LOVEBIRD

By zahirra

1.6M 74.9K 2.2K

Apa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan d... More

LOVEBIRD
Lovebird 1
Lovebird 2
Lovebird 3
Lovebird 4
Lovebird 5
Lovebird 6
Lovebird 7
Lovebird 8
Lovebird 9
Lovebird 10
Lovebird 11
Lovebird 12
Lovebird 13
Lovebird 14
Lovebird 15
Lovebird 16
Lovebird 17
Lovebird 18
Lovebird 19
Lovebird 20
Lovebird 22
Lovebird 23
Lovebird 24
Lovebird 25
Lovebird 26 (re-post)
Lovebird 27
EPILOG

Lovebird 21

50.4K 2.5K 89
By zahirra

Di sebuah restoran mewah duduk seorang wanita dengan pakaian sederhana yang membalut tubuhnya, dia tidak menggunakan aksesoris apapun hanya cincin emas dengan permata kecil yang melingkar di jari manisnya --cincin pernikahan dengan suami keduanya--. Make-up yang digunakannya pun sangat tipis,menonjolkan kecantikkannya.

Beberapa kali dia melirik pintu masuk seperti menunggu seseorang, meskipun terkadang asik dengan minumannya tapi setiap ada yang masuk dia selalu meliriknya, sekali-kali dia melihat  ponsel yang sengaja di simpannya di atas meja tepat di samping minuman yang sedang dia aduk.

Dengan sabar ditunggunya orang yang membuat janji dengannya sampai orang itu datang dan meminta maaf atas keterlambatannya.

"Tidak apa-apa." Jawab si wanita ketika orang yang ditunggunya terus meminta maaf.

"Duduklah." Si wanita menyuruh orang yang dari tadi ditunggunya untuk duduk.

Tanpa basa-basi si wanita langsung ke pokok permasalahannya, karena dia tidak ingin berlama-lama duduk dengan seseorang yang di sewanya untuk menyelidiki sesuatu.

"Bagaimana?" Tanyanya tenang sambil menatap informan yang di sewanya dua hari belakangan ini.

"Beres Bu, ini data-datanya." Informan tersebut mengeluarkan amplop coklat seukuran A4 dan menyerahkannya.

Dengan cepat si wanita membuka amplop yang di pegangnya dan mengeluarkan isinya lalu membacanya dengan teliti, meskipun hanya terdiri dari empat lembar tapi si wanita cukup lama membacanya, dia sampai beberapa kali membolak-balokan kertas yang di pegangnya sebelum akhirnya menatap informan yang di sewanya dengan tatapan puas dan kembali memasukkan kertas tersebut kedalam amplop.

"Sudah saya duga." Katanya sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya, wajahnya datar, ekspresinya tidak terbaca.

"Terima kasih, tidak sia-sia saya membayar mahal." Si wanita menjabat tangan informan yang di sewanya sambil berdiri.

"Sama-sama Bu. Jangan sungkan untuk menghubungi saya kalau Ibu membutuhkan sesuatu untuk saya selidiki."

"Pasti."

"Kalau begitu saya permisi."

"Ya." Jawab si wanita sambil kembali duduk dan mengaduk minumannya.

***

Nino POV

Aku sudah curiga, pasti Mama mengetahui sesuatu sampai menyuruhku pulang secepat yang aku bisa, padahal banyak sekali pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan. Dengan terpaksa aku meninggalkannya dan pulang lebih cepat karena ancaman Mama yang tidak akan pernah mengakuiku sebagai anak kalau aku membantah perintahnya.

Ketika aku melangkah masuk ke dalam rumah, ku lihat Mama dan Luca sudah duduk di ruang keluarga menunggu kedatanganku. Mama diam, dia duduk dengan menegakkan punggungnya, hal yang jarang sekali di lakukannya, biasanya Mama akan duduk santai sambil meminum teh herbalnya, tapi kali ini tidak ada teh herbal di atas meja. Begitupun dengan Luca dari tadi ku lihat Luca duduk tidak nyaman dan gelisah. Atmosfer ketegangan menyelimuti mereka berdua.

"Ada apa?" Ku hampiri Mama dan Luca yang sedang menungguku.

"Akhirnya Bang Nino datang, duduk Bang." Aku duduk di samping Luca tanpa protes, berhadapan dengan Mama yang sebentar lagi pasti akan meledak marah.

"Mama sudah tau semuanya Bang." Bisik Luca dan aku sempat tertegun kemudian mengangguk mengerti. Aku memang sudah menduganya Mama akan tahu tapi tidak secepat ini. Aku harus sudah siap apapun bentuk kemarahan Mama aku harus bisa menerimanya.

"Bacalah ini." Mama menyerahkan amplop coklat yang dari tadi berada di atas meja.

Ku ambil amplop yang di serahkan Mama dan membuka isinya, lalu membacanya sekilas dan menyimpannya kembali di atas meja. Mama ternyata bergerak lebih cepat dari perkiraanku.

"Tidak ada yang perlu aku jelaskan sama Mama, semua sudah jelas tertulis di sini."

"Baiklah." Mama menarik napas panjang. "Kenapa dari awal kamu tidak bilang kalau Melati itu putri dari Tyo Bratawijaya?"

"Akupun sama kagetnya dengan Mama ketika tau dia anak siapa,  tapi aku mencintainya ma dan aku tidak ingin Mama mengusirnya keluar dari rumah ini. Hanya gara-gara Melati anaknya Om Tyo." Ku lihat Mama hanya membuang muka, seperti membuang masa lalunya yang pahit.

Aku tahu, Mama pasti kecewa melihat hubunganku dengan Melati yang notabene adalah anak dari Om Tyo mantan pacarnya yang telah menyakitinya. Setelah Ayahku meninggal dunia Mama lebih memilih menjalin hubungan dengan Om Tyo, seorang pria single, baik dan pengertian dan mau menerima Mama apa adanya, seorang janda beranak satu, hidup seorang diri tanpa mempunyai siapapun.  Waktu lima tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan dan saling mengenal satu sama lain. Jadi bohong kalau Mama bilang sudah melupakan Om Tyo.

Tapi itu semua hanya masa lalu, masa lalu Mama dan Om Tyo tiga puluh tahun yang lalu, tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Mama tidak berhak melarangku berhubungan dengan Melati hanya gara-gara Melati adalah anak dari mantan pacarnya yang telah menyakitinya.

"Seandainya Mama tidak menyetujui hubungan kamu dan Melati, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan Mama membuyarkan lamunanku.

"Demi Tuhan, ma. Jangan bawa-bawa hubungan kami! Hubungan Mama dan Om Tyo berakhir jauh sebelum Melati lahir, lagi pula Om Tyo sudah tidak ada, tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal." Aku tidak akan membiarka Mama menantang hubunganku dengan Melati. Bagaimana pun caranya Melati harus bisa menjadi istriku.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya penuh penekanan dan menatapku tajam.

"Berhenti mencampuri urusan kami!"

"APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN?" Bentak mama sampai membuat aku dan Luca kaget.

"Aku akan tetap mempertahankannya meskipun tanpa restu Mama." Aku mengalah dan menjawab pertanyaan Mama.

"Baiklah, sekarang telepon dia dan suruh pulang!"

"Ma...." Mama menunggu aku menghubungi Melati.

Hening......

kami diam dan saling menatap. Di sini aku yang salah dan aku yang akan mempertanggungjawabkan semuanya, tidak ada sangkut pautnya dengan Melati, dia hanya korban.

"Baiklah, aku akan menelepon Melati dan menyuruhnya pulang. Tapi Mama janji tidak akan membongkar kebohongan Fio." Aku mengalah.

"Kamu sudah benar-benar keterlaluan, berbohong demi mendapatkan apa yang kamu mau!"

"Melati pantas di perjuangkan ma."

"Dengan membuat nama mama jelek di mata dia?"

"Ok, kami salah, kami minta maaf atas kebohongan yang kami ciptakan. Tapi aku mohon, biarkan aku yang menyelesaikan semuanya dan berbicara dengan Melati."

"Mama tidak mau dengar apapun lagi, sekarang juga telepon Melati!"

Dengan enggan akhirnya aku mengalah dan menghubungi Melati. Mama masih menatapku dan menungguku selesai bicara dengan Melati.

"Melati akan pulang segera."

"Baguslah."

***

Melati POV

Aku duduk dengan tegang di samping Nino menunggu eksekusi dari Tante Ranti Mamanya Nino, tadi Nino sempat menjelaskan semuanya melalui telepon meskipun hanya sekilas. Tante Ranti sudah tahu pernikahan palsu kami dan sekarang kami sedang menunggu apa yang akan di lakukannya.

Kami semua tidak terlalu salah dengan membuat rencana ini. Kami hanya ingin menyelamatkan Tydes dari perlakuan kejam neneknya.

"Jadi, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu punya orang tua dan bukan hidup sendiri seperti yang kamu bilang." Ku tatap sebuah amplop yang masih tergeletak diatas meja, jadi Tante Ranti sudah melakukan penyelidikan terhadap masa laluku. Baguslah, aku tidak perlu menjelaskan apapun lagi.

"Ibu kamu bernama Sarah, Ayah kamu bernama Tyo dan kakek kamu Bratawijaya. Keluarga yang sempurna. Kenapa kamu malah menyembunyikan semuanya? Apa kamu malu punya keluarga seperti mereka? Kakek yang seorang pejabat daerah, Ayah yang seorang anak pejabat dan Ibu yang seorang......."

"Cukup! Mama tidak perlu menjelaskan lagi semua yang Mama tau." Aku benar-benar tidak tahan, maka ku potong ucapan Tante Ranti yang sepertinya tau banyak tentang keluargaku. Aku pikir Tante Ranti akan membicarakan dan membahas pernikahan pura-pura kami tapi sepertinya dia lebih tertarik dengan masa laluku.

"Kenapa. Kamu malu?" Tante Ranti mulai membalas tatapan mataku dengan tenang, tatapan Iba seorang Ibu yang paling aku benci. Aku benci di kasihani.

"Mereka sudah meninggal, tidak baik membicarakan orang yang sudah tidak ada."

"Seberapa bencikah kamu terhadap keluarga kamu Mel?" Aku mulai gelisah, sampai tidak sadar meremas-remas jariku sendiri dan membuang muka. Seandainya Ayah mau menjadi orang yang baik, mungkin aku tidak akan  membencinya seperti sekarang ini.

"Aku tidak tau, terlalu sulit untuk memaafkan kesalahan mereka."

"Kalau begitu, kamu tidak keberatankan kalau mama minta ke kamu jauhi Nino." Aku dan Nino kaget sampai kita berdua menatap mama hampir bersamaan.

"Ma....." Nino mulai protes.

"Nino berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari kamu Mel. Maafkan Mama." Tante Ranti berbicara padaku tanpa menghiraukan Nino yang sudah mulai kesal.

Aku hanya bisa mengangguk dan menelan ludah beberapa kali tanpa mampu menjawab. Keputusannya sudah final, Tante Ranti sudah tahu semuanya, dia tidak salah mengusirku dan menyuruhku meninggalkan Nino. Tapi apa aku siap harus berjauhan dengan Mereka? terutama Fio dan Tydes yang selalu mengisi hariku selama seminggu ini.

"Ma, CUKUP! Jangan hanya gara-gara Mama tidak jadi menikah dengan Om Tyo, mama melarang aku berhubungan dengan Melati!" Aku langsung menatap Nino di sampingku meminta penjelasannya. Cerita apa lagi ini? Nino tidak pernah cerita kalau Mamanya pernah menjalin hubungan dengan Ayahku.

"Kenapa-kenapa kamu tidak cerita?" Aku mulai mengerti kenapa Tante Ranti melarang kami berhubungan dan menyuruhku menjauhi Nino. Semua karena kelakuan Ayah yang mungin telah menyakitinya di masa lalu. Aku paham Tante Ranti pasti tidak ingin Nino tersakiti seperti dirinya.

Lihatlah Ayah, sudah meninggal pun Ayah masih juga menyusahkan hidupku. Kenapa harus Ayah yang jadi pacarnya Tante Ranti? Kenapa bukan orang lain yang lebih baik dari Ayah.

"Demi Tuhan, Mel. Itu hanya masa lalu mereka. Tidak ada hubungannya dengan kita." Nino mulai menggenggam jari tanganku dan meremasnya, dia berusaha meyakinkan aku bahwa dia mencintaiku dan jangan pernah mendengarkan ucapan Mamanya. Aku menepis tangan Nino dan berusaha kuat dengan sekuat tenaga menahan air mataku supaya tidak terjatuh di hadapan Nino dan Ibunya. "Semuanya sekarang sudah jelas." Ucapku lirih.

"Melati tidak cukup pantas untuk mendamping kamu Nino!" Ya, aku sadar Nino memang berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada aku.

"Berhenti memojokkan Melati seperti itu! apapun dia, siapapun dia aku akan tetap mencintainya dan menikahinya." Jawab Nino dengan lantang, dia sudah dibutakan oleh cinta sampai berani membentak Mamanya sendiri.

"Apa kamu akan terus mempertahankan perempuan yang tidak punya hati seperti dia. Kamu sebaiknya berpikir dua kali untuk menikah dengannya. Dia terang-terangan menyatakan kebenciannya pada keluarganya dan bisa jadi setelah menjadi istri kamu dia juga akan membenci kamu dan anak-anak kamu."

Aku tidak tahan dengan ucapan yang keluar dari mulut Tante Ranti, aku tidak sepicik. "Aku tidak membenci mereka. Aku hanya membenci Ayahku." Emosiku mulai tersulut, aku tidak sejahat itu, aku menyayangi Fio dan Tydes, seperti aku menyayangi diriku sendiri. Sekarang di sini siapa yang tidak punya hati. Aku atau Tante Ranti yang telah tega membuang cucunya sendiri?

"Membenci Ayah yang telah menyelematkan reputasi keluarganya. Apa kamu tidak tau kalau Ayah kamu rela mengorbankan dirinya untuk nama besar keluarga Bratawijaya." Aku diam, berbagai pertanyaan mulai berkecambuk di dalam pikiranku. Pengorbanan apa yang di lakukan Ayah untuk menyelamatkan nama besar keluargaku? Karena ku lihat selama ini Ayah hanyalah seorang pria dewasa yang selalu menyakiti hati Ibunya.

"Maksud Mama apa?"

"Bisa Mama jelaskan sama kami?" Nino pun sama tidak tahunya denganku.

"Dulu Ibu kamu hamil karena ulah kakek kamu." Aku semakin diam dengan jantung berdetak tidak karuan, seseorang di masa lalu  tahu persis apa yang menimpa keluargaku akan menceritakan kisah yang sama sekali tidak ku ketahui.

"Waktu itu kakek kamu menjabar sebagai petinggi daerah, tentunya kamu masih ingatkan?" Tentu saja aku masih ingat, hidup mewah dengan segala kebutuhan terpenuhi, aku tidak akan pernah  melupakan masa-masa itu, aku  sudah cukup besar dan mengerti dengan jabatan yang kakek pegang saat itu.

"Dia sangat dihormati semua kalangan. Sampai kemudian seorang pembantu rumah tangga mengaku dihamili kakek kamu. Karena tidak ingin kehilangan muka di depan masyarakat banyak, kakek kamu menyuruh Ayah kamu untuk menikahinya. Sampai masa jabatannya berakhir dan setelah itu Ayah kamu boleh menceraikan Ibu kamu. Tapi Tuhan berkata lain, setelah lima tahun jabatannya berakhir kakek kamu malah di pilih kembali untuk lima tahun kedepan." Aku langsung lemas mendapati kenyataan bahwa akulah anak dari kakekku. Kakek yang selalu aku bangga-banggakan, kakek yang baik dan penuh pengertian, kakek yang selalu mengajarkan aku supaya bisa menerima Ayah dan tidak membencinya. Kakek yang seorang pejabat tinggi daerah yang sangat di hormati semua kalangan tega melakukan itu semua.

Tubuhku bergetar. Tidak seharusnya aku membenci Ayah, tidak seharusnya aku mensyukuri kepergiannya. Ayah tidak salah, sudah sewajarnya dia membenci Ibu dan Aku.

"Kamu salah telah membenci orang yang menyelamatkan nama baik keluarga? Ayah kamu rela mengorban semuanya untuk kepentingan keluarganya, Dia rela meninggalkan perempuan yang dicintainya, yang telah dipacarinya selama lima tahun demi sebuah nama baik."

"Ma-maaf aku." Tangis ku pecah saat itu juga. "Aku betul-betul minta maaf dengan apa yang terjadi di masa lalu. Ak-Aku minta maaf." Aku berlari menuju kamar Nino tidak kuat menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa akulah anak dari kakek, kenyataan bahwa akulah orang yang paling membenci Ayah, kenyataan bahwa dialah orang yang telah menyelamatkan reputasi kakek.

Aku mengunci pintu kamar dan menyandarkan tubuhku di balik pintu sambil menagis, ku pegang dadaku yang terasa sakit, tanpa sadar aku terduduk lemas.

Semua kebencianku terhadap Ayah hilang dalam sekejap yang ada sekarang aku merasa bersalah. Merasa bersalah karena telah membencinya, merasa bersalah karena selalu mensyukuri kepergiannya.

Penghianatan Ayah terhadap Ibu yang selalu aku lihat selama ini sudah tidak ada artinya lagi. Aku paham dan aku mengerti kenapa Ayah melakukan penghiantan demi penghianatan karena hanya itu yang bisa di lakukan Ayah untuk protes terhadap sikap semena-mena kakek.
Kakek, aku tidak menyangka hanya demi jabatan tinggi kakek rela mengorbankan kebahagian anaknya.

Tangisan ku semakin menjadi,  sekarang aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana berhadapan dengan keluarga Nino. Aku malu.

Jalan satu-satunya aku harus pergi dari rumah ini dan pergi  meninggalkan Nino seperti permintaan Mamanya.

"Mel." Nino duduk di sampingku dan menyentuh bahuku lalu mengusapnya secara perlahan, aku tidak menyadari kapan Nino masuk.

"Maafkan aku." Dengan terbata aku meminta maaf sekali lagi. Ku lihat Nino tersenyum sambil terus mengusap bahuku. Ada kehangatan di sana, aku merasa terlindungi.

"Sudahlah." Nino menarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku semakin merasa bersalah sampai tangisanku tidak mau berhenti.

"Menagislah kalau itu bisa membuat kamu lega." Bisiknya dengan mengusap punggungku lembut.

Cukup lama aku menagis di dalam pelukan Nino sampai akhirnya aku merasa tenang dan lebih baik, sejauh ini Nino cukup sabar dengan tidak memberikanku berbagai pertanyaan. Perlahan aku mulai melepaskan pelukannya dan memberikan dia sedikit senyum.

"Terima kasih." Ucapku dengan parau.

"Bagaimana sekarang. Merasa lebih baik?" Aku hanya menganggukan kepala.

"Atas nama Ibuku, aku minta maaf." Dengan tulus aku meminta maaf, karena bagaimana pun juga Ibuku yang membuat pernikahan Tante Ranti dan Ayahku batal.

"Sudahlah Mel, Kamu tidak perlu minta maaf atas kesalahan mereka."

"Aku putrinya, karena aku mereka tidak jadi menikah." Nino hanya kembali memelukku.

"Kalau mereka menikah, kita tidak mungkin menikah." Bisik Nino sambil tersenyum penuh arti.

Aku mendorongnya sedikit dan menatapnya. "Berapa lama kamu mengenal Ayahku?" Rasa ingin tau ku begitu besar, aku ingin mengenal Ayahku dari cerita Nino.

"Semenjak mereka berhubungan, tepat ketika ulang tahunku yang ke lima, Mama memperkenalkan Om Tyo sebagai calon Ayahku. Itu jauh sebelum kamu lahir, mama tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun setelah ayahku meninggal." Nino kembali menarik tubuhku untuk bersandar padanya.

"Apa dia baik?"

"Ya, sangat baik. Karena kebaikkannya aku sampai lupa kalau Ayah kandungku sudah meninggal. Dia yang mengajarkan aku bagaimana menjadi seorang pria yang sesungguhnya, dia juga yang mengajarkan aku bagaimana cara menarik perempuan." Semula yang tubuhku nyaman bersandar padanya langsung tegak dan menjauh. Nino langsung tertawa.

"Kapan-kapan aku akan memperlihatkan koleksi foto-foto aku bersama Ayah kamu yang pasti akan membuat kamu iri."

"Bagaimana kalau sekarang saja? aku penasaran." Aku bersandar di bahu Nino dan melingkarkan tanganku di perutnya.

"Aku belum mempersiapkannya."

"Tapi kamu janji akan memperlihatkan padaku."

"Pasti." Jawab Nino sambil mengusap kepalaku.

"Ngomong-ngomong bagaimana caranya kamu masuk kesini?" Ku angkat kepalaku dan menatap Nino.

"Lewat kamar Tydes. Oh, iya. Satu hal lagi tentang Tydes. Mama sudah tau semuanya."

"Maksud kamu?" Aku melepaskan pelukannya dan duduk tegak.

"Sebelumnya aku minta maaf. Semua yang aku dan Fio ucapkan tentang mama kemarin bohong."

"A-apa maksudnya?"

"Fio hanya mengarang cerita tentang bayinya Luca, supaya kamu tetap tinggal di sini."

"Dan mengorbankan mama kamu?"

"Iya, tapi mama mengerti dan memaafkan kami." Aku hanya bisa menarik napas.

"Jadi kamu sengaja membuat aku membenci Mama kamu?"

"Semua yang kami lakukan hanya ingin membuat kamu tinggal, tidak lebih."

***

Melati memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper, semuanya sudah terbongkar jadi tidak alasan bagi Melati untuk tetap tinggal, meski Nino memohon-mohon dan mengancam akan mengunci semua pintu supaya Melati tidak bisa meninggalkan rumah. Melati tidak bergeming dia tetap akan pergi.

"Mel, aku mohon. Tinggalah denganku." Nino memeluk tubuh Melati dari belakang dengan terus memohon.

"Maafkan aku Nino." Melati diam dan melepaskan pelukan Nino.

"Apa yang harus aku lakukan untuk membuat kamu tetap tinggal? Fio dan Tydes membutuhkan kamu begitupun dengan aku."

"Yakinkan mama kamu, baru kita bisa memulai hubungan ini dari awal." Melati berbalik menghadap Nino.

"Kenapa harus Mama? Aku tidak perlu persetujuannya untuk menikah dengan kamu."

"Mama adalah Mama dia orang tua kamu. Aku tidak ingin hidup kita sulit di kemudian hari karena tidak mendapat restu dari Mama kamu." Nino menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dimana pakaian Melati masih berserakan di atasnya.

Perjuangannya masih panjang untuk membawa Melati ke pelaminan.

***

Insya allah, beberapa part ke depan cerita ini akan selesai. Aku sudah sangat kehabisan ide buat nulis nih cerita.

Daripada jadi gak nyambung mending di bikin END.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 26.2K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
74.7K 4.1K 25
Alena bertemu kembali dengan Adam, mantan suaminya pada suatu interview kerja dimana laki-laki itu adalah manager personalia di perusahaan tempatnya...
87.1K 9.4K 29
Shita mengira kisah miris putus cinta karena pasangannya dijodohkan itu hanya ada di dalam novel saja, tapi ternyata di dalam kehidupannya pun Shita...
188K 4K 10
Jika pilihannya bertahan atau menyerang, mana yang akan kau ambil? Salsabila memilih keduanya. Bertahan dalam pernikahan yang dihantam badai, dan men...