Exist Season2

Oleh VULNERABOY

6.1K 21 57

6K Makasih banyak buat yang udah baca walaupun sampe sini doang nih←. Revisi Penulisan lebih nyaman di mata. ... Lebih Banyak

EPS 1: Care attention
Episode 2: The truth is out
Episode 3 : Ride
Episode 4: Memburuk
Episode 5: Drama!
Episode 7: Space
Episode 8: Ada apa sih?!
Episode 9 : Rekor baru
Episode 10: Terikat
Episode 11: Terlepas
Episode 12: play date
Episode 13: Do what you have to do

Episode 6: The Night to forget

2 1 0
Oleh VULNERABOY

Aku simpan foto itu.

Foto Subana mengusap-usap bahu Selma itu.

Aku tak sabar mau pulang ke rumah.

"Kalian kenapa lama sekali?"

Papah hanya bertanya, tidak marah.

Aku ingin jawab tapi Astrid yang menjawabnya.

"Om maaf— kami lama.... Tapi itu tadi sayang sekali untuk dilewatkan, Om tahu.... Di sekolah kita ini ada anak yang dibenci satu sekolah dan Dia sering bertindak semaunya,"

"Astrid....," kataku.

Kenapa malah bahas Atan.

Aku ingin cepat-cepat sampai rumah.

Astrid malah bercerita buat papah tak langsung menjalankan mobilnya.

"Ih tak penting bicarakan itu, Pah Ayo jalan,"

"Iyaa-iyaa," Papah menoleh ke arahku dan dia senyum.

"Ralin, Kau sedang dekat dengan seseorang ya?" kata Papah.

"Iya Astrid Dia seseorang dan dekat disebelahku...."

"Duh... Om harus to the point kalau bicara pada Ralin, Ralin kau punya pacar ya?" Astrid marah-marah.

"Belum," jawabku.

"Jangan bohong, bagaimana anak laki-laki yang datang kemarin yang Mamah ceritakan itu, dan kau buru-buru ke kamar juga semalam," Papah katakan itu.

Buat Astrid menganga tak menyangka dan bangga menatapku.

"Ih Papah,"

Rasanya Aku ingin cubit Papah sama sepertiku mencubit Hardy di motor.

Oh iya ada dimana ya si Hardy itu?

Hardy lagi— Hardy lagi.

Dia terus yang terpikirkan, Atau menganggu kepalaku.

Tunggu, kenapa Aku memikirkan orang itu.

Diakan bukan siapa-siapaku.

Aku ingin Papah paham kalau Aku ini bukan kekasihnya siapa-siapa.

"Ih papah sok tahu!"

Terpaksa jelaskan ini sambil marah-marah.

"Pertama Hardy itu bukan kekasihku,"
"Kedua, Aku buru-buru ke kamar karena Selma.... Aku ada kerja kelompok dengan Selma jadi Aku teleponan dengan dia,"

"Bohong Om, pokoknya Ralin ini sudah pandai berbohong.... Dia tak pernah satu kelas dengan si selma itu,"

"Ih memangnya kerjasama dalam mengerjakan tugas meski tak pernah sekelas..... tidak boleh?"

"Boleh kok," kata Papahku.

"Tuh dengar Strid Papahku tak melarangnya, kau saja yang ribet,"

"Kerjasama dalam tugas apa, Om Alfarizi jangan senang dulu...., suruh Ralin cerita.... Asal Om tahu Ralin itu dimanfaatkan Om— oleh si Selma itu,"

"Ih Astrid iya deh Iyaa, untung  kau mengusirnya tadi di teater, terima kasih banyak yaa," kataku coba buat Astrid berhenti bicarakan si Selma itu.

Pertama, Astrid sahabatku niat dia sebenarnya baik, melindungiku.

Karena hey, Itu alasan Aku satu sekolah dengan Astrid, hanya dia pelindungku.

Kedua Aku mau Astrid berhenti bahas Selma, karena Aku tak akan berhenti bantu Selma.

Aku juga ingin benar-benar bantu Selma bukan bantu yang setengah-setengah.

Aku seperti Selma kelas 10 dulu....

Aku kira dekat dengan seseorang tanpa bantuan orang lain itu lebih bebas.

Aku berpikiran begitu, namun masalah yang menyerangku juga bebas.

Bebas dari segala arah.

Pertama kalinya menyesal sempat berpikiran sembunyikan masalah dari orang lain itu lebih baik, saat masalah itu memburuk rasanya Aku ingin minta bantuan.

Tapi pada siapa?
Dan ini sudah terlambat.
Karena ini sudah berlalu.

Jadi aku merasakan kesamaan dengan Selma.

Selma minta tolong kepadaku, Hanya Aku yang bisa dia mintai bantuan.

Lagipula ini belum terlambat, dan masalah yang Selma hadapi belum berlalu jadi Aku tahu rasanya jadi Selma yang butuh bantuanku.

Lagipula ini menyangkut Hardy yang bukan siapa-siapaku.

Tapi dia sudah posting foto kami di IG dan dia tak tahu malu, kenapa Aku terus saja ingat hal itu.

Aku sampai rumah dan cepat-cepat bersih-bersih.

Lalu makan malam.
Dan ke kamarku.

Rasanya ingin cepat-cepat beritahu Selma, soal kecurigaanku tentang Subana ingin menikungnya dari Atan itu.

Aku lihat lagi hasil jepretanku, waktu si Subana usap-usap bahu Selma untuk menenangkannya.

Aku bukan berpikiran buruk.
Terkadang berpikiran buruk itu perlu.

Selma belum juga balas pesanku, Aku memutuskan mencharge hp-ku dan mengerjakan pr.

Apalagi yang Aku lakukan.

Aku buka buku pr-ku.

Aku dengar suara Astrid seperti menyambut seseorang.

Aku dengar suara mobil dari rumah Astrid, Apa orang tua Astrid sudah pulang?

Tak lama setelah itu Aku dengar teriakan Papah, buatku penasaran lalu lihat dari balkon.

Papah bicara dengan pacar Astrid, si Aaron itu.

Papah pasti mengintrogasi Aaron.

Aku tahu papah memalukan.

Tapi tujuan papah baik.

Kelas 10 dulu, Astrid bawa pacarnya dan menginap di rumahnya satu malam.

Astrid memang penampilannya cewek kalem.

Jangan ditanya pengalamannya dengan cowok, makanya Aku takut dengan cowok setiap dengar cerita Astrid putus.

Astrid tetap pergi dengan Aaron.

Hey.

Aku masih kerjakan pr padahal sudah selesai.

Bi Inah ke kamarku, dia bilang ada teman laki-lakiku datang.

Mungkin itu Astrid atau Mirah rumah sebelah.

Astrid mana mungkin.... dia kan baru pergi dengan Aaron.

Dan Mirah perempuan.

Aku tidak punya teman laki-laki.

Hardy.

Huh mana mungkin dia ke sini malam-malam untuk apa?

Setelah dia hiraukan Aku di sekolah dia datang ke sini.

Begitu?

Aku senyum-senyum ingin marah tapi tak bisa, dia keren sekali.

Ripped jeans warna hitam, kaus Abu dan jaket warna putih, sepatu warna navy.

"Ih mau apa ke sini?"

"Ralin cepet ganti, papah kamu ijinkan kita date tapi jangan sampai jam 10, Ayolah jangan buang waktu.... Kamu tahu maksudku kan?"

"Tak menganggapku ada disekolah itu maksudnya apa?!"

Hardy tak peduli dia duduk di ruang tengah.

Mamah merangkulku naik ke atas.

"Ralin cepat Hardy sudah memunggu, biar Mamah carikan baju,"

Aku senang.

Melompat kegirangan.

Cepat-cepat lepas atas dan bawahan yang sekarang ku pakai.

Merias wajah dan ikat rambutku ponytail.

Mamah masuk dengan kotak sepatu namun kotaknya lebih lebar dan pipih.

"Sekarang saatnya,"

"Apa ini?"

"Gaun punya kamu,"

"Punya Ralin?"

"Di mal waktu kamu nangis-nangis hari itu,"

Aku keluarkan gaun warna hitam, gaun ini mirip milik ursula, antagonis di film The little mermaid.

Gaun warna hitam.

Pakaian warna hitam tak akan pernah ketinggalan jaman.

Meski Aku beli ini dan super duper kebesaran waktu itu.

mungkin sekarang muat ditubuhku.

Aku bercermin dan tak sabar pakai gaun ini.

Mamah bantu memakaikan gaunku.

Seriusan?

Lagipula ini date pertamaku.

Kalau Astrid ada, pasti dia yang membantuku.

Aku memakai gaun ini, Mamah tutup resleting belakangan gaunnya.

Aku belai banting ponytailku ke samping.

Aku siap.

Aku pakai sepatu high heels, tapi tak terlalu tinggi yang bagaimana.

Mengambil sling bag-ku.

Memakai sling bag-ku saat ditangga.

Rambutku terasangkut ke tali sling bag, terpaksa banting kesamping lagi ikatan ponytailku perlahan.

Hardy hanya senyum.

Sumpah tatapannya mesum.

"Kamu tambah tinggi, sedikit,"

Aku ingin sekali cakar muka orang ini.

Bukannya dapat pujian malah diledek.

Hardy mendekat.

Menggandeng tanganku tanpa izin.

Setiap kali dia lakukan itu, Aku tak pernah balik genggam tangannya.

Aku beranikan diri balas genggaman itu.

Rasanya geli buatku tertawa.

"Kamu mau mengajakku kemana?"

"Makan malam habis itu pulang, terserah kamu sih,"

"Aku ikut saja," Aku angkat bahu.

Kami pergi ke Ore5 bukan Caramelt.

Caramelt, ew ada Celine di sana.

Di perjalanan ke Ore5 kami debat Soal kenapa dia tak melihatku di sekolah.

Dan jemput Aku tanpa pertanda.

Hardy parkirkan motornya di tempat yang remang.

Kau tahu remangnya parkiran kafe di malam hari kan....

Hardy melepas helmnya.

Mengacak-acak rambutnya.

Menunduk ke arahku.

Lalu bilang....

"Mau gandeng atau tidak?" dia berikan telapak tangannya.

Aku menahan tawa.

Giliran dia ingin gandeng minta izin.

Aku yang salah tingkah.

Aku tak bisa begini.

Aku ingin teriak.

"Biasanya main gandeng-gandeng tanganku kenapa sekarang harus izin?"

"Ini kan date,"
"Buat sedikit berbeda dong,"

Tuh kan dia gandeng tanganku tanpa izin.

Padahal Aku belum jawab.

"Tenang biasa saja.... tak usah panik" kata Hardy.

Aku melihat sekitar.

Rasanya Aku kenal orang yang ini dan itu.

"Kenapa?" Kata Hardy tiba-tiba.

Buatku menoleh kearahnya.

Hardy senyum mesum.

"Banyak wajah yang familiar ya?"
"Makanya sering-sering keluar rumah, jangan di rumah terus,"

Hardy benar.

Di sini banyak Anak NHS yang aku tahu wajahnya tapi tak kenal mereka.

Kami memesan makanan.

Dan duduk di meja pilihan Hardy.

Kan Dia yang terus mengandengku.

Kami duduk.

Aku bingung ingin bicarakan apa.

Melihat kotak tisu.

Mengambil beberapa helai, untuk apa?

Entahlah tanganku berkeringat saat gugup.

Deg-degan.

Rasa yang sama seperti sesaat sebelum Aku pingsan saat latihan PMR.

Sumpah, Astrid tolong Aku.

"Lho?" Hardy panik melihat ponselnya.

"Kenapa Har?" Aku lepas sling bag-ku ke atas meja.

"Sudah hampir jam 9 ya?" Hardy panik.

Buatku percaya kalau ini hampir Jam sembilan.

Lihat ponselku untuk memastikan.

"Mana ada," Hardy bohongiku.
"Ini baru jam sembilan belas empat puluh sembilan kok,"

"Berarti hampir jam berapa?"

"Sebelas menit lagi jam delapan, pokoknya hampir jam delapan malam," jelasku.

"Berapa lama lagi sebelum jam sepuluh?" Hardy tetap kebingungan.

Dia bisa menghitung tidak sih!

"Dua jam lagi, masih lama kok," Aku heran masa dia begitu saja tak mengerti.

"Ralin stop"
"Terlalu banyak angka, pokoknya ingatkan Aku jika sudah jam 9,"

"Kenapa terburu-buru sih?"
"Oh.... Mengerti selesai menemuiku.... kau sekalian ingin temui orang lain kan?"

Seperti kemarin.

Tak pernah lupa hari itu.

"Huh?"
"Mana ada,"
"Apa yang kau bicarakan?"

Mana mungkin Aku jelaskan Aku tahu dia temui Celine dan Diana.

"Ih kenapa kita buru-buru?"

Hardy mendekat.

Dia ingin bisikan sesuatu.

Apa dia ingin menciumku?

Mana mungkin.

Aku jaga-jaga ambil kotak tisu di meja kami untuk timpuk Dia kalau macam-macam.

Mulutnya terbuka dan berbisik.

"Jangan beritahu siapapun, Aku ini discalculia," Hardy bisikan itu.

"Apa itu?"
"Yang Aku tau diseleksia,"

"Sama.... tapi Aku discalculia.... Sama saja diseleksia tapi dalam angka, Aku buruk dalam hal angka,"

"Seperti apa?" Aku tak percaya.

Hardy seriusan.

Discalculia?

"Seperti tak pernah dapat nilai lebih baik dari E itu pun menyontek,"

"Sumpah?"

Hardy.... discalculia?

Ya ampun seberapa buruk?

Apa itu penyakit parah?

Apa itu mematikan?

"Apa itu berbahaya?" Aku penasaran.

Apa sih itu discalculia.

"Yaa.... Aku tak bisa baca banyak terlalu angka dan buruk dalam matematika, Aku tak bohong,"

"Kau hanya bercanda dihadapanku kan?"

"Mana ada, coba suruh aku menghitung,"

"72 ditambah 3 berapa?"

"Lima tujuh.... Lima puluh tujuh," Hardy ragu.

Bahkan dia perlu menghitungnya.

Dan yakin itu jawaban yang benar.

"Lima puluh tujuh benar tidak?"

Pasti dia hanya bercanda.

Mana ada, kenapa hasilnya 57 bukannya 75.

"Serius kau discalculia?"

Sumpah saat itu Aku tertawa.

Menertawainya.

Hardy masih menghitung pakai jari.... Tadi, untuk menghitung.

"Kau dibuat-buat yaa," tuduhku.

"Yee tidak percaya, itu kekuranganku tahu," Hardy seius.

"Ih maaf, Terus kalau baca jam digital atau jam analog, bagaimana?"

"Aku bisa baca jam analog maupun digital, tapi tidak bisa hitung waktu.... Contohnya berapa menit lagi sebelum jam berapa— seperti tadi,"

"Serius?" Aku masih tidak percaya.

"Ya, makanya Aku ikuti semua olahraga, cara lain untuk masuk kuliah, bukan?"

"Hardy maaf, Aku tidak tahu kalau kau discalculia, apa itu bisa sembuh?"

"Bisa.... kalau terus berlatih,"
"Tapi bertahun-tahun berteman dengan Tora, Rivalmu di olimpiade matematika.... tak ada tuh aku ketularan pintar matematika sama sekali,"

"Aku tidak bodoh, hanya discalculia,"

"Ya.... Orang diseleksia bukan tidak bisa baca tapi kesulitan baca dengan benar..... Jadi kau sulit dalam membaca  banyak angka," Aku mengerti sekarang.

"Banyak, sebenarnya.... sedikit pun tidak bisa,"

"Sumpah?"

"Coba tes Aku pertanyaan mudah,"

"Yang mudah?"
"Empat ditambah lima berapa?"

"Sembilan....,"

"Ih itu Kau bisa," Aku tak percaya sekarang.

"Coba lagi.... itu karena Aku sering dengar," kata Hardy.

"Tujuh belas kurang delapan berapa?"

Hardy menghitung dengan tangan.

Dia bolak-balik buka jemarinya jadi tujuh dan sepuluh.

Ya ampun.

Dia kesulitan.

Masa sih?
Dia tak bisa hitung soal semudah itu.

"Sini Aku bantu," Aku buka kedua telapak tanganku.

Dan dia yang buka jarinya jadi tujuh.

Hardy mulai menghitung.

Saat tahu hasilnya....

"Sembilan juga?"
"Hasilnya sembilan juga, serius,"

Aku mengangguk.

Juga menertawai reaksinya saat tahu jawabnya memangnya 'sembilan' kan.

"Lagi," kata Hardy excited.

"Empat puluh lima dibagi lima berapa?"

Mukannya berubah apes, bahkan sampai garuk belakang kepalannya.

"Oh shoot pembagian, Aku mana bisa.... boleh curang pakai kalkulator?"

Aku lihat senyum tertulus dari seorang Playboy yang dikenal pembohong.

"Iya boleh....," Aku menahan tawa.

Dia cute saat minta izin kepadaku.

Hardy tersenyum saat temukan jawabannya.

"Sembilan juga?"

"Iyaa, memang hasilnya seperti itu,"
"Banyak cara untuk dapatkan nilai tertentu,"

Hardy menaruh hpnya ke meja dan geser dekatkan ke arahku.

"Kalau untuk dapatkan nomormu?"
"Harus berapa cara lagi...."

Hardy mengangkat-angkat alis.
Gigit-gigit sudut bibir bawahnya.
Tatap cukup dalam ke arahku.

Dan itu menjijikan.

Baiklah, berhenti kumohon.
Aku berikan kontak ponselku Aku mengerti kok.

"Ih handal ya ujungnya ke situ lagi!"
"Iya deh Aku berikan nomorku....."

Kami bertukar kontak ponsel.

Dan ini sejarah.

Sekarang Aku sudah punya nomor Hardy.

Canggung....

Makanannya datang menyelamatkanku.

Kami makin akrab.

Meski Aku jadi lebih kikuk.

Dia cerita banyak tentang Papah kandungnya.

Dan perbedaan dengan Papah sambungnya.

Kenapa dia bicarakan ini, Dia tak takut apa.... kalau Aku sebarkan?

Buatku jadi tak takut juga untuk ceritakan sesuatu pada Hardy.

Yang bisa Aku ceritakan hanya kegiatanku di rumah.

Seperti Aku pelihara kelinci.

Dan dia Hardy playboy kan kelinci.

"Serius kau pelihara Kelinci?"

"Iya, sejak kelas 5 sd"

"Nama mereka Ranci, Kelin, Sugar dan Choco,"

"Tapi kau belum punya kelinci yang seperti Aku kan?"

Kenapa juga tiba-tiba Hardy melawak.

Sampai Aku tersedak.

Ternyata Hardy suka melawak, meski tidak lucu.

Cuma bisa buatku tersedak.

Ih seriusan kok.... dia tidak lucu.

Dia sendiri yang tertawa setelah katakan itu.

Sementara Aku.

Coba hentikan batuk selepas tersedak.

Kami habiskan makanan kami.

Giliranku jahil, bohongi Hardy kalau sekarang jam 10.

Biar dia tahu rasa.

"Ih Jam sepuluh, ya ampun jam sepuluh,"

"Ralin tak usah bohong, jangan sampai Aku tanya ke meja sebelah nih," Hardy tak percaya.

Aku gagal.

"Ih iya-iya belum jam sepuluh,"
"Tak usah tanya ke orang," Aku mencegahnya.

"Memangnya.... jam berapa sekarang?"

"Setengah sembilan,"

"Ralin...."
"Aku ingin bicara serius," Hardy benar-benar jadi serius.

Jangan sekarang, please.

Apa Hardy akan menembakku?

Agresif sekali.

Pikiranku kacau.

"Hardy, Kupikir kita harus pulang,"

Aku tak bisa sembunyikan ketakutanku.

Takut ditembak.

Hardy malah terkekeh juga mengangguk.

Lalu kami pergi ke kasir dan pergi ke parkiran.

Di parkiran lebih sepi dan intens.

Meski tempat terburuk untuk ditembak.

"Aku kan mau katakan sesuatu.... Kenapa juga kau minta pulang?"

"Memangnya kau ingin katakan apa?"

"Masa di parkiran begini, kurang pas ah momennya,"

"Ih tak peduli soal momen,"
"Cepat kau ingin katakan Apa?"

"Serius kau mau dengar sekarang?"

Aku mengangguk siap.

Lihat kebelakang hardy.

Aku deg-degan, sampai kau tak tahu apa yang Aku lakukan.

Kenapa 'sok berani' dengar begini sih.

"Tak usah basa-basi Kau tahu maksudku kan?" Hardy senyum.

Hardy benar, momennya tidak pas.

Kami berdua di remangnya parkiran Ore5.

Kami berdiri berhadapan.

Terhalang motor besar Hardy.

"M-memangnya apa yang kau maksud?"

Hardy senyum kearahku.

Dia duduk menyamping di motor orang lain.

Menghela napas.

"Masa kau tak mengerti," Hardy senyum jahil kearahku.

"Aku menyukaimu,"

Hardy tanpa basa-basi.

Ini hal yang paling aneh, Kalau bisa Aku ingin dia mengulangnya.

Masa diparkiran cafe.

Aku menunduk super gugup.

Cubit-cubit jok motor Hardy.
Atau gores-gores dengan kuku-ku.

Aku tak tahu apa yang Aku lakukan.

Aku sembunyikan senyum lebarku dengan cara menunduk.

Sedikit berpikir kilas balik.

Belajar dari masa lalu.

Tora dan Elang hanya dekatiku dan tak ada yang terjadi.

Semuanya pergi.
Dan harus Aku tinggalkan.

Tapi playboy ini.

Dia katakan secepat ini.... karena dia playboy.

Aku rasa Aku belum siap.

Hardy turun dari motor orang lain yang sempat Ia duduki itu.

Masih tersenyum, seoalah dia tahu sesuatu.

Senyum yang tak peduli jawabanku.

Lagipula Aku tak bisa katakan apa-apa.

Coba jadi Aku, sekarang.
Coba.

Sumpah tak ada keberanian lempar vas seperti kemarin sore.

Sedikit nyali pun tak ada.

"Ayo pulang," kata Hardy dengan terkekeh tak masalah.

Aku tak mau naik motor dia.
Aku tak mau naik motor Hardy dulu.

Bagaimana kalau Hardy kira Aku tidak mau?

Dan pergi dan tak ada kesempatan kedua untukku.

Aku menoleh kearahnya.

"Aku jawab di tempat favoritku,"

Hardy yang sudah naik motor balik badan tetap dengar hal itu.

"Dimana?" kata Hardy senyum.

"Di rumah, Nanti Aku beritahu...."

Aku tak berani lihat Hardy.

Mulai saat itu semuanya berbeda.

Kami tak ada obrolan di jalan.

Tak ada tuh debat seperti berangkat ke sini.

Kami sampai.

Di rumah sepi tak ada Papah dan Mamah.

Pak Ikin bilang.... Mereka pergi belanja bulanan belum lama setelah Aku pergi dengan Hardy.

Di rumah sepi.

Apa yang kalian pikirkan!

Masih Ada Pak Ikin juga Bi Inah yang sedang menyortir isi kulkas— sebelum belanjaan yang baru nanti datang.

"Ssstt, Ayo naik," Ajakku.

"Mau kemana?" Hardy Heran.

"Aku berikan jawabanku,"

Hardy mengikutiku masuk kamar.

Apa yang kalian pikirkan!?

Hardy membuka jaketnya.

"Hardy Kau mau apa?!" Tempat favoritku harus lewat balkon.

"Hanya buka jaket, memangnya tidak boleh?"

Hardy lempar Jaketnya ke ranjang empukku.

"Cepat, Aku butuh bantuanmu,"

"Apa?"

Aku menunjuk ke juluran tali tambang.

"Tarik itu kau sanggup meraihnya kan?"

Hardy memegangnya.

"Tarik...."

Deretan Anak tangga yang terbuat dari tali dan beberapa bambu yang diikat ke talinya.

"Kau yang membuatnya?"

Hardy kagum.

"Aku pernah belajar buat tandu di PMR.... Waktu Smp dulu,"

"Jangan mengintip!"

"Lihat tutorial dari youtube cara buat tangga tali..... Mudah kok, dengan modal keahlianku buat tandu, Ayo naik,"

"Apa talinya kuat?"

"Papah pernah naiki tangga ini, tenang saja,"

Hardy naik.

Dan kami di atas atap rumah sekarang.

"Kau santai sekali naiki tangganya, Kau sering memanjat?"

"Iya, Aku sering panjat pohon mangga yang ini," Aku tunjuk ke dahan pohon Mangga yang paling dekat ke atap.

Kami berbaring.

Hanya Hardy sih yang berbaring.

Aku duduk hampir selonjoran tahan kedua kakiku.

Pakai gaun di atap seperti ini, keputusan buruk.

Tapi Aku mau menjawabnya di sini.

"Kenapa kau suka di atas atap?"

"Entahlah, seru saja,"

"Tapi inikan berbahaya, kita di atas atap rumahmu yang lantai dua ini,"

"Mungkin kalau jatuh patah tulang,"

"Tidak juga, Aku pernah jatuh dari atap,"

"Seberapa buruk?"

"Sampai dadaku sesak dan kepalaku tak bisa rasakan apa-apa sebelum akhirnya sakit hebat tapi tak berdarah.

Saat Hardy katakan Dada, Aku melihat dada lebarnya, iya tahu... tubuhku saja yang kecil.

Dia menatapku mesum.

"Hardy Aku lompat nih. .. Kalau kau macam-macam!"

Hardy menepuk dadanya.

"Apa?"

"Ayo tiduran di sini....,"

Aku turunkan kunciranku.

Pindahkan ke samping.

Aku nurut saja.

Tak ada siapa-siapa, bukan?

Aku hanya jadikan dada Hardy sebagai bantal, tak ada yang lebih.

Kenapa juga Hardy belai rambutku seperti menyekanya tepat di dahi.

Dia lakukan itu berulang-ulang.

Aku tak merasa risih dia lakukan persis seperti Papah.... saat kami nonton film di ruang tengah, waktu Aku kecil dulu.

"Mau menghitung bintang?"

"Kau kan tahu Aku tak ahli menghitung,"

"Kalau hubungkan titik-titiknya bagaimana?"

Hardy tak menjawab.

Bahkan hentikan belai rambut di dahiku.

Tangannya menjulur ke gaun hitam ini.

Lalu ke bagian perut seperti merangkul dan tetap di sana.

Hardy merangkulku.

"Serius nih.... Kenapa kau suka di atap,"
"Maksudku kenapa tempat favoritmu harus di atap?"

"Aku suka ruang angkasa,"
"Juga penggemar star wars,"

"Star wars lagi?"

"Memangnya Aku pernah cerita?"

"Di ruang loker, Kau cerita soal hari itu maraton nonton star wars dengan Elang, maaf Aku tak tahu apa itu star wars,"

"Ih tak apa, kalau kau tak tahu.... Aku juga hanya kenalkan star wars pada Elang dan dia jadi suka,"

"Kau mengantuk tidak?"

"Iya, Aku kekenyangan,"

"Bagaimana jawabanmu?"

"Harus sekali dijawab?"
"Aku tak pernah ajak siapa pun ke sini, bahkan Astrid.... Kecuali Papah dan.... Kau,"

"Kau anggap Aku papahmu?"

"Mirip sih...." Aku keluarkan hp.

Hardy memegang pinggulku.

Tak kena secara langsung.

Umbaian berlapis di gaun ini yang mengembung yang dia pegang.

Telapak tangan kiriku diukurnya.

Sebelum Akhirnya digenggam, lewat setiap sela jariku.

Kadang dia memainkan jariku.

Sumpah itu sangat membuatku nyaman.

Mringkan kepalaku mainan hp diatas perut Hardy.

Aku ambil beberapa foto tanganku yang digenggam oleh tangan Hardy berlatarkan langit malam ini.

"Boleh kirim fotonya?"

"Boleh, tapi jangan di posting ke media sosial...."

"Maksudmu?"

"Ya untuk apa?"
"Hardy kumohon jangan diposting ya,"

"Jadi Kau tak suka pamerkan hubungan kita?"

"Iya tak harus dianggapkan.... Sama seperti Aku disekolah,"

"Bahas itu lagi?" Hardy melepas genggamannya dan terbangun.

"Ih!" Aku menampar bahunya.
"Kalau bangun bilang-bilang dong.... Kalau Aku jatuh bagaimana?"

"Itu mobil siapa?" Hardy menunjuk ke jalan.

Mirip mobil papah.

Mana kelihatan.

Entah kenapa kami panik.

"Aku turun duluan, tarik tangganya ya.... setelah Aku turun,"

"Ralin, bagaimana cara Aku turun nanti,"

"Tunggu saja, bagaimana kalau itu benar-benar mobil Papah?"
"Aku akan mengulur waktu,"

"Jujur saja, kita memang tak lakukan apa-apa kan?"

"Kalau mereka tak percaya bagaimana,  Dah Hardy.... sabarlah nanti Aku beri kode kok," Aku turun.

Aku cepat-cepat keluar.

Mobilnya makin jelas terdengar.

Itu mobil Papah.

Aku ke dapur coba bantu Bi Inah sebelum Papah masuk.

Bi Inah melihatku sinis.

"Bibi kenapa?"

"Apa yang Non Ralin lakuin di kamar sama pacarnya Non Ralin tadi?"

"Huh?"
"Nggak ada apa-apa, Ralin gak lakuin apa-apa...,"

"Pacarnya Non Ralin kemana?"

"Dia keluar barusan,"

"Non Ralin Tak usah bohong, Bibi dari tadi di dapur bereskan isi kulkas Tidak ada tuh lihat pacarnya Non Ralin turun....,"

Aku harus jawab apa?

Semuanya makin menegangkan.

Papah masuk langsung buka jaket.

"Mana Pacar Kamu si Hardy itu?"

"Dia keluar," Aku bohong lagi.

Sumpah Aku berkeringat.

Tak pernah berbohong-sebohong ini.

"Bi Inah telepon.... kalian berdua naik ke kamar!"

Aku tak bisa jawab.

Rasanya ingin menangis.

Seandainya Bi Inah tahu kami tak lakukan apa-apa.

"Sudah biar Papah periksa sendiri,"

Bi Inah memelukku.

"Apa yang Non Ralin lakukan?"

Aku mendorong Bi Inah.

"Bi Inah terus saja kira Ralin berbuat sesuatu, Bi Inah berlebihan,"

"Non Ralin.... Bi Inah gak mau hal buruk terjadi sama Non Ralin,"

"Halah.... Kelas 10 dulu Bi Inah kasih tahu Papah Aku bawa Elang ke rumah waktu Papah sama Mamah gak ada,  kami cuma nonton film di ruang tengah, gak ada yang lebih!"

Aku histeris, Aku tak mau lagi kesepian.

"Non Ralin,"

Aku sudah besar, Aku tahu mana yang baik dan buruk.

Aku harus dewasa.

Aku harus punya sifat konfrontasi.

"Bi Inah berlebihan tahu gak!"

"Non Ralin salah paham...."

Aku ke teras.

Terserah.

Mau Hardy ketahuan dipersembunyiannya pun tak peduli.

Aku tak tahu lagi.

"Papah keluar dengan jaket berbeda,"

"Gak usah nangis,"

"Awas kalau Ralin sembunyikan sesuatu dari Papah,"

"Papah panik tahu gak,"
"Papah mau jemput Mamah lagi.... Papah ke sini cuma mau memeriksa keadaan kamu,"

Papah acak-acak rambutku.

Dan cium dahiku.

"Kok Kamu bau parfum anak cowok?"
"Kalian pelukan?"
"Ciuman?"

"Ralin jangan sembunyikan sesuatu dari Papah,"

Apaan sih!

Papah kira Aku pelukan dengan Hardy?

Papah kira Aku ciuman?

Papah kira Aku sudah berubah?

Aku diam saja.

Rasanya ingin marah pada Papah.

Karena dia tak tahu kejadian Sebenarnya.

Memangnya Aku tak sembunyikan apa-apa.

"Papah akan pisahkan kamu sama Hardy, seperti Elang waktu itu,"

Papah pergi lagi dengan mobilnya.

Aku segera ke kamarku.

Pergi ke balkon sebut nama Hardy.

Tak ada jawaban.

Dia menelponku dia terkunci di ruang wardrobe.

Aku segera ke sana.

"Kamu nangis?"

Entah keberanian darimana Aku memeluk Hardy duluan.

Kami berpelukan.

"Hardy.... Papah kira Aku lakukan sesuatu denganmu,"

"Huh?"

"Aku takut...."
"Papah bilang kita pasti dipisahkan setelah kejadian ini,"

"Ya sudah, maaf Aku telah membuatmu menungguku makan di ruang loker,"

"Karena hal itu kita jadi Akrab, bukan?"

Hardy terus saja menghiburku.

Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Hardy.

"Sudahlah Ralin, terkadang banyak hal yang terjadi diluar rencana...,"

Mendengar hal itu.

Aku berjinjit dan mencium Hardy duluan.

Diluar rencana.

Aku hanya ingin keluarkan dia dari sini.

Papah tak bercanda soal pisahkan hubunganku dengan seseorang.

Astrid saja pernah dipisahkan dengan Leo mantannya yang dia bawa ke rumah.

Dan Papah marah besar.

Apalagi terjadi pada diriku sendiri.

Setidaknya Aku dapat ciuman perpisahan ini.

Kami cukup canggung.

Hardy tak menolak, bahkan Aku berhenti berjinjit dia yang justru menunduk-nunduk.

Kita jatuh dan timpa tangga kami sendiri.

Lagipula tak ada yang berubah setelah hari ini.

Karena Papah kira Aku sudah berubah.

Aku berubah sekalian.

Kami keluar cepat-cepat.

Aku tak mengantar Hardy turun.

Aku masuk ke kamarku.

"Ralin maafkan Aku telah mengenalmu dan mengacak-acak hidupmu,"

Duh playboy ini tak ada waktu untuk gombal.

Aku menutup pintunya.

Malas melepas gaunku.

Jaket Hardy tertinggal.

Di sekolah nanti Aku kembalikan.

Malam ini Aku tidur dengan bantal sambil taruh jaket Hardy di samping kepalaku.

Aku tidur dengan parfum Hardy di jaketnya ini.

Siapa tahu ini yang terakhir kali.

Karena Papah tak pernah main-main soal pisahkan Aku dengan seseorang.

Dan rasa 'manfaatkan kesempatan'-ku pun tak main-main.

Beranikan cium Hardy duluan.

Seperti itu kesempatan terakhirku.

Mengingatnya buat senyum-senyum sendiri meski sedih sekaligus.

Exist season 2

To be CONTINUED....

I'm VULNERABOY untill next time :3

Klo pembaca lama pasti tahu adegan Hardy terkunci pas sembunyi, karena Om Alfarizi sempat ganti jaket di ruang wardrobe.

Pembaca lama gak tahu keberanian Ralin yang satu itu.

































Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

5.6M 374K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
3.8M 303K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
704K 55.3K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...