun ini, kayak kepanjangan tangan dari albert sarah brighton, wehehe. dimensi dimensi lain yang pernah dikunjungi mereka, gitu maksudnya.
jangan lupa pencet bintang kalo suka, see you next chap! ini Jepang rasa Jakarta kayak when i married you, nonbaku and harshword too!