Wanita Cadangan โœ“

By Es_Pucil

323K 14.9K 1.2K

17+ | ROMANSA || SELESAI ๐Œ๐ž๐ง๐ข๐ค๐š๐ก, ๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐๐ข๐ฆ๐š๐๐ฎ ๐ญ๐ข๐ ๐š ๐ฃ๐š๐ฆ ๐ค๐ž๐ฆ๐ฎ๐๐ข๐š๐ง, ๐ฌ๐ข๐š๐ฉ๐š ๏ฟฝ... More

Trailer
Prolog
- 01
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09

- 10

10.3K 688 53
By Es_Pucil

Beberapa orang memilih berusaha terlihat baik-baik saja saat orang tercinta bahagia dengan orang lain, dibanding merusak hubungan orang tercintanya demi kebahagiaannya sendiri.
- Unknown

.

Semua menu yang tersaji di meja pagi ini adalah favoritku, tetapi tidak ada yang bisa lolos di tenggorokan dengan mudah. Mataku terlalu sakit melihat pria seberang meja ini yang hanya peduli pada ponselnya. Setiap saat, denting tanda bunyi notifikasi masuk terdengar. Sesekali, keningnya berkerut, lalu kemudian bibir pria itu tersenyum.

Sementara aku kesal.

Namun, aku tidak bisa menunjukkan perasaan jengkel dalam dada. Maka, kujadikan ponsel sebagai pelampiasan. Walau hanya sekadar scroll di beranda sosial media. Daftar teman yang bisa kuhubungi terbilang sedikit, ah tidak, nyaris tidak ada. Berbeda dengan Revan yang punya kekasih.

Oh hell, ini sangat membosankan. Sekali menyuap, sekali like postingan yang lewat di beranda.

"Astaga, Lia ...." Tawa Revan membuyarkan usahaku untuk tidak peduli.

"Berisik amat sih? Balik lagi sana ke Jakarta kalau nggak mau ninggalin istri kesayangan!" ucapku kasar, diakhiri dengan dengkusan.

Pria itu membalas kemarahanku dengan ekspresi bingung. Sebelah alisnya terangkat serta bibir yang tersungging tipis membuatku semakin jengkel. Sehingga tidak ada ekspresi yang sesuai dengan perasaanku kecuali malas.

"Kamu cemburu?" tanyanya.

Shit.

Aku memandang layar ponsel lagi. Menggeser layar dengan kasar. Lalu berhenti pada sebuah foto pria.

Dewa.

Dia ada di Bali juga?

Tubuhku menegak. Segelas air putih aku raih tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Setelah itu, aku bergegas masuk kamar sembari mengirim pesan pada Dewa.

[Aku boleh ngekor kamu nggak hari ini?]

Dewa sedang mengetik saat aku sedang mencari jaket Revan. Pakaian yang aku pakai saat ke sini menjadi pilihan terbaik untuk keluar. Entahlah, meski sekarang masih pagi dan AC nyaris memenuhi seluruh hotel, tetap saja rasanya gerah.

[Yok, anak itik. Lo ada di Bali juga?]

[Iya. Kamu ada di mana?]

[Gue jemput, send lokasi.]

Aku menyebutkan alamat mall yang tidak begitu jauh dari hotel. Agar Revan tidak curiga.

Setelah memakai jaket, aku segera keluar dari kamar. Revan terlihat masih sibuk membersihkan meja makan. Baguslah. Aku tidak perlu repot berbohong tentang kepergianku padanya.

Tanganku tengah menggenggam kenop pintu saat benda keras tiba-tiba menghantam belakang kepalaku. Tidak terlalu sakit, tapi memberikan sensasi gatal.

"Maaf. Saya kira maling. Keluar tapi tidak mengatakan apa pun."

Revan menjawab tanpa ekspresi dalam raut wajahnya.

"Aku ke mall depan." Jawaban bagus tanpa perlu berbohong.

Pintu aku buka tanpa halangan. Namun, kakiku kembali berhenti saat Revan memanggil lagi.

"Tunggu, Salwa, saya ikut!"

Astaga!

Aku semakin jengkel dan memilih lari menjauhi kamar hotel. Di depan lift, aku menunggu sampai pintu terbuka. Huh, lama sekali. Sialnya, Revan berjalan begitu cepat dengan langkah yang lebar. Aku terus menekan tombol agar segera terbuka. Aish! Kalaupun nantinya lift terbuka, kemungkinan Revan juga bisa masuk. Maka, aku memilih alternatif lain.

Tangga darurat. Setidaknya, aku bisa lebih cepat darinya dengan berlari.

Saat aku tepat di depan tangga, aku mengumpat. Ini lantai 14. Semoga kedua betisku tidak lepas saat aku sampai di lantai 1. Tapi ini lebih baik daripada bertemu dengan Revan menyebalkan itu.

Sekuat tenaga, aku menuruni tiap anak tangga. Peluh mulai membanjiri seluruh tubuhku. Beberapa kali keringat sampai masuk ke mata, sehingga memberikan rasa perih. Aku berhenti sejenak di lantai 8 sambil mengatur napas. Tidak jauh lagi.

Ting!

[Gue udah di depan mall. Lo di mana?]

[Bentar.]

Langsung aku balas. Ponsel aku masukkan ke dalam saku jaket. Peluh di wajah aku usap, lalu lanjut berlari turun.

Akhirnya sampai. Tenagaku terkuras habis. Hingga untuk membuka pintu lantai satu, tubuhku terhuyung.

Huh.

Namun, aku membeku saat seorang pria tengah bersandar santai di dinding.

"Kamu lama sampainya!"

Revan sialan!

Dia menegakkan punggungnya, kemudian menyodorkan sebotol minuman rasa jeruk padaku.

Aku tidak bisa tidak menerimanya. Minuman itu langsung aku tenggak sampai setengah.

"Kamu sepertinya kehabisan tenaga. Besok saja ke mall-nya, saya yang antar. Kita balik ke kamar."

"Nggak." Aku memotong cepat.

Aku hendak mengembalikan botol minuman pada Revan, tetapi sayang. Isinya masih terlalu banyak untuk dibuang. Maka, aku habiskan sampai tidak tersisa lalu menyerahkannya pada Revan.

"Buang ke tempat sampah sana. Aku mau pergi."

Aku menegakkan tubuh. Menarik napas panjang. Bersiap lari, tapi kakiku seperti seberat batu. Tapi tetap aku paksakan.

"Keras kepala!"

Pria sialan itu! Setidaknya kalau mau hina orang, gunakan suara pelan. Bukan seperti sedang meneriaki maling.

Aku tidak mengindahkan Revan meski terdengar dia mengikutiku.

"Kamu seperti orang sekarat, Salwa. Saya kasihan," ucap Revan yang sudah berjalan di sampingku.

Aku tidak acuh.

Revan membuatku berhenti berjalan saat dia tiba-tiba berlutut membelakangiku.

"Ayo naik. Saya antar ke mall."

"Nggak. Malu-maluin."

"Kamu masih punya malu, Salwa?"

Eh anjir nih orang.

Apa gunanya aku marah tidak jelas tadi pagi kalau bukan karena malu mau bilang cemburu?

Astaga. Aku mikir apa sih.

Aku mengabaikan pria menyebalkan itu. Namun, Revan mengejar dan berdiri di depanku.

"Setelah bentak saya tadi, lari dari saya, seharusnya kamu malu terima minuman dari saya."

"Jauh-jauh kalau kamu nggak mau aku muntahin!" ucapku kesal.

Pria itu tidak peduli. Maju selangkah untuk meraih hoodie jaket, dan menutupi kepalaku.

"Tidak perlu malu. Dengan tinggi segini, orang paling mikirnya kamu itu adik saya yang berusia 9 tahun."

Suami sial-

Revan tidak membiarkanku menyelesaikan umpatan. Dia berjongkok dan meraih tubuhku dengan mudah.

"Astaga, kamu ternyata seberat wanita yang hamil 9 bulan, Salwa."

Aku memukul pundaknya.

Ponselku berdering sekali. Takut jatuh, aku melingkarkan lenganku di leher Revan baru mengecek ponsel.

[Serius mau keluar, nggak? Lo di mana?]

[Tunggu bentar. Ada masalah dikit.]

"Jauh-jauh dikit, Salwa!"

Aku memindahkan fokus ke Revan. "Mau aku jauh kek gimana?" Dasar manusia gesrek. Jelas-jelas dia gendong aku gini.

"Dadamu itu, jangan ditempel di punggung saya. Saya tidak bisa fokus. Dadamu kenyal."

Eh, anjir. Suami mesum!

Aku langsung menegakkan punggung. Kedua tanganku berpegang di pundaknya agar tidak jatuh. Mau turun, tapi memang aku selelah itu.

Bodoh ya, capek-capek menghidar, tapi ujung-ujungnya malah digendong sama nih orang.

Mall yang berjarak 100 meter mulai kami dekati. Bahkan, aku bisa melihat mobil yang ditunjukkan Dewa di postingannya tadi terparkir di depan mall. Jika mereka bertemu, baku hantam ronde kedua susah dihindari.

"Turun-turun!" Aku memukul pundak Revan berulang kali agar dia berhenti melangkah. "Aku turun di sini."

"Kenapa? Tanggung, sedikit lagi sampai, Salwa."

"Nggak. Di sini aja berhentinya."

Aku memaksa turun. Huh, begini kalau manusia rebahan tiba-tiba lari maraton. Nyawa seperti tertinggal di setiap tangga yang aku pijak tadi.

Dari banyaknya orang sekitar mall, aku bisa melihat seorang pria memakai jaket kulit hitam tampak kebingungan. Itu Dewa pasti.

"Aku mau ke mall. Kamu balik ke hotel sana. Aku bakalan pulang cepet kok."

Tidak menunggu jawaban, aku berlari terengah menuju mall. Sesekali menoleh ke belakang untuk melihat Revan apakah menyusul, dan benar saja, dia melakukannya.

"Lo darimana sih, Sal? Gue kirain udah di mall."

Aku tidak mengindahkan pertanyaan Dewa dan langsung masuk ke mall. Dewa ikut sambil lari-lari. Aku bersembunyi di kerumunan orang-orang. Untungnya Dewa mudah mencariku.

"Itu suami lo ngikut?" tanya Dewa saat aku pura-pura memilah pakaian.

"Jangan berisik."

"Gimana lo bisa sembunyi kalau pakaian lo mudah banget dia kenalin."

Tanganku berhenti bergerak. Dewa membuka jaketnya, menyisakan kaus army polos di tubuhnya.

"Sini jaket lo. Pakai punya gue."

Aku menuruti saran Dewa.

"Rambut lo jangan keluarin, supaya keliatan pendek."

Dewa menahan tanganku saat akan mengurai rambut. Sebagai gantinya, dia memperbaiki bentuk rambutku agar tidak berantakan.

"Dia naik ke lantai atas," ujar Dewa pelan, sambil tersenyum tipis. Dia mundur beberapa langkah.

Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga saat menoleh ke tangga penghubung lantai atas. Revan benar menaikinya.

"Lo mau ngekor gue kan." Dewa memperlebar senyumnya. "Yuk anak itik!" Dia mengusap rambutku, lalu menggenggam tanganku keluar menuju mobilnya yang terparkir.

"Btw, nggak papa nih? Kok gue berasa selingkuhan lo, ya?" tanya Dewa ketika akan mengenakan sabuk pengaman.

"Nggak papa. Dia juga nggak peduli."

Dewa mengangguk-angguk. Setelah menyalakan mobil, dia menoleh lagi padaku.

"Kalian kenapa ada di sini? Jangan bilang kalian lagi bulan madu? Oh shit!" Pria itu tidak menyembunyikan raut terkejut campur kesalnya.

"Ish! Nggak ada."

"Terus ngapain berdua di sini? Ngapain menghindar dari suami lo segala? Berantem?"

Eneg lihat Revan perhatian sama istri kesayangannya. Kalau aku nggak lihat mereka, aku nggak bakalan sakit hati.

Begitu jawaban yang hatiku utarakan, tetapi bibirku mengeluarkan kalimat berbeda. "Dia ngebosenin."

"Hohoho! Tempat pelarian lo tepat sekale!" Dewa mengemudikan mobilnya meninggalkan pekarangan mall.

"Eh, omong-omong masalah 'dia ngebosenin', jangan-jangan, lo lagi yang ngebosenin? Secara, lo ngomong kalau diajak bicara. Suami lo juga keknya bukan tipikal cowok friendly."

Aku cemberut tidak menanggapi.

"Woho, kalian bakalan jadi the next pasangan goblok kalau kalian tetep gini-gini mulu. Gue ramal, kalian cerai nggak lama lagi."

"Njir, doa kamu buruk banget!" Aku menatapnya geram.

"Gini, ya, Salwa. Kalau lo nggak suka sama salah satu sifat suami lo, bicarain sama dia. Dia ngebosenin? Bicara sama dia, supaya kalian bisa cari topik buat dibicarain atau dilakuin. Kalau ada masalah rumah tangga, cuman itu pilihan paling bener. Pilihan lainnya itu sesat."

"Pilihan lainnya?"

"Hu'um. Kayak lo sekarang, malah milih cerita ke gue yang notabenenya bukan siapa-siapa lo. Dan lo tau artinya apa?"

Dewa menatapku horor selama beberapa detik. Aku terkesima dengan penjelasannya.

"Lo selingkuh."

"Eh, anjir. Mana ada. Aku nggak ada perasaan sama kamu. Mana mungkin ini selingkuh. Aku cuman ... aku cuman butuh pelarian sebentar aja. Abis ini bakalan baik-baik aja sama Revan."

"Nggak bakalan pernah baik-baik aja kalau lo nggak pake cara pertama tadi: terus terang sama suami lo. Lo pulang nanti, paling diem-dieman sama dia. Dia bakal tanya lo darimana dengan suara dingin. Lo kesel, terus bales dia sambil marah-marah. Kalian berantem, terus lo kabur lagi. Curhat lagi ke gue. Dan gue nggak bisa nahan diri nggak jadi Mama Dedeh kalau lihat pasangan goblok kek elo."

"Kasar banget sih bahasanya." Aku meletakkan punggungku dengan kasar di sandaran kursi.

Tapi, bener juga sih.

"Sana! Gue nggak mau jadi perebut istri orang."

Aku tercengang setelah mendengar ucapan Dewa barusan. Dia berhenti di depan hotel tempatku menginap.

"Kamu tau darimana?"

"Gue nggak buta kali sampe nggak lihat lo digendong sama suami lo." Dia tersenyum tipis, dengan sebelah alis terangkat sombong.

"Dahlah males!"

Aku keluar dari mobil Dewa terpaksa. Jaket Dewa aku lepas, dan jaket Revan aku ambil darinya.

Ngapain coba bantuin aku sembunyi dari Revan kalau ujung-ujungnya aku malah disuruh buat hadepin Revan sendiri.

"Salwa, inget yang gue pesen tadi. Bicara sama suami lo. Bilang terus terang ke dia kekurangan dia apa. Dia juga bakalan bilang kekurangan lo apa. Jadi, kalian bisa saling melengkapi. Kalian bakalan bahagia terus. Dengan begitu, gue juga bakal baik-baik aja."

Dewa menutup nasehat panjangnya itu dengan menaikkan kaca jendela. Sementara aku mengerut kebingungan.

Gaje amat yang terakhir.

Aku bodo amat dan menuju kamar.

Astaga, capek banget.

Sampai di tempat tidur, aku langsung tepar.

***

Continue Reading

You'll Also Like

539K 4.3K 24
GUYSSS VOTE DONGG ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
387K 43.1K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
1.4M 123K 43
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
612K 55.8K 54
โš ๏ธ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...