Oh, Darling! [The Wattys 2021...

By IndahHanaco

1.5M 176K 7.2K

Rhea terpaksa menghadapi Dexter, mantan pacar Ellen, yang mengancam akan merusak nama kakaknya dan keluarga s... More

Prolog
Darling! [1]
Darling! [2]
Darling! [3]
Darling! [4]
Darling! [5]
Darling! [6]
Darling! [7]
Darling! [8]
Darling! [9]
Darling! [10]
Darling! [11]
Darling! [12]
Darling! [13]
Darling! [14]
Darling! [15]
Darling! [16]
Darling! [17]
Darling! [18]
Darling! [19]
Darling! [20]
Darling! [21]
Darling! [22]
Darling! [23]
Darling! [24]
Darling! [25]
Darling! [26]
Darling! [27]
Darling! [28]
Darling! [29]
Darling! [31]
Darling! [32]
Darling! [33]
Darling! [34]
Darling! [35]
Darling! [36]
Darling! [37]
Darling! [38]
Darling! [39]
Darling! [40]
Darling! [41]
Darling! [42]
Darling! [43]
Darling! [44]
Darling! [45]
Darling! [46]
Darling! [47]
Darling! [48]
Darling! [49]

Darling! [30]

21.5K 3.3K 292
By IndahHanaco

"The only way you can beat my crazy was by doing something crazy yourself. Thank you. I love you. I knew it the minute I met you. I'm sorry it took so long for me to catch up. I just got stuck."

(The Silver Linings Playbook)


Dexter memang bukan orang yang mudah diabaikan, Rhea harus mengakui itu. Pria itu sangat gigih dan enggan ditolak. Menelepon? Entah berapa puluh kali dia melakukan itu esoknya. Bahkan hingga berhari-hari setelahnya. Rhea mensyukuri jadwal balap Formula One yang padat, membuat Dexter tidak bisa berlama-lama berkeliaran di Jakarta. Dia tak berani membayangkan jika lelaki itu tidak harus terbang meninggalkan Jakarta.

Donald yang memiliki tatapan dan insting yang kadang lebih tajam dibanding silet pun tak ketinggalan ambil bagian untuk membuat Rhea kehilangan kata-kata. Pertanyaannya tentang kelanjutan kunjungan Dexter serta "kecurigaan" melihat lelaki itu menggandeng perempuan jangkung yang wajahnya tak terlihat jelas di acara Albert Swain, pura-pura tidak didengar Rhea. Untungnya lelaki itu bersedia mengalah dan tak lagi berusaha mencari tahu.

Bukan berarti Rhea ge-er dan mengira Dexter akan mati-matian berusaha menemuinya. Namun, melihat lelaki itu tidak putus asa mencoba menghubunginya meski teleponnya tak pernah diangkat, memberi sinyal tertentu, kan?

"Rhea, punya waktu sebentar? Papa baru pulang, ada yang pengin dibahas," kata ayahnya saat Rhea mengangkat telepon.

Rhea yang baru selesai mandi dan sedang berada di kamarnya, menekan rasa herannya. "Lima menit lagi aku ke ruang kerja Papa," janjinya.

Biasanya, ayah Rhea bersabar menunggu putrinya turun untuk makan malam jika ingin membahas sesuatu. Atau menunda hingga esok harinya jika waktunya sudah terlalu malam. Tidak punya waktu untuk menebak-nebak, Rhea menyisir rambutnya dengan cepat meski sempat meringis karena ada bagian yang kusut.

"Papa sudah makan?" tanya Rhea begitu membuka pintu dan berhadapan dengan ayahnya yang sedang duduk di sofa sambil bersandar.

"Nanti saja. Papa belum lapar. Sini!" Lelaki itu melambai, meminta putrinya duduk di sebelahnya. "Maaf, Papa nggak bermaksud mau ikut campur. Tapi, Papa ingin tahu sejauh apa hubunganmu sama Dexter. Mama sih sudah cerita cukup banyak. Tapi Papa pengin tahu langsung darimu, Nak."

Rhea melongo. Dia duduk dengan tubuh lemas karena tidak mengira ayahnya akan menyebut nama Dexter. "Belum jauh, Pa. Sama seperti yang aku ceritakan pada Mama. Kemungkinan besar nggak akan ke mana-mana," balasnya kemudian. "Eh, Mama belum pulang, ya?"

Ayahnya menggeleng. "Mama mau makan malam bersama tante-tantemu."

Rhea kian tak bertenaga. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Namanya dan Dexter akan banyak disebut dalam acara itu. Ibunya sangat kaget dengan pengakuannya dan sudah pasti tidak mau menyimpan kejutan itu sendirian. "Mama kadang bereaksi berlebihan. Aku sudah bisa ...."

"Nggak usah cemas! Papa sudah bilang supaya jangan membahas masalah kamu dan Dexter. Belum saatnya."

Rhea memandang ayahnya dengan rasa syukur yang besar. "Terima kasih, Pa."

Ayahnya mengangguk. "Nah, sekarang bisa cerita, kan?"

Mau tak mau Rhea pun mengulang cerita yang pernah dituturkannya pada sang ibu. "Di luar semua itu, kami berteman, Pa. Mungkin awalnya memang aneh, bertemu dan berkenalan langsung pun gara-gara masalah Ellen. Tapi, aku merasa nyaman."

Rhea nyaris tersedak saat menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya. Benarkah dia merasa nyaman dengan si Monster itu? Perempuan itu menelan ludah, tak sanggup menemukan alasan untuk membantah kata-katanya sendiri. "Apa ada masalah, Pa?" tanyanya kemudian. "Karena seharusnya kita nggak perlu membahas masalah ini."

"Buat Papa, nggak ada masalah. Sepanjang kamu yakin dan merasa bahagia, Nak. Dexter memang pernah bersama Ellen tapi mereka nggak berjodoh. Mungkin di mata orang awam, menjadi hal yang aneh karena kamu dekat dengan dia. Tapi, Papa mengenalmu. Papa tahu kamu bukan orang yang ceroboh."

Rhea hanya mampu tersenyum karena kata-kata menenangkan dari ayahnya. Hingga bom dijatuhkan. "Tadi Dexter menelepon Papa."

"Hah?" Rhea yakin telinganya bermasalah.

"Dexter menelepon Papa," ulang ayahnya. "Dia bilang kalau sekarang kalian sedang dekat. Dia minta maaf karena tidak bicara lebih dulu pada Papa soal kalian. Yang Papa tangkap, dia berusaha menunjukkan bahwa dia nggak sedang memanfaatkanmu atau semacamnya. Hal-hal yang Mama dan Papa takutkan."

Rhea tidak tahu bagaimana harus merespons berita itu. "Oh ya?"

"Dexter juga bilang, kamu lagi marah besar karena salah paham. Dia, sih, nggak menjelaskan apa yang terjadi. Intinya, dia minta bantuan Papa. Cuma untuk bilang kalau dia minta maaf. Dan nggak berniat melakukan hal yang menyakiti hatimu."

Rhea sesak napas. Untuk apa laki-laki lancang itu bergosip tentang hubungan mereka dengan ayahnya? Kepalanya mendadak berdenyut. Rhea tidak mengira jika Dexter mengambil jalan sejauh ini setelah semua teleponnya diabaikan. Mungkinkah lelaki itu ....

"Kalian bertengkar, ya? Dexter bilang, kamu nggak mau menerima teleponmu."

"Lain kali, kalau dia menelepon Papa, abaikan saja. Dia nggak seharusnya merecoki Papa dengan bergosip tentang aku," kata Rhea kesal. Kendati demikian, dia tak mampu menghalau perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Dia tidak mampu membayangkan Dexter bicara dengan ayahnya karena mereka bertengkar.

"Sebagai laki-laki, Papa cuma bisa bilang satu hal. Itu cara Dexter menunjukkan niat baiknya. Mungkin sekarang masih terlalu dini untuk menyimpulkan kalau dia serius sama kamu, Rhea. Karena masalahnya dengan Ellen pun belum lama, kan? Minimal, dia berusaha mendapat kepercayaan Papa."

Apa pun kesimpulan irvan, Rhea benar-benar tidak nyaman. Seharusnya Dexter tidak melibatkan ayahnya dalam masalah mereka, kan?

"Papa cuma mau menyampaikan pesannya saja. Papa senang kalau kamu akhirnya membuka hati pada seseorang. Meski kita belum tahu bagaimana akhirnya nanti."

Kalimat bijak ayahnya membuat perasaan Rhea membaik. Perempuan itu akhirnya cuma bisa menggumamkan terima kasih. Sayang, badai belum sepenuhnya reda. Dia bahkan belum punya waktu untuk benar-benar memikirkan percakapan dengan sang ayah ketika Ellen memasuki kamar sang adik. Hanya satu jam setelah perbincangan Rhea dengan ayahnya, Ellen mengunjungi rumah keluarga mereka. Nyaris berbarengan dengan kepulangan ibunda Rhea.

"Aku dan Richie bertengkar," beri tahu Ellen sambil menutup pintu kamar sang adik.

"Suami istri, kalau nggak berantem, bukannya malah aneh? Kalian, kan, masih pengantin baru, sedang menyesuaikan diri. Katanya, sih, itu saat-saat yang sering diwarnai pertengkaran. Kata psikolog, loh, ya." Rhea menuju ranjang, bersiap merebahkan diri. Tubuhnya terasa lelah dengan leher yang kaku karena terlalu banyak menunduk sehari ini. Dia menghabiskan waktu dengan mempelajari setumpuk dokumen.

"Rhea! Jangan cuek begitu, dong! Kamu nggak dengar apa? Aku dan—"

"Aku dengar, El!" tukas Rhea. "Aku bukan orang yang tepat untuk diajak bicara soal pertengkaran suami istri."

Ellen duduk di tepi ranjang, memandang adiknya dengan ekspresi memelas. "Kamu sekarang, kok, berubah, sih? Jadi nggak peduli lagi padaku."

Rhea menutup wajahnya dengan bantal. Sungguh, dia hanya ingin merasakan ketenangan tanpa diimbuhi dengan persoalan orang lain. Dia sendiri punya setumpuk masalah yang masih mengambang. Ketika akhirnya bantal itu diturunkan, Rhea menatap kakaknya dengan sungguh-sungguh saat bicara.

"Kalau kamu bermasalah dengan suamimu, selesaikan berdua. Aku nggak bisa memberi masukan apa pun karena aku belum menikah. Pulanglah, El, aku mau tidur," usirnya. "Hari ini aku capek banget, pekerjaanku bertumpuk."

Ellen tidak siap dengan reaksi adiknya. Awalnya, matanya membulat, sebelum kekesalannya tergambar jelas. "Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa. Selama ini ...."

Rhea memenuhi paru-parunya dengan udara, menolak mendengar kalimat tak orisinil yang sudah diucapkan Ellen bertahun-tahun. Senjata untuk membuat Rhea menuruti keinginannya. Rhea tahu, Ellen memanfaatkan ketidakmampuannya menghadapi keluhan dan airmata sang kakak.

"El, aku nggak mau lagi mendengar keluhanmu. Kamu sekarang, kan, punya suami. Aku sudah keluar dari hidupmu. Aku sendiri punya persoalan pelik. Masalah hidup dan mati. Jadi, kasih aku kesempatan untuk tidur." Ketegasan suara Rhea mengejutkan mereka berdua.

"Baiklah," jawaban Ellen melegakan Rhea. Terutama setelah melihat kakaknya benar-benar keluar dari kamar Rhea tanpa berusaha untuk membujuknya dengan tangisan atau kalimat yang bisa menarik simpati.

"Tuhan, apa yang harus kulakukan agar bisa bebas dari Ellen dan Dexter?" tanyanya lirih dengan tubuh menelentang dan mata menatap langit-langit kamar.

ketika teringat bahwa dia belum menyikat gigi, Rhea bergegas ke kamar mandi. Sayang, ketika kembali ke kamarnya, dia berhadapan lagi dengan Ellen. Rhea segera mengenali ekspresi murka di wajah kakaknya. Dengan perasaan lelah yang tak disembunyikan, perempuan itu memandang Ellen. "Ada apa lagi?"

"Ternyata ini yang kamu mau? Selama ini, kamu bersusah payah untuk melarangku pacaran dengan Dexter, karena kamu iri, kan? Kamu suka Dexter, kan, Rhea?"

Tuduhan itu begitu menyakitkan hati Rhea. Kata-kata Ellen sudah cukup kejam, masih ditambah dengan tatapan menuduh yang diselimuti permusuhan. Dia belum sempat merespons saat Ellen kembali bicara dengan nada marah.

"Nggak usah mencari alasan untuk mengelak, deh! Barusan Mama bilang kalau kamu dan Dexter lagi dekat. Kamu kira aku nggak kaget? Kami baru putus beberapa minggu tapi kamu sukses menggodanya. Bikin dia—"

"Kamu ngomong apa, sih?" bentak Rhea. Napasnya memburu, menahan emosi yang bergulung tanpa aba-aba. "Bagaimana aku bisa menyukai Dexter kalau sama sekali nggak kenal dia? Aku baru melihat langsung mantanmu itu waktu dia ke sini. Lupa?" balas Rhea tak kalah sengit. "Setelah semua ulahmu, kamu berani menuduhku melakukan hal jahat? Seakan aku yang membuat kalian putus. Siapa yang kawin lari, El?"

Wajah Ellen memucat. "Kata-katamu itu jahat banget, tahu! Cuma gara-gara Dexter kamu jadi kayak begini. Bagaimana aku bisa percaya kalau kamu nggak suka sama dia?"

Rhea menyabarkan diri saat menjawab. "Waktu dia jadi pacarmu, aku nggak punya perasaan apa pun. Kenal juga nggak. Dan sampai detik ini aku masih belum berubah pikiran, kalian nggak cocok!" Perempuan itu berusaha bernapas normal. "Tapi, terima kasih untukmu, karena sudah membuatku terjepit di antara kalian. Kamu lupa kalau memaksaku menuruti keinginan Dexter supaya dia nggak bicara ke media bahwa kamu menipunya? Kamu nggak tahu sulitnya kayak apa menghadapi mantanmu itu. Kamu, dengan sadar membiarkanku ...."

"Tapi, aku nggak pernah minta kamu untuk benar-benar dekat dengan dia, kan?" suara Ellen melengking. Rhea mengepalkan tangan.

"Bisa nggak kalau suaramu nggak sekencang itu? Apa kamu mau Mama dan Papa datang ke sini dan mendengar kita bertengkar gara-gara laki-laki? Kamu membuatku terdengar mirip perempuan berengsek."

Ellen mengentakkan kaki sembari maju dua langkah, memangkas jarak dengan sang adik. Telunjuk kanannya menekan bahu kiri Rhea dengan tenaga besar, hingga menimbulkan rasa nyeri. Rhea mundur selangkah.

"Biar saja semua orang tahu! Aku cuma minta kamu menuruti kemauannya, bukan malah sengaja mendekatinya! Hmm, ternyata kamu yang diajak Dexter datang ke acaranya Albert Swain. Pantas saja aku merasa familier dengan perempuan yang digandeng mantanku meski wajahmu nggak benar-benar kelihatan. Apa itu nggak bisa disebut pengkhianatan? Pasti kamu sudah menggoda Dexter mati-matian sampai dia mau mengajakmu ke acara itu."

Perasaan marah dan terhina membuat Rhea mendorong Ellen dengan kencang, hingga perempuan itu terjungkal ke lantai. Ketidakpercayaan mendominasi mimik Ellen ketika dia mengangkat wajah sembari mengaduh kesakitan. Rhea mengabaikan rasa nyeri akibat tusukan jari kakaknya.

"Seharusnya aku menamparmu karena sudah mengucapkan kalimat yang jahat banget. Tapi, tetap saja kamu kakakku, El! Terserah kamu mau percaya atau nggak, yang jelas aku nggak pernah berencana merebut atau menggoda pacar orang." Rhea berjalan menuju pintu, membukanya selebar mungkin.

"Kalaupun aku dan Dexter sekarang saling tertarik atau malah nantinya pacaran, itu bukan lagi urusanmu. Kamu yang meninggalkan Dexter, ingat itu! Kamu yang menikah dengan Richie hingga kalian putus. Bukan aku yang bergenit-genit supaya Dexter berpaling darimu. Jadi, kalau memang ada yang berkhianat, kamulah orangnya. Bukan aku!"

Rhea menatap Ellen yang sudah berdiri tegak dengan wajah memucat. Perempuan itu enggan merasa bersalah karena menurutnya Ellen sudah keterlaluan. "Sekarang, keluar dari kamarku! Sekali lagi kamu menuduhku macam-macam, aku lepas tangan kalau Dexter benar-benar menuntutmu untuk tuduhan penipuan," ancamnya. "Coba saja kalau kamu berani!"

Ellen keluar kamar tanpa bicara. Kendati demikian, Rhea tahu, masalahnya belum selesai. Kakaknya takkan membiarkan Rhea hidup tenang. Opini Ellen jelas, dia merasa Rhea sudah menjadi pengkhianat. Entahlah, apa Ellen pantas disebut manusia idiot karena tidak menyadari kesalahannya. Namun, Ellen adalah Ellen yang lebih suka mencari pembenaran dengan menyalahkan orang lain.

Kali ini, Rhea enggan mencemaskan Ellen. Dia sendiri memiliki persoalan yang mengganggu. Dexter sudah memberantakkan hidupnya dengan cara tak terduga. Perempuan itu mendapat pelajaran pahit, jangan pernah bermain-main dengan hati.

"Selain itu, jangan terlalu jauh mengkhayalnya, Rhea! Pura-pura pacaran lalu ternyata benar-benar jatuh cinta, cuma ada di novel atau film romantis. Aku memintamu melakukan ini karena pertimbangan untung-rugi. Bukan yang lain."

Andai kata-kata lelaki menyebalkan itu benar, alangkah bagusnya!


Lagu : Broken-Hearted Girl (Beyoncè)

Continue Reading

You'll Also Like

505K 853 4
Kumpulan Cerita Pendek, penuh gairah yang akan menemani kalian semua. 🔥🔥🔥
68.5K 10.6K 66
Haha. Satu kata itu mampu mewakili bagaimana konyolnya hidup ini. Semesta selalu saja memberikan kejutan. Di kehidupan yang penuh drama ini, kita...
3.2M 227K 49
¤ ¤ ¤ Highest rank #2 on chicklit (060217) Lanjutan dari "Contract Partner". Bagi yang mau membaca, silahkan baca Contract Partner terlebih dulu. Waj...
898K 75.8K 56
Karena, cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah hubungan. Sena cukup punya alasan untuk berpendapat bahwa jatuh cinta hanya membuat luka. Karen...