Raja Bumi

By WattOff_07

660 182 68

Setiap manusia layak untuk dicintai. Tidak peduli seberapa buruknya seseorang, seberapa hancurnya seseorang... More

Prolog
PART 1 : MISTERIUS
PART 2: Dia Lagi
PART 3: Semesta Paralel
PART 4: PERTEMUAN
PART 5 : INSIDEN
PART 6: PDKT
Part 8: PARA TELAGA SURGA
Part 9: ABSTRAK
Part 10: Pulang Bareng
PART 11 : Bulan?
PART 12 : Tanding
PART 13 : Tentang Masa Lalu
PART 14 : KEDUA KALINYA
PART 15 : Cemburu?
Part 16 - Mengagumi?
PART 17 : Kisah Yang Berbeda
PART 18 : Hati Berlabuh
Part 19 : Malam, Hujan dan Ruangan
PART 20 : Sifat Asli
PART 21 : Suka Dia?
PART 22 : Terungkap 1

PART 7: TENANG

33 10 3
By WattOff_07

"Kamu ngapain ngikutin aku terus?"

Tidak ada jawaban, cowok di sebelahnya itu tak kunjung menjawab. Mentari menepuk pelan bahu orang tersebut, hingga sesaat kemudian ia tersadar dari pikirannya yang pasti tidak bisa Mentari tebak.

"Eh?! Iya, kenapa?"

"Kamu kenapa, sih? Ini jalanan, jangan bengong aja."

"Iya, iya," jawab cowok itu. "Eh, iya, tadi lo ngomong apa?"

Mentari sedikit sebal dengan keberadaan manusia satu ini. Pasalnya sedari tadi hingga kini cowok itu terus saja mengikuti, sedang saat ia ajak bicara benak cowok itu berada jauh entah di mana.

"Kamu ngapain ngikutin aku terus?" Mentari mengulangi sembari memutar bola matanya.

"Ya ... daripada di kelas, boring," aku Raja yang sebenarnya adalah kebohongan. "Mending sama lo. Jalan-jalan."

"Siapa yang mau jalan-jalan?"

"Lah, ini. Abis dari perpus kita muter-muter." Raja menatap heran orang di sampingnya yang tiba-tiba berhenti sejenak.

"Aku mau ke toilet. Ini mau arah ke toilet perempuan." Mentari berujar serta gerak jari telunjuknya yang mengarah pada sebuah pintu. "Tuh, toilet perempuan, 'kan?"

Raja terpaku dan menelan kasar salivanya. "Lah, iya. Kok enggak bilang, sih?"

"Ngapain juga bilang-bilang ke kamu?"

Lagi-lagi Mentari membuat Raja menelan salivanya yang kering itu. "Ya, biar gue enggak ngikutin lo."

Mentari hanya menganggukan kepalanya atas perkataan cowok bernama Raja. "Kalo gitu aku ke toilet, ya." Ia berlalu pergi meninggalkan cowok yang sedari tadi berada di sampingnya.

Mentari segera masuk ke salah satu bilik kamar mandi, ia memilih bilik ketiga, entah apa alasannya, barangkali karena pintunya terbuka sedang yang lain tertutup. Ia segera melaksanakan panggilan alam tersebut. Setelahnya, ia menyempatkan diri sebentar untuk berdiri di depan cermin yang terdapat di paling ujung—tempat berganti pakaian. Dari pucuk kepala hingga ujung sepatu, tidak buruk, hanya saja baju dan dasinya sedikit berantakan. Tangan Mentari bergerak lihai, merapikan apa yang perlu dirapikan, dan itu tidak memakan waktu lama.

Kakinya menapaki setiap lantai menuju pintu keluar toilet perempuan, hingga tibalah di koridor. Ia menolehkan ke kanan dan ke kiri, sosok itu tidak menampakkan batang hidungnya. Mungkin saja orang itu sudah kembali ke alamnya, lagi pula Mentari ini adalah kesempatan ia untuk lepas dari cowok itu.

"Baaa!"

Suara yang tiba-tiba muncul itu sukses membuat Mentari terlonjak kaget. Ia hampir saja jatuh ke belakang atas ulah si pemilik suara. Benar-benar menjengkelkan.

"Kamu!" pekik Mentari.

"Ha ... ha ... ha ...." Raja tertawa gembira atas reaksi Mentari.

"Gak lucu tau!" desis Mentari sebal.

"Ha ... ha ... ha ...." Raja masih tertawa meski sudah sedikit reda. "Maaf, ya, Tar."

"Udah, ah! Aku mau ke kelas, kamu jangan ngikutin." Mentari berucap dan berlalu meninggalkan Raja.

"Jangan dong, nanti gue juga harus balik ke kelas," ujar Raja sambil menarik tangan Mentari.

"Ya iyalah. Emangnya kamu mau ke mana?"

Netra Raja memutar ke kanan dan kiri. Ia sedang memikirkan sesuatu, tapi ketahuilah itu hanya sebuah muslihat semata. "Ke kelas lo."

"Hah? Yang bener aja, kita 'kan beda jurusan. Dikit lagi bel tau. Jarak kelas bahasa ke MIPA jauh, 'kan."

"Ya, emangnya ada masalah?"

"Mau kamu tuh apa, sih?" Mentari berucap setengah memekik, raut wajahnya hampir frustrasi menghadapi cowok satu ini. Kelopak mata Mentari berkedip beberapa saat, atmosfer di sekitarnya berubah dalam waktu singkat. Bayang akan masa lalu memenuhi memori Mentari. Napas memburu, keringat dingin bercucuran, detak jantung tak karuan, sudah tidak bisa dijabarkan lebih luas lagi keadaan gadis itu. Satu hal yang pasti; kalut menguasai Mentari.

Raja yang melihat perubahan Mentari seakan mengerti. Ia membawa gadis itu duduk di bangku yang tak jauh dari tempat mereka berpijak. Namun, Mentari menolak saat Raja ingin memberi uluran tangan. Raja sebenarnya tidak mengerti apa yang terjadi, hanya saja ia mencoba menghargai dan memahami.

"Lo kenapa?" Raja mengaju
kan pertanyaan, tetapi tidak mendapatkan jawaban.

"Gue antar ke kelas, ya?"

Mentari masih membisu, jemarinya meremas gemas rok pilin. Saat-saat seperti ini, yang Mentari butuhkan adalah rangkulan, dalam rangkulanlah Mentari dapat merasa aman. Namun, agaknya itu tidak dapat terealisasi, sebab tak ada bundanya ataupun orang yang ia kenal di tempat Mentari sekarang ini. Tersisa cowok yang menatapnya nanar sekaligus salah satu pemicu onar.

"Tar, gue bawa ke UKS, ya?" Lagi-lagi Raja mengajukan pertanyaan, tetapi kali ini dijawab. Kepala yang bergeleng.

"Maunya apa, Tar?" tanya Raja sekali lagi, kali ini nadanya terdengar mendramatisir. Ia mengacak rambut hitam pekat nan lebatnya, sembari mendengkus kasar. "Ngomong atuh, Neng."

Netra teduh Mentari mengerjap beberapa kali, sesaat setelahnya beradu pandang dengan iris cokelat Raja. Ia seakan merasakan ketakutan sekaligus penenang pada saat yang bersamaan.

"Gimana? Ayo, udah mau bel, nih!" lirih Raja, yang mana itu membuat Mentari memejamkan mata hingga lima detik lamanya.

"Aku mau ke kelas, habis ini ada pelajaran sejarah." Setelah hampir lumutan Raja menunggu, akhirnya gadis satu ini mengeluarkan suara.

"Gue antar, ya? Apa gimana?"

Mentari menganggukan kepalanya. "Terserah kamu."

Dua insan itu bangkit dari posisi duduknya, berjalan menuju kelas Mentari. Yang jalan terlebih dahulu adalah Mentari, sedang Raja mengekor. Bukan tanpa sebab, ini dikarenakan Raja tidak tahu kelas Mentari, jika Raja berjalan di samping gadis itu; tak jarang ia mendahului, tentu Mentari akan kerepotan sebab Raja mondar-mandir seperti setrika.

"XI Bahasa 2," ceplos Raja. "Belajar yang bener."

Mentari sedikit meringis mendengar ucapan Raja, tetapi setelahnya mengangguk. "Iya. Ma-makasih."

"Sama-sama. Gue balik, ya!" Raja memutar tubuhnya, berjalan santai meninggalkan Mentari yang sedang memperhatikan punggungnya yang terbalut seragam putih.

"Eh, kamu ...." Mentari berujar saat Raja berbelok dan hampir menubruk tong sampah.

Kepala Raja sedikit muncul dan ia berucap, "gue punya nama, bukan 'eh' doang."

***

Himpunan mega kelabu berada pada bumantara siang kali ini. Agaknya hujan akan turun, tapi tak menutup kemungkinan ini hanya teduh semata. Prediksi manusia bisa benar bisa juga salah fatal.

Langkah kaki berbalut sepatu converse itu berjalan agak tergesa-gesa, menjejaki setiap inci lantai koridor sekolah. Ia benar-benar tidak peduli dengan kedua sabatnya yang sedang berteriak memanggil namanya. Ketahuilah, ia sendiri pun tak bisa mengendalikan diri pada gerak kakinya ini.

Kepalanya timbul ke dalam salah satu kelas untuk mencari seseorang, tetapi ia tidak melihat batang hidung orang yang dicari. Benaknya timbul spekulasi macam-macam, mulai dari orang itu pulang terlebih dahulu hingga insiden tak mengenakkan terjadi pada orang yang sedari tadi memenuhi otaknya.

Bukan Raja namanya jika rasa penasaran yang berkecamuk itu belum terpecahkan. Ia melanglang lagi, tujuan selanjutnya adalah halte, sebab di tempat itulah orang itu biasa dapat ditangkap mata.

"Bun, angkat dong."

Sudah Raja duga, orang yang sedari tadi Raja cari ternyata berada di tempat ini. Gadis itu terlihat sedang berusaha menghubungi jemputannya. Tanpa menunggu lama, Raja segera menghampiri Mentari yang tampak gelisah.

"Tar!" panggil Raja, yang mana si pemilik nama menolehkan kepala. "Nunggu jemputan, ya?"

Mentari menoleh sekilas dan mengangguk. Ia kembali fokus menatap layar benda pipih yang berada dalam genggamannya. Rasa cemas menghantui Mentari, tak lain dan tak bukan karena awan mendung yang menaunginya.

"Bareng gue aja, yuk!" ceplos Raja. Sungguh, ia hanya bercanda. Namun, jika memang gadis ini mau Raja siap pasang kuda-kuda.

Gadis itu tak mengindahkan ucapan Raja. Ia saat ini benar-benar fokus dengan ponselnya, berharap sang bunda segera mengangkat panggilan teleponnya. "Kok enggak diangkat juga, sih," gumam Mentari.

"Kenapa? Belum dijemput?" Raja seperti biasa, ia tidak akan pernah bosan mengajak bicara gadis misterius ini.

"Bun ... angkat," cicit Mentari. Sambungan telepon tak jua tersambung. Mentari hampir saja menangis dengan keadaannya sekarang.

Raja mendengkus sebal. Masih saja ia dianggap halimun oleh Mentari, padahal sedari tadi ia sudah mengajak gadis itu bicara panjang lebar. "Hei!" Raja menepuk bahu Mentari, yang sukses membuat gadis itu mengalihkan fokus.

"Kamu! Ngagetin aja."

"Lo kenapa, sih? Kek anak ilang tau."

"Bunda aku enggak angkat telepon. Aku pulang gimana?" Suara Mentari terdengar getir. Netra teduhnya ingin mengeluarkan kristal bening, tetapi masih bisa ditahan.

Raja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mentari. Gadis itu selalu saja memiliki banyak kejutan yang benar-benar tidak pernah bisa Raja tebak. Ia tidak mengerti harus melakukan apa setelah ini, pasalnya rintik hujan telah turun ke tanah, sedang ia belum menginjakkan kaki di rumah.

"Masih belum diangkat, Tar?" Raja celingak-celinguk sendiri melihat kondisi sekolah yang sudah sepi, jangan lupakan suara hujan yang turun ke atap menjadi melodi keheningan mereka berdua. "Udah hujan, Tar. Lo pulangnya gimana?"

Mentari menggeleng, tatapannya sendu, raut wajah gelisah terpampang jelas. "Enggak tau. Aku enggak tau ... aku bingung."

Mega kelabu kian menurunkan air. Dari rintik gerimis menjadi deras, ditambah angin yang berhembus kencang berefek air terbawa oleh angin. Siapa saja pasti membutuhkan tempat bernaung agar tidak terkena air hujan.

Guruh yang ditimbulkan memberi kesan menyeramkan, bahkan membuat sebagian orang bergidik ngeri saat suara itu masuk ke dalam rungu. Tak terkecuali pada Mentari. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Ia tidak menyukai suasana seperti ini, simpulkan saja bahwa ia takut akan gemuruh.

"Bu-bunda ...." Mentari menggumam, ia ketakutan setengah mati pada saat ini.

Raja yang sedang mengusap kedua telapak tangan tiba-tiba arah pandangnya berubah. Matanya tak sedikit pun lepas dari gadis yang duduk dengan jarak dua jengkal,gadis itu tiada henti bergumam menyebut 'bunda'. Raja yakin, Mentari sepertinya punya pengalaman tidak mengasyikkan mengenai kondisi seperti saat sekarang ini.

"Lo takut, ya?" Raja menyentuh bahu Mentari yang berguncang. "Tenang, gue enggak akan jahatin lo."

Mentari tak jua memberi jawaban, karena jika takut menguasai dirinya,fokus Mentari akan buyar. Perkataan-perkataan orang di sekelilingnya akan terseleksi, ia hanya mendeteksi kata-kata yang dapat membuat tenang.

"Gue temenin lo, kok.

"Gue ada di sini, sampai lo dijemput.

"Gue ada di samping lo, sampai bunda lo dateng.

"Enggak usah takut, ada gue."

Ucapan dari orang di sebelahnya ini cukup menenangkan. Sanubari Mentari sedikit tenang. Garis panik yang tadinya melambung hingga menyentuh awan, kini sudah reda hingga sama rata dengan atmosfer di sekitar.

Selebat-lebatnya hujan, pasti akan reda. Begitu pula hujan yang sejak tadi menjadi teman Raja dan Mentari. Air yang jatuh dari langit itu kian reda, tersisa rintik kecil yang menimbulkan irama damai kala menyentuh atap halte. Bau petrikor menyergap masuk ke hidung mereka berdua, bagi Mentari ini membuatnya tenang karena ia menyukai bau ini, sedang bagi Raja ini mengingatkannya akan kuburan.

"Tar, coba telepon bunda lo lagi. Udah gak deres nih hujannya."

Mentari tanpa banyak celoteh segera menjalankan titah Raja. Jemarinya lihai bergerak bermain pada layar ponsel, ia menempelkan benda pipih itu ke telinga. Mata Mentari berbinar, sebab suara yang sedari tadi ia dambakan telah memasuki telinganya.

"Bun ... jemput ... iya ... aku tunggu ...."

"Gimana? Udah? Bunda lo udah angkat?" cerca Raja. Alis cowok bergerak naik turun.

Kurva terbit di wajah oval Mentari. "Udah. Makasih, ya. Bunda lagi jalan."

Raja mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya. Gue balik, ya?"

Saat Raja ingin bangkit, tangan putih mulus milik Mentari mendarat di pergelangan tangannya, ini tentu membuat Raja urung untuk bangkit. "Kenapa? Ada yang perlu gue bantuin lagi? Tapi lo harus—"

"Ini sepi, bunda aku datangnya sekitar 15 menit lagi," aku Mentari. "Kalo sepi biasanya suka ada orang jahat."

Setelah mendengar penuturan Mentari Raja jadi meringis sendiri. Ia menelan kasar salivanya. "Ya udah. Gue pulangnya nanti, deh."

Menunggu jemputan ditemani keheningan. Hujan telah sepenuhnya berhenti, rintik tidak lagi turun, alunan atap halte sudah berhenti. Dua orang itu hanyut dalam pikirannya masing-masing.

Raja yang sudah lelah, benaknya terbang jauh, ingin ke alam mimpi, hanya saja ini tempat umum. Mentari, tanpa siapa pun sadari, gadis itu sekarang sedang senyum-senyum sendiri, entah apa alasannya, barangkali bundanya ingin segera menjemput, atau mungkin yang lain? Hanya Mentari yang mengetahui.

Lama berselang, jemputan Mentari datang. Mobil sedan putih berhenti tepat di depan halte. Sebelum Mentari memasuki mobil, ia mengeja name tag yang terpatri di seragam Raja. Jangan tanya apa yang sedang dilakukan cowok itu, Raja terlelap.

"Makasih, Raja Bumi Y." Mentari berucap setengah memekik, yang mana membangunkan Raja dari posisi nyamannya.

"Eh, iya," ucap Raja setengah sadar.

***

Arka menerka-nerka apa yang sedang Raja pikirkan. Ia tiada henti memandangi wajah Raja, berharap bisa membaca pikiran cowok beralis tebal itu. Namun, Arka tak kunjung tau apa isi pikiran Raja, barangkali ia harus berguru untuk bisa membaca pikiran orang lain.

Dave yang memperhatikan tingkah aneh Arka mulai berspekulasi. Apakah anak itu salah makan? Ataukah Arka sedang jatuh cinta? Mengapa harus jatuh cinta pada Raja? Bukankah perempuah di dunia ini banyak?

"Lo ngapain?" tanya Dave, ia meringis dengan tingkah Arka.

"Lagi baca pikiran Raja," jawab Arka.

Raja yang sedang fokus dengan game di ponsel, tiba-tiba saja mengubah arah tatapan kala namanya disebut. Ia tersentak kaget, alasannya karena Arka berjarak satu jengkal dari wajah Raja.

"Arkaaa!"

Arka tak kalah kaget. Ketika dengan tanpa diduga Raja memekik dan mendongkak, tubuh Arka terpental ke belakang, hingga membuatnya terbaring di sofa. Sedang Dave tak berhenti tertawa atas ulah mereka.

"Lo ngapain, Arka?!"

Arka berganti posisi menjadi duduk. "Gue mau baca pikiran lo doang," tuturnya.

"Ada-ada aja lo." Raja menatap jemu Arka

"Seriusan, gue pengen tau isi pikiran lo apa aja."

"Pikiran gue normal, enggak kayak lo," kata Raja.

"Tuh, pikiran lo yang enggak bener," celetuk Dave.

"Diem, deh. Lo enggak diajak." Arka melirik Dave dengan sebal.

"Ja, gue serius pengen tau," imbuh Arka.

"Kepo lo," sahut Dave.

"Diem, ya, Da-ve. Gue enggak nanya lo." Arka berdecak sebal dengan tingkah Dave. "Ja, gue mau nanya. Kepo setengah mampus ini."

"Nanya tinggal nanya, susah banget, sih!"

"Yang waktu itu lo sebut ... itu siapa?" tanya Arka, tangan di dagu tak henti ia mainkan, sesaat setelahnya ia memetik jari. "XI Bahasa 2."

Bersambung~

Hai! Selamat datang di part 7 kelompok 4, jangan jadi silent reader's yaa^^.

-Annisa
-Zila
-Arka
-Meilani
-Daves

Salam sayang❤️

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 105K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
550K 52.8K 30
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
5M 37.3K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
2.5M 275K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...