GAVRIELZE [Completed]

By Dhnrevarhe

2.3M 226K 66.6K

[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA] Gavriel Elard Raymond Kehidupan Gavriel berubah setelah bertemu dengan Elze... More

PROLOG
01. JANGAN GENIT!
02. BOLOS BERHADIAH
03. PERIHAL RASA
04. POSSESIVE GIRL
05. HAL LAIN
06. AJARAN ZERA
07. ANGER IS DIFFERENT
CAST
08. LET'S START THIS GAME
09. SEBUAH GELANG
10. DANGER
11. JALAN BARENG
12. TERLUKA
13. MENYERAH?
14. RASA SAKITNYA
15. ANEH
16. DI HUKUM
17. AWAL MAIN
18. SECOND OF DEATH
19. TIGA DARAH
20. BERBEDA
21. SIAPA SEBENARNYA?
22. UNDANGAN
23. PESTA
24. HILANG
25. MENYEBALKAN!
26. CAMPING
27. USIL
28. GUBUK TUA
29. JADI GIMANA?
30. GAVRIEL SAKIT
31. SLIGHTYL DIFFERENT
32. TANDA TANYA
34. MUNGKIN KEMBALI
35. JANGAN LAGI
36. TELAH KEMBALI
37. SURAT UNTUKMU
38. GARA-GARA TYPO
39. YANG SEBENARNYA
40. POISON
41. 00.00
EPILOG
EXTRA PART
YANG LAINNYA
SEQUEL gak ya?
FRIENDZONE (sequel!)

33. 5 MENIT

31.7K 3.1K 697
By Dhnrevarhe

Tangannya terus memegang, hingga meremas ulu hati yang mendadak nyeri. Pandangannya tiba-tiba mengabur.

Dia menghembuskan nafas, untuk mengurangi rasa nyeri di ulu hatinya. "Aku kira udah sembuh, ternyata masih sama."

Diraihnya ponsel yang tergeletak di nakas. Dia membuka galeri, melihat-lihat beberapa foto dirinya dengan Arsen. Jika boleh jujur, dirinya sangat merindukan laki-laki difoto ini. Meski tadi harus mendengar kenyataan pahit dari mulut cowok yang dia cintai. Apalagi saat mendengar nama ceweknya, terdengar sangat tidak asing ditelinganya.

"Zera?" Dia terus mengulang-ngulang nama itu. Nama yang pernah dia dengar dari mulut seseorang, yang kini telah pergi tanpa ada kejelasan.

Dia tersenyum kecil. "Apa Zera yang pernah kamu ceritain?"

Dia melangkahkan kaki keluar dari kamar. Disana, tepatnya di ruang tamu. Kedua orang tuanya nampak sedang bercanda gurau.

"Ma."

Mamanya berbalik saat dia panggil, bahkan sang Ayah juga ikut berbalik dan kini menatap kearahnya.

"Ma, aku mau pulang ke Indonesia."

Lagi-lagi sebuah gelengan yang dia dapat. "Tidak bisa Je. Mama dan Ayah sudah sepakat untuk menetap disini."

"Alasannya apa Ma? Pasti ada sebuah alasan 'kan?" Dia tersenyum miris. Melihat kedua orang tuanya yang menunduk, sudah dipastikan apa yang dirinya bilang benar. Ada sebuah alasan dibalik semua ini, yang tidak dirinya ketahui.

Tiba-tiba saja tangisan Mamanya pecah, jelas membuat dirinya bingung. Sang Ayah mencoba menenangkan, meski hasilnya percuma. "Maafin Mama."

"Maksud Mama?"

"Udah Ma, tenang." Ayah mencoba menenangkan. "Tenang kata Ayah? Harusnya kita gak nyembunyiin ini, Yah."

"Apa yang kalian sembunyiin dari aku?"

Terlihat sang Mama yang berlari ke arah kamar, dan kembali membawa secarik kertas yang digulung. Tangannya terulur mengambil dan perlahan membukanya. Setiap kata yang dibaca berhasil membuat dirinya tercengang tak percaya. Dia membekap mulutnya, tubuhnya melemas seketika.

"Penyesalan?" Dia terkekeh miris menatap kedua orang tuanya dengan raut kecewa.

***

Setelah kemarin acara camping telah selesai. Kini kelas 12 kembali disibukkan oleh tugas yang membuat kepala mereka ingin pecah seketika. Dari mulai rumus, hingga sebuah kalimat yang menjebak, mengenang masa lalu, menghitung apel jatuh dari pohonnya, dan masih banyak lagi.

"Gavriel, kamu dipanggil Pak Tino."

Mendengar ucapan Bu Ayu membuat Gavriel mendongak seketika. Kerutan di dahi menandakan bahwa cowok itu bingung, atas gerangan apa dirinya dipanggil oleh guru olahraganya ini?

"Arsen juga."

Cowok yang tengah sibuk menghitung berbagai macam angka itu terkejut ketika namanya dipanggil.

Meski bingung, namun keduanya tetap berdiri dan pamit pada Bu Ayu untuk keluar kelas menyusul Pak Tino.

"Ngapain kita dipanggil?" tanya Arsen pada Gavriel.

Dibalas tatapan sengit oleh cowok itu. "Apa muka gue keliatan tau isi pikiran Pak Tino?"

Arsen berdecak kesal mendengar balasan Gavriel. Menyebalkan, ditambah raut wajah cowok itu yang mampu membuat orang didekatnya emosi.

"Ya gue kira lo tau. Itu kan pelatih eskul basket lo," celetuk Arsen.

"Pelatih lo juga," balas Gavriel tanpa minat.

"Gue gak ikut eskul kalo lo inget." Arsen menatap sinis cowok disampingnya.

"Ngapain nginget-nginget tentang lo? Berasa penting banget lo di hidup gue?"

Dan perdebatan keduanya masih berlanjut. Hingga Elxon tiba membuyarkan celotehan mereka yang tak henti-hentinya berdebat. "Lo berdua ngapain?" Elxon menaikan alisnya.

"Lah lo ngapain?" Keduanya berujar bersamaan.

"Gue? Gak lagi ngapa-ngapain." Ketiganya sama-sama memasang wajah bingung. Lantas berjalan bersamaan menuju ke ruang olahraga untuk menemui Pak Tino. Ya, Arsen dan Gavriel baru tahu kalo Elxon juga ikut dipanggil oleh guru itu.

Gavriel mengetuk pintu serta mengucap salam sebelum masuk ke dalam. Ternyata bukan hanya dirinya, namun banyak anak basket lain yang berada di dalam ruangan. Entah apa yang sedang Pak Tino rencanakan.

Pak Tino mengintrupsi para cowok untuk berbaris rapi. Terutama Gavriel, Arsen, dan Elxon yang baru saja tiba.

"Pagi Anak-anak. Kalian tahu? Pasti gak tahu 'kan?" Para cowok dibuat gemas dengan ucapan Pak Tino yang melatih kesabaran mereka. "Jadi Bapak mengumpulkan kalian disini pasti ada alasannya. Kalian mau tau aja, apa mau tau banget?"

"Pelatih lo modelan ginian?"

"Gak tau, aneh. Untung muridnya modelan gue, yang kece gini." Gavriel menjawab santai ucapan Arsen tanpa memedulikan ekspresi cowok itu yang bergedik ngeri mendengarnya.

"Najis."

"Lo berdua diperhatiin sama Pak Tino. Ngobrol mulu sampe gue dikacangin, jangan-jangan ada apa-apanya nih." Elxon memincingkan matanya curiga pada Gavriel dan Arsen. Habisnya mereka berdua tiba-tiba akrab gitu. Padahal kan cecok mulu kenyataannya.

"Sebenarnya gak penting-penting amat. Tapi penting banget, ekh gak terlalu juga sih. Tapi lumayan lah, penting dikit."

"Pak jangan bikin lier atuh, udah tua banyak gaya lagi." Somad berdecak kepanasan mendengar ucapan Pak Tino.

"Kurang asem kamu ini Mad. Kamu liat otot Bapak, masih kekar 'kan? Gini-gini Bapak baru umur 28 masih pengantin baru." Pak Tino menarik kerahnya. "Masih kekar di atas kasur," bisiknya pelan namun dapat didengar semuanya.

"Kekar doang, baru masuk langsung keluar! Canda kekar!" Sebuah bola basket melayang mulus ke arah Somad. Sang pelaku hanya bersedekap sambil menjulurkan lidahnya. Siapa suruh ngeledek.

"Pak serius dong ini mau apa. Buang-buang waktu belajar aja," protes Diki yang Gavriel tahu kelas IPS 1.

"Serius buang-buang waktu belajar? Emang kamu belajar?" selidik Pak Tino.

Diki menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Habisnya hari ini Bu Mawar yang ngajar, mana cakep. Hehe."

"Pstttt, itu calon selingkuhan Bapak," bisik Pak Tino dengan sifat setannya.

"Kalo nelfon Istri Bapak sekarang, pasti langsung cerai 'kan?" Alis Gavriel terangkat. Sedangkan Pak Tino kelabakan.

"Udah-udah! Serius. Jadi Bapak mau beritahu sesuatu pada kalian." Pak Tino mengubah mimik wajahnya menjadi serius. Guru itu seakan-akan lupa dengan apa yang dibicarakan tadi.

"Pengalihan pembicaraan tuh," sinis Somad merasa benar.

"2 minggu yang akan datang. Ada pertandingan basket antar sekolah, dan SMA Bintang akan melawan SMA Samudra. Dengan itu Bapak memilih kalian yang berada disini untuk berlatih, dan membuktikkan bahwa diri kalian pantas untuk mengikuti perlombaan."

***

"Udah makan?"

"Udah, cilok."

Gavriel memincingkan matanya. Tidak suka melihat Zera yang lahap memakan cilok pedas. Padahal bisa saja membuat perut cewek itu sakit nantinya. "Gue beliin nasi goreng ya? Jangan makan gituan. Pedas, gabaik buat kesehatan Zera."

Dibalas gelengan oleh Zera. "Gak usah, gue udah kenyang. Nih makan cilok lima ribu dapet 10 biji."

"Kalo sakit?"

"Kalo sakit ya panas."

Gavriel memperhatikan wajah Zera. Dirinya baru sadar bahwa ada luka di dahi cewek itu yang dibalut oleh plester. Tangannya terulur menyentuh luka yang tertutupi. Sontak bayangan-bayangan masa lalu kembali hadir dipikirannya.

"Ini kenapa Zee? Sakit?" Katanya begitu lembut.

"Nabrak pintu," jawab Zera asal karena tidak mau masalah menjadi panjang lebar.

Gavriel menghembuskan nafasnya. Ia merasa khawatir dengan kondisi Zera yang sedang tidak baik-baik saja.

Gavriel mengusap rambut Zera dengan lembut. "Mau ikut ke rooftop? Disana pemandangannya bagus kalo jam segini," ajak Gavriel mengulurkan tangannya.

"Mau!" Zera mengangguk antusias. Lalu menerima uluran tangan Gavriel dengan senang hati. "Sekalian bolos, hehe."

Gavriel menggelengkan kepalanya melihat Zera yang begitu senang dirinya ajak ke rooftop. Padahal disana panas kalo jam segini, tapi ada yang adem juga sih.

Mereka berdua sudah sampai di depan tangga yang menghubungkan ke rooftop. "Tapi tangganya banyak ya."

"Zera gak kuat?"

"Kuat, cuman mager."

"Naik ke punggung Gavriel, kalo jatuh ya paling ngejengkang terus guling-guling."

"Gak ikhlas kan lo."

"Ikhlas Zeraaa.... Seudzon mulu lo mah."

Zera menatap Gavriel tajam. Lantas naik ke atas punggung cowok itu. Gavriel mulai menginjakkan kakinya melewati anak tangga. Bulir-bulir keringat menetes di dahi cowok itu, menandakan bahwa Gavriel lelah. Tapi sekali-kali gapapa.

"Lo capek ya?" tanya Zera menyenderkan kepala di punggung Gavriel yang mulai basah akan keringat.

"Lumayan Zee. Perasaan kemarin-kemarin lo gak seberat ini. Gendutan ya?" ledek Gavriel menyebalkan.

Plak!

Zera menampar punggung Gavriel, seketika cowok itu meringis.

"Enak aja! Gue masih langsing," kesal Zera tidak terima dengan ucapan Gavriel.

"Tapi bagus tau. Nanti lebih gemesin Zera, bisa gigitin pipi lo kalo makin kayak bakpao. Bisa diunyel-unyel," gemas Gavriel.

"Unyel-unyel, lo kira gue adonan kue," decak Zera. Mendengar itu membuat Gavriel tertawa lepas. Cewek itu gampang emosi ternyata jika dipancing.

"Lagi pula ngapain ke rooftop?" Zera mengerutkan keningnya bingung. Terus dirinya kenapa mau ya?

"Kita main loncat-loncatan dari atas rooftop. Yang mati duluan dia yang menang."

"Wah setuju nih kalo gini. Sekalian gue lemparin aja otak lo. Mungkin udah kadaluwarsa kan ya?" sinis Zera, lagi-lagi mengeplak punggung Gavriel.

"Mulut lo juga kadaluwarsa deh Zee."

***

Setelah sampai di atas rooftop. Gavriel mendudukan tubuh Zera di atas sofa usang yang berada disini. Cowok itu menggerakkan badannya yang terasa begitu pegal akibat menggendong Zera. Harusnya selama digendong, Zera buang gas aja biar gak berat-berat amat. Kalo gak buang dosa aja, nah itu lebih bagus.

Kalian tahu gimana caranya Zera nahan perasaan gugup sekarang, karena ditatap begitu intens oleh Gavriel? Entahlah. Zera menutupi ketergugupannya dengan raut sok galaknya, padahal hati hello kitty.

"N-ngapain lo natap gue gitu?" Zera menjadi dug-dugan.

"Gapapa. Mau liat yang gue suka aja."

Gavriel menarik puncuk kelapa Zera untuk bersandar didadanya.

"Gavriel jantung lo detaknya kenceng banget. Ini nih namanya pemborosan detakan jantung, makanya orang kena serangan jantung tuh awalnya kayak gini. Kan jantung kita tuh udah terlalu lelah karena berdetak dua kali lipat lebih cepat. Alhasil si jantung itu, milih berhenti aja buat istirahat. Niatnya cuman istirahat tapi ternyata jantungnya nyaman, dan milih gak detak lagi. Tamat." Zera tersenyum tanpa melihat tatapan sendu Gavriel. "Saksikan FTV Bapak Jantung yang letih di Indosiar. Lah... nanti jadinya Bapak jantung yang terazab dong."

"Gapapa, yang penting bukan jantung Zera yang berhenti berdetak."

Deg.

Seketika tubuh Zera terdiam kaku mendengar ucapan Gavriel.

"Gak lama lagi kita ujian. Terus kita lulus. Mungkin setelah itu gue bakalan sibuk buat kuliah Zee." Gavriel kembali melanjutkan, "Gue mau lanjutin perusahaan Ayah. Dan selama itu, gue harap lo ada disamping gue buat nemenin gue tiap saat."

"Gue gak butuh lebih, gue cuman butuh lo ada di samping gue selalu. Itu aja udah lebih dari cukup. Gue gak mau kehilangan lagi, apalagi itu lo."

Sesak. Perasaan Zera begitu sesak mendengar ucapan Gavriel. Seakan-akan menyiratkan kepedihan yang begitu dalam dari setiap kata yang terujar.

"Aihh! Ngapain jadi melow gini sih, katanya mau happy-happy aja di rooftop." Zera tertawa kaku, canggung.

"Ohhhh... jadi terjun payungnya?" alis Gavriel terangkat meledek. Kini wajah tengil cowok itu telah kembali.

"Lo duluan Gav. Kalo tulang lo pindah semua ke pantat, gue gak jadi ikutan."

"Nanti nangis kalo gue kenapa-napa."

"Ogah!"

Gavriel memincingkan matanya. "Beneran nih?"

"Beneran lah, emangnya lo siapa. Berarti banget di hidup gue? Enggak 'kan?"

"Oh gitu?" Gavriel merubah raut wajahnya berubah datar. Seketika Zera menjadi merinding melihat aura Gavriel yang berubah. Bisa saja Gavriel tidak terima dengan ucapannya dan malah mengorbankan dirinya disini.

Zera batuk pelan untuk mengurangi keheningan. Bahkan Gavriel duduk lebih jauhan dari dirinya, itu membuat segala fikiran yang tidak-tidak terlintas di otak Zera. "Gavriel, lo marah ya?"

Pelan-pelan Zera sedikit menggeser duduknya mendekati Gavriel. Namun cowok itu masih setia membuang tatapannya ke arah lain. "Gavriel ihhh! Ngambekan kayak bencong perempatan."

Cup.

Mata Zera berkedip-kedip untuk menetralkan detak jantungnya yang kembali menggila saat Gavriel berbalik dan langsung melayangkan ciuman di pipi kirinya.

"Itu baru hukuman ringan." Senyuman miring terukir di wajah Gavriel mampu membuat nyali Zera ciut seketika.

Saat Zera akan mundur, kembali menjauhi Gavriel. Namun cowok itu sudah terlebih dulu mengurung tubuhnya dalam pelukan Gavriel erat. "Mau kemana, hm? Nakal."

Zera meneguk salivanya susah.

"Zera, gue mau minta sesuatu sama lo boleh." Gavriel berbisik tepat di telinga Zera. Sambil memeluk Zera, Gavriel menenggelamkan wajah diceruk leher Zera. Suatu hal yang sangat disukai Gavriel.

"A-apa."

Tidak ada balasan dari Gavriel hingga beberapa menit berlalu. Bahkan sampai suara bel masuk berbunyi dan cowok itu masih setia dalam diam.

"Panggil aku-kamu dalam 5 menit."

"Emoh!"

"5 menit, setelah itu udah."

Hembusan nafas Gavriel di leher mampu membuat Zera merinding. Seakan-akan Zera sedang dihipnotis karena setelah itu langsung mengangguk patuh. Namun mampu membuat senyum di wajah Gavriel kembali terukir.

"Aku cuman mau kamu Zera. Tolong buktiin kalo Zera bakal selalu ada di samping Gavriel. Jangan cuman sekedar ucapan."

"Lo bilang gitu mulu, seakan-akan aku mau pergi. Lahhh! Susah anjirr! Masa jadi lo-aku."

"Belajar sayang, sekalian belajar jadi istri."

Huh! Pipi memerah bagai tomat. Jantung memompa begitu cepat.

"Salting?" Gavriel mengedip-ngedipkan matanya.

Zera menutup wajah dan berbalik tidak mau menatap Gavriel karena malu.

"Aku gabisa."

"Lah itu bisa."

"Gabisa!"

"Ya belum dicoba."

"Gak mau!"

"Ayo sayanggg... bilang lagi. Aku mau dengar suara kamu."

Tolong katakan pada pohon. Kenapa tidak ada oksigen.

***

Setelah sekolah dibubarkan. Aluna dengan segera pulang ke rumah. Sedari tadi cewek itu tak kunjung memudarkan senyumnya membuat seorang cowok yang sedang bersedekap di depan kamar seketika mengerutkan dahinya.

"Kamu kenapa?"

Tidak menjawab. Aluna nyelonong masuk ke kamar Abangnya meninggalkan sang Abang sendiri di luar. Pada akhirnya cowok itu juga ikut masuk setelah mengunci pintu terlebih dulu.

"Bang sini deh. Ada kabar bagus tauuu...."

Aluna melihat senyuman tipis terukir di wajah Abangnya. Cowok itu berjalan menedekati Aluna yang masih mengenakkan seragam sekolah, karena belum sempat dilepas. "Kamu gak ganti seragam dulu?" alisnya terangkat.

"Nanti ah, males. Lagi pula ini lebih penting daripada ganti baju."

Gelengan kepala membuat Aluna berdecak kesal. "Pake baju Abang. Kalo kamu males ganti, Abang gantiin sekarang juga."

"Aluna udah gede ya, bukan anak kecil lagi," dengusnya saat Abang mengambil baju hitam miliknya yang akan seperti daster jika dipasangkan di tubuh mungilnya.

"Bang gantiin baju aja! Gak boleh lebih." Sambil menunggu sang Abang melepaskan beberapa kancing seragam miliknya. Aluna menyibukkan diri dengan ponsel. Cewek itu melihat beberapa postingan terbaru di Instagram miliknya. Yang menurut Aluna disetiap foto yang ia post begitu cantik, hingga membuat cewek lain merasa iri.

"Kamu makin besar Lun."

"Gimana gak besar? Siapa yang malam-malam dateng ke kamar buat minta tidur bareng?" sinis Aluna terkesan menyindir, tapi emang benar.

"Mau langsung pake baju Abang atau biarin gini?"

"Gini aja dulu deh Bang. Gerah banget." Memang terlihat bulir-bulir keringat yang menetes dari dahi Aluna. Padahal AC sudah menyala. Mungkin karena cewek itu berada di luar tadi saat pulang sekolah. Terkena sinar matahari jadi berkeringat.

Abang mengangguk kembali menaruh baju dan seragam Aluna di atas nakas. Cowok itu sibuk menatap Aluna yang semakin hari makin berbeda auranya. "Katanya mau bilang sesuatu. Gajadi?"

Aluna menepuk dahi, lantas langsung menaruh ponselnya. "Jadi Bang. Ini tentang Zera."

Cowok itu cukup tertarik dengan ucapan Aluna saat menyebut nama Zera. "Abang tau? Gavriel ikut pertandingan basket. Jadi akhir-akhir ini cowok itu bakalan sibuk buat latihan. Otomatis Zera bakalan sendiri, alias gaada yang jagain lagi. So? Kapan kita mulai rencana itu?"

"Abang fikir gaada salahnya biarin Zera bahagia sebentar. Sebelum cewek itu ngerasain rasa sakit, hanya rasa sakit."

Aluna mencebikkan bibirnya. "Ihhhh, tapi masalahnya aku gak suka kalo liat Zera bahagia. Aku cuman mau Zera menderita. Titik!"

"Zera itu udah rebut Gavriel dari aku. Aluna tau kalo Zera itu maksa Gavriel buat nembak Zera disaat acara camping. Emang cewek murahan, gatau malu," desis Aluna mengepalkan tangan.

"Ohhhh... jadi mereka beneran udah pacaran?"

Aluna mengangguk tak terima. "Udah! Kesel kan. Pacar aku direbut sama si Zera kecentilan itu."

"Jangan cemberut gitu, nanti cantiknya hilang." Cowok itu mencubit pipi Aluna pelan.

"Abang tau gak. Aluna mau jujur. Kenapa kalo dekat Abang jantung Aluna cepat banget detaknya. Kayak mau lepas," ujarnya lugu. Tanpa sadar berhasil membuat cowok didepannya mengukir senyum, lantas lansung membawa Aluna ke dalam dekapannya. Seketika terasa sesuatu yang mengganjal menabrak dada bidangnya.

"Karena kamu diciptain buat Abang, sebagai ganti dia," bisiknya serak.

"Jadi? Kapan kita mulai?"

"Disaat semua orang lengah pada Zera."

"Aku gak sabar liat Zera kejang. Nanti aku yang videoin Bang!" Semangat Aluna begitu antusias. Agak-agaknya keduanya gangguan mental.

Keduanya saling bertukar tatap. Menatap begitu dalam layaknya bukan sebagai saudara. Tangan itu mulai nakal, menjelajahi bagian-bagian terlarang.

"Aku mau lagi, boleh?"

Mengangguk berarti setuju. Seketika cowok itu turun dan mengambil remot AC untuk mematikkannya. Serta menarik selimut.

Ya, keduanya akan main panas-panasan.

Continue Reading

You'll Also Like

482K 51.3K 21
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
486K 37.2K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
230K 21.9K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...