Buat Gadis Jatuh Cinta

Per beestinson

968K 85.5K 16.1K

Genre cerita ini contemporary romance 21+ Duda anak satu yang underestimate dengan seorang buruh pecatan pabr... Més

Guru Baru Adiba!
Majikanku 'Kejam'
Menaklukan Si Angkuh
Aku Sadar, Majikanku Tampan
Sepiring Penyesalan di Belakang
Rahasia Gadis
Taruhan dengan Majikan
Kupikir perbedaan kita tak berarti
Dua Puluh Juta Rupiah
Ciuman pertama kita, Dis.
Gadis, anak (saya) butuh kamu
Jodoh untuk Gadis
sWEeT Dream (21+)
Satu malam tidur dengan Gadis
Saya khawatirkan kamu, Dis...
Resign!!!
Investasi Bodong
"Sertifikat Hak Pakai"
Tria tidak jahat
Mesin jahit untuk Gadis
Malam Pertama Gadis (21+)
Can't Take My Hands Off You
Apa mauku? Kamu (21+)
Hadiah untuk Gadis (21+)
Tertangkap basah (A)
Tertangkap Basah (B)
Kekasih yang tak berhak cemburu
Sikapmu menyulitkan aku
Kisah Gadis yang terpuruk (21+)
KENCAN BUTA
Still can't take my hands off you
Kasih Tak Sampai
LAMARAN
WEDDING FAIR
Season 3 (jangan dibaca!)

Save the last date (21+)

29.8K 2.5K 1.1K
Per beestinson


Setelah pulih, hal pertama yang Tria lakukan adalah mengendarai skuter matic-nya. Tapi bukan untuk bersenang – senang.

"Konsen ya, Dis." Ia menepuk pundak tegang Gadis di depannya, "nyawa saya di tangan kamu. Kalau kita jatuh lagi, kayanya saya nggak gegar otak lagi. Tapi gila."

Gadis mengedikkan bahu sementara tangannya menggenggam kemudi terlalu kencang, "Pak Tria jangan bilang gitu. Lagian kenapa Bapak ngotot ajarin saya sih? Kan baru sembuh."

Pertanyaan yang seharusnya retoris itu mendapatkan jawaban dari Tria setelah kedua bahunya diremas dengan lembut, dan wajah pria itu mendekat ke telinga Gadis.

"Soalnya waktu kita udah nggak banyak, Dis."

Bisikan Tria tentu buat hati Gadis nyeri tapi ia tak ingin memperjelasnya. Alih – alih ia balas menggoda Tria.

"Pak, saya nggak tanggung jawab ya kalau motornya lecet lagi. Ini Bapak yang maksa lho."

Di belakangnya, Tria tergelak. "Ganti rugi seperti biasalah."

Gadis menarik gas di tangannya dengan hati – hati, bibirnya mengulum senyum bersamaan dengan laju pelan skuternya.

"Saya cuma mau kamu dapat sesuatu dari hubungan kita," ujar Tria pelan ketika Gadis sudah mulai bisa mengendalikan kemudinya, "setelah kita nggak sama - sama, kamu bisa mandiri. Bisa kendarai motor akan permudah mobilitas kamu. Kalau pengen beli kain, antar order, kamu nggak perlu jalan kaki lagi. Menjahit dan bikin pola aja sudah cukup menguras energi, kan."

"Pak Tria visioner ya. Saya merasa beruntung."

"Beruntung ya?" Tria mendengus, mengejek dirinya sendiri. "Ada beberapa hal yang ingin saya lakukan dengan kamu sebelum acara lamaran."

Mendengar nada muram Tria di akhir kalimat, Gadis mencoba menghiburnya, "kok bisa sih, Mba Sella mau gitu aja terima Pak Tria."

"Harusnya pertanyaan itu buat kamu. 'Kok bisa ya, Yoga mau gitu aja terima kamu?'"

Gadis mengulas senyum kering dan berkata, "iya juga."

*

"Gimana ngajinya?"

Tria menyambut Gadis dan Adiba yang baru saja turun dari becak. Diarahkannya mereka ke dalam mobil yang sudah ia siapkan sepulang kerja. Gadis pasti tidak menduga rencana Tria sore ini.

"Aku drill jilid 2-nya lancar soalnya udah diajarin Mba Gadis," jawabnya, lalu ia bertanya dengan polos, "kita mau ke mana, Pa?"

Tria menarik senyum miring di bibirnya sambil melirik wajah Gadis. "Diajarin Gadis ya?"

"Iya," Adiba mengangguk mantap lalu masuk ke jok belakang, "kita mau ke mana, Pa?"

"Diba nginep di rumah Oma ya. Papa mau lembur, Gadis mau pergi ke rumah singgah."

Perut Gadis menegang. Oh! Apa yang direncanakan duda kualitas premium ini?

Masih belum ada percakapan berarti sejak mereka meninggalkan Adiba di rumah Omanya. Tria bungkam, sementara Gadis takut untuk bertanya. Perempuan itu hanya meremas tangan di pangkuan dan menatap ke balik kaca. Ia terkejut saat tiba – tiba saja Tria meraih salah satu tangannya dan menyisipkan jarinya di sela jari – jari Gadis. Ia genggam Gadis dengan posesif.

Gadis tidak merasa asing dengan mall tempat mobil Tria berbelok. Mall di mana restoran steak yang dulu pernah mereka kunjungi berada. Tapi mereka tidak pergi ke restoran itu, Tria menariknya ke lantai atas tempat bioskop berada.

"Kita nonton film apa?" tanya Gadis penasaran.

Tria tak menjawab. Justru mengucapkan terimakasih pada petugas tiket, "Makasih ya, Mba!" Tangannya tak pernah melepaskan Gadis, sekarang pun ia menggandeng perempuan itu menuju counter makanan.

"Kamu mau apa? Pop corn caramel? Pop corn Oreo?" tanya Tria sambil membaca menu, lalu ia berpaling memandang Gadis, "kamu suka manis, kan?"

Hati Gadis menjadi kian hangat. Ah, tidak. Sekujur tubuhnya menghangat. "Oreo deh."

Tangan kiri Tria menggenggam minuman berukuran large. Tangan kanan Gadis menggenggam pop corn Oreo dalam kotak paling besar. Sisa tangan mereka tentu saja saling bergandengan. Gadis menggigit bibir, malu sekaligus senang karena beberapa perempuan di sekitar memandang iri padanya.

Gadis bingung saat Tria mengarahkannya ke tempat duduk sweet box di belakang yang hanya diisi oleh mereka berdua. Setelah itu ia berbisik mengulang pertanyaannya, "ini film apa?"

"Saya juga nggak tahu," jawab Tria tanpa dosa, "spontan aja. Dulu saya lihat kamu senang diajak ke bioskop."

Gadis baru saja membuat dirinya nyaman duduk berdua tanpa penghalang tapi kemudian Tria menariknya merapat, menyampirkan lengan di pudak Gadis. Menyukai kedekatan mereka di tempat umum, Gadis pun menyandarkan kepala di pundak Tria.

"Saya memang senang waktu itu, Pak. Karena dulunya saya pernah diajak ke bioskop tapi teman kencan saya malah kurang ajar."

Tubuh Tria menegang, "dia grepein kamu?"

Gadis mengedik tak acuh mengingat kejadian itu, "dia maksa cium bibir saya."

"Sial!" umpat Tria pelan.

Gadis yang mendengar itu terkejut bingung, ia menoleh pada Tria, pipinya menempel di pundak pria itu, "kenapa?"

Mulanya Tria menggeleng muram—kecewa pada diri sendiri, tapi kemudian ia mengaku. "Sebenarnya saya juga ingin melakukan hal yang sama ke kamu, Dis. Mungkin semua cowok punya niat itu ke kamu. Atau saya aja yang brengsek. Maaf-"

Tria tidak berani membalas tatapan Gadis yang berbisik polos, "Pak Tria mau cium saya di sini?"

Pria itu menggeleng setegah hati saat Gadis mengguncang pelan lengannya dan berbisik lagi, "Bapak beneran mau cium saya di sini?"

"Maaf, Gad-"

Secepat kilat Gadis mengecup bibirnya bahkan di saat Tria belum sempat merasakannya. Gadis meletakan tangannya di dada Tria dan berbisik, "mau apa lagi?"

Tria menjawab dengan tindakan liar yang sudah ia khayalkan belakangan ini. Ia memagut bibir Gadis lambat hingga berubah semakin memburu. Tangannya bergerak ringan di pundak Gadis lalu turun ke atas payudaranya. Dengan hati – hati ia meremas dada Gadis berulang kali.

Keduanya cukup ahli menelan suara satu sama lain dan berhati – hati agar aktivitas mereka tak mengundang rasa ingin tahu pengunjung lain. Melakukan aktivitas intim di tempat terbuka secara sembunyi – sembunyi diakui Gadis memiliki sensasi berbeda ketimbang di dalam kamar tertutup. Ia takut tertangkap basah tapi adrenalinya seakan terlalu tinggi untuk ditahan.

Gadis nyaris naik ke pangkuan Tria saat jari pria itu merayap masuk ke dalam roknya. Tria menemukan celah hangat Gadis yang menggodanya—otot kewanitaan Gadis menjepit jari Tria. Ia pun berdesis pelan di bibir Gadis, "sentuh saya, Dis!"

Sesuai pintanya, Gadis menyentuh gairah Tria yang keras dari luar celana panjangnya. Merasa tak mampu lagi menyembunyikan erang, mereka memutuskan untuk segera menyingkir dari sana.

"Pop corn Oreonya, Pak."

"Bisa – bisanya sih!" hardik Tria yang senewen karena pening hingga ke ubun – ubun, "nanti saya belikan lagi."

Kaca belakang mobil Tria sedikit berembun. Dari balik jendela yang dilapisi kaca film gelap itu, Gadis mengangkat satu kaki bersepatunya ke sandaran jok depan saat Tria dengan tidak sabar menghunjam kewanitaannya.

Di salah satu sudut parkiran mall lantai atas yang gelap dan tersembunyi, mobil Tria bergoyang.

"Ini gila sih, Dis," aku Tria takjub, "tapi saya lepas kendali. Saya hampir lakuin di bioskop."

Gadis menahan kedua pahanya tetap terbuka lebar dengan tangan agar pria itu leluasa memuaskan diri. "Pak Tria sering begini?"

Tria menggeleng. "Ini kegilaan pertama saya. Kamu buat saya gila."

Menit berikutnya kedua tangan Gadis menapak pada kaca jendela. Ia sedang duduk membelakangi Tria, memasrahkan dirinya didesak berulangkali hingga lemas.

"Pak, seharusnya kita cepat lakuin ini." Bisik Gadis.

"Kamu luar biasa enak, Dis."

"Pak Tria, jangan!" isak Gadis panik, "saya jadi pengen pipis."

"Kamu hebat kalau bisa pipis dalam keadaan seperti ini, Dis."

Gadis menggeleng, kian gelisah saat dirinya hampir meledak, "bukan mau saya, Pak. Itu-, Pak Tria!"

Erang Gadis dan Tria memenuhi ruangan sempit itu. Keduanya berhasil meraih pelepasan darurat dan luar biasa. Setelah itu Gadis ambruk kelelahan di atas jok dan bergumam protes.

"Yang buat saya lebih capek lagi karena saya deg – degan, Pak."

Di belakangnya, Tria terkekeh puas. Ia membelai rambut Gadis yang berantakan. "Yuk, makan!"

Selesai merapikan diri walau masih ada tanda – tanda kusut sisa bercinta di baju mereka, keduanya kembali ke dalam. Kali ini Tria membawanya ke restoran steak tempat di mana ia pernah diusir.

"Maaf sudah pernah usir kamu. Mungkin di masa depan kamu bisa datang sendiri ke sini, tapi biarin saya jadi yang pertama bawa kamu masuk. Seenggaknya ini memperbaiki memori kamu tentang tempat ini."

Gadis memperhatikan dengan penuh antusias ketika Tria mengiris daging untuknya dalam bentuk sekali makan. Tak ia duga pria di hadapannya mampu bersikap manis. Perasaannya campur aduk, apakah harus terharu atau bergairah.

"Mba Sella pasti senang banget dimanjain kaya gini." Gadis sengaja menggodanya, membawa nama Sella dalam momen ini merusak mood Tria.

"Saya cuma iriskan daging untuk kamu dan Diba karena kalian berdua nggak bisa makan steak sendiri."

Mengerucutkan bibirnya, Gadis mengunyah potongan daging itu dengan kesal terlebih saat melihat senyum tidak sopan Tria.

Akan tetapi kekesalannya luntur saat tiba – tiba saja Tria menggenggam tangannya di atas meja dan bertanya, "suka?"

Gadis mengangguk, "saya suka. Ini enak banget. Akhirnya saya sudah nggak penasaran. Waktu itu saya cuma bisa cium baunya saja."

Tria tersenyum muram, ibu jarinya mengelus punggung tangan Gadis sebagai ungkapan penyesalan. "Maaf untuk yang sudah – sudah..."

Hampir satu jam setelahnya tubuh Gadis terhempas pada permukaan dinding kamar hotel. Tria menahan Gadis di sana lalu menciumnya bertubi – tubi.

Gadis mengimbanginya dengan melingkarkan kedua tungkai bersepatunya ke sekeliling pinggang Tria—tak ingin pria itu menjauh. Sepuluh jari tangannya bekerja sama meremas rambut tebal Tria saat mereka berciuman.

"Pak Tria memang jahat," erang Gadis saat bibir Tria menyusuri lehernya, "saya sudah kelaparan waktu itu tapi Bapak tega usir saya."

"Maaf, Gadis..." ucap Tria saat berkutat dengan ikat pinggang dan resletingnya sendiri. Ia mengulum dua jarinya sebelum mengorek ke dalam rok perempuannya. "Oh, shit! Basah, Dis."

"Bapak nggak malu-" punggung Gadis melengkung saat jari Tria menerobos celahnya yang panas dan basah, "dulu Pak Tria jijik pada saya, sekarang malah nikmatin badan saya."

Tria sempat menggeleng sebagai jawaban sebelum mengarahkan kejantanannya yang keras ke selangkangan Gadis.

"Saya rela jilat ludah saya sendiri. Oh! Bahkan saya mau jilat ludah kamu juga, Dis."

Ucapan Tria terdengar sangat tidak senonoh di telinga Gadis. Keduanya sadar bukan itu makna yang sebenarnya.

Tiba – tiba saja Gadis menggeliat dan melompat turun sebelum mereka berhasil menyatu. "Kalau begitu turunin saya, Pak."

"Kamu mau ap-"

Mata Tria melebar saat Gadis berlutut di antara kakinya. Tangannya yang halus menggenggam gairah Tria. Pria itu berpegangan pada dinding di depannya saat mulut Gadis melahap seluruh gairahnya. Wajah Tria tegang menahan pelepasan saat liur Gadis membasahinya. Begitu licin dan hangat.

"Udah, Dis. Kecuali kamu mau saya klimaks di mulut kamu."

"Bapak mau?"

"Nggak," ia menggeleng cepat, "saya lebih suka menguji IUD kamu."

Tria menarik Gadis berdiri, membalik tubuhnya hingga menghadap dinding. Kemudian ia hunjamkan gairahnya dengan tidak lembut pada kewanitaan Gadis yang sangat basah. Jari – jari besar Tria meremas rambut Gadis setiap kali ia menjangkau lebih dalam.

"Kamu mau saya berhenti?" ancam Tria saat Gadis sudah mendekati pelepasannya. Perempuan itu hanya menggeleng protes.

"Jangan!"

Tria bergerak maju, menggigit daun telinga Gadis lalu membisikkan instruksi. "Panggil saya 'Sayang' saat kamu 'pipis', Dis. Biar jadi kenangan untuk saya."

Gadis menopang tubuh saat Tria terus menderanya. Seluruh tubuhnya bergolak mengikuti irama yang pria itu bawakan. Tiba – tiba saja Gadis merasakan otot bokong dan kewanitaannya mengencang, napasnya pun semakin memburu.

"Sayang-" bisik Gadis panik.

"Terusin, Yang."

"Sayang, aku-" Gadis menengadahkan wajahnya dan memejamkan mata. Pria itu terasa begitu nikmat. "Sayang, aku- mau- 'pipis'!"

Jerit Gadis yang terputus – putus merasuk ke dalam kepala Tria.

Gadis berbalik, melingkarkan satu kakinya pada Tria saat ia kembali didesak. Ia pandangi wajah terpahat kaku oleh gairah itu. Tangannya mengusap rahang Tria dengan lembut, ia tak segan menatap tajamnya sorot mata hitam Tria.

"Andai nggak ada IUD, saya sudah beri Bapak banyak anak."

Tubuh Tria semakin panas oleh karena godaan Gadis. "Anak kita, Dis!"

"Anak yang nggak mungkin ada itu akan sangat luar biasa. Dia bakal tampan seperti Papanya." Bibir Gadis mendadak kering saat air mata hampir muncul, "anak kita berdua. Cowok kecil ketus yang akan selalu lari ke pelukan saya karena kalah ketus dari Papanya."

"Kalau dia mirip saya, itu artinya kamu cinta saya, Dis."

Tubuh Gadis bergidik menyadari kebenarannya. Ia hanya menatap pria itu tanpa daya menyimpan kebenaran bahwa jauh di lubuk hatinya ia memiliki perasaan khusus pada Tria.

Seluruh nyeri terasa setimpal setelah Tria berhasil melepaskan diri dalam tubuhnya. Tapi mereka berdua tahu pertahanan alat kontrasepsi dalam tubuh Gadis akan menyelamatkan mereka berdua dari sesal tak berkesudahan.

"Dis, kita ini mungkin nggak sih?"

Terdiam, Gadis mengerti apa yang pria itu inginkan. Gadis pun menggeleng, "Pak, saya belum bisa tinggalkan Dia demi Pak Tria."

"Tapi kamu ajarin Diba-"

"Itu karena saya bisa, dan saya sayang Diba."

"Berarti, kalau kamu sayang pada saya, kita bukannya tidak mungkin, kan?"

Gadis hanya menatap ke dalam mata Tria yang terbentuk tajam lalu berkata, "hubungan ini masih soal badan, kan? Nggak pakai hati."

Keduanya sepakat karena itu yang terbaik dan tak ada jalan yang lebih baik. Kemudian keduanya berbagi rahasia. Akhirnya Gadis tahu bahwa cinta sejatinya bukanlah mendiang sang istri. Pria itu memulai kisah cintanya yang berantakan dengan sederet wanita tapi Kumala yang menjadi tokoh utamanya.

"Kumala masih hidup. Dan dia perempuan paling menyebalkan."

Sementara Gadis bercerita tentang masa kecilnya, kerinduannya akan sosok ayah. Setiap kali Diora pulang dengan pria yang berbeda, Gadis selalu berharap salah satu dari mereka adalah ayahnya.

Kemudian masa remaja yang kelam saat klepto mulai terdeteksi dalam dirinya. Tangannya pernah diikat dengan tali tampar dan diseret menuju balai RW, setelah itu Diora akan datang dan menyelesaikan masalah. Akan tetapi Diora tak pernah menyalahkannya, wanita itu justru menangis diam - diam karena penyakit yang diidap sang putri.

"Marsel bilang kemungkinan Papa saya ningrat. Mama juga pernah bercerita bahwa saya muncul saat cintanya dengan seorang jenderal tengah bersemi. Jadi saya tidak tahu apakah Papa saya seorang ningrat atau seorang jenderal. Yang saya tahu, saya tidak punya Papa."

Malam menjadi sempurna karena ditutup dengan tidur telanjang di bawah selimut yang sama sampai siang menjelang. Bercinta sekali lagi di ranjang, sekali lagi di kamar mandi, keduanya pun bersiap pulang.

Gadis dan Tria yang sedangdimabuk cinta—atau mungkin nafsu, pun lupa daratan. Masuk ke dalam mobil diparkiran basement, keduanya masih sempat berciuman. Tak sadar jika sebuah Fortunerputih terparkir tak jauh dari sana, Yoga... melihat semuanya.

Continua llegint

You'll Also Like

518K 34.2K 32
Pawang Hujan Kehujanan adalah cerita tentang orang-orang yang tidak siap dengan peran yang mereka pilih untuk dirinya sendiri, karena pada akhirnya...
1.1K 83 6
Kafi tidak mau Lindy, istrinya, menjadi pole dancer untuk menopang hidup mereka. Datanglah Lena, perempuan kaya raya, yang naksir berat pada Kafi. Ka...
1.9K 414 8
Kafi berpikir hidupnya akan damai dan sejahtera saat sudah bisa bersatu dengan Aisyah namun nyatanya mempertahankan hubungan jauh lebih sulit daripad...
3.7K 414 12
[12/12] BEFORE YOU PUSH THE BUTTON UP THERE I AWARE YOU, THIS IS TOTALLY SUPER WEIRD STORY⛔⛔ "Lo tau nggak? Hari ini gue ujian fisika dan setelah gue...