Move On

By afterbrokenn

26.1K 3.3K 1.3K

[SELESAI] Cinta itu mudah, yang memperumit adalah pikiran kita sendiri. More

Mereka Berdua
00. Prolog
01. Senyuman
02. Hujan Dan Malam
03. Kejadian Rabu
04. Tentang Cinta
05. Siapa?
06. Kesekian Kali
07. Perlindungan
08. Berharap
09. Bahagia?
10. Pertarungan Atap
12. Lagu Kita
13. Suka?
14. Mimpi Buruk
15. Selamat
16. Sandaran
17. Berjarak
18. Rasa Bersalah
19. Pertemuan
20. Susu Kotak
21. Kebenaran
22. Kembali
23. Lekas Pulih
24. Lembar Baru
25. Epilog
MINI EXTRA; Puing Lain
EXTRA CHAPTER; Buah Cinta

11. Kertas Hitam

862 121 39
By afterbrokenn


Marahnya Nares kali ini tak main-main. Tatapan ramah dimatanya yang selalu terpancar itu lenyap dan hilang entah pergi kemana. Dia sangat kesal mendengar pengakuan gila Haikal.

Nares adalah orang yang paling sulit menahan emosi, sebenarnya orang seperti dia inilah yang sangat memerlukan seseorang yang bisa mengontrol juga mengendalikan segala bentuk emosi yang dia punya.

Dan Nares tahu, seseorang itu bukanlah Rachel.

Di sepanjang jalan, Nares terus berpikir. Memikir pada siapa sebenarnya sang hati berlabuh.

Sejujurnya, Nares selalu dihantui rasa bersalah sama Rachel atas perlakuan dia hari itu. Seharusnya Nares menepati janji, tapi karena ada sesuatu dia jadi terpaksa mengingkari. Memang benar apa yang Jafran bilang tadi bahwa saat bersama Rachel, hanya ada rasa sedih dan rasa bersalah yang hinggap dihatinya.

Kepada Rachel, Nares ingin memberi penjelasan lengkap. Dia tidak rela jika putus tapi masih ada kesalah pahaman diantara mereka.

Sedangkan kepada Lia, Nares ingin memberi perhatian penuh. Tetapi bukan perhatian antara teman. Itulah mengapa Nares tidak rela jika kebaikannya selama ini dianggap tak berarti.

Jikalau dia memang menyukai Rachel, buat apa susah payah memberi perhatian pada Lia? Dan Jika dia memang menyukai Lia, buat apa dia masih peduli terhadap masalalunya dengan Rachel?

Sungguh konyol jika Nares menyukai kedua perempuan itu.

Nares melangkah lebar dan pasti, kali ini langkahnya membawa dia ke daerah yang selalu menjadi tempat 'pelarian' para siswa; Kantin.

Manik mata kecokelatan milik Nares bergerak kesana-kemari, meneliti setiap sudut kantin. Ketika dia sudah menemukan orang yang dia cari, maka Nares kembali melanjutkan langkah dengan mata yang menatap lurus kedepan, fokus pada tujuan utamanya.

"Li." Tegur Nares saat dia sudah berdiri tepat disamping Lia.

Lia yang tadi hendak menyuapkan sesendok bakso langsung mengurungkan niat, dia mendongak keatas untuk melihat siapa gerangan.

"E-h ada apa, Na?" Tanyanya berusaha santai. Sekelebat bayangan wajah sangar Nares ditambah perkataannya yang begitu kasar semalam langsung terlintas dan menggerogoti tubuh Lia.

Dalam diam Nares menerawang manik mata gadis itu, sungguh demi apapun melihat tatapan yang Lia berikan sangat melukai hati Nares. Hati Nares seolah ditusuk oleh ribuan belati yang tajam kala menyadari Lia sedang memendam rasa takut.

Nares, lo udah gegabah banget. Batinnya berbisik.

Melihat Nares terdiam membatu sambil menatapnya intens, Lia jadi berdehem. "Na?"

Nares mengerjap berulang kali, berusaha menguasai diri. Bukannya menyahut, dia malah melirik kedua orang yang duduk didepan Lia. Saat Nares tak sengaja menciptakan kontak mata dengan Rachel, Nares segera memutus duluan. Hal ini malah membuat Rachel bertanya-tanya dalam hati, tak biasanya Nares begini.

Supaya tidak terlihat peduli, Rachel kembali melahap sisa makanannya yang ada dimangkuk.

"Aneh banget deh lo." Kata Yana, satu sudut bibir atasnya terangkat. Yana memasang ekspresi julid.

Tak mengindahkan ucapan Yana, Nares langsung menarik tangan Lia hingga membuat sang empu terpaksa berdiri dari duduknya.

Bola mata Rachel tanpa sadar mengikuti pergerakan Lia, sedangkan tangan kanannya yang mengangkat sendok mengambang di udara. Terhenti begitu saja.

"Bodoh. Lo gak liat dia kesakitan?" Sinis Rachel pada Nares.

Nares tersenyum miring. "Gak."

Usai itu, Nares membawa Lia meninggalkan area keramaian kantin. Lia tampak ingin melepaskan tangannya dari Nares, tapi gagal karena Nares malah semakin menguatkan tautannya.

"N-Na sakit..." Lia meringis kesakitan sementara kakinya berusaha mensejajarkan jarak sama kaki panjang Nares yang terus berjalan dengan langkah lebar.

Pemuda itu tak menyahut, seolah suara Lia adalah angin lalu.

Nares membawa Lia ke UKS sekolah. Beruntung disana tidak ada orang, jadi Nares bisa leluasa mengobrol dengan Lia.

Nares membanting pintu UKS kuat-kuat hingga tertutup rapat, mengakibatkan pekikan kaget keluar dari bibir gadis yang setia dia genggam.

"N-Na kamu kenapa sih?" Tanya Lia, kali ini dia berhasil melepaskan tautan tangan. Entah mengapa ketika sampai di UKS, tenaga Nares langsung kandas, tubuhnya melemas.

Nares duduk diatas ranjang yang ada didalam UKS, lalu dia mendekatkan kursi untuk diletakkan tepat didepannya. Nares menepuk kursi tersebut, lalu menoleh pada si gadis yang masih berdiri dengan kaku didepan pintu.

"Duduk sini."

"Aku?"

"Iya, lo."

Lia diam. "Ngapain?"

"Bentar, gue mau bicara."

"Yaudah aku berdiri disini aja gapapa—"

"Lia, sini." Dia berkata tegas, matanya menatap Lia sayu hingga Lia pun tak sanggup menolak permintaan Nares.

Akhirnya Lia menduduki kursi itu, kini keduanya duduk berhadapan dengan tatapan yang saling mengadu.

Nares agak mencondongkan tubuhnya kedepan, membuat Lia otomatis memundurkan badan.

Nares tak bersuara, dia malah asik memandangi manik mata hitam milik Lia dalam-dalam.

"Masih marah gak Lia?" Tanya Nares setelah sekian lama hening sambil mengeluarkan senyum tulus.

Lia meneguk saliva, "aku gak marah lho, tapi takut."

Pfftt!

Demi apapun Nares langsung terbahak mendengar pengakuan jujur dan terdengar polos itu. Nares memundurkan badan, kembali ke posisi semula agar Lia bisa nyaman duduk dikursinya.

"Ngetawain aku?"

"Enggak." Jawab Nares singkat setelah tawanya mereda.

Lia mendengus, membuang muka kearah lain.

"Lia, liat gue." Kata Nares pelan.

Sepertinya Lia sudah gila, karena dia langsung menuruti perintah Nares tanpa ragu.

"Gue minta maaf." Kata Nares lagi, masih dengan nada yang hangat.

Lia mengerjap singkat, "Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa kamu bentak aku, Na? Aku salah apa?" Tanya Lia serius, bibirnya bergetar pelan.

Nares menghembuskan nafas panjang, dia mengelus bahu Lia.

"Gue kelepasan, maaf."

Bibir mungil itu terbungkam lama, kala terbuka mengeluarkan suara yang tak terduga. "Iya." Begitu tulus.

Nares menghentikan pergerakan tangan. Kemudian ia menunjukkan tangan kanannya yang memar gara-gara terlalu brutal memukul Haikal.

"Liat nih. Luka." Adunya.

Lia mengikuti arah pandang Nares, matanya seketika mendelik kaget. Segera dia beranjak dari kursi untuk mengambil kotak p3k diatas nakas.

"Sini aku obatin." Ujar Lia sambil menarik telapak tangan Nares. Dia mulai mengobati dengan telaten.

Nares tersenyum dalam diam, Lia orang yang sigap untuk membantu. "Seneng gue dipeduliin."

Lia tidak menyahut dan sama sekali tidak ada niat bertanya mengapa tangan Nares memar, karena dia sendiri sudah paham bahwa luka ditangan Nares adalah akibat benturan keras.

Apalagi kalau bukan berkelahi.

"Lia, gue udah bener-bener gak tahan. Mau denger suatu cerita?" Tanya Nares tiba-tiba.

Lia berdehem, masih fokus mengobati luka. "Hmm."

Nares kembali menghembuskan nafas, terdengar ada banyak luka hati dan penyesalan didalam hembusan nafasnya.

Nares tahu, dia sangat tahu jika lukanya yang hingga kini belum sembuh akan menganga dengan lebar.

Tapi Nares merasa harus. Dia merasa wajib menceritakan kisah lampaunya pada gadis ini.

Sudah saatnya Nares menceritakan tentangnya dan tentang Rachel.

Hanya kisah lampau yang dianggap tak ada arti oleh orang-orang. Namun malah sangat berarti bagi Nares.

"Tapi tentang gue sama Rachel." Ucap Nares yang sukses membuat pergerakan tangan Lia yang tadi telaten menjadi sangat lambat.

Sepertinya bukan hanya si pencerita yang merasa sakit, sang pendengarpun juga.

***

Besok adalah ulangtahun Rachel yang ke-17. Tentu saja hari yang sangat spesial karena Rachel sudah resmi menjadi gadis dewasa. Nares memerlukan waktu berdua dengan Rachel, karena dari pagi hingga siang Rachel bersama keluarganya untuk merayakan hari kelahiran bersama.

"Nanti jam delapan malem dateng ke taman kota, aku mau kasih hadiah."

Itulah yang dipesankan Nares tadi siang pada Rachel. Dan gadis itu lansung mengiyakan dengan semangat karena dia sangat senang. Karena pastinya Nares akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat untuknya ditahun ke-17.

Nares mengambil kotak merah yang isinya kalung berliontin kunci kecil. Butuh banyak uang untuk membeli kalung ini, harganya sangat mahal.

Karena Nares ingin membeli hadiah yang berharga, jadi Nares menabung uang jajannya selama hampir 8 bulan.

Bundanya Nares, Yulia, awalnya melarang keras karena Nares dan Rachel masih berstatus pacaran. Bisa saja suatu saat nanti putus, dan hadiah yang Nares berikan terbuang sia-sia. Namun dengan segala rayuan andalan Nares, akhirnya Yulia memberi izin. Toh, kalungnya dibeli dengan uang Nares semua, tak ada campur tangan dia.

Nares memasukkan kotak merah tersebut kedalam saku jaket kulit hitam yang dia pakai. Lalu melirik alroji dipergelangan kiri, jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB.

Segera Nares melangkah keluar rumah dan mengendarai motornya menuju taman kota, takut-takut Rachel sudah menunggu duluan disana.

Ditengah perjalanan, ponsel disaku celana Nares bergetar lama. Membuat Nares mau tak mau menepikan motornya dipinggir jalan.

Minju is calling...

Nares berdecak, Minju lagi. Tak bosan-bosannya adik kelas Nares itu mengganggu hubungannya dengan Rachel. Sudah berkali-kali Nares menolak cinta Minju, tapi dia sama sekali tidak kapok. Malah Minju semakin menghalalkan segala cara untuk membuat Nares jatuh hati.

Tanpa berpikir dua kali, Nares langsung menekan ikon merah. Lalu kembali memasukkan ponsel ketempat semula.

Sesuai dugaan, ponsel dia kembali berdering, Nares sangat frustasi. Bagaimana tidak? Sekarang sudah jam 19.59 WIB dan Nares tidak ada waktu untuk meladeni Minju.

Namun karena ponsel berlogo apel tergigit itu terus mengeluarkan bunyi, akhirnya pada panggilan telpon ke-4 Nares tekan ikon hijau.

Nares melepas helm full face dari kepalanya dan mendekatkan ponsel ke daun telinga.

"Apa?" Tanya Nares to the point. Malas sebenarnya ngobrol sama si cerewet Minju.

Bukan sahutan yang Nares dengar dari seberang sana, melainkan isak tangis seorang gadis yang terdengar sangat pilu.

Nares panik, "Heh? Kenapa lo?"

Masih tidak menyahut.

Tangis itu semakin lama semakin mengencang. Membuat Nares sangat terheran-heran.

"Woi gue matiin ya?"

"Ma... ma, kak. Hiks!"

"Mama? Mama siapa? Mama gue? Mama lo? Mama muda?" Tanya Nares asal.

"Ma... ma. Huaaa!"

Nares bisa-bisa jadi orang gila kalau seperti ini terus.

"Yaudah gini deh, lo sekarang dimana dek? Biar gue susul."

"Rumah sakit... AD..."

"Oke, tunggu gue disana."

Tuttt

Nares mematikan sambungan secara sepihak, dia memasukkan benda pipih tersebut kedalam saku celana.

Sebentar, apa Nares harus memberitahu Rachel?

Sepertinya tidak, gadis itu pasti akan meledak-ledak. Lagian Nares hanya akan menemani Minju sebentar disana.

Iya, sebentar saja.

***

Bau obat-obatan menyeruak masuk kedalam hidung Nares. Ia kini sibuk mengedarkan pandang, mencari kesana-kemari seorang gadis jangkung yang tengah menangis.

Mata Nares terpaku melihat sosok dilorong rumah sakit. Dia disana, menangis meraung-raung sendirian, menjambak rambut frustasi sembari meneriakkan kata Mama berulang kali.

Nares langsung berlari kencang menuju Minju dan mendekapnya erat. Nares memang tidak tahu apa yang sedang ditangisi gadis dalam dekapannya ini, tapi dia tampak kacau dan depresi.

"Ada gue Min, ada kakak." Ujar Nares menenangkan.

Tangan Minju yang menjambak rambut, digenggam Nares dengan hangat. Lama-lama kepalan tangan itu melemas, dan beralih dari kepalanya untuk memeluk tubuh Nares. Pelukannya tidak erat, dia seperti memasrahkan tubuhnya di detik-detik ini.

Nares merasa iba. Ia menepuk punggung Minju berulang-ulang, sambil sesekali mengelus rambut hitam panjang milik gadis malang itu.

Untuk sementara Nares akan membungkan mulut, tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada ibunya Minju.

Sampai dimana langkah kaki seseorang terdengar semakin mendekat, Nares mendongakkan kepala.

Ada satu orang wanita muda yang berlari kearah mereka berdua dengan raut wajah kusut. Tampak kalut dan berantakan.

Langkah kaki wanita muda yang baru datang sendirian itu melamban ketika melihat Minju berada dalam dekapan seorang lelaki yang tak ia kenali.

Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk mendekat pada mereka, "Dek..." Lirihnya, menaruh telapak tangan ke punggung belakang Minju.

Merasakan sentuhan dibagian punggung, Minju membalik badan. Tangisnya kembali pecah ketika sang kakak memeluknya erat-erat.

Nares memalingkan wajah, tak sanggup mendengar suara tangisan yang begitu menyedihkan.

"Dek, kamu Nares kan?" Tanya si wanita muda, berhasil membuat Nares kembali memalingkan wajah kearahnya.

"Eh? I-iya kak."

Si wanita muda menghapus jejak air mata dipipinya. "Baguslah, boleh kakak minta tolong sama kamu?"

"Boleh kak." Jawab Nares langsung, sepertinya dia disini punya peran yang penting untuk mengubah suasana karena keadaan dua perempuan disampingnya terlihat begitu rapuh.

"Minju dari tadi belum ada makan, kakak gak sempat bawain makanan tadi. Minju sering cerita tentang kamu ke kakak, kayaknya kalian berdua dekat. Bisa kamu anterin dia buat makan, dek?" Pinta Kakak Minju.

"Gak mau! Minju mau nemenin Mama." Kata Minju menolak.

Nares melirik Minju, baru sekali ini Minju menolak hal-hal yang berkaitan dengan Nares. Dan rasanya sangat asing.

"Minju, nanti pasti Kakak lo ngabarin kalo kondisi Mama kalian udah mendingan. Ayo makan, gue juga belum makan malam." Kata Nares merayu.

"Kakak janji harus kabarin Minju ya?" Tanya Minju memastikan.

Sang Kakak mengangguk, berusaha mengembangkan senyum walau nampak terpaksa. "Iya, kamu makan dulu sana. Nanti pas Mama bangun pasti dia sedih liat kamu belum makan gini."

Pada akhirnya, Minju ikut bersama Nares untuk sekedar makan malam.

Nares sengaja memilih rumah makan yang agak jauh dari Rumah Sakit. Selain dari menunya yang enak, dia juga sekalian mau mencari udara segar, barang kali Minju bisa sedikit menenangkan pikiran.

"Nasi goreng seafood dua, sama teh hangat dua, Mbak." Begitu kata Nares kala pramusaji datang menanyakan menu.

Nares menghela nafas panjang, mengamati Minju yang tidak bersemangat. Dia membuang muka kearah jalan yang banyak orang berlalu-lalang.

Suasana canggung, karena Nares tidak tahu harus apa.

"Minju, jangan dipikirin dulu. Nanti lo sakit lho." Ujar Nares.

Minju menoleh, "Iya."

"Kalo boleh nanya, Mama lo kenapa?"

Minju langsung menatap Nares dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuat Nares merasa bersalah.

"E-eh gak jadi deh—"

"Mama kena penyakit jantung koroner, tadi kambuh. Gue takut banget, kak..." Kata Minju dan bulir air matanya kembali keluar. Minju menghirup udara dalam-dalam sembari menghapus jejak air mata.

Nares tertegun, sungguh aneh rasanya saat Minju tidak lagi menggunakan panggilan aku-kamu padanya. Nares jadi serba tidak enak ke Minju karena perlakuan dia selama ini terbilang tidak baik terhadap Minju.

"Mama lo gak bakal kenapa-napa, lo cukup berdo'a aja Minju." Kata Nares meyakinkan.

Minju mengangguk patuh, "Iya, kak."

Tak lama kemudian, makanan yang dipesan mereka telah datang. Merekapun melahap makanannya dalam keheningan yang melanda.

Sampai satu notifikasi berbunyi yang berasal dari ponsel Minju diatas meja, menyita perhatian keduanya.

Kak Yena: Dek, Mama udah gak ada...

Tangis Minju kembali pecah, meruntuhkan dinding keheningan. Nares panik sekaligus terkejut tidak menyangka.

Ia beranjak dari duduknya, memeluk Minju dan menenangkan gadis itu.

"Minju, ikhlasin ya? Allah sayang sama Mama lo, tau kan kalo bunga yang lagi bagus-bagusnya itu bakal dipetik sama si pemilik? Begitu juga sama Mama lo, Minju." Nares sangat iba.

Nares mengerti perasaan yang Minju rasakan, walaupun Nares bukan anak yatim piatu tapi tetap saja Nares dapat merasakan kesedihannya.

Dalam dekapan Nares yang begitu erat, Minju meronta-ronta minta dilepaskan. Ia sangat kalut.

BRAK!!!

Meja mereka dipukul kuat oleh seseorang, Nares tersentak. Dia membalikkan badan dan melihat Rachel bersama Haris ada dibelakangnya.

Rachel menatapnya penuh kebencian, sedangkan Haris menatapnya nyalang seolah memberi peringatan.

Nares langsung kalang kabut, lidahnya kelu hanya untuk sekedar menjelaskan semuanya dalam keadaan yang sangat kacau ini.

"Bagus ya, Res! Gue udah nungguin selama hampir tiga jam disana dan lo malah asik berduaan sama dia?!" Rachel meledak-ledak. Sedangkan Haris dibelakangnya hanya diam, tak berniat ikut campur karena takut semakin merusak suasana.

"Chel, bukan gitu—" Nares tak bisa berpikir jernih.

Minju menolak tubuh Nares hingga pemuda itu agak terhuyung kebelakang, nyaris jatuh kalau saja tidak segera menyeimbangkan tubuh.

Minju menyambar ponsel diatas meja, lalu pergi keluar dengan tergesa.

"Liat Res? Dari gerak-gerik dia aja gue bisa nyimpulin kalo elo selingkuh, kan? Bener-bener keterlaluan lo Res!"

Nares semakin dibuat kalang kabut, bingung mau mengejar Minju keluar ataukah menjelaskan semuanya pada Rachel disini.

"Gue udah tau sifat busuk lo, Res! Gue mau kita putus!" Sentak Rachel.

Tapi Nares tidak mengindahkan atau bahkan menyangkal. Lihatlah, tanpa sadar ia sudah bersikap seperti seorang  pelaku disini. Sikap anehnya malah semakin membuat Rachel yakin akan apa yang dia simpulkan.

Nares benar-benar hilang akal.

Dia mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dan meletakkannya diatas meja.

"Bro, tolong bayarin ya." Kata Nares pada Haris membuat Haris melongo menyaksikannya.

Kemudian Nares memilih untuk mengejar Minju, meninggalkan banyak emosi antara Rachel dan Haris. Nares tahu betul, yang membutuhkan dia saat ini adalah Minju, bukan Rachel.

Minju sendirian, dalam keadaan kalut pula. Bisa saja dia memilih untuk mengakhiri hidupnya ditengah jalan.

Sedangkan Rachel sedang emosi, tapi bersama Haris. Setidaknya Haris bisa menenangkannya.

"BANGSAT!" Teriak Rachel frustasi.

***

Pergerakan tangan Lia otomatis terhenti bersamaan dengan cerita Nares yang sudah berakhir. Lia menatap mata Nares, mata pemuda itu sudah berkaca-kaca namun berusaha tetap tegar.

Lia menyingkirkan kotak p3k dipangkuannya, lalu beranjak duduk kesamping Nares.

Gadis itu menepuk bahu Nares berulang kali, menatap Nares sendu. "Minju gimana sekarang?" Tanyanya dengan suara serak, bisa ia bayangkan betapa kacaunya keadaan Minju saat itu.

"Minju ikut kakaknya pindah keluar kota, dia tinggal bareng suami dari kakaknya juga." Jawab Nares parau.

Lia menghela nafas, tak menyangka jika masalah Nares dan Rachel akan serumit ini.

"Aku tau itu berat buat kamu. Tapi semua udah berlalu, kamu mau sampai kapan kayak gini terus? Kamu nggak salah, aku tau itu." Kata Lia.

Nares menggenggam tangan Lia dibahunya, dia menggeleng pelan. "Gue salah karna gak menjelaskan apapun sama Rachel pada saat itu."

Lia terdiam lama sambil menatap Nares. "Karena keadaan lagi kacau, Na. Pasti pikiran kamu juga ikut kacau."

Menyadari Nares tak lagi merespon, Lia langsung membawa Nares hanyut dalam pelukan, menenangkan Nares layaknya Nares menenangkan Minju pada waktu lalu.

"Kamu udah ngelakuin yang terbaik, Na..." Begitulah si gadis berujar.

Satu yang Nares sadari dari pelukannya; bahwa Lia adalah seseorang itu.

_________

^nemu foto ginian di ig hehe
Btw fotonya termasuk foto JaeLia terfavorit sih

Gimana sama part ini?

Selain JaeLia, kapal apa aja yang kalian tumpangi?

Continue Reading

You'll Also Like

453K 4.8K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
151K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
58.4K 5.2K 46
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
1.4M 81.3K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...