Buat Gadis Jatuh Cinta

By beestinson

967K 85.4K 16.1K

Genre cerita ini contemporary romance 21+ Duda anak satu yang underestimate dengan seorang buruh pecatan pabr... More

Majikanku 'Kejam'
Menaklukan Si Angkuh
Aku Sadar, Majikanku Tampan
Sepiring Penyesalan di Belakang
Rahasia Gadis
Taruhan dengan Majikan
Kupikir perbedaan kita tak berarti
Dua Puluh Juta Rupiah
Ciuman pertama kita, Dis.
Gadis, anak (saya) butuh kamu
Jodoh untuk Gadis
sWEeT Dream (21+)
Satu malam tidur dengan Gadis
Saya khawatirkan kamu, Dis...
Resign!!!
Investasi Bodong
"Sertifikat Hak Pakai"
Tria tidak jahat
Mesin jahit untuk Gadis
Malam Pertama Gadis (21+)
Can't Take My Hands Off You
Apa mauku? Kamu (21+)
Hadiah untuk Gadis (21+)
Tertangkap basah (A)
Tertangkap Basah (B)
Kekasih yang tak berhak cemburu
Sikapmu menyulitkan aku
Kisah Gadis yang terpuruk (21+)
KENCAN BUTA
Still can't take my hands off you
Save the last date (21+)
Kasih Tak Sampai
LAMARAN
WEDDING FAIR
Season 3 (jangan dibaca!)

Guru Baru Adiba!

57K 2.8K 453
By beestinson

"Kamu harus ketemu Adiba," pria itu melepaskan dasi yang sepagian ini mencekik leher layaknya tuntutan atasan, "siap nggak siap. Dia bakal jadi anak kamu."

"Bagaimana kalau dia nggak suka aku, Mas?"

Perempuan di seberang telepon terdengar cemas, takut jika jumpa pertama mereka justru menjadi akhir hubungan mereka karena alasan sang anak tidak suka padanya.

"Kan belum dicoba," Tria mengintip ke ruang belajar Adiba, mengernyit saat melihat seorang perempuan duduk di sisi putrinya sambil mengajarkan cara mengeja suku kata, benaknya bertanya – tanya. "Kalau nggak suka, kita buat dia jadi suka."

"Kamu harus belain aku ya. Kamu tahukan gimana menggilanya anak kecil ketemu calon ibu tiri?"

Sebenarnya Tria juga tidak tahu, ia tidak punya ibu tiri dan ini adalah pengalaman pertamanya membawa seorang calon ibu tiri untuk sang anak. Itu artinya ia juga sedang belajar bersikap adil dan bijaksana menyikapi kedua perempuan miliknya saat ini.

Setelah mencoba meyakinkan Sella sekali lagi Tria mengakhiri panggilan. Hampir enam bulan ia menjalin hubungan dengan pemilik toko bunga yang cantik, aktif, dan selalu membawa aura positif lewat senyum dan suaranya. Karena alasan itulah ia memilih Sella untuk menjadi istri sekaligus ibu bagi putrinya. Ia berharap kekosongan dalam rumah tangganya diisi dengan keceriaan.

Sekarang sudah saatnya ia memperkenalkan Sella pada Adiba. Di usianya yang tidak lagi muda Tria cenderung menjalani hubungan yang berorientasi pada masa depan—menikah, itulah sebabnya ia menghindari jenis hubungan kasual dengan teman kantor atau wanita – wanita muda yang masih dalam pencarian.

Isyana dipanggil Sang Pencipta melalui komplikasi kehamilan setelah akhirnya berhasil melahirkan seorang putri cantik dengan kulit bersih kemerahan bernama Adiba.

Sifatnya yang pantang menyerah sempat buat Tria khawatir. Walau beberapa kali keguguran, Isyana percaya bahwa dirinya bisa menjadi istri yang sempurna dengan memberikan Tria seorang anak. Kisah Aisyah istri Rasulullah yang Tria contohkan pun tak buat Isyana berhenti mencoba sekalipun berisiko bagi dirinya sendiri—oh, Isyana mengerti agama namun ia belum siap dipoligami, walau yah, ia tahu bukan itu maksud suaminya.

"Aku bisa kan, Mas?" ujar Isyana saat tengah dirawat, "sekarang cewek dulu. Nanti kita kasih dia adik cowok. Sabar ya..."

Pada akhirnya Isyana berhasil, tapi pada akhirnya pula ia pergi.

Hidung Tria perih setiap kali mengingat saat terakhir kebersamaannya dengan sang istri. Semakin sakit ketika ia akui pada diri sendiri bahwa Isyana tidak mampu memiliki seluruh hatinya. Entah kenapa, Tria sulit jatuh cinta setelah hubungannya dengan Kumala benar - benar kandas. Bagi Tria, cinta pertama bukan sekedar istilah.

Ada perasaan bersalah setiap kali Isyana sadar bahwa Tria hanya 'mencoba' menjadi suami yang baik. Bukankah dalam rumah tangga setiap insan akan menjadi diri sendiri, mengenal pasangannya—baik sekaligus buruknya? Seolah tiada batasan di antara mereka? Seharusnya seperti itu, tapi entah kenapa selalu ada batasan di antara mereka dan Isyana tak pernah berhasil melewati itu.

"Bukan begitu, Sayang," suara lembut itu singgah ke telinga Tria, begitu tenang, sabar, dan menyejukan, "A. D-I dibaca DI. B-A dibaca BA. Jadi, A-DI-BA."

"Itu aku," anak itu tersipu malu dan perempuan di sisinya tersenyum. Mereka masih belum menyadari kehadirannya di luar pintu.

Sontak Tria merasa gerah, ada sekelebat bayangan yang mengganggunya setelah melihat senyum perempuan itu. Ia pun beranjak dari sana dan mencari ibunya.

"Ma!"

Panggil Tria setelah menemukan sang ibu sedang sibuk dengan gawainya di teras belakang yang memiliki akses langsung ke taman.

"Lho, Mas?" wanita paruh baya itu membenahi letak kacamatanya, "Udah balik, Mama belum siapin makan siang."

"Gapapa," menyandarkan bahunya di kusen pintu, Tria berusaha tidak terdengar skeptis saat bertanya, "itu siapa yang ajarin Adiba? Guru baru?"

"Bukan," wanita itu merendahkan suara sambil melirik pada Bina, ART yang sedang membersihkan rumput di taman, "itu temannya Bina, untuk sementara Mama suruh ajarin Adiba. Mama nyerah, nggak sabar ajarin anak kamu. Sementara aja sampai dapat guru baru."

"Bina kenal darimana?" sekarang ia tak mampu menyembunyikan sifat skeptisnya, "qualified nggak? Latar belakangnya gimana?"

Ibunya mengibaskan tangan pada Tria yang over protective jika itu menyangkut Adiba, "temannya dari rumah singgah. Baru di-PHK dari pabrik jadi belum ada kerjaan. Mau dibayar seikhlasnya aja."

Keraguan muncul di benak Tria setelah mendengar kata pabrik. Jelas perempuan itu seorang buruh. Kualifikasinya sama sekali tidak cocok untuk menjadi guru Adiba, karena kalau bukan lulusan SMP ya SMA. Atau lebih parah tidak lulus sekolah dasar.

Bukan berarti ia merendahkan profesi buruh, hanya saja selama ini ia membayar mahal untuk tutor dengan latar belakang pendidikan sarjana, berharap di usianya yang sekarang pola pikir Adiba bisa terbentuk dengan lebih baik dan maju. Lantas dengan seorang pecatan buruh pabrik akan jadi apa? Buruh juga?

Tanpa pikir panjang ia pun memutuskan saat itu juga, bagi Tria kesejahteraan seorang pecatan pabrik bukan tanggung jawabnya. "Besok Tria coba cari bimbel lain yang sesuai buat Adiba."

"Nggak usah buru - buru," ujar ibunya tak acuh, ia sibuk mengetik sesuatu di layar gawainya, sikap yang menurut Tria tidak peduli pada kebutuhan Adiba, "siapa tahu Adiba cocok dengan yang ini. Lumayan nggak perlu bayar mahal – mahal, Mas."

Putranya mendengus angkuh, sebenarnya agak kesal juga dengan sang ibu yang terlalu menganggap enteng pendidikan cucunya.

"Tria kerja banting tulang buat Adiba, Ma. Tria nyaris nggak mikirin biayanya. Yang terbaik untuk dia."

Ia semakin kesal saat ibunya nyaris memutar mata dan berujar dengan nada malas, "yang mahal belum tentu baik. Yang baik belum tentu cocok. Anak kecil itu sederhana, Mas." Wanita itu kembali fokus pada gawai lalu menambahkan, "Mama kan sudah pengalaman besarkan kamu."

Percuma saja berdebat dengan ibunya, toh beliau tidak pernah ikut campur dalam setiap keputusan yang Tria ambil. Ia membulatkan tekad untuk menyingkirkan perempuan di ruang belajar anaknya sesegera mungkin.

Perempuan itu... Tria memejamkan mata dan menggeleng samar. Ia pun berlalu ke kamar untuk mengganti pakaian dan beristirahat sebentar.

Ketika waktu makan siang tiba, Tria sudah tidak menjumpai perempuan itu di sana. Waktu belajar usai dan ia pulang bersama ART paruh waktunya, Bina.

"Aku suka gurunya, Oma."

Sejak Tria bergabung dengan mereka di meja makan, ia sudah mendengar ocehan betapa terpesonanya Adiba pada guru barunya yang sebenarnya tidak layak disebut guru. Tentu ini tidak bisa dibiarkan lebih lama. Entah apa yang dilakukan perempuan yang belum ia ketahui namanya itu sehingga berhasil menarik hati Adiba di jumpa pertama. Seingat Tria, Adiba sulit menerima orang baru, alasan yang sama yang buat Sella baru akan ia kenalkan nanti.

Tunggu! Apakah perempuan itu sengaja mengerahkan segala upaya demi menarik perhatian Adiba? Berharap dipekerjakan secara permanen hanya karena rengekan sang anak? Tidak semudah itu, Perempuan!

"Nanti Papa carikan guru yang bagus buat Adiba supaya lancar Bahasa Inggris, mau?"

Anak itu menggeleng, "aku mau guru yang ini aja. Aku nggak disuruh - suruh. Kalau guru yang dulu suruh ini, suruh itu, aku pusing!"

Jelas saja, guru yang ini tidak tahu bagaimana caranya mengajar, cibir Tria dalam hati. Sebelum Adiba terlanjur nyaman dengan pola belajar yang salah, Tria merasa tertuntut untuk segera mencari guru pengganti.

"Emang namanya siapa sih? Pasti kamu lupa, kan." Ia berbasa – basi hanya agar Adiba tidak sadar bahwa ayahnya sama sekali tidak tertarik.

Putri kecilnya memutar bola mata dengan lucu saat mencoba mengingat, "em... Gadis?" karena tidak yakin ia pun memastikan pada Oma, "Mba Gadis kan, Oma?"

Omanya mengangguk sebagai jawaban, mungkin beliau pun sudah lupa.

Jika sebelumnya Tria merasa gerah mengingat senyum perempuan itu di ruang belajar Adiba, kini mendengar namanya buat Tria merasa kepanasan sekaligus menggigil di saat yang sama—intinya ia tidak nyaman.

Ayolah, Bung! Memangnya dia siapa.

Dia bukan siapa – siapa tapi Tria meningkatkan kewaspadaannya.

***

"Mana, Ji? Katanya mau kenalin guru privatnya Satria."

Pada akhirnya ia harus menagih basa – basi Pandji saat mereka bermain futsal tempo hari walau sebenarnya perspektif mereka akan cara mendidik anak cenderung berbeda.

"Bukan guru privat kaya yang lo pengen," jawab Pandji dari seberang telepon, "dia tuh kaya pensiunan guru. Cuma orangnya sabar, anak gue cocok sih. Udah dari jaman Panji, Arin, sekarang Si Tria." Panggilan untuk Satria.

"Yah, lo bilang bagus-"

"Emang bagus," bela Pandji, "anak gue udah bisa baca dan perkalian. Anak lo bisa apa di tangan tutor – tutor ke-mahal-an lo?"

Merasa tidak cukup puas, Tria mengakhiri panggilannya. Pandji tidak sepemikiran dengannya. Pandji dan Airin cenderung santai karena sudah memiliki hampir empat anak nyaris tanpa usaha. Sedangkan ia dan Isyana tak hentinya berikhtiar untuk mendapatkan Adiba yang tentu tak akan ia sia - siakan.

Ketika melirik jam yang menggantung di dinding, Tria ingat sekarang waktunya membacakan dongeng untuk putri kecilnya. Adiba sangat menyukai cerita fabel, ia mempunyai banyak sekali koleksi buku cerita tapi sayang ia belum bisa membacanya sendiri.

"Baca ini, Pa!"

Ia ditodong dengan sebuah buku penuh warna bergambar Panda ketika baru saja membuka pintu. Anaknya berhenti melompat - lompat di kasur dan duduk menanti sang ayah sambil menggaruk kepala.

"Buku apa itu?"

"Panda!" pekik Adiba senang.

"Kok tahu, udah bisa baca ya?"

"Nggak," anak itu menggeleng polos, "aku lihat gambarnya."

Sepanjang mendongeng, ia mendapati anaknya sulit berkonsentrasi. Lebih dari sekali Adiba menggaruk kepalanya dengan tidak nyaman. Hingga akhirnya Tria tidak sabar dan bertanya, "kamu ngantuk?"

"Bukan, Pa. Kepalaku gatal." Ia terus menggaruk.

"Belum keramas ya?"

"Udah kok, tapi aduh... gatel banget, Pa."

Ia memeriksa kepala Adiba, berharap menemukan ketombe sebagai tersangka. Tapi tidak ada, kepala anaknya sehat terawat dan ini kali pertama Adiba mengalami masalah dengan kepalanya. Hanya setelah beberapa jam bersama dengan pecatan pabrik itu.

Sial! Bikin pinter nggak, malah bawa kutu ke rumah! Ia pun menemukan tersangka utamanya, tapi bukan kutu tentu saja, melainkan Gadis.

"Mama!" teriaknyakesal memanggil Sang Ibu yang teledor.

Continue Reading

You'll Also Like

295K 18.2K 21
Jatuh cinta datang begitu saja. Tanpa diduga dan tanpa diharapkan. Seperti yang terjadi pada Tira dan Megan yang merasa dirinya diterpa begitu saja o...
3.7K 414 12
[12/12] BEFORE YOU PUSH THE BUTTON UP THERE I AWARE YOU, THIS IS TOTALLY SUPER WEIRD STORY⛔⛔ "Lo tau nggak? Hari ini gue ujian fisika dan setelah gue...
27.7K 5.1K 19
Kisah unik antara Neil dan Niki. Berawal dari hubungan keluarga secara hukum menjadi kekasih secara hati.
108K 8.3K 66
Cassandra van den Heuvel merebut Hamizan Parama dari Mutiara, sahabatnya sendiri. Mereka menikah dan terlihat bahagia dengan kelahiran Lithania semen...