LOVEBIRD

By zahirra

1.6M 74.9K 2.2K

Apa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan d... More

LOVEBIRD
Lovebird 1
Lovebird 2
Lovebird 3
Lovebird 4
Lovebird 5
Lovebird 6
Lovebird 7
Lovebird 8
Lovebird 9
Lovebird 10
Lovebird 11
Lovebird 12
Lovebird 13
Lovebird 14
Lovebird 15
Lovebird 16
Lovebird 17
Lovebird 18
Lovebird 19
Lovebird 21
Lovebird 22
Lovebird 23
Lovebird 24
Lovebird 25
Lovebird 26 (re-post)
Lovebird 27
EPILOG

Lovebird 20

49.8K 2.4K 40
By zahirra

Terlalu banyak pekerjaan yang harus di selesaikan membuat aku tidak bisa berpikir dan otak tidak bisa di ajak buat nulis, padahal readers yang setia menunggu updatean ceritaku sudah nagih-nagih minta cepetan di post.

Dan hasilnya Taaadaa....... Cukup mengecewakan, aku yakin kalian semua yang baca tidak puas dengan hasilnya termasuk aku yang nulisnya........heheheh.

Sekarang, aku update ceritanya lebih cepet, Ya, itung-itung buat nebus dosa yang kemaren...........

^Ok, enjoy it.^

Melati POV

Ini adalah hari ke empat aku tinggal di rumah megah Nino dan jujur aku merasa tidak nyaman tinggal di sini, bukan hanya Ibunya Nino yang terlampau ramah, semua penghuni rumah ini juga terlalu baik, mereka semua menyempurnakan kebohongan ini tapi itu terlalu berlebihan dan membuat siapapun yang melihatnya akan curiga.

Seperti sore ini, aku pulang sedikit terlambat karena harus mengunjungi Ibu dan Bapak di panti asuhan, kalau boleh memilih aku lebih suka menghabiskan waktuku di sana ketimbang harus pulang kesini dan berakting  memerankan seorang istri yang baik dan penuh pengertian untuk pria mesum seperti Nino.

Ku parkirkan mobil di garasi dan lebih memilih jalan samping yang langsung berhubungan dengan ruang makan, tidak ada siapa-siapa hanya ada Tinah di dapur yang sedang memasak untuk makan malam, biasanya kalau Tinah sedang memasak Nyonya rumah tidak pernah beranjak dari dapur memberi intruksi ini dan itu, tapi kali ini dia tidak ada di tempat.

"Nyonya mana Tinah kok gak terlihat?" Tanya ku sambil celingukan mencari keberadaan Ibunya Nino.

"Eh, Bu Dokter. Baru pulang Bu? Nyonya sedang di dalam ada tamu." Tinah sedikit kaget, dia baru  menyadari kehadiranku.

"Siapa?" Aku masuk kedapur dan membuka kulkas untuk mengambil air mineral dingin.

"Tadi Fio bilang adiknya Bapak, kalau tidak salah."

Itu pasti Luca, dia datang lebih cepat dari perkiraan untuk menjemput mamanya. Senangnya,  aku tidak harus berakting dan berpura-pura lagi. Toh, Ibunya Nino akan pulang lebih cepat. Aku sudah sangat rindu dengan apartementku yang sepi, tanpa sadar aku tersenyum sendiri menyongsong kebebasanku, tidak akan ada lagi Nino yang selalu menggangu tidurku, tidak akan ada Nino yang selalu mencari-cari alasan untuk tidur satu ranjang denganku dan tidak akan ada lagi  Nino yang mencuri-curi kesempatan.

"Istri yang baik memang harus seperti itu, berada di dapur menjelang suaminya pulang." Mamanya Nino masuk ke dapur, dia tersenyum ke arah ku dan melihat menu apa saja yang di masak Tinah untuk makan malam mereka.

"Ma-ma." Walau sulit aku harus membiasakan diri memanggilnya mama.

"Baru pulang Mel?" Tanyanya ramah seperti biasa. Meski terkadang aku sering melihat dia selalu menatapku penuh penilaian.

"Ya." Ku letakan gelas yang masih berisi air meneral dan menghampiri Tinah.

"Hidup lima bulan dengannya, kamu pasti tau makanan kesukaan Nino."

Deg, aku mulai waspada. Mamanya Nino pasti sudah mulai curiga, aku tidak tau makanan apa saja yang paling di sukai dan di benci Nino karena kami tidak pernah membahas soal makanan dan aku baru empat hari tinggal dengannya bukan lima bulan.

"Apa kamu tau kalau Nino tidak suka dengan bawang Merah?" Pengetahuan baru bagi ku selain dasi yang tersimpul semua di lemari aku juga baru tau kalau Nino tidak suka bawang Merah.

"Dia tidak akan memakan masakan yang memakai bawang merah. itu berlaku dari dari Nino kecil padahal mama tidak pernah  membiasakannya seperti itu."

"Tentu saja aku tau Ma. Nino sudah cerita." Jawabku pura-pura tahu.

"Dan selama mama tinggal di sini mama tidak pernah melihat kamu mengurus suami mu." Aku menarik napas, maunya dia apa sih. Wajarkan kalau aku tidak mengurus Nino karena aku bukan siapa-siapanya Nino.

"Pak Halim lebih dulu mengenal Nino dan dia sudah terbiasa mengurusi semua kebutuhan Nino, lagi pula ada Tydes yang harus saya urus." Aku membela diri.

"Tidak ada alasan bagi istri untuk mengayomi suaminya. Dan mama rasa kamu bisa melakukan itu semua. Mama yakin kamu mampu melakukannya karena kamu perempuan yang sangat luar biasa."

Aku diam tidak bisa berkata apa-apa selain menjawab iya.

"Ya, sudah dapur biar mama yang urus. Kamu mandi sana karena sebentar lagi suami kamu akan pulang."

"Iya, Ma."

Aku tinggalkan dapur dengan menarik napas lega, aku tidak terlalu suka berhadapan dengan Ibunya Nino karena di setiap kesempatan dia selalu menguliahiku tentang menjadi istri yang baik. Tidak ada gambaran sedikitpun dalam hidupku untuk menjadi istri seseorang terlebih lagi Nino.

Ku langkahkan kakiku untuk menuju kamar Nino, tapi langkahku terhenti ketika aku mendengar suara tawa seseorang yang sepertinya sedang bermain.

"Anak pintar, Tydes anak siapa sih?" Pandanganku fokus menatap seorang laki-laki yang sedang duduk di bawah menghadap sofa dan Tydes ditidurkan di atasnya.

"Hai." Sapanya ketika pandangan kami bertemu, dia berdiri dan menatapku yang datang menghampirinya.

"Ini pasti Melati. Istri pura-puranya Bang Nino." Aku hanya menatap pria jangkung di hadapanku, dia beda dengan Nino sangat jauh beda, dia lebih kurus dari Nino dan kulitnya sedikit coklat, sementara mata hidung dan bibir tidak ada kemiripan sedikitpun dengan Nino, Nino mempunyai mata coklat dan tajam tapi mata dia hitam pekat terkesan lembut dan penyayang, Hidung Nino mancung dan bibirnya yang........ Adiknya malah kebalikan dari Nino.

"Kamu pasti heran dan bertanya-tanya kenapa aku beda?" Tanyanya tanpa melepas senyum sedikitpun seolah-olah dia sudah terbiasa dengan tatapan keheranan semua orang, bodoh. Kenapa aku malah melakukan hal yang sama dengan orang lain?

"Kami satu Ibu tapi tidak satu Ayah, Ayah Bang Nino di impor dari Italy sementara Ayahku Balikpapan asli. Tapi aku bersyukur aku mewarisi nama Ayahnya Bang Nino. Kenalin namaku Gianluca." Dengan bangga Luca memperkenalkan diri, membuat aku tersenyum.

"Aku Melati." Ku jabat tangan Luca dengan hangat.

"Istri pura-puranya Bang Nino dan Ibunya Tydes. Iyakan."

"Ya." Aku tertawa, Luca tidak terlalu buruk dia mampu membuat aku tertawa di pertemuan pertama kami.

"Ngomong-ngomong Tydes anak yang menggemaskan. Dia langsung bisa membuat aku jatuh cinta, padahal kami baru bertemu." Senyumanku hilang berganti dengan wajah prihatin, Luca pasti merindukan anaknya yang telah di buang.

"Maafkan aku Luca, maaf kalau Tydes mengingatkan kamu sama anak kamu." Luca menatapku seperti kebingungan dia mulai menautkan kedua alisnya.

"Anak." Gumamnya.

"Ya, dan aku turut prihatin atas musibah yang menimpa kamu." Sekilas aku melihat Luca menatapku heran tapi tangisan Tydes membuat aku melupakan tatapan heran Luca. Dengan cepat ku gendong Tydes dan menimang-nimangnya supaya tangisannya reda.

"Tydes pasti kangen mama ya, seharian di tinggal." Luca mengelus kepala Tydes dengan sayang.

"Ya, kangen dong Om." Jawabku mewakili Tydes yang masih terus menagis.

"Sepertinya dia lapar Mel." Aku menatapnya, aneh saja Luca memanggil namaku.

"Tidak apa-apakan aku panggil nama, Sepertinya umur kita tidak terlalu jauh."

"Aku sama sekali tidak keberatan." Ku lihat Tydes mulai diam di dalam pelukanku.

"Baiklah kalau begitu aku tinggal sebentar ya, Tydes sepertinya butuh susu."

"Ya, silakan-silakan."

"Maaf ya." Luca hanya menganggukan kepala dan tersenyum.

Nino POV

Aku bergegas masuk kedalam  rumah ketika Luca mengirim pesan lewat BBM tepat ketika aku turun dari mobil. Ku hampiri Luca yang sedang duduk di ruang keluarga seorang diri. Lho, dimana Melati bukankah tadi Luca bilang dia sedang bersama Melati dan Melati menayakan tentang anak yang sama sekali tidak di mengerti Luca. Memang aku telah meneleponnya dan memberitahu dia untuk bekerja sama mengelabui mama dan membuat Melati tetap tinggal bersamaku selama mama ada di sini, tapi aku sama sekali lupa membertahu Luca tentang anak 'fiktif'nya.

"Anak siapa Bang yang di maksud Melati?" Tanya Luca sambil menatapku yang baru saja terduduk.

"Aku benar-benar lupa Luke memberitahukan ini sama kamu." Aku mulai menceritakan semua skenario yang di buat Fio hanya untuk menahan Melati supaya tetap tinggal di sini kalau tidak begitu, aku berani bertaruh dengan memotong telingaku sendiri, Melati tidak akan pernah mau untuk tinggal.

"Wah, parah lu Bang. Parah. Mama pasti marah besar kalau tau ini semua."

"Untuk itu mama jangan sampai tau. Kamu bisa merahasiakannya kan?"

"Parah."

"Untuk cinta Luke, untuk cinta apapun akan aku lakukan."

"Termasuk membohongi mama dengan cerita fiktif. Aku yakin Melati pasti sangat membenci mama dan Bang Nino tau dari tadi Melati terus menatapku dengan penuh simpati." Luca mengungkapkan keheranannya dan membuat aku sedikit tersenyum.

"Aku tidak punya cara lain untuk menahannya, jadi tolong rahasiakan ini dari mama sampai kamu dan mama pulang."

"Aku gak bisa janji Bang."

"Demi aku. Luke. Aku mohon."

Luca hanya menarik napas panjang dan menatapku, dia tidak suka dengan ide gilanya Fio dan dia paling tidak suka berbohong.

"Kenapa tidak jujur saja sih Bang? Aku lihat Melati sepertinya baik dan dia pasti akan menerima Bang Nino."

"Tidak mungkin Melati mau menerimaku, dia membenciku melebihi dari apapun dan jalan satu-satunya untuk membuat Melati tetap melihatku adalah dengan Tydes dan Fio."

"Bang Nino mencintainya?" Luca bertanya dengan serius karena dia tau betul siapa aku. Aku seorang laki-laki yang tidak pernah serius menjalin hubungan dengan wanita manapun.

"Sangat."

"Kalau begitu selamat, aku tidak mau ikut campur dalam urusan Bang Nino." Luca berdiri dan meninggalkanku sendirian.

Semuanya sudah terlanjur, aku tidak mungkin mundur dan mengubah skenario yang sudah ada, biarlah aku yang akan menaggung semuanya kalau sampai ketahuan. Aku harus mempersiapkan diri menerima kemarahan mama dan Melati kalau sampai mereka berdua tau. Ya, aku harus sudah siap kalau sewaktu-waktu bom akan meledak.

Aku terlalu dalam memikirkan semuanya, sampai tidak menyadari Melati telah duduk di sampingku dengan membawa segelas air putih.

"Diminum." Dia memberikan gelas yang di pegangnya.

"Oh, iya. Kamu mau mandi dulu atau makan malam dulu?" Aku hanya mengaga tidak percaya Melati mau belajar menjadi istri yang baik, tapi aku curiga pasti ada sesuatu yang terjadi.

"Sepertinya sedikit ciuman dari kumu akan membuat lelahku hilang. Jadi aku ingin ciuman  sebelum mandi dan makan malam." Ku tatap Melati dengan penuh cinta, entah angin apa yang membuatnya menjadi seperti ini --lebih perhatian--. Aku bersiap menerima amukannya, di gigit atau di jambakpun aku rela tapi Melati hanya tersenyum dan balas menatapku dengan ekor mata melirik mama yang sedang berdiri di balik sofa memperhatikan kami. Tahu lah aku sekarang kenapa Melati mau bermanis-manis denganku.

Mama tersenyum penuh arti dan dia pergi meninggalkan kami berdua sebelum akhirnya Melati meraih gelas yang aku pegang dan menumpahkan isinya tepat di kepalaku.

"Ini untuk permintaan kamu. Sekarang cepat mandi sebelum mama datang lagi ke sini dan melihat semuanya." Tanpa merasa bersalah sedikitpun Melati pergi ke arah dapur dengan membawa gelas kosong.

Fio terkikik geli menatapku dengan membawa botol susu kosong, dia pasti habis memberi Tydes susu dan aku yakin Fio melihat semuanya. "Apa?" Aku berdiri dengan badan setengah basah.

"Kehujanan di mana Daddy?" Tanyanya dengan membekap mulutnya, Semenjak Melati hadir hubunganku dan Fio mulai mencair.

"Di sofa yang sebelah sana. Kalau mau duduk di sana pake payung." Aku berlalu dan masuk kamar sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk membalas perlakuan Melati.

Setelah menutup pintu kamar, ku dengar alarm yang sengaja di pasang di kamar berbunyi. Tydes pasti menagis, ada gunanya juga Melati menyuruhku memasang alarm itu, jadi tahu kapan Tydes menagis. Ku buka connecting door dan benar saja Tydes menagis, Ku gendong dia dan membawanya ke kamar. Seketika tangisan Tydes berhenti, aku tersenyum melihat Tydes yang sudah aku tidurkan di tempat tidur, Lalu dengan santai membuka seluruh pakaianku yang basah sambil mengajak Tydes berbicara.

Tiba-tiba saja sebuah ide gila muncul di kepalaku. " Tydes mau temanin daddy mandi gak?" Tydes yang belum mengerti apa-apa menggerak-gerakan kaki dan tangannya yang aku anggap ya, dia mau menemaniku mandi. Meski aku tau Tydes sudah di mandikan tadi sore tapi aku tetap saja membuka semua baju Tydes dan membawanya ke kamar mandi. Ku isi bathtub dengan air hangat dan aku masuk dengan Tydes di pangkuanku, dia tampak senang dengan terus menggerak-gerakan kakinya.

"Senang heh, mandi sama daddy? Daddy harap suatu hari nanti Ibu kamu mau bergabung dengan kita." Aku membayangkan Melati ikut bergabung mandi bersamaku, dia berdiri dengan malu-malu menghampiriku dan masuk kedalam bathtub, tentu saja kami sama telanjangnya, napasku sampai tercekat membayangkan apa yang akan kami lakukan selanjutnya selain saling menggosok dan saling menyabuni, badanku tiba-tiba merasa panas dan tidak nyaman, darahku mulai berdesir dan jantungku berdengup halus. Sial, aku tidak bisa mencegah bayangan Melati yang sedang duduk membelakangiku dengan punggung  terekspose sempurna dan membuat benda diantara selangkanganku membesar dan mengeras.

"NINO!" teriakan Melati mampu mengembalikan aku kealam sadar meski napasku masih sedikit memburu.

"Kamu gila, Tydes bisa sakit kalau kamu mandiin jam segini! Apa kamu tidak tau kalau Tydes sudah mandi!" Dengan marah Melati menghampiriku dan akan mengambil Tydes. Tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba tanganku mengambil gagang shower dan menyemprotkannya kearah Melati sampai pakaian bagian depannya basah tercetaklah bra hitam yang di pakainya, membuat aku melotot tidak mengedipkan mata sedikitpun dan beberapa kali menelan ludah, tidak hanya itu rambutnyapun sedikit basah kena semprotan air.

"Oh, Shit. DASAR GILA!" Melati meraih Tydes dari pangkuanku dan berlalu tanpa menoleh lagi kerahku dan dia sepertinya sangat marah.

"Sayang, sudah terlanjur basah tuh, aku tidak keberatan kok kalau kamu ingin bergabung?" Teriak ku dan dibalas dengan bantingan pintu dari Melati. Aku langsung tertawa puas.

"Oh, Mel. Kamu bisa membuat aku gila beneran kalau begini caranya." Ku sandarkan punggungku ke sisi dalam bathtub sambil menatap benda sialan diantara kedua pahaku yang meminta pelepasan.

Dan sekarang aku harus mencari cara untuk menidurkannya.

***

Aku berjalan menuju ruang makan sambil bersiul senang, ternyata seluruh keluargaku sudah duduk menunggu kedatanganku, ada Ibu dan adikku, anak dan 'istriku' yang sudah berganti pakaian, sekarang dia menggenakan t-shirt berwana hitam dan longgar untuk menyamarkan lekuk tubuhnya.

"Lama sekali sih Bang, ngapain aja di dalam?" Luca mulai protes.

"Mandi lalu ketiduran." Aku menatap Melati yang sedang sibuk membetulkan selimut Tydes, Tydes di tidurkan di dalam strollernya. Ku ambil bola karet lembut dan memberikannya pada Tydes untuk di pegang, dia sedang belajar memegang sesuatu dan memasukkan tangan ke mulutnya.

"Baiklah kita mulai makan, aku sudah sangat lapar." Dengan sigap Melati mengambil piringku dan mengisinya dengan nasi. Mama tersenyum melihatnya, aku mulai curiga jangan-jangan mama yang membuat Melati jadi aneh begini.

Aku coba untuk mengetes dia. "Sayang tolong ambilin udang bakarnya dong. Sepertinya enak." Melati menuruti tanpa membantah.

"Terima kasih sayang." Dia hanya tersenyum seikhlasnya. Benar ternyata dia baik dan menuruti semua perintahku kalau ada mama di dekatnya. Dalam hati aku tersenyum.

"Sayang kamu tidak lupakan orange juicenya?" Ku sentuh tangan Melati dengan memberikan dia senyuman termanis milikku.

"Waduh Fio lupa." Fio menepuk dahinya dan berdiri. "Sebentar ya daddy, Fio ambilin dulu." Biasanya memang Fio yang selalu menyediakan orange juice untukku. Tapi entah kenapa dia bisa lupa.

"Kamu duduk saja, biar Tante yang ambil." Melati menggeser kursinya dan menuju dapur.

"Maaf ya, Tante." Teriak Fio dan di balas senyuman oleh Melati.

"Tidak heran, kenapa kamu begitu memujanya karena selain dia cantik dan pintar dia juga istri yang sangat berbakti." Mama yang duduk di samping kiriku mengelus lenganku.

"Uhhukk......." Fio yang mengunyah makanannya terbatuk ketika mendengar mama menyebut istri yang berbakti.

"Pelan dong sayang makannya." Luca yang paling dekat dengan Fio posisi duduknya memberikan dia minum.

"Terima kasih Om." Fio menjawab setelah meminum habis satu gelas.

"Jadi anak perempuan kok grasak-grusuk. Contoh Ibu tiri kamu Fio, dan belajar padanya." Aku ingin tertawa mendengar mama berbicara seperti itu, mama tidak tau sifat barbar Melati. Dia pasti ilfill melihat Melati yang membangunkan ku dengan cara menyiramkan air satu ember.

Melati datang dan meletakkan satu gelas orange juice pesananku. Dia duduk dan kembali melanjutkan makannya.

"Mama pikir setelah kamu menikah, kamu meninggalkan kebiasaan jelek kamu. Bukankah air putih labih baik setelah makan?" Mama mulai lagi dengan nasehatnya.

"Aku akan belajar meninggalkannya ma." Jawabku bosan.

"Belajar bagaimana? kalau setiap makan harus di sediain orange juice."

"Tidak apa-apa ma, dari pada minta di sediain minuman beralkohol." Senangnya Melati membelaku.

"Iya, tetap saja tidak baik Mel." Mama mulai kesal.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 78.5K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
897K 3.4K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
15.3K 1.7K 59
Bagi seorang Jeremy, kebebasan adalah surganya. Jeremy bisa melakukan apa pun yang ia mau. Termasuk bertualang dari satu wanita ke wanita lainnya. Be...
1.6K 272 56
Ketika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus...